Jaima membuka kedua matanya, dia mendapati Rama berada di sampingnya. Anak itu tertidur dengan pulas, pakaian pergi semalam sudah berganti dengan pakaian tidur lucu, wajahnya begitu tenang. Dia mendekat pada Rama dan mengelus lembut pipi anak itu.
Si kecil Rama adalah alasan kenapa dia pada akhirnya berada di rumah ini, pikirannya pergi jauh ke saat dimana dia dan Hasbi pertama kali bertemu.
SATU SETENGAH TAHUN LALU.
“AKKKKK!” Suara pekikan itu terdengar begitu nyaring, suaranya bercampur antara suara seorang wanita dan pria. Kamar hotel bintang lima itu memiliki kualitas kedap suara di dalam kamar dan tidak perlu diragukan lagi, apapun yang terjadi di dalam kamar tidak akan pernah terdengar aktivitasnya sampai keluar lorong.
Keduanya saling menatap dengan terkejut, masing-masing memakai selimut untuk menutupi bagian tubuh mereka.
“K-kamu siapa?!” Pria itu tergagap melihat wanita muda di depannya tanpa busana, wanita yang sama sekali tidak dia kenal.
“Saya…” Belum sempat wanita itu menjawab suara pintu kamar dibuka terdengar, beberapa orang masuk ke dalam tanpa permisi dan seperti tidak mempedulikan wanita itu yang sudah terkejut setengah mati.
“Mohon maaf tuan muda, rapat dengan direksi akan segera dimulai. Kami membawa perlengkapan pakaian baru dan juga sudah menyiapkan semuanya, tidak ada waktu untuk berbincang.”
Tanpa aba-aba pria itu segera memakai pakaian dalam dan juga celana bahan yang dibawakan oleh asistennya, dia bergegas pergi meninggalkan si wanita yang masih ternganga tidak mengerti.
“Maaf, anda pasti terkejut. Saya asisten pribadi tuan muda Hasbi. Perkenalkan, nama saya Arianti.” Wanita yang usianya mungkin beberapa tahun lebih tua dari Jaima menyodorkan sebuah kartu nama bertuliskan nama lengkapnya, ARIANTI GELORA.
“Mahatma Group?!” Jaima menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbelalak ketika pada akhirnya dia menyadari dengan siapa berurusan.
“Izinkan saya meminta nomor rekening anda, ini sesuai prosedur kami.”
Jaima mengerenyitkan dahi, “Rekening? Maksud anda?”
Arianti menatap Jaima yang kemudian terkesiap, dia baru ingat kalau sekarang dia tengah duduk diatas kasur dengan keadaan telanjang. Tubuhnya hanya dia tutupi dengan selimut tebal.
“Saya bukan wanita bayaran.. Saya bekerja disini.” Dia tergagap, berusaha menjelaskan.
Arianti mengerenyitkan dahinya, “Bekerja disini?”
Jaima mengangguk perlahan, “Saya pekerja paruh waktu, baru satu minggu mulai bekerja. Tadi malam saya ditugaskan mengantar pak Hasbi ke kamarnya, kemudian…” Suaranya tercekat di tenggorokan mengingat apa yang terjadi semalam.
Pergumulannya dengan Hasbi penuh paksaan, bukan hal romantis penuh cinta. Pria itu menggaulinya sambil memanggil nama wanita lain, Tanaya.
“Pak Hasbi terlalu mabuk hingga memaksa saya melakukan hal tersebut.”
Arianti terdiam, dia tahu benar apa yang menjadi penyebab Tuan Mudanya melakukan hal itu. Beberapa hari lalu Hasbi dan tunangannya Tanaya cekcok, kesalahpahaman membuat mereka hampir membatalkan pertunangan.
“Saya harus tetap mengirimkan anda uang untuk tutup mulut.”
Jaima menatap Arianti tidak percaya, harga dirinya terasa diinjak-injak. Dia memang bukan orang dengan kekuasaan apalagi berada, dia hanya seorang masyarakat biasa yang bekerja dari pagi sampai malam untuk menyambung hidup.
Apa yang terjadi padanya semalam bukanlah hal yang mengenakkan untuknya, kenapa dia harus dibayar untuk sesuatu yang bahkan dia sendiri enggan melakukannya.
“Sekali lagi, saya bukan wanita bayaran..” Suaranya kini bergetar, dia bangun dari duduknya dan memakai pakaiannya kembali. Rasa panas dan perih menjalar dari selangkangannya, lehernya begitu sakit disusul dengan puting di payudaranya.
Hasbi melakukan seks dengan ganas, menggigiti setiap inci kulit Jaima.
“Bawa kartu nama saya, jika anda….” Arianti menggantung kalimatnya kemudian menatap Jaima, “...berubah pikiran. Anda bisa menghubungi saya.”
Wanita itu kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan Jaima yang masih tidak mengerti kenapa ini menimpa padanya. Dia bergegas turun ke bawah dan pergi menggunakan angkutan umum.
Untung dia membawa sweater sehingga bercak merah bekas gigitan Hasbi bisa tertutupi, dia malu dan merasa kotor. Itu kali pertamanya melakukan hubungan badan dan dia melakukan hal itu dengan pria yang sama sekali tidak dia kenali.
Dadanya mendadak sesak, kemudian tangisnya pecah.
Dia terisak.
Hari demi hari berlalu, Jaima sudah melupakan apa yang terjadi padanya di malam itu. Lebih tepatnya berusaha melupakan, dia tidak berniat menghubungi Arianti, dia pikir malam itu adalah malam sial saja. Dia tidak ingin berurusan lebih lanjut dengan keluarga paling kaya nomor tiga di Indonesia.
“Orang kaya itu gak punya hati dan empati! Lebih baik jangan dekat-dekat.” Sitha berkata, menutup pintu di belakangnya dan duduk di kursi meja makan. Mereka tengah berada di rumah kontrakan milik Jaima. Kontrakan satu rumah itu terasa sunyi dan sepi semenjak Jaima memutuskan untuk membawa ibunya ke panti jompo.
“Aku memang gak berminat hubungi orang itu, aku yang dipaksa tapi aku yang mau dibayar. Mungkin mereka pikir kehormatan tidak seberharga itu.”
Sitha merengut, dia jadi kesal dan juga merasa bersalah setelah mendengar cerita Jaima. Sudah dua bulan semenjak terakhir mereka bertemu, Sitha sibuk bekerja di sebuah perusahaan yang masih dibawah naungan Mahatma Group.
“Pak Hasbi itu angkuh banget, kalau dia sedang datang ke kantor saja semua orang sudah jelek moodnya!” Katanya sambil membuka bungkusan, dia tadi mampir membeli ikan bakar kesukaan Jaima. Hari ini adalah hari gajian, dia ingin mentraktir Jaima. Hitung-hitung menghibur wanita itu.
“Ugh…”
Sitha terdiam, tangannya yang sedari tadi cekatan membuka bungkus ikan bakar berhenti di udara.
“Ugh…” Suara yang berasal dari Jaima terdengar lagi.
“Kamu, kenapa?” Sitha bertanya dengan perlahan.
“Ugh….B..bau banget..” Jaima terbata kemudian dia berlari pergi ke kamar mandi, memuntahkan isi perutnya.
Sitha masih terdiam, duduk di meja makan mendengar sahabatnya muntah di kamar mandi. Ketika Jaima keluar dari kamar mandi keduanya saling bertatapan.
“Ima, kamu…Hamil?”
Pertanyaan Sitha membawa Jaima berada di dalam kamar mandi dengan beberapa merk alat tes kehamilan di tangannya. Sahabatnya itu bergegas pergi bahkan sebelum Jaima menjawab, dia pergi ke apotek dan membeli banyak sekali alat tes kehamilan. Sitha sudah tidak memikirkan rasa malu lagi, dia ingin tahu apakah tebakannya benar atau tidak. “Sudah ada hasilnya?” Suara Shita terdengar setengah berteriak dari luar kamar mandi, Jaima tersentak dan kembali pada sadarnya. Dia menggenggam beberapa alat tes kehamilan yang sudah memunculkan hasil. Dia belum berani melihatnya, entah kenapa ada perasaan takut yang mendadak menyelimutinya. Semua pikiran buruk mulai melintas satu-satu. “Ma, ayo lihat bareng-bareng..” Sitha merengek dari luar kamar mandi, berharap sahabatnya itu mendengar dan menuruti keinginannya. Makanan yang dia beli sudah tidak tersentuh, dingin diatas meja. Nafsu makannya sudah hilang begitu saja. Perlahan Jaima keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat, Sitha yang sedari tadi
Jaima bisa merasakan tatapan telisik milik Arianti, asisten pribadi Hasbi yang berdiri di samping pria itu. Pria itu datang dengan beberapa orang yang disebut sebagai ‘donatur’ oleh si perawat, tidak lupa beberapa wartawan hadir disana untuk meliput kegiatan tersebut.“Ini putri ibu Garini, mbak Jaima.” Perawat itu memperkenalkan Jaima dengan ceria pada orang-orang tersebut yang kemudian mengulurkan tangan, bersalaman dengan Jaima.“Saya dengar ibu anda harus menjalani perawatan intensif untuk mmendapatkan pengobatan lebih lanjut setelah kondisinya yang memburuk?” Salah satu donatur itu bertanya pada Jaima, dia menatap seolah-olah peduli dengan kesehatan para orangtua disana.“Ah, ya.. Itu yang saya dengar..” Jaima menjawab dengan kikuk, terlebih lagi dia tengah menahan keinginannya untuk memuntahkan isi perutnya. E
Hasbi masih melempar pandangannya jauh keluar jendela mobil. Apa yang baru saja terjadi membuatnya resah, dia bahkan tidak bisa bereaksi sebagaimana mestinya.Sebagaimana mestinya?Memangnya Hasbi harus bereaksi apa ketika dia mendengar seorang wanita yang bahkan dia tidak tahu namanya dan hanya dia ingat wajah serta bagaimana wanita itu di ranjang saat dia gauli dalam keadaan mabuk tengah mengandung anaknya?“Siapa nama wanita tadi?” Hasbi bersuara, bertanya pada Arianti yang duduk di depan sebelah supir.“Jaima tuan muda, Jaima Lalitha.”“Jaima…Dia bekerja?”Arianti melirik dengan ujung matanya, mencoba menerka kenapa Hasbi ber
“Apa kamu sendiri tidak yakin itu anak dari CEO kami?” Arianti menutup ponsel lipatnya dan kini beralih pada Jaima yang tengah duduk di sofa ruang tamu kontrakannya.Dia terkejut karena tiba-tiba Arianti datang ke kontrakannya di malam hari, lebih terkejut karena Arianti tahu dimana dia tinggal. Jaima kini menatap wanita itu, semua kalimat yang keluar dair mulutnya penuh dengan keangkuhan juga mengecilkan pihak lawan bicara.“Itu bukan urusan anda, ini janin saya. Tidak ada urusan dengan keluarga Mahatma.”“Saya juga inginnya begitu, tapi tuan muda tetap ingin tahu.” Arianti menyela sebelum Jaima mengucapkan sepatah kata lainnya. Dia menyisiri rumah kontrakan kecil namun rapi itu, perabotan dengan warna kayu cantik juga ruangan yang wangi.
Para Asisten Rumah Tangga berdiri di depan sebuah pintu kamar tinggi yang tertutup rapat, wajah mereka menegang ketakutan. Enam orang berdiri disana tanpa satupun yang berani membuka pintu kamar itu, teriakan dan suara pecahan barang terdengar dari dalam.“Minggir!” Hardikan itu sukses membuat enam orang itu menyingkir dari sana, seorang lelaki tua dengan perawakan tinggi besar dan nampak berwibawa itu kini menguarkan aura mengerikan. Dia membuka pintu dan mendapati kamar anak perempuannya telah porak poranda.“Naya! Hentikan!”“AAAGHHHH! AGHHHHHHHH!” Wanita itu, yang mengenakkan setelan rapi berwarna putih -yang kini telah terlihat sangat berantakan- tengah melempar beberapa botol minuman dan juga vas bunga ke lantai dengan membabi buta. Dia menjerit sambil menangis.
“Kenapa kamu dengan seenaknya menyelenggarakan pernikahan sedangkan aku tidak sudi melakukan hal itu?” Jaima menatap penuh amarah kepada Hasbi, matanya memerah dan dia sudah hampir menangis. Rasa mual yang mendera juga kepalanya yang pusing berputar itu membuatnya hampir ambruk ke sekian kalinya. Dia kini tengah duduk dengan tangan yang diinfus, Hasbi meminta dokter keluarga datang untuk merawatnya di kamar hotel ini.“Kamu harus menikah denganku.” Hasbi menjawab dengan enteng.“Aku tidak akan meminta apa-apa padamu untuk kesejahteraan anak ini.”“Tidak, aku tidak akan membiarkanmu pergi membawa anak ini dan hidup dengan penderitaan. Dia keturunan keluarga Mahatma.”Jaima menggigit bibirnya, dia memang tidak punya kepercayaan diri untuk membiayai anak ini dengan layak. Dia selalu berusaha mengundur lagi dan lagi jadwal ke dokter kandungan karena rasa takut kehilangan.“Bagaimana kalau kita gugurkan saja?”Pertanyaan itu sontak membuat Hasbi, Arianti dan juga dokter yang ada di ruangan
Jaima menoleh ke kanan dan ke kiri, beberapa hari semenjak kedatangannya di hotel dan pecah berita mengenai dia sebagai selingkuhan CEO keluarga Mahatma Group naik di udara dia tidak pernah sekalipun melangkahkan kakinya keluar. Dia terkukung di dalam hotel, segala yang dia perlukan disediakan dengan baik terutama baju ganti serta dokter.Kehamilannya membuat dia tidak berhenti muntah, dia bahkan tidak bisa duduk sehingga dokter dua puluh empat jam bersama dengan dirinya di hotel tersebut. Si CEO menyewa satu lantai hanya untuk kenyamanan Jaima juga proteksi kalau-kalau ada reporter yang mengendus keberadaannya.Dan sekarang, Jaima berada di sebuah rumah dengan keagungan yang luar biasa. Dari gerbang depan saja Jaima sudah dibuat terpesona. Rumah ini seperti yang sering dia tonton di televisi tentang orang kaya raya.
“SIALAN!” Tanaya memekik dengan kencang, urat-urat di sekitar lehernya mulai tampak sehingga membuat wajahnya bak kepiting kukus.“Naya! Tenang dulu nak!” Sadik turut memekik, kini memeluk buah hatinya dengan erat.“Mas, astaga! Kenapa kamu menyetujui pernikahan itu? Kenapa kamu menyetujui tawaran keluarga Mahatma? Ini membuat keluarga besarmu malu mas, bagaimana dengan JUNIAR Group?” Rani, ibu Tanaya mengoceh sambil memeluk Tanaya. Mencoba menenangkan anak bungsunya itu yang kini menangis meraung-raung.“Dengar dulu, biar papa jelaskan Naya.. Izinkan papa jelaskan dulu..”Tanaya menoleh dengan jangan berantakan, airmata dan juga air liurnya menjadi satu. “Apa yang mau papa jelaskan? Papa membuat aku malu! Papa bahkan
Tanaya turun dari mobil mewah tepat di depan kantornya, semua mata langsung tertuju ke arahnya. Beberapa karyawan terkejut karena setelah absen begitu lama pada akhirnya wanita itu kembali datang ke kantor, beberapa lainnya merasa hal itu sudah bisa ditebak.Post-broken heart katanya memakan waktu dua tiga bulan.“Dia terlihat begitu kurus.”“Wajar saja, tunangannya selama delapan tahun meninggalkannya demi perempuan lain.”Desas desus mengenai kondisinya sudah menyebar ke seluruh bagian kantor, Tanaya tersenyum puas di dalam hati. Itulah yang dia inginkan, semua perhatian dan juga tanggapan banyak orang mengenai dirinya setelah Hasbi melangsungkan pernikahan.
Lisa Sarkara Mahatma.Namanya menjadi bahan perbincangan di berbagai media ketika usianya baru menginjak dua puluh tahun, keluarganya begitu dikenal sebagai konglomerat urutan ketiga di Indonesia. Ketika itu Lisa ditunjuk sebagai penerus Mahatma Group, ayahnya meninggal karena sakit jantung dan meninggalkan wasiat bahkan sebelum kematian menjelang. Dari enam anak, lima anak laki-laki dan satu anak perempuan, pemimpin Mahatma Group mewariskan seluruh perusahaannya pada si anak perempuan.Hal itu menjadi perbincangan serius. Patriarki tidak pernah luput dimanapun berada begitu juga di Indonesia, banyak orang menyayangkan keputusan Almarhum untuk memberikan wewenang sebesar itu pada seorang perempuan.“Apa-apaan? Kita harus menuruti keputusan seorang anak berusia dua puluh tahun?”
Keningnya berkerut, kedua alisnya saling bertaut, mata Hasbi tidak lepas dari Jaima yang kini tengah tertidur tepat di sampingnya. Setelah keadaan canggung karena piyama Jaima tembus pandang, Hasbi berusaha untuk mengendalikan apa yang ada di dalam pikirannya namun wanita yang tengah hamil delapan bulan ini malah tertidur dengan santai di sampingnya.Hasbi tidak habis pikir, sesekali wanita ini terlihat mengigau atau sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Dia teringat ucapan dokter kandungan yang mengatakan usia kehamilan yang semakin tua akan membuat si ibu mengalami susah tidur.“Aku gak yakin manusia ini susah tidur..” Dia bergumam.Pagi sudah menjelang, Hasbi mengelus tengkuknya. Baguslah, setidaknya dia dan Jaima sudah menghabiskan malam bersama meskipun dia sama sekali tidak bisa memejamkan mata
“Tanaya?”Wanita itu merangsek masuk ke dalam dan segera memeluk Noah yang masih terdiam karena tidak berpikir akan melihat Tanaya ada disana. Wanita itu menangis tersedu di dalam pelukannya membuat Noah kebingungan.Noah membiarkan Tanaya menangis beberapa saat, kini tangis wanita itu telah berhenti dan Noah menyodorkan coklat panas padanya. Wanita itu masih mengenakkan pakaian kantor, rambutnya tergerai indah seperti biasa, aroma parfume yang dia kenakan masih sama seperti dalam ingatan Noah.“Ada apa?” Noah mulai bertanya, dia duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Tanaya.Wanita itu menyesap coklat hangat di dalam mug berwarna putih, rasa hangat langsung menjalari kerongkongannya. Dia mengelap airmata yang masih tersisa di pipinya.
Mata Hasbi tengah mengekori Jaima yang baru saja masuk ke dalam rumah, melirik ke arah jam tangan waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Hasbi meminta Imas membatalkan kedatangan Jaima ke acara pesta hari ini, setelah mengadakan rapat dengan tim legal hari ini, dia memutuskan untuk mengecualikan Jaima di beberapa acara untuk tidak menarik perhatian publik lebih lanjut.Untuk sementara saja.“Kalian tidak memiliki ide yang jauh lebih baik?” Hasbi menatap ketiga orang team legalnya yang kini menunduk jauh lebih dalam di depannya.“Itu yang paling terbaik tuan, publik harus tahu kalau pernikahan kalian memang berdasarkan hubungan terlarang bukan dari-maaf, cinta satu malam.” Takut-takut salah satu dar
Noah melambaikan tangannya pada mobil yang menjauh, dia melirik ke arah tangan kanannya yang tidak berhenti melambai. Dia menaikkan kedua bahunya, setiap kali dia bertemu dengan wanita bernama Jaima itu ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya.Rasa simpati.Entah karena Jaima dari kalangan orang biasa seperti Almarhumah ibunya atau ada hal lain yang membuat rasa simpati itu menyeruak di dalam dadanya dan enggan pergi begitu saja. Isi kepalanya di penuhi dengan ekspresi wanita itu, rasa sakit yang sedikitnya bisa Noah rasakan.Dia menghela napas, menyusuri jalanan panti jompo yang mulai sepi dan remang-remang. Semilir angin malam terasa begitu sejuk alih-alih dingin, dia menyukai suasana disini. Pandangannya bertumpu pada gedung panti jompo yang berdiri kokoh.
“Terima kasih..” Jaima tersenyum lebar, kedua tangannya meraih cangkir yang diberikan oleh Noah. Mereka tengah berada di Green House tidak jauh dari gedung panti jompo, biasanya Green House ini dipakai untuk beberapa keluarga yang berkunjung menikmati hari.Noah menatap Jaima yang sekarang tengah menyesap teh di cangkir porselen cantik itu, matanya menyisiri setiap lekuk wajah Jaima.Benar seperti yang orang-orang bilang, wanita ini terlihat cantik. Ketika berita mengenai Hasbi dan Jaima menikah mencuat, semua orang dari kalangan konglomerat mulai membicarakannya karena mereka tidak mengira kalau wanita yang menjadi selingkuhan Hasbi adalah wanita yang cantik.
Noah membaca setiap baris kalimat di buku yang tengah dia pegang, buku ini baru ia beli beberapa hari lalu sesampainya di Indonesia. Dia suka menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan membaca, semilir angin memainkan rambut berwarna kuning pucat miliknya yang sudah panjang.Beberapa perawat berlalu lalang sambil membawa para lansia yang mereka urus melewati Noah, para perawat tua maupun muda mencuri-curi pandang padanya. Mereka tidak ingin melewatkan satupun kesempatan menikmati ciptaan Tuhan yang begitu sempurna,Mata yang teduh, bulu mata yang lentik, bibir yang penuh, rahang tegas serta hidung yang panjang. Kakinya yang jenjang menambah poin baru dalam kesempurnaan seorang Noah Sadawira.“Noah, kenapa tidak memberi kabar kalau mau kesini?” Suara itu menginterupsi kegiatannya, menoleh ke asal suara bu
Mobil Hasbi berhenti tepat di depan pintu utama gedung perusahaan miliknya. Gedung tinggi dengan lima belas lantai itu menjulang dengan gagah, tulisan MAHATMA terpampang besar disana. Para satpam dan beberapa karyawan yang lewat menundukkan kepala, menghormatinya.Dia berjalan bersama si asisten pribadi di sebelahnya juga beberapa penjaga, masuk ke dalam perusahaan dia menggunakan lift yang memang dibuat khusus untuk para petinggi saja.Kantornya berada di lantai dua, ruangan miliknya ada disana dengan asisten pribadi dan ruang rapat direksi. Tidak ada lagi. Karyawan sembarangan tidak diperbolehkan masuk, akses lantai dua hanya dimiliki oleh beberapa orang tertentu saja.“Hari ini tuan ada rapat sampai pukul dua siang dan menghadiri undangan pernikahan putri dari Nyonya Rika Ageng.” Arianti membacakan ja