Jaima bisa merasakan tatapan telisik milik Arianti, asisten pribadi Hasbi yang berdiri di samping pria itu. Pria itu datang dengan beberapa orang yang disebut sebagai ‘donatur’ oleh si perawat, tidak lupa beberapa wartawan hadir disana untuk meliput kegiatan tersebut.
“Ini putri ibu Garini, mbak Jaima.” Perawat itu memperkenalkan Jaima dengan ceria pada orang-orang tersebut yang kemudian mengulurkan tangan, bersalaman dengan Jaima.
“Saya dengar ibu anda harus menjalani perawatan intensif untuk mmendapatkan pengobatan lebih lanjut setelah kondisinya yang memburuk?” Salah satu donatur itu bertanya pada Jaima, dia menatap seolah-olah peduli dengan kesehatan para orangtua disana.
“Ah, ya.. Itu yang saya dengar..” Jaima menjawab dengan kikuk, terlebih lagi dia tengah menahan keinginannya untuk memuntahkan isi perutnya. Entah kenapa sejak melihat Hasbi rasa mualnya timbul dengan sangat brutal.
“Semoga donasi kali ini bisa membantu ibu anda jauh lebih baik lagi.” Hasbi menimpali, menatap Jaima dengan senyum lebar seolah dia tidak mengingat apa yang sudah dilakukan pada Jaima sebulan yang lalu.
Jaima mengangguk, kemudian para wartawan itu meminta mereka berjajar dengan rapi untuk mengambil foto. Jaima ditarik mendekat ke arah Hasbi sebagai wali dari pasien.
“Ugh..” Jaima berusaha menahan mualnya ketika parfume mahal milik Hasbi tercium hidungnya.
“Mbak, wajahnya pucat.. Mbak gak apa-apa?” Salah satu wartawan yang bertugas memfoto mereka bertanya pada Jaima, dia sedikit khawatir karena Jaima begitu pucat seperti tanpa darah.
“A-ah, ya, maaf. Saya baru pulang bekerja dari shift malam.” Jaima mencoba mengalihkan rasa mualnya, menjawab sebisa mungkin.
“Baik kalau begitu, senyum ya mbak..” Si wartawan berceloteh lagi, namun belum juga wartawan itu memencet shutter kameranya Jaima tergopoh-gopoh berlari ke kamar mandi, menutup pintunya dengan kencang sampai orang-orang disana terkejut, dia memuntahkan isi perutnya tanpa ampun.
Beberapa orang itu merasa risih namun si wartawan buru-buru mengalihkan perhatian mereka dengan cepat mengambil gambar tanpa Jaima.
Arianti terdiam, matanya menatap tajam ke arah pintu kamar mandi yang tertutup.
Jaima keluar setelah beberapa saat, kepalanya pusing dan dia hanya duduk diatas toilet. Ini sudah kesekian kalinya dia muntah dan badannya terasa begitu lelah, dia yakin telah kehilangan bobot yang lumayan karena itu semua.
“Mbak, yakin mbak gak apa-apa? Biar diperiksa sama dokter umum disini.” Si perawat menghampiri Jaima dengan wajah khawatir.
Jaima menggeleng dan tersenyum kecil, “Aku cuma kecapekan aja..” Ujarnya singkat sambil duduk di samping ibunya lagi.
“Selamat pagi mbak Jaima..” Suara Arianti membuat Jaima menoleh, wanita itu tersenyum tipis. Pakaiannya yang rapi, riasan tipis namun terlihat begitu elegan. “Bisa saya bicara berdua saja dengan mbak Jaima?” Tanya Arianti pada perawat muda yang terlihat agak kebingungan namun beranjak pergi dari sana. Meninggalkan mereka berdua.
“Saya tidak tahu kalau ibu mbak Jaima berada di panti jompo milik yayasan Mahatma Group.” Katanya sembari berjalan mendekat ke arah jendela.
Garini masih duduk diatas kasur, pandangannya dia lemparkan keluar jendela. Masih menikmati sinar matahari hangat yang sedikit menyoroti wajahnya dengan semilir angin dingin. Panti jompo ini berada diatas gunung sehingga udaranya masih begitu sejuk.
“Saya juga baru tahu kalau yayasan ini masih milik Mahatma Group.” Ujar Jaima.
Arianti mengangguk, menoleh dan kini bisa melihat Jaima dengan jelas. Wanita itu jauh lebih berantakan dari yang terakhir ia lihat, wajahnya tirus dan kurus. Seperti yang wartawan itu bilang, wajahnya juga pucat.
“Sudah berapa bulan?”
Jaima terkesiap mendengar pertanyaan itu terlontar dari mulut Arianti, dia menatap wanita itu dengan kening berkerut. “Apa maksud anda?”
“Anda lebih tahu maksud saya mbak Jaima.”
Keduanya saling tatap, Arianti dengan tatapan dingin dan datar sedangkan Jaima berusaha dengan keras menyembunyikan rasa terkejutnya karena seperti orang yang baru saja dipergoki.
“Saya tidak mengerti.”
“Anda tengah mengandung, bukan?”
Ucapan Arianti sukses membuat Jaima mematung di tempatnya, dia menunduk.
“Saya tidak tahu apakah anda baru mengetahui hal itu baru-baru ini, tapi yang ingin saya tanyakan, kenapa anda mempertahankannya?”
Jaima menelan ludah, matanya terasa panas. Dia juga tidak tahu kenapa bersikap seolah-olah ingin merawat janin itu, padahal isi kepalanya ingin melenyapkannya. Anak itu tidak dia inginkan, bukan. Ini bukan saat yang tepat baginya memiliki seorang anak, ibunya masih butuh pengobatan. Biaya panti jompo masih harus dia tanggung.
“Apakah anda berpikir untuk memeras tuan muda?”
Jaima mengangkat kepalanya, wajahnya kini terlihat sedikit bingung dan marah yang menjadi satu. “Memeras?”
Arianti menghela napas, dia membuka ponsel lipatnya, “Itu semua yang pasti dilakukan oleh kalian para wanita miskin, menjebak tuan muda dengan birahi dan memiliki anak untuk memerasnya.”
PLAKKK! Suara tamparan itu memenuhi ruangan yang hening, suaranya begitu nyaring. Pipi Arianti terasa panas, saking kencangnya tamparan itu ponselnya sampai terpelanting ke arah kasur.
“Saya tidak peduli dengan semua itu! Tuan muda yang anda banggakan sudah memperkosa saya dan itu faktanya! Lagipula, saya akan membiayai dan membesarkannya sendiri! Saya tidak akan meminta sepeserpun pembiayaan untuk kehamilan saya dan anak ini dari Mahatma group!” Jaima berteriak dengan suara yang tertahan, dia masih memikirkan pasien lain dan juga para perawat yang tidak jauh dari ruangan tempat ibunya berada. Matanya memerah, airmata sudah turun satu persatu.
Arianti masih terdiam memegangi pipinya.
“Hamil?” Suara dalam dan berat itu terdengar, tubuh Jaima mematung sedangkan Arianti buru-buru mengambil ponselnya. Dia menunduk dan pergi dari hadapan Jaima.
“Kamu hamil….Anakku?”
Hasbi masih melempar pandangannya jauh keluar jendela mobil. Apa yang baru saja terjadi membuatnya resah, dia bahkan tidak bisa bereaksi sebagaimana mestinya.Sebagaimana mestinya?Memangnya Hasbi harus bereaksi apa ketika dia mendengar seorang wanita yang bahkan dia tidak tahu namanya dan hanya dia ingat wajah serta bagaimana wanita itu di ranjang saat dia gauli dalam keadaan mabuk tengah mengandung anaknya?“Siapa nama wanita tadi?” Hasbi bersuara, bertanya pada Arianti yang duduk di depan sebelah supir.“Jaima tuan muda, Jaima Lalitha.”“Jaima…Dia bekerja?”Arianti melirik dengan ujung matanya, mencoba menerka kenapa Hasbi ber
“Apa kamu sendiri tidak yakin itu anak dari CEO kami?” Arianti menutup ponsel lipatnya dan kini beralih pada Jaima yang tengah duduk di sofa ruang tamu kontrakannya.Dia terkejut karena tiba-tiba Arianti datang ke kontrakannya di malam hari, lebih terkejut karena Arianti tahu dimana dia tinggal. Jaima kini menatap wanita itu, semua kalimat yang keluar dair mulutnya penuh dengan keangkuhan juga mengecilkan pihak lawan bicara.“Itu bukan urusan anda, ini janin saya. Tidak ada urusan dengan keluarga Mahatma.”“Saya juga inginnya begitu, tapi tuan muda tetap ingin tahu.” Arianti menyela sebelum Jaima mengucapkan sepatah kata lainnya. Dia menyisiri rumah kontrakan kecil namun rapi itu, perabotan dengan warna kayu cantik juga ruangan yang wangi.
Para Asisten Rumah Tangga berdiri di depan sebuah pintu kamar tinggi yang tertutup rapat, wajah mereka menegang ketakutan. Enam orang berdiri disana tanpa satupun yang berani membuka pintu kamar itu, teriakan dan suara pecahan barang terdengar dari dalam.“Minggir!” Hardikan itu sukses membuat enam orang itu menyingkir dari sana, seorang lelaki tua dengan perawakan tinggi besar dan nampak berwibawa itu kini menguarkan aura mengerikan. Dia membuka pintu dan mendapati kamar anak perempuannya telah porak poranda.“Naya! Hentikan!”“AAAGHHHH! AGHHHHHHHH!” Wanita itu, yang mengenakkan setelan rapi berwarna putih -yang kini telah terlihat sangat berantakan- tengah melempar beberapa botol minuman dan juga vas bunga ke lantai dengan membabi buta. Dia menjerit sambil menangis.
“Kenapa kamu dengan seenaknya menyelenggarakan pernikahan sedangkan aku tidak sudi melakukan hal itu?” Jaima menatap penuh amarah kepada Hasbi, matanya memerah dan dia sudah hampir menangis. Rasa mual yang mendera juga kepalanya yang pusing berputar itu membuatnya hampir ambruk ke sekian kalinya. Dia kini tengah duduk dengan tangan yang diinfus, Hasbi meminta dokter keluarga datang untuk merawatnya di kamar hotel ini.“Kamu harus menikah denganku.” Hasbi menjawab dengan enteng.“Aku tidak akan meminta apa-apa padamu untuk kesejahteraan anak ini.”“Tidak, aku tidak akan membiarkanmu pergi membawa anak ini dan hidup dengan penderitaan. Dia keturunan keluarga Mahatma.”Jaima menggigit bibirnya, dia memang tidak punya kepercayaan diri untuk membiayai anak ini dengan layak. Dia selalu berusaha mengundur lagi dan lagi jadwal ke dokter kandungan karena rasa takut kehilangan.“Bagaimana kalau kita gugurkan saja?”Pertanyaan itu sontak membuat Hasbi, Arianti dan juga dokter yang ada di ruangan
Jaima menoleh ke kanan dan ke kiri, beberapa hari semenjak kedatangannya di hotel dan pecah berita mengenai dia sebagai selingkuhan CEO keluarga Mahatma Group naik di udara dia tidak pernah sekalipun melangkahkan kakinya keluar. Dia terkukung di dalam hotel, segala yang dia perlukan disediakan dengan baik terutama baju ganti serta dokter.Kehamilannya membuat dia tidak berhenti muntah, dia bahkan tidak bisa duduk sehingga dokter dua puluh empat jam bersama dengan dirinya di hotel tersebut. Si CEO menyewa satu lantai hanya untuk kenyamanan Jaima juga proteksi kalau-kalau ada reporter yang mengendus keberadaannya.Dan sekarang, Jaima berada di sebuah rumah dengan keagungan yang luar biasa. Dari gerbang depan saja Jaima sudah dibuat terpesona. Rumah ini seperti yang sering dia tonton di televisi tentang orang kaya raya.
