Hasbi masih melempar pandangannya jauh keluar jendela mobil. Apa yang baru saja terjadi membuatnya resah, dia bahkan tidak bisa bereaksi sebagaimana mestinya.
Sebagaimana mestinya?
Memangnya Hasbi harus bereaksi apa ketika dia mendengar seorang wanita yang bahkan dia tidak tahu namanya dan hanya dia ingat wajah serta bagaimana wanita itu di ranjang saat dia gauli dalam keadaan mabuk tengah mengandung anaknya?
“Siapa nama wanita tadi?” Hasbi bersuara, bertanya pada Arianti yang duduk di depan sebelah supir.
“Jaima tuan muda, Jaima Lalitha.”
“Jaima…Dia bekerja?”
Arianti melirik dengan ujung matanya, mencoba menerka kenapa Hasbi bertanya ini dan itu mengenai Jaima. Namun, dia masih tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan profesional.
“Jaima hanya bekerja paruh waktu, sejak Sekolah Menengah Atas dia tidak pernah sekalipun bekerja tetap di sebuah perusahaan. Dikarenakan kondisi ibunya, tidak memungkinkan dia mendapatkan pekerjaan tetap.”
Hasbi mengangguk mendengar penjelasan Arianti.
“Kamu sepertinya sudah mencari tahu tentang dia sebelumnya.”
Arianti terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, “Wanita itu menolak memberikan nomor rekening sesaat setelah peristiwa malam lalu.. Saya harus menyelidikinya terlebih dahulu sebelum sesuatu terjadi.”
“Nyatanya sesuatu telah terjadi.” Hasbi menimpali, dia menghela napas.
Menyandarkan punggungnya ke kursi penumpang dia memainkan cincin di jari manisnya. Cincin itu bertengger lama disana, sudah delapan tahun.
Pertunangan dengan kekasihnya itu jauh lebih lama dari masa pacaran mereka. Tanaya Juhara, putri kedua dari keluarga Juniar Group. Perusahaan yang bergerak di bidang Pertambangan serta Agribisnis dan Pangan. Pertemuan mereka karena perjodohan, namun siapa sangka kalau Hasbi benar-benar jatuh cinta pada Tanaya.
“Apa yang saya harus lakukan pada wanita itu?” Pertanyaan Arianti membuat Hasbi kembali pada sadarnya, dia menghela napas sekali lagi dan berhenti memainkan cincin di jari manisnya.
“Berikan dia uang untuk menafkahi anaknya.”
Arianti menoleh dengan wajah terkejut, kedua alisnya bertautan dan mulutnya terbuka sedikit.
“Menafkahi?”
Hasbi mengangguk, “Ya, cari tahu terlebih dahulu apakah anak itu benar anakku. Kalau benar, berikan hidup yang layak pada anak itu. Aku gak mau anak itu menjadi gelandangan.”
“Tapi tuan muda..”
“Cari tahu saja. Urusan nanti bisa belakangan, aku gak mau mempersulit siapapun. Kau tahu kalau paman Rohan sedang mencalonkan bupati ‘kan? Ibu cerewet untukku menjaga sikap sampai paman menjadi bupati, dia tidak ingin nama keluarga Mahatma tercoreng sedikitpun.”
Arianti tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya diam sampai mobil berhenti di depan teras rumah keluarga Mahatma.
“Kok tumben kamu pulang cepat?”
Hasbi masuk ke dalam ruang baca milik ibunya, wanita tua yang wajahnya masih terlihat segar meskipun rambutnya sudah beruban separuh. Wanita paling tangguh untuk Hasbi setelah kepergian ayahnya.
Hasbi mencium pipi ibunya dengan lembut.
“Mama sudah makan?”
Ibunya mengangguk, Lisa namanya.
“Naya kesini tadi, ajak ibu makan bareng.” Ucapnya dengan sumringah, dia menutup buku tebal yang dibaca sejak tadi. Menatap Hasbi, putra tunggalnya dengan senyum lebar. “Jadi kapan kamu mau meminta Naya menikah?”
