“Ma, Ma, Ima!” Suara melengking itu menyadarkan seorang wanita yang tengah terduduk mematung di sebuah kafe elite tengah kota, dia mengenakkan pakaian terusan berwarna putih. Jaima -Nama wanita itu- menoleh, mendapati seorang wanita dengan wajah tidak senang menatapnya.
“Astaga! Kamu ngomong apa tadi Tha? Aku lagi melamun.” Dia kemudian buru-buru menyimpan cangkir porselen ditangannya dan kini memfokuskan dirinya pada Sitha, sahabatnya sejak kecil.
Wanita itu merengut, Jaima tahu benar sahabatnya sudah tidak memiliki selera lagi untuk kembali mengangkat bahasan yang tadi tengah dia bicarakan. Jaima merasa tidak enak hati, dia kemudian menggenggam tangan Sitha. Sahabatnya kini menoleh.
“Kamu masih belum bisa berbaur sama keluarga Mahatma?”
Jaima terkesiap mendengar pertanyaan itu terlontar dari mulut Sitha, dia kemudian tersenyum sambil menggeleng pelan.
“Pernikahan kalian sudah memasuki usia satu tahun lebih Ma, lihat, Rama saja baru-baru ini berulang tahun ke satu tahun.”
Pandangan mereka beralih pada seorang anak laki-laki yang tengah terlelap di dalam stroller, hidungnya yang tinggi, dan alisnya yang bertaut tegas memperlihatkan jelas kalau dia adalah anak blasteran.
Kulitnya putih pucat dengan bibir merah yang padat.
“Wajahnya mirip suamimu…” Kata Sitha yang membuat Jaima mengangguk.
Sitha menghela napas, “Apa permasalahannya masih sama?”
Jaima tidak langsung menjawab, banyak pertimbangan ketika dia ingin mencurahkan semua isi hatinya pada Sitha. Terlebih, bodyguard keluarga Mahatma memenuhi setiap sudut kafe ini. Mereka diintai, bukan, lebih tepatnya Jaima.
“Aku gak apa-apa, aku harap begitu…”
Ucapan itu sekaligus menjadi penutup pertemuan mereka yang sulit sekali terwujud. Gerak gerik Jaima selalu dipantau oleh keluarga Mahatma, dia tidak diizinkan berkeliaran sebebas dulu, semuanya dibawah kendali Hasbi. Suaminya.
Pintu gerbang tinggi kokoh itu terbuka lebar ketika mobil yang dinaiki oleh Jaima memasuki gerbang depan kediaman keluarga Mahatma, perjalanan panjang yang membuat hati Jaima begitu berat karena begitu masuk ke dalam dia seperti tengah berada di sebuah kerangkeng emas. Tidak bisa pergi kemanapun.
“JAIMA!” Pekikan nyaring itu menyambut Jaima ketika dia baru saja masuk ke dalam rumah, Rama yang tengah berada di dalam pelukannya terlonjak kaget dan menangis dengan kencang. Tubuh Jaima bereaksi, dia gemetaran.
“BERLAGAK SEPERTI NYONYA BESAR KAMU RUPANYA!” Seorang wanita tua turun dari tangga, dia menatap Jaima dengan sinis, bibir dengan gincu merahnya menambah kengerian.
Jaima menunduk, dia berusaha menenangkan Rama yang menangis kencang di dalam pelukannya juga berusaha untuk merespon wanita tua itu.
“Saya dengar kamu meminum teh mahal di tempat kesukaan saya bersama dengan seorang rakyat jelata?”
“Ma, maafkan saya.”
“SAYA SUDAH BERULANG KALI MENGATAKAN PADAMU UNTUK TIDAK MEMANGGIL SAYA MAMA KECUALI BERADA DI DEPAN PUBLIK!”
Hardikan itu kembali membuat Jaima bergetar, suara tangisan Rama memecah konsentrasinya. Dia ingin segera masuk ke dalam kamar dan berduaan dengan anak semata wayangnya.
“B-baik, nyonya.. Maafkan saya..” Jaima berdesis, suaranya nyaris tidak keluar karena tercekat di tenggorokan. Rasa takut itu seperti menelan nyalinya bulat-bulat, dia menunduk dan semakin menunduk ketika wanita tua itu selangkah demi selangkah mendekat.
“BISING! BERISIK! ANAK SIALANMU MEMBUAT RUMAH INI BERISIK!”
Jaima merasa dadanya begitu sesak, kupingnya berdengung dan pandangannya terasa gelap. Dia masih berusaha untuk menenangkan Rama yang bergeliat di dalam pelukannya, anak itu menangis semakin kencang.
Genggaman tangan besar dan kencang seorang pria membuat dia kembali pada sadarnya, Rama dengan mudah diambil oleh pria itu. Jaima berusaha untuk memfokuskan kembali semua indera yang dia punya, ketika dia menoleh pria itu berdiri di sampingnya menggendong anak mereka.
“Berhenti mengoceh ma, Rama kaget dan ketakutan.” Ucap pria itu dengan suara rendah dan dalam, dia bicara sambil menimang bocah itu di dalam pelukannya.
Wanita tua itu tidak bicara lagi, seorang asisten kemudian mengajaknya kembali ke dalam kamar setelah membuat onar dengan berteriak-teriak di ruang tengah. Jaima terengah-engah dia masih berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.
“Kamu seharusnya sudah terbiasa dengan hal itu..” Pria itu bersuara, Hasbi. Dia melirik ke arah Jaima yang peluhnya sudah keluar berbulir-bulir.
“A…Aku hanya sedikit terkejut.”
Hasbi tidak bicara apapun lagi, pria itu hanya menghela napas sambil berlalu meninggalkan Jaima seorang diri.
“Lagi-lagi seperti orang bodoh saja, kamu seharusnya sudah lama pergi dari rumah ini. Diperlakukan tidak baik malah bertahan, bodoh.”
Jaima mematung, wanita yang wajahnya bak dipahat oleh seorang seniman itu menatapnya sinis dan terkekeh berlalu mengekor Hasbi. Tanaya. Dia adalah mantan tunangan suaminya.
“Nyonya..” Imas asisten pribadi Jaima kemudian membantunya untuk duduk, berusaha menenangkannya. Jaima masih berusaha untuk mengambil napas banyak-banyak karena rasa panik yang menyergap, airmatanya sudah diujung namun enggan untuk keluar kali ini.
“Nyonya, ayo minum dulu..” Imas menyodorkan bibir gelas yang kemudian disesap perlahan oleh Jaima.
Para pekerja disana terkesan acuh, namun beberapa dari mereka merasa iba. Sudah satu tahun lebih Jaima berada di rumah ini sebagai nyonya rumah, namun kehadirannya tidak pernah dianggap kecuali ada tamu ataupun wartawan. Dia diinjak-injak, diintimidasi dan diabaikan layaknya benda tidak berguna.
“Tolong bawa Rama ke kamarku kalau bapak sudah pergi…” Bisik Jaima pada Imas yang mengangguk pelan.
Jaima meneguk habis isi di dalam gelas, kepalanya masih terasa berputar namun dia beranjak dari ruang tengah pergi ke kamarnya sendiri. Melewati kamar Rama dia bisa mendengar celotehan dan gelagak tawa Tanaya, hatinya perih, rasanya begitu sakit. Perlahan dia menutup pintu kamarnya dan menangis.
Jaima membuka kedua matanya, dia mendapati Rama berada di sampingnya. Anak itu tertidur dengan pulas, pakaian pergi semalam sudah berganti dengan pakaian tidur lucu, wajahnya begitu tenang. Dia mendekat pada Rama dan mengelus lembut pipi anak itu.Si kecil Rama adalah alasan kenapa dia pada akhirnya berada di rumah ini, pikirannya pergi jauh ke saat dimana dia dan Hasbi pertama kali bertemu.SATU SETENGAH TAHUN LALU.“AKKKKK!” Suara pekikan itu terdengar begitu nyaring, suaranya bercampur antara suara seorang wanita dan pria. Kamar hotel bintang lima itu memiliki kualitas kedap suara di dalam kamar dan tidak perlu diragukan lagi, apapun yang terjadi di dalam kamar tidak akan pernah terdengar aktivitasnya sampai keluar lorong.Keduanya saling menatap dengan terkejut, masing-masing memakai selimut untuk menutupi bagian tubuh mereka.“K-kamu siapa?!” Pria itu tergagap melihat wanita muda di depannya tanpa busana, wanita yang sama sekali tidak dia kenal.“Saya…” Belum sempat wanita itu me
Pertanyaan Sitha membawa Jaima berada di dalam kamar mandi dengan beberapa merk alat tes kehamilan di tangannya. Sahabatnya itu bergegas pergi bahkan sebelum Jaima menjawab, dia pergi ke apotek dan membeli banyak sekali alat tes kehamilan. Sitha sudah tidak memikirkan rasa malu lagi, dia ingin tahu apakah tebakannya benar atau tidak. “Sudah ada hasilnya?” Suara Shita terdengar setengah berteriak dari luar kamar mandi, Jaima tersentak dan kembali pada sadarnya. Dia menggenggam beberapa alat tes kehamilan yang sudah memunculkan hasil. Dia belum berani melihatnya, entah kenapa ada perasaan takut yang mendadak menyelimutinya. Semua pikiran buruk mulai melintas satu-satu. “Ma, ayo lihat bareng-bareng..” Sitha merengek dari luar kamar mandi, berharap sahabatnya itu mendengar dan menuruti keinginannya. Makanan yang dia beli sudah tidak tersentuh, dingin diatas meja. Nafsu makannya sudah hilang begitu saja. Perlahan Jaima keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat, Sitha yang sedari tadi
Jaima bisa merasakan tatapan telisik milik Arianti, asisten pribadi Hasbi yang berdiri di samping pria itu. Pria itu datang dengan beberapa orang yang disebut sebagai ‘donatur’ oleh si perawat, tidak lupa beberapa wartawan hadir disana untuk meliput kegiatan tersebut.“Ini putri ibu Garini, mbak Jaima.” Perawat itu memperkenalkan Jaima dengan ceria pada orang-orang tersebut yang kemudian mengulurkan tangan, bersalaman dengan Jaima.“Saya dengar ibu anda harus menjalani perawatan intensif untuk mmendapatkan pengobatan lebih lanjut setelah kondisinya yang memburuk?” Salah satu donatur itu bertanya pada Jaima, dia menatap seolah-olah peduli dengan kesehatan para orangtua disana.“Ah, ya.. Itu yang saya dengar..” Jaima menjawab dengan kikuk, terlebih lagi dia tengah menahan keinginannya untuk memuntahkan isi perutnya. E
Hasbi masih melempar pandangannya jauh keluar jendela mobil. Apa yang baru saja terjadi membuatnya resah, dia bahkan tidak bisa bereaksi sebagaimana mestinya.Sebagaimana mestinya?Memangnya Hasbi harus bereaksi apa ketika dia mendengar seorang wanita yang bahkan dia tidak tahu namanya dan hanya dia ingat wajah serta bagaimana wanita itu di ranjang saat dia gauli dalam keadaan mabuk tengah mengandung anaknya?“Siapa nama wanita tadi?” Hasbi bersuara, bertanya pada Arianti yang duduk di depan sebelah supir.“Jaima tuan muda, Jaima Lalitha.”“Jaima…Dia bekerja?”Arianti melirik dengan ujung matanya, mencoba menerka kenapa Hasbi ber
“Apa kamu sendiri tidak yakin itu anak dari CEO kami?” Arianti menutup ponsel lipatnya dan kini beralih pada Jaima yang tengah duduk di sofa ruang tamu kontrakannya.Dia terkejut karena tiba-tiba Arianti datang ke kontrakannya di malam hari, lebih terkejut karena Arianti tahu dimana dia tinggal. Jaima kini menatap wanita itu, semua kalimat yang keluar dair mulutnya penuh dengan keangkuhan juga mengecilkan pihak lawan bicara.“Itu bukan urusan anda, ini janin saya. Tidak ada urusan dengan keluarga Mahatma.”“Saya juga inginnya begitu, tapi tuan muda tetap ingin tahu.” Arianti menyela sebelum Jaima mengucapkan sepatah kata lainnya. Dia menyisiri rumah kontrakan kecil namun rapi itu, perabotan dengan warna kayu cantik juga ruangan yang wangi.
Para Asisten Rumah Tangga berdiri di depan sebuah pintu kamar tinggi yang tertutup rapat, wajah mereka menegang ketakutan. Enam orang berdiri disana tanpa satupun yang berani membuka pintu kamar itu, teriakan dan suara pecahan barang terdengar dari dalam.“Minggir!” Hardikan itu sukses membuat enam orang itu menyingkir dari sana, seorang lelaki tua dengan perawakan tinggi besar dan nampak berwibawa itu kini menguarkan aura mengerikan. Dia membuka pintu dan mendapati kamar anak perempuannya telah porak poranda.“Naya! Hentikan!”“AAAGHHHH! AGHHHHHHHH!” Wanita itu, yang mengenakkan setelan rapi berwarna putih -yang kini telah terlihat sangat berantakan- tengah melempar beberapa botol minuman dan juga vas bunga ke lantai dengan membabi buta. Dia menjerit sambil menangis.
“Kenapa kamu dengan seenaknya menyelenggarakan pernikahan sedangkan aku tidak sudi melakukan hal itu?” Jaima menatap penuh amarah kepada Hasbi, matanya memerah dan dia sudah hampir menangis. Rasa mual yang mendera juga kepalanya yang pusing berputar itu membuatnya hampir ambruk ke sekian kalinya. Dia kini tengah duduk dengan tangan yang diinfus, Hasbi meminta dokter keluarga datang untuk merawatnya di kamar hotel ini.“Kamu harus menikah denganku.” Hasbi menjawab dengan enteng.“Aku tidak akan meminta apa-apa padamu untuk kesejahteraan anak ini.”“Tidak, aku tidak akan membiarkanmu pergi membawa anak ini dan hidup dengan penderitaan. Dia keturunan keluarga Mahatma.”Jaima menggigit bibirnya, dia memang tidak punya kepercayaan diri untuk membiayai anak ini dengan layak. Dia selalu berusaha mengundur lagi dan lagi jadwal ke dokter kandungan karena rasa takut kehilangan.“Bagaimana kalau kita gugurkan saja?”Pertanyaan itu sontak membuat Hasbi, Arianti dan juga dokter yang ada di ruangan
Jaima menoleh ke kanan dan ke kiri, beberapa hari semenjak kedatangannya di hotel dan pecah berita mengenai dia sebagai selingkuhan CEO keluarga Mahatma Group naik di udara dia tidak pernah sekalipun melangkahkan kakinya keluar. Dia terkukung di dalam hotel, segala yang dia perlukan disediakan dengan baik terutama baju ganti serta dokter.Kehamilannya membuat dia tidak berhenti muntah, dia bahkan tidak bisa duduk sehingga dokter dua puluh empat jam bersama dengan dirinya di hotel tersebut. Si CEO menyewa satu lantai hanya untuk kenyamanan Jaima juga proteksi kalau-kalau ada reporter yang mengendus keberadaannya.Dan sekarang, Jaima berada di sebuah rumah dengan keagungan yang luar biasa. Dari gerbang depan saja Jaima sudah dibuat terpesona. Rumah ini seperti yang sering dia tonton di televisi tentang orang kaya raya.
Tanaya turun dari mobil mewah tepat di depan kantornya, semua mata langsung tertuju ke arahnya. Beberapa karyawan terkejut karena setelah absen begitu lama pada akhirnya wanita itu kembali datang ke kantor, beberapa lainnya merasa hal itu sudah bisa ditebak.Post-broken heart katanya memakan waktu dua tiga bulan.“Dia terlihat begitu kurus.”“Wajar saja, tunangannya selama delapan tahun meninggalkannya demi perempuan lain.”Desas desus mengenai kondisinya sudah menyebar ke seluruh bagian kantor, Tanaya tersenyum puas di dalam hati. Itulah yang dia inginkan, semua perhatian dan juga tanggapan banyak orang mengenai dirinya setelah Hasbi melangsungkan pernikahan.
Lisa Sarkara Mahatma.Namanya menjadi bahan perbincangan di berbagai media ketika usianya baru menginjak dua puluh tahun, keluarganya begitu dikenal sebagai konglomerat urutan ketiga di Indonesia. Ketika itu Lisa ditunjuk sebagai penerus Mahatma Group, ayahnya meninggal karena sakit jantung dan meninggalkan wasiat bahkan sebelum kematian menjelang. Dari enam anak, lima anak laki-laki dan satu anak perempuan, pemimpin Mahatma Group mewariskan seluruh perusahaannya pada si anak perempuan.Hal itu menjadi perbincangan serius. Patriarki tidak pernah luput dimanapun berada begitu juga di Indonesia, banyak orang menyayangkan keputusan Almarhum untuk memberikan wewenang sebesar itu pada seorang perempuan.“Apa-apaan? Kita harus menuruti keputusan seorang anak berusia dua puluh tahun?”
Keningnya berkerut, kedua alisnya saling bertaut, mata Hasbi tidak lepas dari Jaima yang kini tengah tertidur tepat di sampingnya. Setelah keadaan canggung karena piyama Jaima tembus pandang, Hasbi berusaha untuk mengendalikan apa yang ada di dalam pikirannya namun wanita yang tengah hamil delapan bulan ini malah tertidur dengan santai di sampingnya.Hasbi tidak habis pikir, sesekali wanita ini terlihat mengigau atau sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Dia teringat ucapan dokter kandungan yang mengatakan usia kehamilan yang semakin tua akan membuat si ibu mengalami susah tidur.“Aku gak yakin manusia ini susah tidur..” Dia bergumam.Pagi sudah menjelang, Hasbi mengelus tengkuknya. Baguslah, setidaknya dia dan Jaima sudah menghabiskan malam bersama meskipun dia sama sekali tidak bisa memejamkan mata
“Tanaya?”Wanita itu merangsek masuk ke dalam dan segera memeluk Noah yang masih terdiam karena tidak berpikir akan melihat Tanaya ada disana. Wanita itu menangis tersedu di dalam pelukannya membuat Noah kebingungan.Noah membiarkan Tanaya menangis beberapa saat, kini tangis wanita itu telah berhenti dan Noah menyodorkan coklat panas padanya. Wanita itu masih mengenakkan pakaian kantor, rambutnya tergerai indah seperti biasa, aroma parfume yang dia kenakan masih sama seperti dalam ingatan Noah.“Ada apa?” Noah mulai bertanya, dia duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Tanaya.Wanita itu menyesap coklat hangat di dalam mug berwarna putih, rasa hangat langsung menjalari kerongkongannya. Dia mengelap airmata yang masih tersisa di pipinya.
Mata Hasbi tengah mengekori Jaima yang baru saja masuk ke dalam rumah, melirik ke arah jam tangan waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Hasbi meminta Imas membatalkan kedatangan Jaima ke acara pesta hari ini, setelah mengadakan rapat dengan tim legal hari ini, dia memutuskan untuk mengecualikan Jaima di beberapa acara untuk tidak menarik perhatian publik lebih lanjut.Untuk sementara saja.“Kalian tidak memiliki ide yang jauh lebih baik?” Hasbi menatap ketiga orang team legalnya yang kini menunduk jauh lebih dalam di depannya.“Itu yang paling terbaik tuan, publik harus tahu kalau pernikahan kalian memang berdasarkan hubungan terlarang bukan dari-maaf, cinta satu malam.” Takut-takut salah satu dar
Noah melambaikan tangannya pada mobil yang menjauh, dia melirik ke arah tangan kanannya yang tidak berhenti melambai. Dia menaikkan kedua bahunya, setiap kali dia bertemu dengan wanita bernama Jaima itu ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya.Rasa simpati.Entah karena Jaima dari kalangan orang biasa seperti Almarhumah ibunya atau ada hal lain yang membuat rasa simpati itu menyeruak di dalam dadanya dan enggan pergi begitu saja. Isi kepalanya di penuhi dengan ekspresi wanita itu, rasa sakit yang sedikitnya bisa Noah rasakan.Dia menghela napas, menyusuri jalanan panti jompo yang mulai sepi dan remang-remang. Semilir angin malam terasa begitu sejuk alih-alih dingin, dia menyukai suasana disini. Pandangannya bertumpu pada gedung panti jompo yang berdiri kokoh.
“Terima kasih..” Jaima tersenyum lebar, kedua tangannya meraih cangkir yang diberikan oleh Noah. Mereka tengah berada di Green House tidak jauh dari gedung panti jompo, biasanya Green House ini dipakai untuk beberapa keluarga yang berkunjung menikmati hari.Noah menatap Jaima yang sekarang tengah menyesap teh di cangkir porselen cantik itu, matanya menyisiri setiap lekuk wajah Jaima.Benar seperti yang orang-orang bilang, wanita ini terlihat cantik. Ketika berita mengenai Hasbi dan Jaima menikah mencuat, semua orang dari kalangan konglomerat mulai membicarakannya karena mereka tidak mengira kalau wanita yang menjadi selingkuhan Hasbi adalah wanita yang cantik.
Noah membaca setiap baris kalimat di buku yang tengah dia pegang, buku ini baru ia beli beberapa hari lalu sesampainya di Indonesia. Dia suka menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan membaca, semilir angin memainkan rambut berwarna kuning pucat miliknya yang sudah panjang.Beberapa perawat berlalu lalang sambil membawa para lansia yang mereka urus melewati Noah, para perawat tua maupun muda mencuri-curi pandang padanya. Mereka tidak ingin melewatkan satupun kesempatan menikmati ciptaan Tuhan yang begitu sempurna,Mata yang teduh, bulu mata yang lentik, bibir yang penuh, rahang tegas serta hidung yang panjang. Kakinya yang jenjang menambah poin baru dalam kesempurnaan seorang Noah Sadawira.“Noah, kenapa tidak memberi kabar kalau mau kesini?” Suara itu menginterupsi kegiatannya, menoleh ke asal suara bu
Mobil Hasbi berhenti tepat di depan pintu utama gedung perusahaan miliknya. Gedung tinggi dengan lima belas lantai itu menjulang dengan gagah, tulisan MAHATMA terpampang besar disana. Para satpam dan beberapa karyawan yang lewat menundukkan kepala, menghormatinya.Dia berjalan bersama si asisten pribadi di sebelahnya juga beberapa penjaga, masuk ke dalam perusahaan dia menggunakan lift yang memang dibuat khusus untuk para petinggi saja.Kantornya berada di lantai dua, ruangan miliknya ada disana dengan asisten pribadi dan ruang rapat direksi. Tidak ada lagi. Karyawan sembarangan tidak diperbolehkan masuk, akses lantai dua hanya dimiliki oleh beberapa orang tertentu saja.“Hari ini tuan ada rapat sampai pukul dua siang dan menghadiri undangan pernikahan putri dari Nyonya Rika Ageng.” Arianti membacakan ja