“SIALAN!” Tanaya memekik dengan kencang, urat-urat di sekitar lehernya mulai tampak sehingga membuat wajahnya bak kepiting kukus.“Naya! Tenang dulu nak!” Sadik turut memekik, kini memeluk buah hatinya dengan erat.“Mas, astaga! Kenapa kamu menyetujui pernikahan itu? Kenapa kamu menyetujui tawaran keluarga Mahatma? Ini membuat keluarga besarmu malu mas, bagaimana dengan JUNIAR Group?” Rani, ibu Tanaya mengoceh sambil memeluk Tanaya. Mencoba menenangkan anak bungsunya itu yang kini menangis meraung-raung.“Dengar dulu, biar papa jelaskan Naya.. Izinkan papa jelaskan dulu..”Tanaya menoleh dengan jangan berantakan, airmata dan juga air liurnya menjadi satu. “Apa yang mau papa jelaskan? Papa membuat aku malu! Papa bahkan
Pernikahan yang sejak dulu selalu diimpikan Jaima kini terwujud, sayangnya, itu semua jauh dari apa yang dia dambakan. Pria yang bersanding dengannya bukanlah pria yang dia cintai, dia bahkan tidak mengenal pria itu secara utuh, keluarga besar pria itu menatapnya sinis sejak dia jalan menuju altar.Pria yang mendampinginya untuk berjalan ke altar bukanlah kerabatnya atau orang yang dia tunjuk, mereka hanya membayar orang yang tidak dikenal untuk melakukan hal itu.Bak sulap, dalam dua bulan persiapan pernikahan itu selesai begitu saja. Gedung yang sudah dipesan, gaun pengantin yang dibuat dengan cekatan, ketika Jaima keluar dari dalam kamar yang ada di rumah bak istana itu segalanya telah siap.“Ini pengantinnya..” Kata salah satu pembantu rumah tangga, mempapah Jaima masuk ke dalam sebuah ruangan dimana
“Kehamilannya bagus, adik bayi juga sehat ya. Bisa bapak dan ibu lihat ini adalah jari jemarinya, tangan kanan kiri, kaki kanan dan kiri semuanya sudah lengkap ada lima. Tempurung kepala oke, hidung, mata, bibir, dagu. Anus. Semuanya sudah terbentuk dengan bagus dan baik, usia kandungan enam bulan sesuai dengan volume air ketuban. Semuanya oke.”“Bagaimana dengan jenis kelaminnya, dok?” Tanya Hasbi dengan penuh antusias.“Selamat, bayi bapak dan ibu berjenis kelamin laki-laki.”Jaima masuk ke dalam mobil, disusul dengan Hasbi dari belakang.Empat bulan berlalu semenjak pernikahan megah mereka, hujatan demi hujatan semakin tajam menghujani Jaima setiap dia memiliki acara di depan publik.
Hasbi menatap ponselnya sekali lagi, siang ini ketika dia keluar dari kamar bersama Tanaya dia tidak menemukan Jaima dimanapun. Arianti memberitahunya kalau wanita itu tengah menghadiri acara sosial di Piacevole.Tidak ada pesan dari Jaima yang memberitahukan kalau wanita itu membawa Rama bersamanya. Biasanya wanita itu akan menghubunginya untuk meminta bantuan menjaga si kecil karena dia harus menghadiri acara sosial.Hasbi menghela napas.Wanita itu mungkin sudah tahu kalau malam tadi Hasbi menghabiskannya bersama Tanaya.Dia memijat keningnya sekarang, rasa bersalah kembali menjalar di dalam dadanya.Apakah dia seharusnya meminta maaf?“Ah, sialan.. Kenapa juga aku harus minta maaf?” Tanpa sadar dia menggumamkan kalimat itu, membuat Arianti menoleh.“Maksud tuan muda?”Hasbi menggeleng pelan, mengalihkan wajahnya karena merasa sudah melakukan hal bodoh. Dia terlalu khawatir sampai semua yang dia pikirkan tidak sengaja keluar dari mulutnya begitu saja.“Apa…” Hasbi menjeda kalimatny
Jaima tidak keluar dari kamar semenjak pagi, Imas memberitahunya kalau kedua orang tersebut belum keluar sama sekali dari dalam kamar sampai tengah hari. Untungnya Jaima sudah pergi untuk menghadiri beberapa acara sosial, dia membawa Rama bersamanya.Biasanya, dia menitipkan Rama pada Hasbi untuk menghadiri acara sosial yang ramai.Dia tidak ingin bertemu dengan Hasbi atau berpura-pura semuanya baik-baik saja karena dia sedang merasa tidak baik-baik saja.“Nyonya bisa berdiri di sebelah sana..” Imas memberikan arahan pada Jaima.Hari ini acara sosial diselenggarakan di sebuah Mall bernama, Peacevole. Jaima mengenakkan gaun pendek yang warnanya serupa dengan jas lucu yang dipakai oleh Rama, secara dadakan Rama juga dikenakan jas karena tiba-tiba diajak olehnya
Hasbi terbangun dengan terkejut saat mendapati Tanaya berada di sampingnya, tertidur. Dia bisa melihat beberapa titik merah dibawah leher Tanaya, keadaan seperti ini seharusnya adalah pemandangan yang biasa untuknya.Dulu.Tapi kali ini dia merasa benar-benar bersalah, dia tidak berpikir akan melakukan hubungan seks lagi dengan Tanaya. Mengurut apa yang terjadi semalam, dia merasa pergi ke apartemen mereka dan bicara.Ya, mereka bicara sambil minum alkohol seperti biasa.Tapi, kenapa?Hasbi mengacak rambutnya sendiri, ketika dia turun dari kasur kondom bekas pakai berserakan di lantai. Entah berapa kali mereka melakukannya, jam sudah menunjukkan pukul tengah hari.“Jaima..&r
Jaima tidak tahu rasanya dicintai.Dia tidak tahu apa itu mencintai.Sepanjang hidupnya, dia hanya berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan dia dan ibunya. Ibunya yang ketika dia beranjak dewasa berubah menjadi orang lain, tidak bisa membuatnya merasa dicintai.Dia tidak tahu bagaimana rasanya seorang ibu memanjakan anaknya, dia tidak tahu rasanya bagaimana dimanjakan seorang ibu. Dia sudah lupa apakah masakan ibunya enak, dia sudah lupa bagaimana ibunya memanggil namanya, bagaimana ibunya menyentuhnya, bagaimana ibunya mengelus puncak kepalanya.Yang dia ingat hanyalah bagaimana ibunya membentak, memarahinya dengan kata-kata kasar dan sesekali memukulnya ketika ibunya sedang dalam episode. Jaima merasa sudah terbiasa diperlakukan tidak baik, bahkan di tempat kerja.
Ada kalanya Jaima ingin bertanya ketika Hasbi bersikap baik padanya. Apakah itu bagian dari sandiwara untuk sosial media atau itu adalah dirinya sendiri? Tapi, dia yakin jawaban paling masuk diakal adalah karena sosial media.Enam bulan setelah kelahiran Rama, publik berbalik menyenangi mereka berdua. Apa yang diusahakan oleh tim legal membuahkan hasil. Sosial media memanglah jalan yang paling tepat untuk memamerkan hal yang tidak mungkin.Hasbi sering mengunggah bagaimana perkembangan Rama, dia juga mengunggah bagaimana ia bergantian mengasuh Rama dengan Jaima. Hal itu mendapatkan respon positif dari publik, mereka semua menyukai sikap Hasbi yang lembut dan perhatian.“Tatapan mata tidak bisa bohong, dia jatuh cinta pada wanita itu.”“Dela
Rentetan Jadwal Jaima yang tidak masuk diakal terus berlanjut bahkan setelah enam bulan kelahiran Rama, ibu mertuanya tidak pernah sekalipun memberikan dia kelonggaran. Setiap pesta harus dia datangi bahkan terkadang sehari dua pesta Jaima datangi.Dia merasa berat melakukan hal itu, tapi sekali lagi Jaima tidak bisa melawan. Ini semua sudah kewajibannya sebagai seorang menantu Mahatma Group.Ketika pertama kali melakukannya, Jaima merasa canggung dan bahkan dia tidak tahu harus bersosialisasi bagaimana. Namun, setelah lama menjalani kehadiran pesta ini dia jadi terbiasa. Dia bertemu dengan banyak orang yang menurutnya hebat dan menginspirasi.Dia tidak segan bertanya banyak hal.Dari situ pula dia tahu kalau Mahatma Group dan Sadawira Group adalah partner kerja juga pes
6 BULAN KEMUDIANTidak ada yang lebih Hasbi inginkan selain memiliki keluarga kecilnya sendiri. Semua itu dia impikan semenjak pertemuan pertamanya dengan Tanaya, semenjak wanita itu akhirnya menerima pertunangan mereka dan menjalin hubungan.Namun nyatanya, Tanaya selalu menolak untuk melangkah lebih jauh lagi. Penolakan demi penolakan selalu didapat Hasbi sehingga dia menyerah, mencoba melupakan impiannya untuk membangun keluarga. Dia merasa kalau Tanaya saja cukup, atau tidak apa-apa untuk menunggu lebih lama lagi.Tidak ketika dia akhirnya bertemu Jaima, meskipun berawal dari hal tidak terduga tapi Jaima memberikan apa yang selalu dia dambakan.“Bha! Bha!” Rama mengeluarkan suaranya lagi.Ini sudah bulan keenam setelah kel
Jaima baru saja kembali ke rumah di malam hari, Rama sudah tidur di dalam pelukannya. Sejujurnya, dia merasa bersalah harus membawa Rama untuk pergi ke sebuah acara terlebih lagi jarak yang lumayan jauh. Namun sekali lagi, dia tidak ingin berpisah dengan anak itu.Terlebih karena Lisa mengatakan akan membawa anak itu bahkan sebelum pernikahan mereka memasuki kelima tahun.Jika ingat hal itu lagi, rasa takut seperti menggerogoti Jaima. Perasaan cemasnya menjadi-jadi dan dia jadi tidak bisa berpikir rasional.Dia memeluk Rama masuk dalam dekapannya sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Keadaan rumah begitu hening seperti biasa, namun dia masih saja was-was karena takut tiba-tiba ibu mertuanya yang galak datang dan memarahinya.Jaima benar-benar seperti berjalan diatas cang
Jaima duduk menatap orang berlalu lalang, dari kejauhan dia bisa melihat Rama dalam gendongan Imas. Dia tengah berada di sebuah acara donasi yang diselenggarakan oleh Mahatma Group, mereka pergi ke panti jompo dimana ibunya berada.Pagi-pagi sekali dia sudah bersemangat untuk mengikuti acara ini meskipun ibu mertuanya menegurnya dengan berbagai macam hal, dari mulai parfume yang baunya menyengat, dan hal-hal lain yang tidak masuk diakal.Seperti biasa dia hanya menelan semuanya, menekan semua perasaannya dan hanya mengiyakan wanita itu bicara hal buruk padanya.Dia hanya ingin segera bertemu dengan ibunya.Namun, acara donasi diikuti oleh lansia selain penderita demensia. Panitia meminimalisir terjadinya kejadian tidak terduga. Sudah dua jam Jaima berada disini dan dia s