“Mau aku janda atau aku perawan bukan urusan kamu. Lagian siapa juga yang mau jadi menantu keluarga kalian?”
Aku terus menyergah dengan berani, membuat wanita yang memakai hijab hijau pupus itu, semakin membeliakkan matanya yang tajam ke arahku.
“Kamu itu gimana sih Jamal, kalau milih perempuan itu yang benar, perempuan seperti serigala gini mau kamu peristri, bisa-bisa kamu dicakari terus, sampai mampus sama dia.” Wanita itu mulai menudingkan jarinya padaku.
Aku mendengus jengah dengan nafas memburu karena tersengat emosi saat mendengar kata-katanya yang pedas padaku.
Tatapanku kemudian terarah nyalang pada lelaki bernama Jamal yang sekarang tampak canggung, sembari terus menerus mengelus rambut klimisnya, yang aroma minyaknya semakin membuatku mual.
Semua gaya pria itu benar-benar membuatku mati kutu.
“Kamu sendiri Bang Jamal, siapa juga yang nyuruh kamu datang?”
Aku mendesah jengah dan mencebik sarkas ke arahnya.
“Secara aku nggak kenal sama kamu Bang. Lain kali kalau mau ngelamar perempuan itu, kamu tanya dulu perempuannya mau atau tidak?”
Aku membalas dengan sengit ucapan pedas dari wanita yang menjadi ibu dari lelaki yang bernama Jamal itu.
Aku benar-benar dibuat kesal oleh mereka, ditambah tubuhku yang capek karena baru pulang dari bekerja, membuatku benar-benar tak bisa menolerir sikap sarkas mereka.
Melihat tanggapanku yang sedikit kasar, bunda segera menegur dengan tatapannya yang tajam.
Sikap bunda yang selalu lemah lembut itu tentu saja tak menghendaki aku memaki tamu yang datang ke rumah kami ini, yang awalnya berniat untuk melamarku.
“Maafkan sikap putri saya, Pak, Bu,” ungkap bunda pada akhirnya.
Tentu saja aku tak bisa menerima dan membuatku sedikit membeliakkan mata pada sosok bersahaja yang sudah menghadirkan aku ke dunia itu.
“Tidak apa-apa kok Bu, maafkan juga sikap istri saya,” sahut lelaki yang sejak tadi tak bersuara ketika istrinya mencak-mencak di depanku.
“Eh, Pak, kenapa Bapak malah minta maaf? Si janda gatel ini yang udah menggoda anak kita dan membuat kita tertipu dan malah datang ke sini.”
Wanita bergelang besar itu masih saja setia dengan anggapannya yang salah padaku. Dia masih saja menganggapku janda.
Benar-benar mengesalkan, yang membuatku ingin menarik lidahnya yang sudah asal mengataiku sebagai janda gatal. Sangat keterlaluan memang.
“Ayo, Jamal, ayo kita pulang, aku nggak mau ikut ketularan jadi gatel di sini.”
Wanita bertubuh bongsor itu lalu menarik tangan anak dan suaminya, dan mengajaknya pergi dari rumah petak keluargaku yang selama beberapa tahun terpaksa kami tempati semenjak prahara menimpa, ketika ayah kami tergoda oleh wanita lain dan mengabaikan anak-anak beserta istrinya sendiri.
Aku membiarkan saja mereka pergi dan malah merasa lega saat mereka sudah meninggalkan rumah.
Ketika melihat semua tamu sudah pergi, Ghana dan Ghara langsung berlari mendekatiku lagi.
“Mereka orang-orang jahat ya Ma?” Ghara menyela sembari bergayut di kakiku.
Sementara bunda malah memberikan tatapannya yang luruh padaku, yang menyiratkan sebuah kekhawatiran.
Aku berusaha untuk tak menanggapi, meski hatiku disusupi kesedihan setiap kali melihat tatapan khwatir beliau.
Hingga kemudian keponakanku yang lain Ghana, langsung memeluk pinggangku.
“Ma, aku lapar, aku pengen makan sama Mama,” rajuk Ghana.
Mereka berdua selalu saja ingin bermanja setiap kali aku baru pulang selepas bekerja. Seperti biasa aku akan selalu menyediakan waktuku untuk mereka sampai menjelang maghrib dan selalu Ghana dan Ghara akan aku ajak ke mushola terdekat untuk menjalankan sholat berjamaah yang kemudian dilanjutkan dengan mengaji.
***
Aku masih sibuk memeriksa mesin mobil dengan kap yang aku buka lebar, ketika kemudian aku rasakan seseorang menepuk pundakku dengan tegas.
Aku bisa merasakan jika saat ini Jason sedang mendekatiku. Pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatku bahkan semenjak aku masih tinggal di komplek perumahan mewah ketika kehidupan keluargaku masih berkelimpahan ketika ayah kami masih memenuhi tanggung jawab pada keluarganya.
“Ini sudah hampir maghrib, kamu nggak pulang?” tanya pria beriris coklat yang merupakan keturunan Jerman seorang anak pengusaha perhiasan dan pakaian branded, yang nyatanya malah memilih untuk membuka bengkel dan berusaha untuk membiayai kuliahnya sendiri yang sudah sampai di semester akhir itu.
“Nanggung, ntar lagi aku pulang. Lagian kamu tahu sendiri kan kalo aku siang ini baru datang, jadi aku harus mengerjakan bagian aku sampai selesai.”
Aku beralasan dan masih saja tekun mengotak-atik mesin mobil yang sedang bermasalah dengan injeksinya itu.
“Kamu kan datang siang karena kamu masih harus kuliah?”
Aku mendesah panjang dan mulai melirik pada temanku sejak kecil yang sudah menjelma menjadi seorang pemuda gagah yang seringkali digilai banyak wanita itu.
“Iya, tapi aku gak mau anak yang lain iri, karena aku nggak nyelesain pekerjaanku.”
Jason menatapku lebih lekat. Kilat simpati bisa aku tangkap dari sorot matanya saat ini.
Sejak awal hanya Jason yang selalu ada di sampingku di saat keluargaku jatuh dan kami terusir dari rumah mewah yang sebenarnya merupakan peninggalan dari kakek dan nenekku sendiri, orang tua dari bunda.
Semua karena kelicikan pelakor keji bernama Lola yang membuat ayahku kehilangan kewarasan dan begitu tega menelantarkan keluarganya sendiri.
“La, sejak dulu kamu emang tidak berubah, pekerja keras.”
“Aku kerja keras kan bukan buat aku sendiri, tapi juga buat bunda dan kedua anak aku, Jas,” tegasku sembari sedikit melirik pada pria berhati baik yang selalu saja sering menolongku selama ini.
“Kamu memang tak pernah egois tetap saja memikirkan orang lain.”
“Ish kamu ini, bunda dan anak-anakku itu bukan orang lain lho Jas?”
Aku lihat sekarang Jason malah menarik nafas dalam.
“Padahal mereka adalah keponakan kamu, tapi kamu selalu saja menganggap mereka sebagai anak-anakmu.”
“Mereka memang anak-anakku, Jas, sejak kecil secara mereka udah aku asuh.”
Sejurus kemudian aku malah mendapati Jason sedang memindaiku dengan sorot matanya yang tampak penuh arti.
Aku enggan untuk mengeja sedikitpun dan lebih memilih untuk meneruskan pekerjaanku.
Tapi nyatanya aku merasakan Jason masih ada di dekatku, dan mulai mengulurkan sebotol air mineral yang sudah ia bawa.
“Kamu minum dulu,” ucap Jason penuh perhatian.
Aku hanya melirik sekilas pada botol air segar yang sedang diberikan Jason padaku.
Aku sungguh tergoda untuk menegaknya. Tapi segera aku sadar kalau tanganku sekarang sangat kotor berlumuran oli meski aku memakai sehelai sarung tangan.
Jason segera paham sontak membuka botol itu untukku dan meminumkannya tepat di depan mulutku hingga aku bisa menegaknya tanpaa harus repot melepas sarung tanganku.
Di saat bersamaan mendadak seorang wanita cantik memasuki ruangan dalam bengkel dan langsung melihat apa yang sedang dilakukan Jason padaku.
Ketika melihat wajahnya yang glowing hasil perawatan salon mahal lengkap dengan skincarenya yang menguras isi kantong itu, hatiku segera mencelos jengkel.
Setelah ini aku yakin, wanita yang selama ini sudah mengklaim Jason sebagai miliknya itu pasti akan menumpahkan sumpah serapahnya padaku, meski gadis genit yang selalu suka memakai gaun kurang bahan itu akan bersikap pura-pura kalem jika masih ada Jason di antara kami.
“Jason, aku tahu kamu pasti masih di sini. Karena itu aku mampir ke bengkel untuk ketemu kamu,” ucap gadis bernama Vania itu manja.
Aku rasakan bola mata Vania yang selalu memakai soft lens berwarna biru itu melirik jengah padaku, penuh aura cemburu saat melihat kedekatanku bersama Jason, ditambah dengan perhatian yang sedang diberikan Jason padaku saat ini.
Aku mengabaikan semua itu, kembali fokus dengan pekerjaanku.
Jason hanya menanggapi dengaan datar kedatangan Vania yang aku rasakan sedang tak diharapkan oleh pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatku itu.
Seorang teman yang sudah memberikan pertolongan dengan memberikan aku pekerjaan di bengkelnya ini. Jason tahu keahlianku tentang mobil yang sebenarnya aku pelajari dari ayahku sendiri juga kakak lelakiku yang memang penggemar otomotif.
Siapa sangka keahlianku ini yang sebelumnya hanya sekedar hobi bisa menyelamatkan aku dan keluargaku dari kelaparan.
“Kamu mau apa ke sini?” tanya Jason sarkas.
Tentu saja Vania menjadi kecewa berat dengan tanggapan acuh dari lelaki yang ia suka.
Kekesalannya itu dilampiaskan padaku.
Tapi aku tentu saja tak peduli dengan tatapannya yang tajam itu dan lebih memilih kembali mengotak-atik mesin mobil sampai aku berhasil menemukan masalahnya dan segera memperbaiki.
“Kamu kok nanya gitu sih? Tante Anggun sendiri lho yang meminta aku datang buat nyusul kamu agar kamu bisa makan malam di rumah.”
Aku mendengar Vania sedikit mengeluarkan rajukannya. Gadis itu pasti akan menyebutkan nama maminya Jason, demi membenarkan setiap hal yang dilakukannya untuk Jason.
Jason mengerutkan dahinya sejenak sebelum kemudian memandang ke arahku yang pastinya saat ini wajahku belepotan oli.
“Setelah mobil ini kelar, kamu harus segera pulang. Karena aku juga akan pulang.”
Setelah berucap seperti itu Jason lalu masuk ke dalam ruangannya dan pastinya sedang bersiap untuk pulang dengan mengambil barang-barang pribadinya di sana.
Kini tinggallah aku dan Vania yang sekarang sudah berkacak pinggang di depanku sembari memandangku dengan angkuh.
“Dasar janda gatel.”
***
“Dasar janda gatal!” sergah Vania mulai menyerangku dengan kata-katanya yang pedas.Untuk ke sekian kalinya aku harus menerima stigma buruk juga kalimat yang mengkerdilkan hanya karena aku mengasuh kedua keponakanku seperti anakku sendiri.Nyaris semua orang salah menganggapku, mereka menyangka aku janda. Bahkan Vania juga menilaiku dengan seenaknya.Saat mendengar ucapannya yang tajam sontak aku menyergapnya dengan tatapan nyalang.Satu persatu aku mulai melepaskan sarung tangan karet yang biasa aku gunakan saat bekerja dengan sorot mata yang kian tajam terunggah.Perlahan aku mendekati gadis itu.Gadis manja yang suka berkata pedas, yang sekarang mulai terlihat agak ketakutan. Sesekali ia melirik ke arah ruang kerja Jason, berharap pria yang diklaim sebagai kekasihnya segera muncul dari sana dan akan segera ia dekati untuk bisa mendapatkan perlindungan.Aku sudah sangat bisa membaca apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.Tapi sekarang aku sudah sangat marah saat mendengar ucapan
Nyatanya ajakan Jason malah menerbitkan tatapan tak suka Mpok Lala padaku.Aku menanggapi dengan sorot mata tajam pada wanita yang selalu saja berusaha untuk menarik perhatian sahabatku yang memang tampan itu.Sampai kemudian aku mengajak Jason masuk ke teras dan menyuruhnya menantiku di sana saat aku mempersiapkan diri sebelum berangkat ke bengkel milik sahabat tampanku itu.Tapi ketika kami melangkah keluar dari rumah Mpok Lala kembali mendekati kami lagi, lebih tepatnya mendekati Jason yang sebenarnya sudah mengabaikannya.“Mas Jason, nggak mampir dulu, aku udah masak tuh, kalau mau Mas Jason bisa sarapan dulu. Pastinya Mala nggak bakal nawarin kamu sarapan, dia kan emang nggak pernah masak.”Mpok Lala kembali menyindirku dan tentu saja terus berusaha menggoda Jason, pria muda blasteran Jerman yang memang memiliki tampang di atas rata-rata.Seenaknya saja dia mengatakan aku tidak pernah memasak. Padahal setiap hari aku selalu memasak untuk Ghara dan Ghana juga bunda. Hanya saja aku
Aku benar-benar tak menduga kalau Jason akan mengajakmu mampir di sebuah restoran dan memborong makanan mahal.“Kamu buat apa beli makanan sebanyak ini?” tanyaku heran menampakkan rasa keberatanku ketika Jason sedang membayar semua makanan yang dipesannya.Jason hanya melirikku, setelah itu dia menggandeng tangan lalu menyeretku keluar dari restoran.“Saat di rumah nanti kamu nggak usah masak lagi, kasihan Ghara dan Ghana setiap hari harus makan masakanmu yang tidak enak itu.”Jason berucap dengan sangat santai.Aku segera menepuk pundaknya dengan kesal sembari membeliakkan mata.“Kenapa dulu lu ikut makan di rumahku? Sekarang seenaknya bilang masakanku enggak enak.”Aku memalingkan wajah sembari berdecih kesal.Jason menanggapiku dengan tawanya yang lebar, sembari ia segera bergeser menjauh saat aku akan menghujaninya dengan cubitanku yang pastinya terasa pedas di kulit itu.“Eh enggak deh, masakan kamu enak, tapi Ghara dan Ghana mungkin sedikit bosan makan, makanan rumah, jadi ngga
“Kita harus bicara,” sergah wanita yang selalu sering mengumbar aset tubuhnya. Bahkan saat ini Vania membiarkan kaki jenjangnya terpampang dengan paha mulusnya haanya tertutupi separuh.Aku mendengus jengah ke arahnya dan menjadi sangat malas menghadapi sikapnya yang sering menyudutkan juga mengklaim Jason sebagai miliknya.Aku memilih melanjutkan langkahku alih-alih mengabulkan keinginannya.Sontak Vania mengikuti sembari menghentak-hentakkan kaki di tanah menunjukkan kekesalannya atas pengabaianku.Benar-benar kekanakan menurutku.“Aku nggak mau tahu pokoknya kamu harus jauhin Jason.”Aku memutar malas bola mataku ke arahnya dan mulai menghentikan langkah kala wanita yang sok cantik itu menarik pundakku dengan keras.“Jason dan aku akan tunangan, Tante Anggun yang sudah bilang semua ke aku tentang rencana ini.”Aku menyergap gadis manja di depanku itu dengan tatapan nyalang.“Trus kamu udah dapat persetujuan Jason tidak?” tukasku ketus.Vania tampak tergeragap. Aku membalasnya denga
Dengan sangat antusias Vania segera membuka ranselku yang sudah aku lemparkan padanya. Raut mukanya yang sarkas benar-benar membuatku menaruh curiga.Aku merasa gadis itu sedang merencanakan sesuatu. Perasaanku benar-benar tidak enak. Terlebih saat aku ingat dia memasuki ruangan loker karyawan dengan gelagat yang sangat mencurigakan.Sampai kemudian Vania menemukan ponsel yang dicarinya itu yang secara ajaib bisa berada di dalam ranselku.“Ini apa?” Vania segera menyergapku dengan tatapan nyalang.Sementara semua orang kemudian menjadi terperangah ketika melihat apa yang sudah ditemukan Vania di dalam ranselku.Aku sendiri juga tak kalah kagetnya, meski kemudian aku mulai menatap gadis yang manipulatif yang sudah menjebakku dengan tuduhan yang sangat keji itu.“Emang mana ada pencuri ngaku, bisa penuh penjara kalau semuanya nga
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku pada sosok sahabatku sejak kecil itu yang sekarang sedang duduk di teras rumah bercengkerama bersama Ghana dan Ghara tapi raut mukanya jelas tampak sedang menantiku.Jason segera memusatkan perhatian padaku, memandangku dengan sangat dalam ketika aku sudah berdiri di hadapannya.“Apa aku tidak boleh mengunjungi sahabatku sendiri?” Jason berusaha menyunggingkan senyuman wajar terhadapku di tengah sikap waspadaku yang sekarang ingin menjaga jarak dengannya.Meski begitu aku tetap menemuinya dan duduk di bangku yang sama dengannya, sembari meladeni kedua keponakanku yang selalu akan bermanja padaku setiap kali aku baru pulang dari manapun.“Jas, sepertinya kamu harus membatasi kunjungan kamu ke sini,” ungkapku datar.Jason memandangku dengan sedih. Lelaki blasteran itu mulai menarik nafas panjang.&n
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria yang pernah aku lihat di jalan dulu sedang mengalami kesulitan dengan mobilnya. Gayanya masih saja dingin dan sarkas. Aku membalas tatapannya dengan tak kalah tegas. “Apa kamu nggak lihat kalau aku sedang kerja di sini? Kalau kamu, untuk apa sopir angkot kayak kamu berada di perkantoran elit ini?” Aku balas menyergah. Nyatanya sosok itu menanggapiku dengan tatapan yang semakin dingin meski aku sempat melihat sebuah seringai muncul di sudut bibirnya. “Kamu bilang aku sopir angkot?” “Lha yang kemarin emang mobil itu bukannya milik kamu?” Pria itu kemudian malah mencebik. “Jadi karena itu kamu menganggapku sopir angkot?” Aku mengedikkan bahu pelan. “Kalau nggak sopir angkot terus apa?” Pria itu malah ikut mengangkat kedua bahunya. “Terserah kamu menganggapku apa.” “Ya sudah, jangan sinis gitu dong.” Aku kembali melakukan pekerjaanku. Tapi nyatanya pria itu malah memindaiku dengan semakin lekat. Sama seperti yang sudah dilakukannya
“Pria mesum sebenarnya apa sih kerjaan kamu?” Aku bertanya dengan datar yang segera menarik tatapan pria bertubuh jangkung itu ke arahku. “Kamu menyebutku apa tadi?” Aku bergeming enggan mengulangi perkataanku. Tapi nyatanya pria itu malah melukis segaris senyuman samar yang terkesan misterius di mataku. “Sekali lagi aku mendengarmu, memanggilku pria mesum lihat apa yang akan aku lakukan padamu, hingga definisi pria mesum itu benar-benar akan sesuai dengan perkataan kamu.” Aku terhenyak ketika mendapati kerlingan matanya yang terunggah padaku. Entah mengapa aku malah menjadi takut. Tatapan pria itu terlalu mengintimidasi. Hingga aku enggan untuk menentang tatapan matanya lagi bahkan sampai kemudian pria itu melanjutkan langkahnya dan benar-benar pergi tanpa menjawab pertanyaanku tentang apa yang dikerjakan oleh lelaki itu di area gedung perkantoran ini, padahal kemarin aku sedang melihatnya berkutat dengan mesin mobilnya yang bobrok. Setelah pria berhidung sempurna itu berlal
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud