“Tidak, dia bukan anakmu..”
Tanaya menoleh bersamaan dengan Hasbi, Jaima menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia membuang muka dengan cepat sedangkan Imas meminta kedua orang itu keluar karena tangisan Rama yang begitu nyaring.
Dada Jaima begitu kencang berdetak. Tangannya gemetar ketika dia memeluk Rama, menenangkan anak itu meskipun dirinya sendiri tidak merasa tenang.
Kedua orang itu dengan jelas mendengarnya.
Kalimat itu keluar begitu saja tanpa dia sadari ketika dia melihat Tanaya masuk ke dalam ruangan dan memanggil Rama, mengklaim bocah itu sebagai anaknya.
“Nyonya..”
“Mereka mendengarnya ‘kan? Mereka mendengar aku mengatakan hal itu?&r
Seminggu berlalu semenjak kedatangan Tanaya ke Rumah Sakit dan membuat gaduh, percekcokan Hasbi dan Tanaya tidak berhenti disana. Setelah kepergian Tanaya dan kembali ke ruangan, Jaima bersikap seolah tidak terjadi apapun. Wanita itu tidak bertanya, Hasbi tidak menjelaskan apapun.Semuanya berlalu begitu saja untuknya dan Jaima.Sedangkan Tanaya masih terus menuntutnya untuk segera melepaskan Jaima setelah apa yang wanita itu katakan ketika Tanaya datang ke ruangan Rama. Tanaya merasa ucapan Jaima sudah sangat keterlaluan, Hasbi sendiri ingin Tanaya melupakan hal itu.Percekcokan demi percekcokan yang seperti tidak ada ujungnya.Dilain sisi, Rama sudah kembali ceria. Tawa dan celotehannya sudah mulai mengisi rumah, Jaima tidak memberitahu Hasbi kalau ibu mertuanya datang
“Apa maksudmu?” Tanaya mengerenyitkan dahinya, merasa tidak senang dengan apa yang baru saja dia dengar. Kedua tangannya saling menyilang di dada, kakinya bertumpu satu sama lain dan punggungnya bersadar di kursi.Dia menatap Noah dengan tatapan tidak percaya, sedangkan pria di depannya tengah menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan.“Aku sudah mengatakannya.”“Ulangi.”Noah menyimpan cangkir diatas meja, menatap balik Tanaya.“Aku tidak ingin campur lagi untuk mengambil Jaima dari sisi Hasbi.”“Jangan gila!” Tanaya berkata, dengan wajah serius.“Aku tidak ingin me
Jaima kembali dengan kesibukannya, percakapannya dengan Hasbi terakhir adalah dua minggu lalu ketika dia meminta pengasuh untuk Rama. Tiga hari kemudian pengasuh itu datang, seorang wanita paruh baya yang suaranya begitu lembut.Imas bilang kalau ibu mertuanyalah yang memilihkan, dalam dua minggu terakhir sudah tiga kali Rama diasuh oleh si pengasuh dan semuanya berjalan dengan lancar. Si pengasuh meskipun sudah tua namun juga cekatan dalam urusan elektronik, dia tidak pernah absen mengirimkan kabar pada Jaima apa yang tengah Rama lakukan selama Jaima berada diluar.“Tuan Hasbi pulang ke apartemennya dengan nona Tanaya..” Kata Imas ketika Jaima bertanya.Jaima hanya mengangguk, berpura-pura mengerti meskipun perasaannya sakit.
“JAIMA!” Pekikan nyaring itu menyambut Jaima ketika dia baru saja masuk ke dalam rumah, Rama yang tengah berada di dalam pelukannya terlonjak kaget dan menangis dengan kencang. Tubuh Jaima bereaksi, dia gemetaran.“BERLAGAK SEPERTI NYONYA BESAR KAMU RUPANYA!” Seorang wanita paruh baya turun dari tangga, dia menatap Jaima dengan mata melotot serta sinis, bibir dengan gincu merahnya menambah kengerian.Jaima menunduk, dia berusaha menenangkan Rama yang menangis kencang di dalam pelukannya, juga berusaha untuk merespon si wanita paruh baya itu.“Saya dengar kamu meminum teh mahal di tempat kesukaan saya bersama dengan seorang rakyat jelata?!”“Maafkan saya, Ma.”“SAYA SUDAH BERULANG KALI MENGATAKAN PADAMU UNTUK TIDAK MEMANGGIL SAYA MAMA KECUALI BERADA DI DEPAN PUBLIK!”Hardikan itu kembali membuat Jaima bergetar, suara tangisan Rama memecah konsentrasinya. Dia ingin segera masuk ke dalam kamar dan berduaan dengan anak semata wayangnya. Dia tidak ingin mendengar jeritan sekarang.“SAYA BER
Jaima membuka kedua matanya, dia mendapati Rama berada di sampingnya. Anak itu tertidur dengan pulas, pakaian pergi semalam sudah berganti dengan pakaian tidur lucu, wajahnya begitu tenang. Dia mendekat pada Rama dan mengelus lembut pipi anak itu.Si kecil Rama adalah alasan kenapa dia pada akhirnya berada di rumah ini, pikirannya pergi jauh ke saat dimana dia dan Hasbi pertama kali bertemu.SATU SETENGAH TAHUN LALU.“AKKKKK!” Suara pekikan itu terdengar begitu nyaring, suaranya bercampur antara suara seorang wanita dan pria. Kamar hotel bintang lima itu memiliki kualitas kedap suara di dalam kamar dan tidak perlu diragukan lagi, apapun yang terjadi di dalam kamar tidak akan pernah terdengar aktivitasnya sampai keluar lorong.Keduanya saling menatap dengan terkejut, masing-masing memakai selimut untuk menutupi bagian tubuh mereka.“K-kamu siapa?!” Pria itu tergagap melihat wanita muda di depannya tanpa busana, wanita yang sama sekali tidak dia kenal.“Saya…” Belum sempat wanita itu me
Pertanyaan Sitha membawa Jaima berada di dalam kamar mandi dengan beberapa merk alat tes kehamilan di tangannya. Sahabatnya itu bergegas pergi bahkan sebelum Jaima menjawab, dia pergi ke apotek dan membeli banyak sekali alat tes kehamilan. Sitha sudah tidak memikirkan rasa malu lagi, dia ingin tahu apakah tebakannya benar atau tidak. “Sudah ada hasilnya?” Suara Shita terdengar setengah berteriak dari luar kamar mandi, Jaima tersentak dan kembali pada sadarnya. Dia menggenggam beberapa alat tes kehamilan yang sudah memunculkan hasil. Dia belum berani melihatnya, entah kenapa ada perasaan takut yang mendadak menyelimutinya. Semua pikiran buruk mulai melintas satu-satu. “Ma, ayo lihat bareng-bareng..” Sitha merengek dari luar kamar mandi, berharap sahabatnya itu mendengar dan menuruti keinginannya. Makanan yang dia beli sudah tidak tersentuh, dingin diatas meja. Nafsu makannya sudah hilang begitu saja. Perlahan Jaima keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat, Sitha yang sedari tadi
Jaima bisa merasakan tatapan telisik milik Arianti, asisten pribadi Hasbi yang berdiri di samping pria itu. Pria itu datang dengan beberapa orang yang disebut sebagai ‘donatur’ oleh si perawat, tidak lupa beberapa wartawan hadir disana untuk meliput kegiatan tersebut.“Ini putri ibu Garini, mbak Jaima.” Perawat itu memperkenalkan Jaima dengan ceria pada orang-orang tersebut yang kemudian mengulurkan tangan, bersalaman dengan Jaima.“Saya dengar ibu anda harus menjalani perawatan intensif untuk mmendapatkan pengobatan lebih lanjut setelah kondisinya yang memburuk?” Salah satu donatur itu bertanya pada Jaima, dia menatap seolah-olah peduli dengan kesehatan para orangtua disana.“Ah, ya.. Itu yang saya dengar..” Jaima menjawab dengan kikuk, terlebih lagi dia tengah menahan keinginannya untuk memuntahkan isi perutnya. E
Hasbi masih melempar pandangannya jauh keluar jendela mobil. Apa yang baru saja terjadi membuatnya resah, dia bahkan tidak bisa bereaksi sebagaimana mestinya.Sebagaimana mestinya?Memangnya Hasbi harus bereaksi apa ketika dia mendengar seorang wanita yang bahkan dia tidak tahu namanya dan hanya dia ingat wajah serta bagaimana wanita itu di ranjang saat dia gauli dalam keadaan mabuk tengah mengandung anaknya?“Siapa nama wanita tadi?” Hasbi bersuara, bertanya pada Arianti yang duduk di depan sebelah supir.“Jaima tuan muda, Jaima Lalitha.”“Jaima…Dia bekerja?”Arianti melirik dengan ujung matanya, mencoba menerka kenapa Hasbi ber
Jaima kembali dengan kesibukannya, percakapannya dengan Hasbi terakhir adalah dua minggu lalu ketika dia meminta pengasuh untuk Rama. Tiga hari kemudian pengasuh itu datang, seorang wanita paruh baya yang suaranya begitu lembut.Imas bilang kalau ibu mertuanyalah yang memilihkan, dalam dua minggu terakhir sudah tiga kali Rama diasuh oleh si pengasuh dan semuanya berjalan dengan lancar. Si pengasuh meskipun sudah tua namun juga cekatan dalam urusan elektronik, dia tidak pernah absen mengirimkan kabar pada Jaima apa yang tengah Rama lakukan selama Jaima berada diluar.“Tuan Hasbi pulang ke apartemennya dengan nona Tanaya..” Kata Imas ketika Jaima bertanya.Jaima hanya mengangguk, berpura-pura mengerti meskipun perasaannya sakit.
“Apa maksudmu?” Tanaya mengerenyitkan dahinya, merasa tidak senang dengan apa yang baru saja dia dengar. Kedua tangannya saling menyilang di dada, kakinya bertumpu satu sama lain dan punggungnya bersadar di kursi.Dia menatap Noah dengan tatapan tidak percaya, sedangkan pria di depannya tengah menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan.“Aku sudah mengatakannya.”“Ulangi.”Noah menyimpan cangkir diatas meja, menatap balik Tanaya.“Aku tidak ingin campur lagi untuk mengambil Jaima dari sisi Hasbi.”“Jangan gila!” Tanaya berkata, dengan wajah serius.“Aku tidak ingin me
Seminggu berlalu semenjak kedatangan Tanaya ke Rumah Sakit dan membuat gaduh, percekcokan Hasbi dan Tanaya tidak berhenti disana. Setelah kepergian Tanaya dan kembali ke ruangan, Jaima bersikap seolah tidak terjadi apapun. Wanita itu tidak bertanya, Hasbi tidak menjelaskan apapun.Semuanya berlalu begitu saja untuknya dan Jaima.Sedangkan Tanaya masih terus menuntutnya untuk segera melepaskan Jaima setelah apa yang wanita itu katakan ketika Tanaya datang ke ruangan Rama. Tanaya merasa ucapan Jaima sudah sangat keterlaluan, Hasbi sendiri ingin Tanaya melupakan hal itu.Percekcokan demi percekcokan yang seperti tidak ada ujungnya.Dilain sisi, Rama sudah kembali ceria. Tawa dan celotehannya sudah mulai mengisi rumah, Jaima tidak memberitahu Hasbi kalau ibu mertuanya datang
“Tidak, dia bukan anakmu..”Tanaya menoleh bersamaan dengan Hasbi, Jaima menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia membuang muka dengan cepat sedangkan Imas meminta kedua orang itu keluar karena tangisan Rama yang begitu nyaring.Dada Jaima begitu kencang berdetak. Tangannya gemetar ketika dia memeluk Rama, menenangkan anak itu meskipun dirinya sendiri tidak merasa tenang.Kedua orang itu dengan jelas mendengarnya.Kalimat itu keluar begitu saja tanpa dia sadari ketika dia melihat Tanaya masuk ke dalam ruangan dan memanggil Rama, mengklaim bocah itu sebagai anaknya.“Nyonya..”“Mereka mendengarnya ‘kan? Mereka mendengar aku mengatakan hal itu?&r
Ini hari ketiga Rama ada di Rumah Sakit, kondisinya sudah jauh lebih baik. Anak-anak memang cepat pulih, dia sudah berteriak-teriak lagi dan tertawa lagi, sudah mulai mau makan namun susu lebih utama.Jaima menundukkan kepalanya, tenggorokannya terasa tercekat, dia bisa mendengar Rama berceloteh riang diatas tempat tidur. Anak itu mengeluarkan suara dengan kata-kata yang tidak bisa dimengerti, dia terdengar begitu senang.Namun dilain sisi, Jaima begitu tegang. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat.“Apa yang dokter bilang?” Suara si ibu mertua terdengar dari samping tempat tidur Rama, membuat bulu kuduk Jaima meremang.Dia tidak pernah berpikir kalau Lisa Sarkara akan mengunjungi Rama. Sejauh ini, tidak pernah sekalipun dia berpikir kalau ibu mertuanya menyuka
Hasbi mengambil selimut yang ada di dalam lemari di ruangan kamar VVIP rawat inap yang mereka tempati. Dia membawa selimut itu untuk menutupi badan Jaima, wanita itu tertidur setelah menangis cukup lama. Hasbi duduk di samping Jaima, menatap wajahnya.Wajah itulah yang membuatnya penasaran ketika pertama kali melihat di hotel, wajah yang masih terlihat sama meskipun dia sudah menjadi miliknya. Matanya terlihat begitu sembab dan memerah. Jari jemari Hasbi menyusuri wajah itu tanpa menyentuhnya, dia takut Jaima terbangun.“Maafkan aku..” Bisiknya perlahan.Dia meminta maaf untuk banyak hal, termasuk karena sudah tidak pulang ke rumah dan tidak memperhatikan wanita itu sama sekali. Perasaan Hasbi berantakan, namun dia tidak bisa meninggalkan Tanaya dan dia merasa sangat bersalah pada Jaima. Dia tidak ingin
Ini sudah seminggu semenjak terakhir Jaima melihat Hasbi. Entah kenapa pria itu selalu tidak pernah ada di rumah setelah kepulangannya terakhir bersama Tanaya.Jaima bertanya pada Imas apakah Hasbi mendatangi kamar Rama ketika dia tidak ada, tapi Imas bilang pria itu sama sekali tidak menghampirinya. Foto yang diunggah di sosial media Hasbi semuanya stok foto lama mereka. Jaima jadi bertanya-tanya apakah pria itu akan kembali fokus pada Tanaya?Jaima tidak masalah jika tidak diperhatikan, tapi, bukankah Rama perlu perhatiannya?Dia tidak mengerti dengan perubahan Hasbi yang terlalu mendadak.Jaima berjalan dari dalam kamarnya menuju kamar Rama, suasana rumah seperti biasa heningnya. Beberapa hari lalu ibu mertuanya pergi ke Guam untuk menghadiri sebuah acara, mertuanya a
“Semua yang harus aku tanda tangani sudah kulakukan, untuk pemberkasan pinjaman kemungkinan besar selain permintaan Mahatma yang lainnya akan kuserahkan pada bawahan lain.” Noah menatap layar laptopnya, dia tengah berada di hotel untuk beberapa hari ke depan karena Piacevole tengah membuka toko baru.Toko perhiasan yang sudah ditunggu oleh orang-orang Indonesia itu akhirnya menandatangani kesepakatan dengan Piacevole.Dia melakukan rapat daring dengan beberapa bawahan serta sang kakek.Permasalahan di dalam BMG benar-benar membuat seluruh orang fokus pada BANK terlebih dahulu, rayap-rayap yang diduga ada di dalam lebih dari lima orang di beberapa cabang. Mereka tengah mengumpulkan bukti apakah Mahatma terkait dengan hal itu atau tidak.“Bagaimana dengan
Hasbi menatap ponselnya sekali lagi, siang ini ketika dia keluar dari kamar bersama Tanaya dia tidak menemukan Jaima dimanapun. Arianti memberitahunya kalau wanita itu tengah menghadiri acara sosial di Piacevole.Tidak ada pesan dari Jaima yang memberitahukan kalau wanita itu membawa Rama bersamanya. Biasanya wanita itu akan menghubunginya untuk meminta bantuan menjaga si kecil karena dia harus menghadiri acara sosial.Hasbi menghela napas.Wanita itu mungkin sudah tahu kalau malam tadi Hasbi menghabiskannya bersama Tanaya.Dia memijat keningnya sekarang, rasa bersalah kembali menjalar di dalam dadanya.Apakah dia seharusnya meminta maaf?“Ah, sialan.. Kenapa juga aku harus minta maaf?” Tanpa sadar dia menggumamkan kalimat itu, membuat Arianti menoleh.“Maksud tuan muda?”Hasbi menggeleng pelan, mengalihkan wajahnya karena merasa sudah melakukan hal bodoh. Dia terlalu khawatir sampai semua yang dia pikirkan tidak sengaja keluar dari mulutnya begitu saja.“Apa…” Hasbi menjeda kalimatny