Pertanyaan yang Hasbi tahu pasti akan dikeluarkan setelah ibunya bertemu dengan Tanaya.
“Hasbi juga gak tahu Ma..” Ujarnya getir, lagi-lagi memainkan cincin di jari manisnya.
“Kok gak tahu? Kalian sudah bertunangan selama delapan tahun Bi.. Sudah saatnya sekarang meminta Naya untuk menikah.”
“Bukan Hasbi yang gak mau Ma, tapi Naya…”
Lisa mengerenyit, “Kenapa?”
Hasbi mengangkat kedua bahunya, “Naya selalu minta untuk menunggu, Hasbi juga gak tahu harus menunggu apa.. Ini sudah delapan tahun Hasbi diminta menunggu..”
Lisa menghela napas, jujur saja, kalau Tanaya bukan anak dari keluarga Juniar Group dia akan meminta Hasbi untuk membatalkan pertunangan dengan segera. Tanaya mengulur waktu untuk melakukan pernikahan baginya mencoreng harga diri keluarga Mahatma.
“Kamu harus memberikan dia ultimatum.”
“Dengan mengorbankan semua kontrak yang sudah berjalan?”
“Hasbi..”
Pria itu tersenyum lebar dan mendekat ke arah ibunya, “Aku akan bicarakan lagi pada Naya, aku juga ingin membangun rumah tangga dengannya ma.. Terlebih lagi, aku ingin punya anak..”
“Kamu harus punya anak, perusahaan ini harus punya penerus.”
Hasbi tersenyum kecil dan beranjak pergi dari ruang baca ibunya.
Dia tidak yakin, kalau Tanaya masih terus-terusan mengulur pernikahan mereka keinginan Hasbi untuk memiliki seorang anak akan semakin kecil. Dia suka anak-anak, dia ingin membangun keluarga kecilnya sendiri. Usianya semakin lama semakin bertambah.
Ponselnya berdering.
“Ya?”
“Tuan muda, saya sudah bertemu dengan Nona Jaima. Tapi dia masih menolak untuk pergi ke dokter kandungan dan mengecek janinnya, permintaan saya mengenai uang nafkah juga tidak dia terima.”
Hasbi menghela napas.
“Jadwalkan saya bertemu langsung dengannya.”
Arianti tidak menjawab.
“Rianti?”
“Baik tuan muda, akan saya sampaikan.”
Telepon terputus.
Wanita itu tidak mau menerima uang yang ditawarkan untuk menafkahi anaknya, lalu apa maunya?
Hasbi merebahkan dirinya diatas kasur, isi kepalanya pergi jauh ke saat dia bergumul dengan wanita itu. Jaima. Di tengah pergumulan dia merasa tersadar, mabuknya menghilang secara mendadak ketika bibirnya bertautan dengan Jaima. Namun nafsunya sudah begitu naik ketika melihat tubuh molek wanita itu, semakin Jaima menolak dan menangis semakin dia merasa terangsang sehingga pergumulan itu menggila dan dia tidak bisa menghentikannya.
“Ah sialan, kenapa aku jadi terangsang karena perempuan itu?” Rutuknya kesal, dia mengambil remote TV dan memencet tombolnya. Kemudian berita itu masuk dan wajahnya menegang.
PUTRA TUNGGAL MAHATMA GROUP MEMILIKI SIMPANAN YANG KINI TENGAH HAMIL.
“Apa kamu sendiri tidak yakin itu anak dari CEO kami?” Arianti menutup ponsel lipatnya dan kini beralih pada Jaima yang tengah duduk di sofa ruang tamu kontrakannya.Dia terkejut karena tiba-tiba Arianti datang ke kontrakannya di malam hari, lebih terkejut karena Arianti tahu dimana dia tinggal. Jaima kini menatap wanita itu, semua kalimat yang keluar dair mulutnya penuh dengan keangkuhan juga mengecilkan pihak lawan bicara.“Itu bukan urusan anda, ini janin saya. Tidak ada urusan dengan keluarga Mahatma.”“Saya juga inginnya begitu, tapi tuan muda tetap ingin tahu.” Arianti menyela sebelum Jaima mengucapkan sepatah kata lainnya. Dia menyisiri rumah kontrakan kecil namun rapi itu, perabotan dengan warna kayu cantik juga ruangan yang wangi.
Para Asisten Rumah Tangga berdiri di depan sebuah pintu kamar tinggi yang tertutup rapat, wajah mereka menegang ketakutan. Enam orang berdiri disana tanpa satupun yang berani membuka pintu kamar itu, teriakan dan suara pecahan barang terdengar dari dalam.“Minggir!” Hardikan itu sukses membuat enam orang itu menyingkir dari sana, seorang lelaki tua dengan perawakan tinggi besar dan nampak berwibawa itu kini menguarkan aura mengerikan. Dia membuka pintu dan mendapati kamar anak perempuannya telah porak poranda.“Naya! Hentikan!”“AAAGHHHH! AGHHHHHHHH!” Wanita itu, yang mengenakkan setelan rapi berwarna putih -yang kini telah terlihat sangat berantakan- tengah melempar beberapa botol minuman dan juga vas bunga ke lantai dengan membabi buta. Dia menjerit sambil menangis.
“Kenapa kamu dengan seenaknya menyelenggarakan pernikahan sedangkan aku tidak sudi melakukan hal itu?” Jaima menatap penuh amarah kepada Hasbi, matanya memerah dan dia sudah hampir menangis. Rasa mual yang mendera juga kepalanya yang pusing berputar itu membuatnya hampir ambruk ke sekian kalinya. Dia kini tengah duduk dengan tangan yang diinfus, Hasbi meminta dokter keluarga datang untuk merawatnya di kamar hotel ini.“Kamu harus menikah denganku.” Hasbi menjawab dengan enteng.“Aku tidak akan meminta apa-apa padamu untuk kesejahteraan anak ini.”“Tidak, aku tidak akan membiarkanmu pergi membawa anak ini dan hidup dengan penderitaan. Dia keturunan keluarga Mahatma.”Jaima menggigit bibirnya, dia memang tidak punya kepercayaan diri untuk membiayai anak ini dengan layak. Dia selalu berusaha mengundur lagi dan lagi jadwal ke dokter kandungan karena rasa takut kehilangan.“Bagaimana kalau kita gugurkan saja?”Pertanyaan itu sontak membuat Hasbi, Arianti dan juga dokter yang ada di ruangan
Jaima menoleh ke kanan dan ke kiri, beberapa hari semenjak kedatangannya di hotel dan pecah berita mengenai dia sebagai selingkuhan CEO keluarga Mahatma Group naik di udara dia tidak pernah sekalipun melangkahkan kakinya keluar. Dia terkukung di dalam hotel, segala yang dia perlukan disediakan dengan baik terutama baju ganti serta dokter.Kehamilannya membuat dia tidak berhenti muntah, dia bahkan tidak bisa duduk sehingga dokter dua puluh empat jam bersama dengan dirinya di hotel tersebut. Si CEO menyewa satu lantai hanya untuk kenyamanan Jaima juga proteksi kalau-kalau ada reporter yang mengendus keberadaannya.Dan sekarang, Jaima berada di sebuah rumah dengan keagungan yang luar biasa. Dari gerbang depan saja Jaima sudah dibuat terpesona. Rumah ini seperti yang sering dia tonton di televisi tentang orang kaya raya.
“SIALAN!” Tanaya memekik dengan kencang, urat-urat di sekitar lehernya mulai tampak sehingga membuat wajahnya bak kepiting kukus.“Naya! Tenang dulu nak!” Sadik turut memekik, kini memeluk buah hatinya dengan erat.“Mas, astaga! Kenapa kamu menyetujui pernikahan itu? Kenapa kamu menyetujui tawaran keluarga Mahatma? Ini membuat keluarga besarmu malu mas, bagaimana dengan JUNIAR Group?” Rani, ibu Tanaya mengoceh sambil memeluk Tanaya. Mencoba menenangkan anak bungsunya itu yang kini menangis meraung-raung.“Dengar dulu, biar papa jelaskan Naya.. Izinkan papa jelaskan dulu..”Tanaya menoleh dengan jangan berantakan, airmata dan juga air liurnya menjadi satu. “Apa yang mau papa jelaskan? Papa membuat aku malu! Papa bahkan
Pernikahan yang sejak dulu selalu diimpikan Jaima kini terwujud, sayangnya, itu semua jauh dari apa yang dia dambakan. Pria yang bersanding dengannya bukanlah pria yang dia cintai, dia bahkan tidak mengenal pria itu secara utuh, keluarga besar pria itu menatapnya sinis sejak dia jalan menuju altar.Pria yang mendampinginya untuk berjalan ke altar bukanlah kerabatnya atau orang yang dia tunjuk, mereka hanya membayar orang yang tidak dikenal untuk melakukan hal itu.Bak sulap, dalam dua bulan persiapan pernikahan itu selesai begitu saja. Gedung yang sudah dipesan, gaun pengantin yang dibuat dengan cekatan, ketika Jaima keluar dari dalam kamar yang ada di rumah bak istana itu segalanya telah siap.“Ini pengantinnya..” Kata salah satu pembantu rumah tangga, mempapah Jaima masuk ke dalam sebuah ruangan dimana
“Kehamilannya bagus, adik bayi juga sehat ya. Bisa bapak dan ibu lihat ini adalah jari jemarinya, tangan kanan kiri, kaki kanan dan kiri semuanya sudah lengkap ada lima. Tempurung kepala oke, hidung, mata, bibir, dagu. Anus. Semuanya sudah terbentuk dengan bagus dan baik, usia kandungan enam bulan sesuai dengan volume air ketuban. Semuanya oke.”“Bagaimana dengan jenis kelaminnya, dok?” Tanya Hasbi dengan penuh antusias.“Selamat, bayi bapak dan ibu berjenis kelamin laki-laki.”Jaima masuk ke dalam mobil, disusul dengan Hasbi dari belakang.Empat bulan berlalu semenjak pernikahan megah mereka, hujatan demi hujatan semakin tajam menghujani Jaima setiap dia memiliki acara di depan publik.
“Nyonya, Nyonya Jaima..”Jaima membuka matanya ketika pendengarannya menangkap suara Imas dari luar pintu kamar. Dia terbangun lagi setelah sebelumnya terlelap ketika isi kepalanya menerawang jauh pergi menyusuri kenangan lama saat pertama kali masuk ke rumah ini.Dia menoleh, mengelus sekali lagi pipi Rama untuk memastikan si putra kecilnya masih terlelap.“Maaf ya, saya ketiduran lagi.” Kata Jaima, membuka pintu.Imas menatapnya sendu, bisa terlihat mata yang sembab, rambut yang berantakan menyambutnya di pagi ini. Majikannya meminta maaf padanya yang tidak sekalipun pernah dia dengar selama bertahun-tahun menjadi seorang asisten pribadi.“Nyonya, tidak perlu meminta maaf. Lagipula ini masih pu
Jaima kembali dengan kesibukannya, percakapannya dengan Hasbi terakhir adalah dua minggu lalu ketika dia meminta pengasuh untuk Rama. Tiga hari kemudian pengasuh itu datang, seorang wanita paruh baya yang suaranya begitu lembut.Imas bilang kalau ibu mertuanyalah yang memilihkan, dalam dua minggu terakhir sudah tiga kali Rama diasuh oleh si pengasuh dan semuanya berjalan dengan lancar. Si pengasuh meskipun sudah tua namun juga cekatan dalam urusan elektronik, dia tidak pernah absen mengirimkan kabar pada Jaima apa yang tengah Rama lakukan selama Jaima berada diluar.“Tuan Hasbi pulang ke apartemennya dengan nona Tanaya..” Kata Imas ketika Jaima bertanya.Jaima hanya mengangguk, berpura-pura mengerti meskipun perasaannya sakit.
“Apa maksudmu?” Tanaya mengerenyitkan dahinya, merasa tidak senang dengan apa yang baru saja dia dengar. Kedua tangannya saling menyilang di dada, kakinya bertumpu satu sama lain dan punggungnya bersadar di kursi.Dia menatap Noah dengan tatapan tidak percaya, sedangkan pria di depannya tengah menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan.“Aku sudah mengatakannya.”“Ulangi.”Noah menyimpan cangkir diatas meja, menatap balik Tanaya.“Aku tidak ingin campur lagi untuk mengambil Jaima dari sisi Hasbi.”“Jangan gila!” Tanaya berkata, dengan wajah serius.“Aku tidak ingin me
Seminggu berlalu semenjak kedatangan Tanaya ke Rumah Sakit dan membuat gaduh, percekcokan Hasbi dan Tanaya tidak berhenti disana. Setelah kepergian Tanaya dan kembali ke ruangan, Jaima bersikap seolah tidak terjadi apapun. Wanita itu tidak bertanya, Hasbi tidak menjelaskan apapun.Semuanya berlalu begitu saja untuknya dan Jaima.Sedangkan Tanaya masih terus menuntutnya untuk segera melepaskan Jaima setelah apa yang wanita itu katakan ketika Tanaya datang ke ruangan Rama. Tanaya merasa ucapan Jaima sudah sangat keterlaluan, Hasbi sendiri ingin Tanaya melupakan hal itu.Percekcokan demi percekcokan yang seperti tidak ada ujungnya.Dilain sisi, Rama sudah kembali ceria. Tawa dan celotehannya sudah mulai mengisi rumah, Jaima tidak memberitahu Hasbi kalau ibu mertuanya datang
“Tidak, dia bukan anakmu..”Tanaya menoleh bersamaan dengan Hasbi, Jaima menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia membuang muka dengan cepat sedangkan Imas meminta kedua orang itu keluar karena tangisan Rama yang begitu nyaring.Dada Jaima begitu kencang berdetak. Tangannya gemetar ketika dia memeluk Rama, menenangkan anak itu meskipun dirinya sendiri tidak merasa tenang.Kedua orang itu dengan jelas mendengarnya.Kalimat itu keluar begitu saja tanpa dia sadari ketika dia melihat Tanaya masuk ke dalam ruangan dan memanggil Rama, mengklaim bocah itu sebagai anaknya.“Nyonya..”“Mereka mendengarnya ‘kan? Mereka mendengar aku mengatakan hal itu?&r
Ini hari ketiga Rama ada di Rumah Sakit, kondisinya sudah jauh lebih baik. Anak-anak memang cepat pulih, dia sudah berteriak-teriak lagi dan tertawa lagi, sudah mulai mau makan namun susu lebih utama.Jaima menundukkan kepalanya, tenggorokannya terasa tercekat, dia bisa mendengar Rama berceloteh riang diatas tempat tidur. Anak itu mengeluarkan suara dengan kata-kata yang tidak bisa dimengerti, dia terdengar begitu senang.Namun dilain sisi, Jaima begitu tegang. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat.“Apa yang dokter bilang?” Suara si ibu mertua terdengar dari samping tempat tidur Rama, membuat bulu kuduk Jaima meremang.Dia tidak pernah berpikir kalau Lisa Sarkara akan mengunjungi Rama. Sejauh ini, tidak pernah sekalipun dia berpikir kalau ibu mertuanya menyuka
Hasbi mengambil selimut yang ada di dalam lemari di ruangan kamar VVIP rawat inap yang mereka tempati. Dia membawa selimut itu untuk menutupi badan Jaima, wanita itu tertidur setelah menangis cukup lama. Hasbi duduk di samping Jaima, menatap wajahnya.Wajah itulah yang membuatnya penasaran ketika pertama kali melihat di hotel, wajah yang masih terlihat sama meskipun dia sudah menjadi miliknya. Matanya terlihat begitu sembab dan memerah. Jari jemari Hasbi menyusuri wajah itu tanpa menyentuhnya, dia takut Jaima terbangun.“Maafkan aku..” Bisiknya perlahan.Dia meminta maaf untuk banyak hal, termasuk karena sudah tidak pulang ke rumah dan tidak memperhatikan wanita itu sama sekali. Perasaan Hasbi berantakan, namun dia tidak bisa meninggalkan Tanaya dan dia merasa sangat bersalah pada Jaima. Dia tidak ingin
Ini sudah seminggu semenjak terakhir Jaima melihat Hasbi. Entah kenapa pria itu selalu tidak pernah ada di rumah setelah kepulangannya terakhir bersama Tanaya.Jaima bertanya pada Imas apakah Hasbi mendatangi kamar Rama ketika dia tidak ada, tapi Imas bilang pria itu sama sekali tidak menghampirinya. Foto yang diunggah di sosial media Hasbi semuanya stok foto lama mereka. Jaima jadi bertanya-tanya apakah pria itu akan kembali fokus pada Tanaya?Jaima tidak masalah jika tidak diperhatikan, tapi, bukankah Rama perlu perhatiannya?Dia tidak mengerti dengan perubahan Hasbi yang terlalu mendadak.Jaima berjalan dari dalam kamarnya menuju kamar Rama, suasana rumah seperti biasa heningnya. Beberapa hari lalu ibu mertuanya pergi ke Guam untuk menghadiri sebuah acara, mertuanya a
“Semua yang harus aku tanda tangani sudah kulakukan, untuk pemberkasan pinjaman kemungkinan besar selain permintaan Mahatma yang lainnya akan kuserahkan pada bawahan lain.” Noah menatap layar laptopnya, dia tengah berada di hotel untuk beberapa hari ke depan karena Piacevole tengah membuka toko baru.Toko perhiasan yang sudah ditunggu oleh orang-orang Indonesia itu akhirnya menandatangani kesepakatan dengan Piacevole.Dia melakukan rapat daring dengan beberapa bawahan serta sang kakek.Permasalahan di dalam BMG benar-benar membuat seluruh orang fokus pada BANK terlebih dahulu, rayap-rayap yang diduga ada di dalam lebih dari lima orang di beberapa cabang. Mereka tengah mengumpulkan bukti apakah Mahatma terkait dengan hal itu atau tidak.“Bagaimana dengan
Hasbi menatap ponselnya sekali lagi, siang ini ketika dia keluar dari kamar bersama Tanaya dia tidak menemukan Jaima dimanapun. Arianti memberitahunya kalau wanita itu tengah menghadiri acara sosial di Piacevole.Tidak ada pesan dari Jaima yang memberitahukan kalau wanita itu membawa Rama bersamanya. Biasanya wanita itu akan menghubunginya untuk meminta bantuan menjaga si kecil karena dia harus menghadiri acara sosial.Hasbi menghela napas.Wanita itu mungkin sudah tahu kalau malam tadi Hasbi menghabiskannya bersama Tanaya.Dia memijat keningnya sekarang, rasa bersalah kembali menjalar di dalam dadanya.Apakah dia seharusnya meminta maaf?“Ah, sialan.. Kenapa juga aku harus minta maaf?” Tanpa sadar dia menggumamkan kalimat itu, membuat Arianti menoleh.“Maksud tuan muda?”Hasbi menggeleng pelan, mengalihkan wajahnya karena merasa sudah melakukan hal bodoh. Dia terlalu khawatir sampai semua yang dia pikirkan tidak sengaja keluar dari mulutnya begitu saja.“Apa…” Hasbi menjeda kalimatny