Dengan sangat antusias Vania segera membuka ranselku yang sudah aku lemparkan padanya. Raut mukanya yang sarkas benar-benar membuatku menaruh curiga.
Aku merasa gadis itu sedang merencanakan sesuatu. Perasaanku benar-benar tidak enak. Terlebih saat aku ingat dia memasuki ruangan loker karyawan dengan gelagat yang sangat mencurigakan.
Sampai kemudian Vania menemukan ponsel yang dicarinya itu yang secara ajaib bisa berada di dalam ranselku.
“Ini apa?” Vania segera menyergapku dengan tatapan nyalang.
Sementara semua orang kemudian menjadi terperangah ketika melihat apa yang sudah ditemukan Vania di dalam ranselku.
Aku sendiri juga tak kalah kagetnya, meski kemudian aku mulai menatap gadis yang manipulatif yang sudah menjebakku dengan tuduhan yang sangat keji itu.
“Emang mana ada pencuri ngaku, bisa penuh penjara kalau semuanya ngaku,” celetuk Vania pedas benar-benar terdengar sangat menyakitkan.
“Aku nggak percaya kamu melakukan ini Mala. Kemiskinan sudah membuat kamu jadi kriminal.” Tante Anggun mulai ikut menimpali, kian menorehkan luka di dalam hatiku.
Meski aku merasa sangat tersakiti atas konspirasi jahat mereka, aku tetap menampakkan ketegaranku di hadapan semua orang.
Walau kemudian aku tak bisa menentang tatapan Jason yang sedikit tampak kecewa padaku.
Aku benar-benar tak mau mengakui apa yang sudah mereka tuduhkan itu meski ponsel itu sudah berada di dalam tasku.
Aku kian yakin bahwa Vania benar-benaar sudah merencanakan semua ini.
“Pokoknya mama nggak mau tahu, kamu harus mengeluarkan pencuri ini dari bengkel kamu Jason.”
Tante Anggun kian mendesak putra semata wayangnya itu.
Tapi Jason bergeming diam, meski aku melihat di wajahnya terpancar aura kecewa tapi juga berbalut ketidakpercayaan atas apa yang sedang ia saksikan saat ini.
“Aku akan melakukan penyelidikan dulu Ma.”
Jason masih berusaha mempertahankan aku.
Tapi aku benar-benar tak sanggup melihat tatapan kecewa sahabatku sejak kecil itu padaku.
Meski aku tak pernah mau mengakui tuduhan mereka, tapi aku juga enggan untuk tetap bertahan bekerja di bengkel Jason.
Walau berat aku segera mengambil keputusan dengan memilih keluar dari bengkel Jason.
Sementara Jason masih saja diam tetap tak mengambil keputusan apapun sampai beberapa waktu.
“Kamu nggak usah melakukan penyelidikan apapun, semua sudah jelas bahkan bukti itu sudah ada di dalam tas pencuri itu.”
Tante Anggun benar-benar menyudutkan aku, sama sekali enggan memberikan aku kesempatan untuk membela diri.
“Ma, cukup jangan pernah menyebut Mala pencuri.”
Jason masih saja berusaha membelaku.
“Lha emang dia pencuri Jas. Dengar Jas, kamu harus pecat Mala sekarang juga.”
“Tidak usah repot-repot, aku akan berhenti sekarang juga.”
Kemudian aku menatap lurus pada Jason yang sekarang sedang terdiam kelu. Lelaki itu tampak terkejut dengan keputusanku.
Aku tahu jelas Jason masih belum sepenuhnya percaya dengan tuduhan itu tapi tetap saja Jason tak bisa menunjukkan pembelaan yang terlalu lugas kepadaku.
“Jangan seperti itu La, semua tetap harus diselidiki dengan jelas.”
Jason masih berusaha untuk menahanku.
Tapi aku sudah bersikeras.
“Sudahlah Jas, bagaimanapun aku harus tetap berterima kasih atas semua pertolongan kamu selama ini.”
Jason bergeming memandangku dengan sangat lekat yang aku tahu membuat Vania menjadi tampak seperti cacing kepanasan. Terus menerus mencebikkan bibirnya yang seperti bibir ikan itu.
“Aku pergi,” ucapku kemudian sembari membalikkan badan.
Jason tampak pasrah benar-benar tak bisa melakukan apapun untuk menahan kepergianku.
Aku melenggang pergi dengan langkah berat. Tuduhan yang sangat menjatuhkan harga diri itu benar-benar harus aku terima mentah-mentah, yang membuatku terlihat seperti pesakitan yang rendah.
Untuk ke sekian kalinya aku harus menjalani episode pahit dalam kehidupanku setelah rentetan kemalangan yang pernah menimpaku sebelumnya.
***
Sudah tiga tempat yang aku datangi hari ini untuk melamar pekerjaan. Tak ada satupun yang memberikan hasil baik.
Nyatanya memang tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan di belantara Ibukota yang seringkali menggerus kesempatan bagi kebanyakan orang.
Tanpa koneksi segala tidak akan berjalan dengan sempurna.
Di tengah rasa putus asa yang nyaris mendera, aku segera mengunggah harapanku sendiri. Karena hanya harapan yang membuat manusia bisa bertahan. Barangkali di dalam setiap kesulitan yang aku hadapi akan selalu tercipta kemudahan. Sebagai seorang yang beriman tentu saja aku harus mempercayai janji Tuhan yang seperti ini.
Menjelang sore dengan rasa lapar yang setia mengukungku sejak tadi siang, aku melangkah lesu menyusuri salah satu sudut Jakarta yang lebih lengang, menepi sejenak dari segala keramaian yang kadang menyesakkan jiwa.
Dengan tanpa membawa hasil apapun aku masih berusaha membesarkan jiwaku sendiri.
“Jangan menyerah Mala, ini masih hari pertama, besok masih ada kesempatan.”
Aku masih saja melangkahkan kaki hingga di ujung jalan aku melihat seseorang sedang kebingungan dengan terus menerus menggaruk kepala ketika membuka kap mobil.
Aku segera menduga jika mobil pria yang dari tempatku sekarang berdiri hanya menampakkan punggungnya yang lebar itu sedang mengalami mogok.
Aku langsung mendekat berusaha untuk membantu pria berkemeja agak lusuh yang sedang kebingungan dengan mobilnya itu.
“Perlu bantuan?” tanyaku dengan sangat percaya diri. Aku sangat yakin, aku pasti bisa membantunya. Menangani penyakit mobil memang keahlianku sejak dulu.
Pria itu sontak menoleh ke arahku setelah sebelumnya menunduk sangat dalam mengamati rentetan kabel mobilnya yang mungkin sedang bermasalah.
Ketika melihat wajahnya sontak aku terkesima. Nyatanya pria yang sebelumnya aku duga memiliki tampang pas-pasan khas seorang sopir angkot itu, memiliki wajah setampan Akin Akinozu. Aktor kenamaan Turki yang aku idolakan itu. Sebentuk ketampanan yang segera membuatku terpana.
“Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?” sergah pria itu sarkas yang langsung melucuti segala keterpanaanku.
Aku langsung mendengus kesal ke arahnya. Segala rasa kagumku dengan cepat berubah menjadi kejengkelan.
“Apa kamu sedang meremehkan aku?” letupku dengan jengkel.
Pria itu mengernyit tipis, lalu mencebik dengan sinis.
“Kalau begitu coba saja lakukan apa yang bisa kamu lakukan pada mobil butut ini.”
Segera aku menyingsingkan lengan baju sebelum kemudian mengikat rambut panjangku yang sebelumnya aku biarkan tergerai.
“Kamu lihat saja apa yang bisa aku lakukan untuk menghidupkan mobil ini.”
Ketika aku melakukan semua itu mendadak pria berhidung sempurna itu memindaiku dengan tatapan yang asing.
Tapi aku memilih mengabaikannya dengan apa yang mungkin sedang dipikirkan pria itu pada diriku. Walau aku sedikit risih dengan tatapannya yang sangat dalam memindai, aku berusaha untuk tak mempedulikan segera memusatkan pada mobil mogok yang harus aku tangani.
Aku merasa diriku tetap seorang montir, walau sekarang tak lagi bekerja di bengkel.
Ketika mulai memeriksa mobil itu aku kemudian menemukan masalah pada aki mobilnya yang kering yang nyatanya hanya tinggal diisi dengan air maka permasalahan mobil itu bisa segera diatasi.
Dengan mudah aku bisa menghidupkan mobil itu, sembari melirik pada pria tampan di dekatku yang sayangnya penampilannya lumayan kacau itu.
“Masih meremehkan aku?” sergahku sinis pada pria yang awalnya mengunggah sikap tidak bersahabatnya itu.
Pria itu hanya mengernyit tipis tapi masih saja memberikan tatapan yang penuh makna padaku.
“Sekarang mobilnya sudah bisa aku perbaiki. Lain kali kamu jangan meremehkan wanita.”
Setelah itu aku melangkah pergi meninggalkan pria tampan yang sepertinya terlihat kacau dan masih saja tercenung bahkan saat aku mulai berlalu dari hadapannya.
Seusai melihat intermezo yang menyegarkan mata itu aku sekarang kembali meresapi permasalahan hidupku. Sambil berjalan lesu aku kembali memikirkan tentang biaya kuliahku, biaya kehidupan keluargaku sehari-hari juga uang sewa kontrakan yang bulan ini harus segera aku bayar.
Sungguh semua itu mampu membuat kepala pusing tujuh keliling.
Rasa pusing itu terus aku bawa sampai ke rumah. Tapi nyatanya sesampainya di bangunan kelewat sederhana itu aku malah bertemu dengan seseorang yang tidak aku duga akan datang menemuiku lagi.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
***
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku pada sosok sahabatku sejak kecil itu yang sekarang sedang duduk di teras rumah bercengkerama bersama Ghana dan Ghara tapi raut mukanya jelas tampak sedang menantiku.Jason segera memusatkan perhatian padaku, memandangku dengan sangat dalam ketika aku sudah berdiri di hadapannya.“Apa aku tidak boleh mengunjungi sahabatku sendiri?” Jason berusaha menyunggingkan senyuman wajar terhadapku di tengah sikap waspadaku yang sekarang ingin menjaga jarak dengannya.Meski begitu aku tetap menemuinya dan duduk di bangku yang sama dengannya, sembari meladeni kedua keponakanku yang selalu akan bermanja padaku setiap kali aku baru pulang dari manapun.“Jas, sepertinya kamu harus membatasi kunjungan kamu ke sini,” ungkapku datar.Jason memandangku dengan sedih. Lelaki blasteran itu mulai menarik nafas panjang.&n
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria yang pernah aku lihat di jalan dulu sedang mengalami kesulitan dengan mobilnya. Gayanya masih saja dingin dan sarkas. Aku membalas tatapannya dengan tak kalah tegas. “Apa kamu nggak lihat kalau aku sedang kerja di sini? Kalau kamu, untuk apa sopir angkot kayak kamu berada di perkantoran elit ini?” Aku balas menyergah. Nyatanya sosok itu menanggapiku dengan tatapan yang semakin dingin meski aku sempat melihat sebuah seringai muncul di sudut bibirnya. “Kamu bilang aku sopir angkot?” “Lha yang kemarin emang mobil itu bukannya milik kamu?” Pria itu kemudian malah mencebik. “Jadi karena itu kamu menganggapku sopir angkot?” Aku mengedikkan bahu pelan. “Kalau nggak sopir angkot terus apa?” Pria itu malah ikut mengangkat kedua bahunya. “Terserah kamu menganggapku apa.” “Ya sudah, jangan sinis gitu dong.” Aku kembali melakukan pekerjaanku. Tapi nyatanya pria itu malah memindaiku dengan semakin lekat. Sama seperti yang sudah dilakukannya
“Pria mesum sebenarnya apa sih kerjaan kamu?” Aku bertanya dengan datar yang segera menarik tatapan pria bertubuh jangkung itu ke arahku. “Kamu menyebutku apa tadi?” Aku bergeming enggan mengulangi perkataanku. Tapi nyatanya pria itu malah melukis segaris senyuman samar yang terkesan misterius di mataku. “Sekali lagi aku mendengarmu, memanggilku pria mesum lihat apa yang akan aku lakukan padamu, hingga definisi pria mesum itu benar-benar akan sesuai dengan perkataan kamu.” Aku terhenyak ketika mendapati kerlingan matanya yang terunggah padaku. Entah mengapa aku malah menjadi takut. Tatapan pria itu terlalu mengintimidasi. Hingga aku enggan untuk menentang tatapan matanya lagi bahkan sampai kemudian pria itu melanjutkan langkahnya dan benar-benar pergi tanpa menjawab pertanyaanku tentang apa yang dikerjakan oleh lelaki itu di area gedung perkantoran ini, padahal kemarin aku sedang melihatnya berkutat dengan mesin mobilnya yang bobrok. Setelah pria berhidung sempurna itu berlal
“Dari mana kamu tahu kalau aku bekerja di bengkel sebelumnya? Siapa sih kamu itu?”Ketika mendengar cecaran pertanyaan dariku, pria yang memiliki dagu yang agak lancip itu malah membalas tatapanku dengan tenang, sembari memajukan wajahnya ke depan mendekatiku yang sedang duduk di hadapannya.“Apa kamu lupa kalau kemarin kamu sempat menolongku memperbaiki mobilku yang mogok? Dari caramu memperbaiki mesin siapapun pasti dapat menduga jika kamu adalah seorang montir.”Aku mendesah panjang.“Bagiku bekerja di mana pun tak akan menjadi masalah asal aku masih bisa menghasilkan uang untuk membiayai keluargaku. Aku memiliki tanggungan dua orang anak juga seorang ibu, belum lagi aku harus membayar kuliahku sendiri.”Lelaki itu kini ganti mengerutkan kening di depanku setelah menarik wajahnya mundur dariku.“Kamu memiliki anak?
“Hey, kenapa sih kalian melihat aku kayak gitu?”Aku segera mencecar teman-temanku yang kini malah bersikap sangat tak wajar itu.Senyuman mereka kemudian malah tampak dipaksakan, bahkan mereka sekarang menjadi canggung saat berinteraksi denganku.Hingga akhirnya sampai pada pembagian tugas dan aku berniat untuk melakukan tugasku seperti biasanya.Tapi kepala divisiku malah memerintahkan seorang temanku yang lain untuk segera membantu, melakukan pekerjaan yang biasanya aku lakukan sendirian.“Kenapa sekarang aku harus dibantu Pak? Aku kan biasa melakukan semua ini sendiri.”“Kami tak ingin kamu terlalu letih,” jawab kepala divisiku itu.Sontak aku berjengit sengit.“Maksud ucapan Bapak tadi apa ya?”Lelaki bertubuh gemuk itu agak tersen
“Kalau gitu coba bilang padaku, pria seperti apa yang menjadi pria idaman kamu?”Gamal seperti sedang memancingku.Aku menautkan alisku saat memandangnya meski kemudian aku berpaling ke depan mulai menatap nanar dengan pandangan menerawang.“Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang? Apa kamu tidak punya kriteria pria idaman?”Aku bergeming ketika mendengar Gamal kembali bertanya. Mendadak sekarang aku teringat pada sosok kakakku yang selama ini aku tahu berusaha untuk menjadi suami terbaik juga seorang putra yang berbakti walau itu kadang mengukungnya dalam dilema.“Hey, kok kamu malah bengong.”Aku menanggapinya dengan kedikan tipis di bahuku.“Sebenarnya aku tak terlalu percaya pada pria,” gumamku pelan sembari mengingat tentang sosok ayahku sendiri yang brengsek.
Setelah semalam menghabiskan waktu di warung nasi goreng. Pagi ini Gamal kembali mendatangiku di pantry dengan membawa beberapa bungkusan makanan yang aku anggap kelewat banyak.Aku yang sedang iseng mengamati gambar rancangan rumah impianku, yang selama ini aku buat sedikit terperangah melihat kedatangannya dengan tangannya membawa plastik yang berisi makanan.“Mulai hari ini aku minta kamu untuk sarapan sebelum mulai bekerja.”Gamal langsung meletakkan makanan yang ia bawa itu tepat di depanku.Aku melirik sekilas pada sekantong makanan yang sekarang teronggok di atas meja, di hadapanku itu.Aku mendengkus kesal meski sebenarnya aroma makanan yang meruap di indera penciumanku sudah mulai mendiktrasiku."Aku semakin yakin kalau kamu itu orang kaya, hingga begitu mudah menghambur-hamburkan uang untuk membeli makanan sebanyak ini.”Aku kemudian menyergapnya dengan tatapan tegas.“Ayo ngaku aja kalau kamu itu pasti bukan sopir kan?”Aku mulai mendesaknya.Tapi Gamal malah menanggapiku d
“Katakan Er, siapa yang sudah nyuruh kamu untuk mengambil alih pekerjaanku?” Aku kian mendesak pada temanku yang sekarang tampak sangat gugup itu bahkan terus menerus menghindar dari sergapan sorot mataku.“Er, kenapa kamu diam cepetan jawab!” desakku kian tak sabar.Aku kian jengkel karena sikapnya yang masih saja diam.Di tengah kekesalanku itu mendadak aku rasakan seseorang datang mendekat dan terasa sedang berdiri di belakangku.“Aku yang menyuruhnya,” tegas suara itu.Sontak aku menoleh ke belakang dan melihat sosok Gamal sedang berdiri di sana.Ketika melihat aura kharismanya yang mendominasi dengan ketegasan tatapannya, hatiku kian dihinggapi prasangka terlebih saat aku memandang sikap Erni yang sekarang kian menjadi gugup dan resah.Nyatanya Gamal kemudian mengangkat tangannya dan memberi isyara
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud