Nyatanya ajakan Jason malah menerbitkan tatapan tak suka Mpok Lala padaku.
Aku menanggapi dengan sorot mata tajam pada wanita yang selalu saja berusaha untuk menarik perhatian sahabatku yang memang tampan itu.
Sampai kemudian aku mengajak Jason masuk ke teras dan menyuruhnya menantiku di sana saat aku mempersiapkan diri sebelum berangkat ke bengkel milik sahabat tampanku itu.
Tapi ketika kami melangkah keluar dari rumah Mpok Lala kembali mendekati kami lagi, lebih tepatnya mendekati Jason yang sebenarnya sudah mengabaikannya.
“Mas Jason, nggak mampir dulu, aku udah masak tuh, kalau mau Mas Jason bisa sarapan dulu. Pastinya Mala nggak bakal nawarin kamu sarapan, dia kan emang nggak pernah masak.”
Mpok Lala kembali menyindirku dan tentu saja terus berusaha menggoda Jason, pria muda blasteran Jerman yang memang memiliki tampang di atas rata-rata.
Seenaknya saja dia mengatakan aku tidak pernah memasak. Padahal setiap hari aku selalu memasak untuk Ghara dan Ghana juga bunda. Hanya saja aku memang tak pernah membagi wanita jahil itu masakanku. Aku terlalu sering dibuatnya sakit hati karena kejulidannya.
Tapi aku tak mempedulikan semua sindirannya saat ini, seperti aku juga tak akan pernah peduli pada ketampanan Jason.
Aku selalu enggan memikirkan tentang asmara. Sampai saat ini aku bahkan masih menganggap Jason sebagai seorang anak kecil cengeng yang dulu bahkan sering menangis hanya karena luka kecil di tangannya yang mengeluarkan darah.
“Ayo cepat kita jalan La,” ajak Jason yang hanya memberikan senyuman tipis pada wanita yang jelas-jelas menampakkan rasa tertarik padanya itu.
Tapi Jason benar-benar enggan untuk menanggapi wanita yang kesepian itu.
Jason kian mempercepat langkahnya, membuatku sedikit berlari kecil untuk menyamakan langkah kami, hingga akhirnya kami berhenti di ujung jalan tempat di mana Jason memarkir mobilnya.
Dengan menaiki mobil yang dikendarai Jason kami melesat menuju bengkel mobil dan motor yang selama ini telah dikelola oleh Jason dengan profesional hingga menjadi bengkel besar yang dipercaya.
“Kamu punya tetangga kok suka kepo gitu sih?” keluh Jason ketika kami baru saja turun dari dalam mobil.
Aku melirik tipis dan menyunggingkan senyum.
“Dia keponya sama kamu, bukan sama aku.”
“Kenapa mesti kepo?” Jason mengernyitkan dahi kian menyajikan ketampanannya terlebih matanya yang setajam elang itu mulai memicing agak menyipit.
“Secara kamu kan tampan, jadi dia kepo sama kamu. Kalau kamu wajahnya standar, dia nggak bakalan kepo,” ucapku asal sembari melepaskan ransel yang aku sandang dan mulai bersiap menuju ruang ganti untuk memakai overall, pakaian yang biasanya aku pakai saat bekerja sebagai montir bengkel.
Jason kemudian malah tersenyum lugas sembari memandangku penuh arti, sebelum aku masuk ke dalam ruang ganti.
“Kalau kamu yang bilang aku tampan aku bakal percaya karena aku tahu kamu itu jarang memuji.”
Jason mulai berceletuk kala aku sudah keluar dari ruang ganti.
Aku hanya melirik tipis ke arahnya, setelah itu memilih untuk melangkah menuju area bengkel dan bersiap bekerja.
Jason masih saja mengikutiku, malah memindaiku dengan tatapannya yang intens.
“Apa sebelumnya ada yang bilang ke kamu kalau kamu itu cantik?” ungkap Jason saat ia sudah berada di dekatku yang sedang membuka kap mobil.
Sontak aku melirik tajam padanya, tercenung beberapa saat karena sedikit kaget mendengar pujian Jason yang tak terduga.
Tapi ketika melihat gurat di wajahnya yang menampakkan kecanggungan, kekehan panjangku malah terlontar.
“Kamu bilang apa tadi?” sergahku malah mengunggah sikap tak percaya.
Karena sungguh tingkah Jason pagi ini benar-benar di luar kewajaran. Apa karena suasana bengkel yang masih sepi membuat dia bisa gampang membualkan rayuan yang kaku.
Jason malah beringsut agak jauh, menampakkan kegusaran yang menggelikan di mataku.
“Tidak ada siaran ulang,” sergahnya kesal sembari memajukan bibirnya yang selalu tampak merah dan basah, yang ketika kami kecil dulu bibir itu sering aku cubit karena gemas.
Meski kami sepantaran tapi Jason lebih sering aku jahili bahkan ia sering aku buat menangis saat bermain bersamaku.
“Tapi aku denger kok yang kamu bilang tadi, kamu bilang gue cantik kan?”
“Emang kamu nggak ngerasa cantik? Kamu kan cewek meski kamu itu tomboy kamu itu sebenarnya memiliki wajah yang cantik.”
Aku semakin tak bisa menghentikan tawaku saat mendengar kembali pujian Jason.
Baru pertama kali ini Jason menyebutku cantik padahal selama kami bersama dia lebih sering menyebutku sebagai panci gosong karena memang warna kulitku yang eksotik.
Nyatanya papaku memang keturunan Ambon yang mewariskan warna kulit yang sering aku sebut hitam manis itu. Tapi aku beruntung karena memiliki garis wajah yang menawan dengan hidung mancung dan bentuk muka oval serta memiliki belahan dagu yang ketara dan tak lupakan pula dua lesung pipi yang menarik.
Meski aku bangga Jason akhirnya menyebutku cantik tapi aku tetap saja merasa aneh bahkan geli mendengarnya. Selama ini kami terlalu terbiasa untuk saling meledek dan memberikan sindiran pada fisik dan kebiasaan kami.
“Kamu kesambet apa Jason?”
Aku masih saja mengunggah tawaku.
Sampai kemudian beberapa anak buah Jason berdatangan, rekan-rekanku sesama montir.
Mereka semua menyapaku dengan saling memberikan highfive hingga membuat suasana sangat ramai.
Seketika aku melihat perubahan pada raut muka Jason yang kini memandang dengan raut tidak suka saat melihat kedekatanku dengan para montir lain yang kebanyakan adalah lelaki.
“Sudah, sudah ayo kalian segera bekerja,” sergah Jason dengan kesal membubarkan kerumunan para pekerjanya yang sedang mengelilingiku.
Setelah itu Jason malah memindaiku dengan tajam menampakkan kekesalannya.
“Kamu Mala, jangan lupa nanti siang kamu juga ada kuliah, jadi kamu harus segera bekerja.”
Jason malah menegurku, benar-benar membuatku kesal.
Meski begitu aku enggan untuk mendebatnya langsung saja melakukan yang diinginkannya, dengan segera melakukan pekerjaanku setelah memakai sarung tangan untuk melindungi kulit tanganku dari belepotan oli.
***
Aku bergegas keluar dari area kampus dan tergesa-gesa mencegat sebuah angkutan umum yang akan mengantarku pulang ke rumah. Aku harus segera pulang karena setiap sore aku harus memasak untuk Ghara dan Ghana yang pastinya sekarang sudah menungguku dengan perut lapar.
Tapi nyatanya saat berada di depan gerbang gedung kampus, Jason dengan mobil jeepnya yang mahal malah datang menjemput.
“Emangnya bengkel udah tutup?” tanyaku saat melihat Jason malah meninggalkan bengkel di jam-jam yang biasanya bengkel masih buka.
Aku langsung menyergapnya dengan pertanyaan spontan ketika melihat lelaki itu sudah berada di depanku.
“Aku sudah menyerahkan pengawasannya pada Bambang,” ucap Jason menyebut seniorku di bengkel yang sudah dijadikan tangan kanannya.
Jason menjawab dengan sangat ringan pertanyaanku, dengan sepasang matanya yang setajam elang itu memindai seluruh diriku yang selalu mengenakan outfit kaos oversize dan celana jeans belel setiap kali datang ke kampus.
“Ayo aku antar kamu pulang, tapi sebelumnya aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”
Aku langsung mengernyit dan menyergapnya dengan tatapan penuh tanya.
“Kamu akan mengajakku ke mana?”
***
Aku benar-benar tak menduga kalau Jason akan mengajakmu mampir di sebuah restoran dan memborong makanan mahal.“Kamu buat apa beli makanan sebanyak ini?” tanyaku heran menampakkan rasa keberatanku ketika Jason sedang membayar semua makanan yang dipesannya.Jason hanya melirikku, setelah itu dia menggandeng tangan lalu menyeretku keluar dari restoran.“Saat di rumah nanti kamu nggak usah masak lagi, kasihan Ghara dan Ghana setiap hari harus makan masakanmu yang tidak enak itu.”Jason berucap dengan sangat santai.Aku segera menepuk pundaknya dengan kesal sembari membeliakkan mata.“Kenapa dulu lu ikut makan di rumahku? Sekarang seenaknya bilang masakanku enggak enak.”Aku memalingkan wajah sembari berdecih kesal.Jason menanggapiku dengan tawanya yang lebar, sembari ia segera bergeser menjauh saat aku akan menghujaninya dengan cubitanku yang pastinya terasa pedas di kulit itu.“Eh enggak deh, masakan kamu enak, tapi Ghara dan Ghana mungkin sedikit bosan makan, makanan rumah, jadi ngga
“Kita harus bicara,” sergah wanita yang selalu sering mengumbar aset tubuhnya. Bahkan saat ini Vania membiarkan kaki jenjangnya terpampang dengan paha mulusnya haanya tertutupi separuh.Aku mendengus jengah ke arahnya dan menjadi sangat malas menghadapi sikapnya yang sering menyudutkan juga mengklaim Jason sebagai miliknya.Aku memilih melanjutkan langkahku alih-alih mengabulkan keinginannya.Sontak Vania mengikuti sembari menghentak-hentakkan kaki di tanah menunjukkan kekesalannya atas pengabaianku.Benar-benar kekanakan menurutku.“Aku nggak mau tahu pokoknya kamu harus jauhin Jason.”Aku memutar malas bola mataku ke arahnya dan mulai menghentikan langkah kala wanita yang sok cantik itu menarik pundakku dengan keras.“Jason dan aku akan tunangan, Tante Anggun yang sudah bilang semua ke aku tentang rencana ini.”Aku menyergap gadis manja di depanku itu dengan tatapan nyalang.“Trus kamu udah dapat persetujuan Jason tidak?” tukasku ketus.Vania tampak tergeragap. Aku membalasnya denga
Dengan sangat antusias Vania segera membuka ranselku yang sudah aku lemparkan padanya. Raut mukanya yang sarkas benar-benar membuatku menaruh curiga.Aku merasa gadis itu sedang merencanakan sesuatu. Perasaanku benar-benar tidak enak. Terlebih saat aku ingat dia memasuki ruangan loker karyawan dengan gelagat yang sangat mencurigakan.Sampai kemudian Vania menemukan ponsel yang dicarinya itu yang secara ajaib bisa berada di dalam ranselku.“Ini apa?” Vania segera menyergapku dengan tatapan nyalang.Sementara semua orang kemudian menjadi terperangah ketika melihat apa yang sudah ditemukan Vania di dalam ranselku.Aku sendiri juga tak kalah kagetnya, meski kemudian aku mulai menatap gadis yang manipulatif yang sudah menjebakku dengan tuduhan yang sangat keji itu.“Emang mana ada pencuri ngaku, bisa penuh penjara kalau semuanya nga
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku pada sosok sahabatku sejak kecil itu yang sekarang sedang duduk di teras rumah bercengkerama bersama Ghana dan Ghara tapi raut mukanya jelas tampak sedang menantiku.Jason segera memusatkan perhatian padaku, memandangku dengan sangat dalam ketika aku sudah berdiri di hadapannya.“Apa aku tidak boleh mengunjungi sahabatku sendiri?” Jason berusaha menyunggingkan senyuman wajar terhadapku di tengah sikap waspadaku yang sekarang ingin menjaga jarak dengannya.Meski begitu aku tetap menemuinya dan duduk di bangku yang sama dengannya, sembari meladeni kedua keponakanku yang selalu akan bermanja padaku setiap kali aku baru pulang dari manapun.“Jas, sepertinya kamu harus membatasi kunjungan kamu ke sini,” ungkapku datar.Jason memandangku dengan sedih. Lelaki blasteran itu mulai menarik nafas panjang.&n
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria yang pernah aku lihat di jalan dulu sedang mengalami kesulitan dengan mobilnya. Gayanya masih saja dingin dan sarkas. Aku membalas tatapannya dengan tak kalah tegas. “Apa kamu nggak lihat kalau aku sedang kerja di sini? Kalau kamu, untuk apa sopir angkot kayak kamu berada di perkantoran elit ini?” Aku balas menyergah. Nyatanya sosok itu menanggapiku dengan tatapan yang semakin dingin meski aku sempat melihat sebuah seringai muncul di sudut bibirnya. “Kamu bilang aku sopir angkot?” “Lha yang kemarin emang mobil itu bukannya milik kamu?” Pria itu kemudian malah mencebik. “Jadi karena itu kamu menganggapku sopir angkot?” Aku mengedikkan bahu pelan. “Kalau nggak sopir angkot terus apa?” Pria itu malah ikut mengangkat kedua bahunya. “Terserah kamu menganggapku apa.” “Ya sudah, jangan sinis gitu dong.” Aku kembali melakukan pekerjaanku. Tapi nyatanya pria itu malah memindaiku dengan semakin lekat. Sama seperti yang sudah dilakukannya
“Pria mesum sebenarnya apa sih kerjaan kamu?” Aku bertanya dengan datar yang segera menarik tatapan pria bertubuh jangkung itu ke arahku. “Kamu menyebutku apa tadi?” Aku bergeming enggan mengulangi perkataanku. Tapi nyatanya pria itu malah melukis segaris senyuman samar yang terkesan misterius di mataku. “Sekali lagi aku mendengarmu, memanggilku pria mesum lihat apa yang akan aku lakukan padamu, hingga definisi pria mesum itu benar-benar akan sesuai dengan perkataan kamu.” Aku terhenyak ketika mendapati kerlingan matanya yang terunggah padaku. Entah mengapa aku malah menjadi takut. Tatapan pria itu terlalu mengintimidasi. Hingga aku enggan untuk menentang tatapan matanya lagi bahkan sampai kemudian pria itu melanjutkan langkahnya dan benar-benar pergi tanpa menjawab pertanyaanku tentang apa yang dikerjakan oleh lelaki itu di area gedung perkantoran ini, padahal kemarin aku sedang melihatnya berkutat dengan mesin mobilnya yang bobrok. Setelah pria berhidung sempurna itu berlal
“Dari mana kamu tahu kalau aku bekerja di bengkel sebelumnya? Siapa sih kamu itu?”Ketika mendengar cecaran pertanyaan dariku, pria yang memiliki dagu yang agak lancip itu malah membalas tatapanku dengan tenang, sembari memajukan wajahnya ke depan mendekatiku yang sedang duduk di hadapannya.“Apa kamu lupa kalau kemarin kamu sempat menolongku memperbaiki mobilku yang mogok? Dari caramu memperbaiki mesin siapapun pasti dapat menduga jika kamu adalah seorang montir.”Aku mendesah panjang.“Bagiku bekerja di mana pun tak akan menjadi masalah asal aku masih bisa menghasilkan uang untuk membiayai keluargaku. Aku memiliki tanggungan dua orang anak juga seorang ibu, belum lagi aku harus membayar kuliahku sendiri.”Lelaki itu kini ganti mengerutkan kening di depanku setelah menarik wajahnya mundur dariku.“Kamu memiliki anak?
“Hey, kenapa sih kalian melihat aku kayak gitu?”Aku segera mencecar teman-temanku yang kini malah bersikap sangat tak wajar itu.Senyuman mereka kemudian malah tampak dipaksakan, bahkan mereka sekarang menjadi canggung saat berinteraksi denganku.Hingga akhirnya sampai pada pembagian tugas dan aku berniat untuk melakukan tugasku seperti biasanya.Tapi kepala divisiku malah memerintahkan seorang temanku yang lain untuk segera membantu, melakukan pekerjaan yang biasanya aku lakukan sendirian.“Kenapa sekarang aku harus dibantu Pak? Aku kan biasa melakukan semua ini sendiri.”“Kami tak ingin kamu terlalu letih,” jawab kepala divisiku itu.Sontak aku berjengit sengit.“Maksud ucapan Bapak tadi apa ya?”Lelaki bertubuh gemuk itu agak tersen
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud