“Kita harus bicara,” sergah wanita yang selalu sering mengumbar aset tubuhnya. Bahkan saat ini Vania membiarkan kaki jenjangnya terpampang dengan paha mulusnya haanya tertutupi separuh.
Aku mendengus jengah ke arahnya dan menjadi sangat malas menghadapi sikapnya yang sering menyudutkan juga mengklaim Jason sebagai miliknya.
Aku memilih melanjutkan langkahku alih-alih mengabulkan keinginannya.
Sontak Vania mengikuti sembari menghentak-hentakkan kaki di tanah menunjukkan kekesalannya atas pengabaianku.
Benar-benar kekanakan menurutku.
“Aku nggak mau tahu pokoknya kamu harus jauhin Jason.”
Aku memutar malas bola mataku ke arahnya dan mulai menghentikan langkah kala wanita yang sok cantik itu menarik pundakku dengan keras.
“Jason dan aku akan tunangan, Tante Anggun yang sudah bilang semua ke aku tentang rencana ini.”
Aku menyergap gadis manja di depanku itu dengan tatapan nyalang.
“Trus kamu udah dapat persetujuan Jason tidak?” tukasku ketus.
Vania tampak tergeragap. Aku membalasnya dengan senyuman sinis.
“Pasti Jason nggak tahu soal kamu yang akan ditunangkan sama dia.”
Aku kembali melanjutkan langkahku tapi Vania masih saja mengejar.
“Jason pasti bakal nurutin mamanya.”
“Pede banget kamu.” Aku mulai mencebik sarkas. Walau aku hanya menganggap Jason sebagai sahabat tapi aku merasa perlu memberi pelajaran pada gadis sombong yang terus mengejarku itu.
“Asal kamu tahu ya, Jason itu tergila-gila sama aku dan kami sudah pacaran.”
Aku berucap dengan asal hanya membuat gadis yang selalu memakai pakaian kurang bahan itu terhenyak kecewa.
Wajahnya sekarang mulai terlihat menyedihkan. Bahkan bibir tebalnya yang berisi filler itu tampak manyun. Alih-alih terlihat seksi di mataku malah tampak seperti bibir ikan.
“Itu tidak mungkin, mana mungkin Jason mau sama janda gatel kayak kamu.”
Aku mulai jengkel gadis tidak tahu malu itu menyebutku janda gatal berulangkali, nyaris setiap kali kami bertemu.
Tapi saat ini aku benar-benar malas menanggapi dirinya meski Vania kembali menyebutku sebagai janda gatal, benar-benar sebutan yang membuat telinga merah.
“Terserah kamu mau percaya atau tidak. Kalau mau tahu kebenarannya kenapa kamu tidak tanya saja sama Jason?”
Aku menentangnya dengan sengit setelah itu aku mempercepat langkahku, tak memberi kesempatan pada gadis berambut blonde itu untuk mengejarku.
Vania menjadi terlalu kesal hingga kembali menghentakkan kakinya di atas tanah sembari memendam kegeraman terhadapku.
Tapi aku benar-benar tak peduli, bahkan meski nantinya ia akan menanyakan kebenaran ucapanku pada Jason. Jika nantinya Jason kemudian bertanya tentang apa yang sudah ditanyakan Vania padanya, aku sudah memiliki jawaban, bahwa aku hanya menganggap Jason sebagai pacar pura-puraku.
***
Aku melihat ada yang aneh dengan tatapan Vania padaku ketika aku melihatnya keluar dengan terburu-buru dari area loker karyaawan. Gelagatnya sangat mencurigakan meski aku tak tahu apa yang sedang dilakukan gadis itu di tempat yang biasanya tidak pernah didatanginya ini.
Tapi ketika aku akan bertanya gadis itu segera berlalu pergi, tanpa memberiku kesempatan untuk melemparkan pertanyaan.
Pada akhirnya aku memilih untuk tak mempedulikannya karena aku harus segera bersiap untuk pulang. Hari sudah semakin sore dan aku ingin segera tiba di rumah untuk bertemu dengan Ghara dan Ghana yang pastinya sudah menungguku di depan rumah di saat seperti ini.
Bergegas aku mengambil semua barang-barangku dari dalam loker dan mulai berbalik untuk melangkah menuju arah pintu keluar.
Sesekali aku membalas sapaan teman-temanku yang semuanya adalah lelaki.
“Hey, aku cabut dulu ya teman-teman, anakku udah nunggu di rumah nih,” sapaku ketika berjalan berlalu dari area loker.
“Iya semut imut, nggak nyangka cewek manis kayak kamu ternyata udah punya anak.”
Salah seorang dari mereka memberikan sahutan. Teman-temanku memang sering memanggilku dengan sebutan semut imut karena kulitku yang berwarna eksotik ini.
Justru Jason yang lebih ekstrim dia memanggilku panci gosong. Sejak dulu anak itu memang sangat menjengkelkan.
Mereka memang hanya tahu kalau aku adalah seorang wanita yang memiliki anak kembar. Beberapa kali bahkan Ghana dan Ghara mendatangiku ke bengkel bersama bunda. Karena itu wajar jika semua orang kini menganggap aku adalah seorang janda. Bahkan aku juga enggan untuk menjelaskan apapun pada mereka soal diriku yang belum pernah menikah sama sekali dan benar-benar masih perawan.
Aku melangkah gontai keluar dari area bengkel tapi belum sampai berada di luar mendadak seorang sekuriti memanggilku dan wajahnya terpampang begitu serius.
“La, kamu dipanggil Mas Jason di kantornya.”
“Ada apa ya Pak?” tanyaku penasaran. Wajah pria paruh baya itu yang tegang membuat perasaanku mendadak tidak enak.
Nyatanya pria yang sudah akrab denganku itu mengedikkan bahu, tampak enggan untuk memberi penjelasan apapun.
“Kamu ke sana aja, di sana juga ada Ibu Anggun dan Nona Vania.”
Aku mengernyit bimbang, menjadi ragu untuk menuju ke sana.
“Kamu hati-hati ya,” ucap pria yang beraura kebapakan itu sembari menepuk pundakku pelan sebelum kemudian dia berlalu dari hadapanku tetap membiarkan aku bertanya-tanya.
Pada akhirnya aku memutar langkahku ke sana untuk memenuhi panggilan Jason yang tampak begitu resmi, sungguh bukan sesuatu yang biasa.
"Masuklah, La,” seru Jason ketika aku mengetuk pintu ruang kantornya.
Perlahan aku membuka pintu dan segera masuk ke dalam.
Di ruangan yang terkesan sangat maskulin dengan didominasi warna hitam putih benar-benar bernuansa otomotif di setiap sudutnya itu, aku mulai melangkah masuk, perlahan mengarahkan pandangan ke arah dua orang wanita yang selalu memakai outfit mewah yang bahkan kini menyergapku dengan tatapan nyalang.
“Ada apa Jas, kamu memanggilku?” tanyaku pelan, berusaha mengabaikan kedua orang manusia yang selalu saja berusaha untuk merendahkan manusia seperti diriku hanya karena aku tidak lagi tinggal di kawasan mewah dan kehilangan segala fasilitas.
Aku sudah dianggap tak sekelas dengan mereka. Padahal seingatku dulu, saat aku masih kecil Tante Anggun selalu memperlakukan aku dengan manis.
Hal ini mengajarkan sesuatu yang sangat berharga bagiku, bahwa kebanyakan manusia menghargai manusia lain karena harta yang mereka punya, bukan pada kualitas dan kapasitas manusia itu sendiri. Walau awalnya terasa sangat menyakitkan, sekarang hatiku menjadi kebas menghadapi pandangan minor orang pada keluargaku yang sekarang sudah jatuh miskin.
Ketika melihat keberadaanku, Jason segera mendekat dan selalu akan mengunggah sikap yang akrab.
“Bukan apa-apa, hanya saja ada sesuatu yang perlu untuk dijelaskan saja.”
Aku mengernyit tak paham, terlebih ketika melihat tatapan Vania yang terlalu tegas terlihat begitu menyudutkan.
“Sudah tidak usah bertele-tele, cepat berikan saja ponsel miliknya Vania yang sudah kamu curi.”
Tanpa pernah aku sangka aku mendengar tuduhan yang sangat menyakitkan itu dari seseorang dulu pernah memperlakukan aku dengan sangat istimewa.
Sontak aku menggeleng sembari membeliakkan mata nyaris tak percaya.
“Ponsel apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba aku dituduh mengambil ponsel?”
Aku mengunggah gurat kebingungan di hadapan mereka.
Jason terlihat tak percaya juga bahkan sahabatku itu menampakkan kegeraman di hadapan mamanya sendiri.
“Ma, please calm down, jangan menuduh tanpa bukti.”
Aku tanpa sadar mengangguk membenarkan ucapan Jason.
Jason sendiri mulai menyergapku dengan tatapan simpati.
“Jadi kamu mau bukti, kenapa kamu tidak geledah saja tas ransel yang dibawanya itu?” celetuk Vania begitu sarkas tampak sangat percaya diri.
Hatiku semakin tidak enak, bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Jason sontak menyergap Vania dengan tatapan nyalang.
“Kamu jangan keterlaluan Va,” sergah Jason yang tampak tidak rela jika aku terus disudutkan.
“Lagipula bisa saja kamu lupa menaruh ponsel kamu sendiri.”
“Tidak, aku tidak lupa terakhir aku membawanya sampai ke dalam toilet dan siang tadi aku bersama Mala.”
Aku berdecih kesal di depannya. Tuduhannya benar-benar sangat menjengkelkan.
“Iya kamu sendiri yang menyusulku ke toilet, katanya kamu pengen ngomong sama aku, dan topiknya selalu saja sama, bahwa kamu mengatakan kalau kamu itu calon tunangannya Jason jadi aku harus menjauhi Jason, gitu kan yang selalu kamu bilang?”
Aku mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya.
Vania menampakkan kekesalannya.
“Udah, udah, sekarang cepetan geledah aja tasnya Mala. Kita lihat saja apa yang sedang dia sembunyikan di sana.” Vania kian mencecar dengan sengit.
Aku semakin meradang jengkel. Segera aku melepaskan tas yang aku sandang dan melemparkannya di hadapan gadis sombong yang selalu membuatku geram.
“Baik, siapa takut periksa saja tasku itu.”
Dengan sangat antusias Vania segera membuka ranselku yang sudah aku lemparkan padanya. Raut mukanya yang sarkas benar-benar membuatku menaruh curiga.Aku merasa gadis itu sedang merencanakan sesuatu. Perasaanku benar-benar tidak enak. Terlebih saat aku ingat dia memasuki ruangan loker karyawan dengan gelagat yang sangat mencurigakan.Sampai kemudian Vania menemukan ponsel yang dicarinya itu yang secara ajaib bisa berada di dalam ranselku.“Ini apa?” Vania segera menyergapku dengan tatapan nyalang.Sementara semua orang kemudian menjadi terperangah ketika melihat apa yang sudah ditemukan Vania di dalam ranselku.Aku sendiri juga tak kalah kagetnya, meski kemudian aku mulai menatap gadis yang manipulatif yang sudah menjebakku dengan tuduhan yang sangat keji itu.“Emang mana ada pencuri ngaku, bisa penuh penjara kalau semuanya nga
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku pada sosok sahabatku sejak kecil itu yang sekarang sedang duduk di teras rumah bercengkerama bersama Ghana dan Ghara tapi raut mukanya jelas tampak sedang menantiku.Jason segera memusatkan perhatian padaku, memandangku dengan sangat dalam ketika aku sudah berdiri di hadapannya.“Apa aku tidak boleh mengunjungi sahabatku sendiri?” Jason berusaha menyunggingkan senyuman wajar terhadapku di tengah sikap waspadaku yang sekarang ingin menjaga jarak dengannya.Meski begitu aku tetap menemuinya dan duduk di bangku yang sama dengannya, sembari meladeni kedua keponakanku yang selalu akan bermanja padaku setiap kali aku baru pulang dari manapun.“Jas, sepertinya kamu harus membatasi kunjungan kamu ke sini,” ungkapku datar.Jason memandangku dengan sedih. Lelaki blasteran itu mulai menarik nafas panjang.&n
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria yang pernah aku lihat di jalan dulu sedang mengalami kesulitan dengan mobilnya. Gayanya masih saja dingin dan sarkas. Aku membalas tatapannya dengan tak kalah tegas. “Apa kamu nggak lihat kalau aku sedang kerja di sini? Kalau kamu, untuk apa sopir angkot kayak kamu berada di perkantoran elit ini?” Aku balas menyergah. Nyatanya sosok itu menanggapiku dengan tatapan yang semakin dingin meski aku sempat melihat sebuah seringai muncul di sudut bibirnya. “Kamu bilang aku sopir angkot?” “Lha yang kemarin emang mobil itu bukannya milik kamu?” Pria itu kemudian malah mencebik. “Jadi karena itu kamu menganggapku sopir angkot?” Aku mengedikkan bahu pelan. “Kalau nggak sopir angkot terus apa?” Pria itu malah ikut mengangkat kedua bahunya. “Terserah kamu menganggapku apa.” “Ya sudah, jangan sinis gitu dong.” Aku kembali melakukan pekerjaanku. Tapi nyatanya pria itu malah memindaiku dengan semakin lekat. Sama seperti yang sudah dilakukannya
“Pria mesum sebenarnya apa sih kerjaan kamu?” Aku bertanya dengan datar yang segera menarik tatapan pria bertubuh jangkung itu ke arahku. “Kamu menyebutku apa tadi?” Aku bergeming enggan mengulangi perkataanku. Tapi nyatanya pria itu malah melukis segaris senyuman samar yang terkesan misterius di mataku. “Sekali lagi aku mendengarmu, memanggilku pria mesum lihat apa yang akan aku lakukan padamu, hingga definisi pria mesum itu benar-benar akan sesuai dengan perkataan kamu.” Aku terhenyak ketika mendapati kerlingan matanya yang terunggah padaku. Entah mengapa aku malah menjadi takut. Tatapan pria itu terlalu mengintimidasi. Hingga aku enggan untuk menentang tatapan matanya lagi bahkan sampai kemudian pria itu melanjutkan langkahnya dan benar-benar pergi tanpa menjawab pertanyaanku tentang apa yang dikerjakan oleh lelaki itu di area gedung perkantoran ini, padahal kemarin aku sedang melihatnya berkutat dengan mesin mobilnya yang bobrok. Setelah pria berhidung sempurna itu berlal
“Dari mana kamu tahu kalau aku bekerja di bengkel sebelumnya? Siapa sih kamu itu?”Ketika mendengar cecaran pertanyaan dariku, pria yang memiliki dagu yang agak lancip itu malah membalas tatapanku dengan tenang, sembari memajukan wajahnya ke depan mendekatiku yang sedang duduk di hadapannya.“Apa kamu lupa kalau kemarin kamu sempat menolongku memperbaiki mobilku yang mogok? Dari caramu memperbaiki mesin siapapun pasti dapat menduga jika kamu adalah seorang montir.”Aku mendesah panjang.“Bagiku bekerja di mana pun tak akan menjadi masalah asal aku masih bisa menghasilkan uang untuk membiayai keluargaku. Aku memiliki tanggungan dua orang anak juga seorang ibu, belum lagi aku harus membayar kuliahku sendiri.”Lelaki itu kini ganti mengerutkan kening di depanku setelah menarik wajahnya mundur dariku.“Kamu memiliki anak?
“Hey, kenapa sih kalian melihat aku kayak gitu?”Aku segera mencecar teman-temanku yang kini malah bersikap sangat tak wajar itu.Senyuman mereka kemudian malah tampak dipaksakan, bahkan mereka sekarang menjadi canggung saat berinteraksi denganku.Hingga akhirnya sampai pada pembagian tugas dan aku berniat untuk melakukan tugasku seperti biasanya.Tapi kepala divisiku malah memerintahkan seorang temanku yang lain untuk segera membantu, melakukan pekerjaan yang biasanya aku lakukan sendirian.“Kenapa sekarang aku harus dibantu Pak? Aku kan biasa melakukan semua ini sendiri.”“Kami tak ingin kamu terlalu letih,” jawab kepala divisiku itu.Sontak aku berjengit sengit.“Maksud ucapan Bapak tadi apa ya?”Lelaki bertubuh gemuk itu agak tersen
“Kalau gitu coba bilang padaku, pria seperti apa yang menjadi pria idaman kamu?”Gamal seperti sedang memancingku.Aku menautkan alisku saat memandangnya meski kemudian aku berpaling ke depan mulai menatap nanar dengan pandangan menerawang.“Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang? Apa kamu tidak punya kriteria pria idaman?”Aku bergeming ketika mendengar Gamal kembali bertanya. Mendadak sekarang aku teringat pada sosok kakakku yang selama ini aku tahu berusaha untuk menjadi suami terbaik juga seorang putra yang berbakti walau itu kadang mengukungnya dalam dilema.“Hey, kok kamu malah bengong.”Aku menanggapinya dengan kedikan tipis di bahuku.“Sebenarnya aku tak terlalu percaya pada pria,” gumamku pelan sembari mengingat tentang sosok ayahku sendiri yang brengsek.
Setelah semalam menghabiskan waktu di warung nasi goreng. Pagi ini Gamal kembali mendatangiku di pantry dengan membawa beberapa bungkusan makanan yang aku anggap kelewat banyak.Aku yang sedang iseng mengamati gambar rancangan rumah impianku, yang selama ini aku buat sedikit terperangah melihat kedatangannya dengan tangannya membawa plastik yang berisi makanan.“Mulai hari ini aku minta kamu untuk sarapan sebelum mulai bekerja.”Gamal langsung meletakkan makanan yang ia bawa itu tepat di depanku.Aku melirik sekilas pada sekantong makanan yang sekarang teronggok di atas meja, di hadapanku itu.Aku mendengkus kesal meski sebenarnya aroma makanan yang meruap di indera penciumanku sudah mulai mendiktrasiku."Aku semakin yakin kalau kamu itu orang kaya, hingga begitu mudah menghambur-hamburkan uang untuk membeli makanan sebanyak ini.”Aku kemudian menyergapnya dengan tatapan tegas.“Ayo ngaku aja kalau kamu itu pasti bukan sopir kan?”Aku mulai mendesaknya.Tapi Gamal malah menanggapiku d
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud