“Kalau gitu coba bilang padaku, pria seperti apa yang menjadi pria idaman kamu?”
Gamal seperti sedang memancingku.
Aku menautkan alisku saat memandangnya meski kemudian aku berpaling ke depan mulai menatap nanar dengan pandangan menerawang.
“Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang? Apa kamu tidak punya kriteria pria idaman?”
Aku bergeming ketika mendengar Gamal kembali bertanya. Mendadak sekarang aku teringat pada sosok kakakku yang selama ini aku tahu berusaha untuk menjadi suami terbaik juga seorang putra yang berbakti walau itu kadang mengukungnya dalam dilema.
“Hey, kok kamu malah bengong.”
Aku menanggapinya dengan kedikan tipis di bahuku.
“Sebenarnya aku tak terlalu percaya pada pria,” gumamku pelan sembari mengingat tentang sosok ayahku sendiri yang brengsek.
Setelah semalam menghabiskan waktu di warung nasi goreng. Pagi ini Gamal kembali mendatangiku di pantry dengan membawa beberapa bungkusan makanan yang aku anggap kelewat banyak.Aku yang sedang iseng mengamati gambar rancangan rumah impianku, yang selama ini aku buat sedikit terperangah melihat kedatangannya dengan tangannya membawa plastik yang berisi makanan.“Mulai hari ini aku minta kamu untuk sarapan sebelum mulai bekerja.”Gamal langsung meletakkan makanan yang ia bawa itu tepat di depanku.Aku melirik sekilas pada sekantong makanan yang sekarang teronggok di atas meja, di hadapanku itu.Aku mendengkus kesal meski sebenarnya aroma makanan yang meruap di indera penciumanku sudah mulai mendiktrasiku."Aku semakin yakin kalau kamu itu orang kaya, hingga begitu mudah menghambur-hamburkan uang untuk membeli makanan sebanyak ini.”Aku kemudian menyergapnya dengan tatapan tegas.“Ayo ngaku aja kalau kamu itu pasti bukan sopir kan?”Aku mulai mendesaknya.Tapi Gamal malah menanggapiku d
“Katakan Er, siapa yang sudah nyuruh kamu untuk mengambil alih pekerjaanku?” Aku kian mendesak pada temanku yang sekarang tampak sangat gugup itu bahkan terus menerus menghindar dari sergapan sorot mataku.“Er, kenapa kamu diam cepetan jawab!” desakku kian tak sabar.Aku kian jengkel karena sikapnya yang masih saja diam.Di tengah kekesalanku itu mendadak aku rasakan seseorang datang mendekat dan terasa sedang berdiri di belakangku.“Aku yang menyuruhnya,” tegas suara itu.Sontak aku menoleh ke belakang dan melihat sosok Gamal sedang berdiri di sana.Ketika melihat aura kharismanya yang mendominasi dengan ketegasan tatapannya, hatiku kian dihinggapi prasangka terlebih saat aku memandang sikap Erni yang sekarang kian menjadi gugup dan resah.Nyatanya Gamal kemudian mengangkat tangannya dan memberi isyara
“Kalau boleh aku tahu di mana ayahnya Ghana dan Ghara sekarang?”Gurat di wajah Gamal menampakkan kesungguhan, pria itu tampaknya sangat penasaran dengan kehidupan pribadiku.“Ayah mereka meninggal karena kecelakaan,” jawabku santai, walau sebenarnya aku selalu miris bila mengingat nasib kakakku yang tragis itu. Kak Gio selama ini berjuang keras untuk kami, dengan terkukung dendam atas perlakuan ayah kami yang telah menolak keberadaan anak-anaknya sendiri.Kak Gio sempat berhasil dengan usaha bengkelnya bahkan kehidupan keluarga kami sedikit lebih terangkat. Tapi nyatanya dia bertemu wanita yang salah, yang malah diperistrinya. Seorang wanita bernama Nita yang bukan hanya materialistis tapi juga culas dan tidak berperasaan.Wanita itu merongrong usaha Kak Gio yang baru berkembang dengan keinginanny
Aku sontak menoleh ketika mendengar suara Hanny memanggilku.“Oh kamu Han, aku ....”“Tadi aku dengar pembicaraan kamu di ruang administrasi, pas kebetulan aku ada di sana. Kamu lagi butuh uang kan Mala?” Hanny langsung memotong pembicaraanku dengan tak terduga gadis yang selalu berpenampilan modis itu lalu mengungkapkan permasalahan yang aku hadapi.Aku mengernyitkan kening menanggapi, sebelum kemudian mendesaah panjang.“Iya, dan sekarang aku mau cari kerjaan dulu,” ucapku cepat berusaha untuk optimis.“Kalau aku mau bantu kamu, kamu mau nggak?”Aku menautkan alisku menatapnya dengan penasaran.“Kerjaan apa?”“Kayak kerja di cafe gitu,” jawab Hanny antusias, “tapi kamu nggak usah khawatir, waktu kerjanya di malam hari jadi nggak mengganggu kerjaan kamu yang lain. Aku tahu kalau sekarang kamu sudah kerja di tempat lain, kan?”Aku menjawab dengan sebuah anggukan lemah. Dalam hatiku mulai disusupi rasa lega, karena Hanny menawarkan sesuatu yang sangat aku butuhkan saat ini.“Tempatnya
“Hanny bilang kamu sedang kepepet dan aku yakin pekerjaan ini pasti akan menjadi solusi untuk permasalahan kamu.”Pria itu masih saja tak mengungkapkan tentang pekerjaan di tempat ini.“Iya aku memang kepepet dan membutuhkan uang banyak.”“Nah, aku yakin pasti akan langsung cocok dengan pekerjaan di sini.”Aku menyergap pria berambut tebal itu dengan tatapan tegas.“Kalau begitu katakan padaku Pak, pekerjaan apa yang akan jalani di sini?”“Menjadi pemandu lagu, kerjanya cukup mudah, kamu tinggal temani saja pada pelanggan yang datang dan penuhi semua permintaan mereka. Tapi kalau kamu lebih berani lagi, kamu akan mendapatkan uang yang besar dalam waktu singkat.”Aku langsung mengernyit curiga.“Lebih berani bagaimana maksudnya Pak?” tanyaku curiga
“Ada ya Pak?” tanyaku penuh rasa penasaran atas panggilan dari manajer personalia di tempatku bekerja itu.Pria paruh baya yang memiliki tubuh berisi itu menatapku sedikit tegas.Aku menjadi dihinggapi rasa gelisah.Aku mulai menduga kemungkinan yang terburuk.“Apa aku dipecat Pak?” tanyaku memastikan dengan suara yang terdengar lugas.Pria itu masih saja memberikan tatapannya yang tegas.“Mulai sekarang kamu bukan lagi seorang office girl.”Aku mengerutkan kening menjadi kian merasa janggal.“Jadi aku benar-benar dipecat Pak?”“Apa kamu tidak mendengarku tadi saudara Kumala Hapsari?”Aku menjatuhkan pundakku mulai bersikap pasrah.Setelah itu aku mulai membalikkan badan. Aku sudah merasa tak memi
“Kamu?!” seruku begitu kaget bahkan saking kagetnya aku sampai menudingkan telunjuk ke arah pria yang sedang duduk di atas kursi kebesarannya.“Apa yang sedang kamu lakukan? Benar-benar nggak sopan.”Aku langsung menarik tanganku sendiri dan membawanya ke bawah, hingga menempel pada kedua pahaku.Setelah itu aku bergerak canggung dan menunduk dengan cepat, karena terlalu rikuh dengan situasi ini.“Ngapain kamu masih berdiri di sana?” sergah pria itu.Sungguh sangat aku duga jika ternyata pria yang selama ini aku kenal dengan nama Gamal itu nyatanya adalah CEO di perusahaan bonafid ini.“Apa kamu yang bernama Pak Adhi itu?”Aku mulai berjalan mendekat dengan keraguan yang sedikit terunggah.Gamal malah melirikku tegas meski kemudian dia kembali melanjutkan pekerjaannya dengan mengarahkan tatapannya di depan layar laptop.“Apa kamu tadi tidak diberitahu Pak Mizwar?”Aku mengangguk sembari tergeragap.“Sudah Pak, tapi kenapa sebelumnya Bapak memperkenalkan diri dengan nama Gamal?”“Gamal
“Sudahlah sekarang siapkan saja semua pakaianku aku mau mandi!” sergah Gamal masih saja mengunggah kesombongannya.Nyatanya lelaki itu sama sekali tak menyebutkan solusi yang tadi sempat ia ungkit.Aku langsung tergeragap, menjadi gelisah karena aku tak tahu pasti pakaian seperti apa yang harus aku siapkan.“Gamal, turunkan suara kamu, jangan seperti itu.”Gamal menghentikan langkahnya urung ke kamar mandi dan memandang pada wajah uminya sejenak.“Kalau gitu tolong, Umi kasih tahu Mala, apa yang harus disiapkan.”Setelah itu pria arogan itu mulai melanjutkan langkahnya yang tertunda.Tante Risa mengunggah senyumnya dengan lembut. Aku jadi sangsi kalau wanita anggun dan sholehah ini bisa memiliki anak temperamental seperti itu.“Jangan diambil hati ya, Gamal memang orangnya sep
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud