Arion berusia tujuh tahun ketika adiknya terlahir ke dunia. Seorang bayi berpipi merah, dan jari jemari mungil. Putri kecil keluarga Adiputra
Siang itu, Arion baru pulang dari sekolah. Ia bergegas mengganti pakaian, dan juga sepatunya dengan sendal rumahan. Saking tergesa-gesanya ia, Arion hampir jatuh tersandung kakinya sendiri.
Ia berlari dari kamarnya menuju kamar tidur utama, tempat ibunya beristirahat setelah diijinkan untuk pulang dari rumah sakit. Jantung Arion berdegup gugup sekaligus excited. Suara rengekan bayi terdengar pelan. Arion mengendap dari celah pintu kamar, berusaha agar langkah kakinya tidak mengusik sang adik. Ibunya duduk bersandar di kepala ranjang sambil menimang sebuah buntalan kain.
"Arion," sapa sang ibu sambil tersenyum. Ia mengalihkan pandangan pada buntalan kain di gendongannya, dan berkata, "Nanda, lihat, Kak Arion udah datang."
Arion mendekat ragu.
Raut wajah ibunya masih tampak sedikit pucat dan kelelahan, namun, ada senyum lembut yang tersungging di bibirnya. Perut yang sebelumnya membuncit, tempat Arion sering menempelkan telinga untuk mendengar pergerakan adiknya dari balik kulit, kini tampak mengempis di bawah selimut beludru halus yang menutupinya. Arion menatap buntalan kain itu dengan mata hitam bulatnya yang penuh dengan kepolosan anak-anak.
"Lihat, Arion, adik kecilmu. Lucu, 'kan?" Ibunya mengangsurkan buntalan itu pada Arion. Isi di dalamnya menggeliut pelan. "Tuan putri kecil kita. Akhirnya, Arion bisa menjadi ksatria sungguhan, ya? Yang melindungi tuan putri," goda sang ibu.
Anak laki-laki itu tidak menjawab. Matanya terpaku pada sosok kecil yang tengah memejamkan mata dalam buaian ibunya. Pipinya gembil dan merah. Adiknya ini kecil sekali, dan tampak lembut. Arion mengulurkan tangan untuk mengusap pipi si bayi. Kulitnya terasa halus di permukaan jari Arion.
Satu tangan sang adik yang berjari mungil menyembul dari balik kain yang menyelimutinya. Ketika Arion menyentuhkan pelan telunjuknya pada jari-jari kecil itu, adiknya menggeliut, lalu telunjuk Arion digenggam.
Tangan yang menggenggam telunjuknya terasa hangat dan halus. Mata Arion berbinar-binar senang. Ia menoleh pada ibunya.
"Wah," ujar ibunya sambil tertawa kecil. "Kayaknya Nanda udah bisa ngenal kakaknya, nih."
Cengiran lebar menghiasi wajah Arion. "Ini Kak Arion," Arion bicara pada si bayi sambil menunjuk dirinya sendiri. "Selamat datang, Nanda."
***
Alyasha Ayu Diarawan adalah seorang wanita yang namanya cukup tersohor di dunia modelling. Wajahnya sering menghiasi sampul majalah terkenal. Pada polling tentang 'Wanita yang Paling Ingin Dinikahi' yang di majalah fashion, nama Alyasha berada di peringkat pertama.
Alyasha bertubuh tinggi semampai. Kulitnya putih bersih, dan rambut cokelatnya ikal bergelombang. Ia memiliki paras ayu yang lembut ketika tersenyum. Namun, jika sudah melenggang di jalur catwalk dengan sepatu hak tinggi yang mengetuk lantai, Alyasha seperti berubah seratus delapan puluh derajat. Nampak lebih tegas, berwibawa, dan kuat. Membuat siapapun yang menyaksikannya berdecak kagum.
Alyasha memutuskan untuk meninggalkan dunia modelling setelah ia menikah. Keputusan yang sangat disayangkan oleh banyak orang, namun tidak sedikit pula yang memberi dukungan mengingat alasannya untuk berhenti dari dunia modelling adalah untuk fokus mengurus keluarga.
Alyasha menikah dengan seorang pengusaha muda bernama Arya Adiputra, seorang pemilik perusahaan garmen yang ketika itu tengah berkembang pesat. Arya adalah anak seorang konglomerat. Ayahnya adalah seorang pebisnis, sementara ibunya adalah seorang pengacara.
Namun, Arya lebih memilih untuk merintis perusahaan baru miliknya sendiri. Meski ia masih tergolong anak muda dan banyak yang memandang sebelah mata, Arya telah mempelajari kiat-kiat bisnis dari sang ayah sejak kecil. Ia mendirikan perusahaan garmen yang memiliki kualitas barang lebih baik dan harga yang terjangkau. Dalam kurun waktu yang tergolong singkat, perusahaan garmen milik Arya telah berhasil menempati posisi bersama deretan perusahaan-perusahaan besar lain.
Arya bertemu dengan Alyasha ketika ia mendapat undangan dari salah satu acara fashion show di mana perusahaannya menjadi salah satu sponsor.
Dari sekian banyak model yang melenggang di atas panggung, mata Arya hanya terpaku pada sosok Alyasha yang melangkah penuh kepastian dan kepercayaan diri di jalur catwalk. Cara Alyasha mengangkat dagu, membuatnya terkesan kuat, namun tidak arogan, dan tidak sepenuhnya menghilangkan kesan kewanitaan yang lembut dalam dirinya.
Arya merasa pandangan mereka sempat bertemu sesaat. Dan seluruh dunianya tiba-tiba saja menyempit menjadi sosok Alyasha seorang.
Ketika acara selesai, Arya menyelinap ke back stage untuk menemuinya. Sedikit basa-basi, ia setengah berbohong ketika mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk menawari Alyasha menjadi model pakaian untuk mempromosikan brand perusahaannya. Di luar dugaan, Alyasha langsung menyetujui. Arya sadar bahwa Alyasha juga memiliki ketertarikan terhadapnya.
Arya belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Namun, begitu bertemu dengan Alyasha, Arya mengerti seperti apa rasanya bahagia karena menyukai orang lain.
Hubungan mereka berdua menjadi semakin dekat begitu mereka mulai bekerja bersama. Mereka memutuskan untuk mencoba menjalin kasih. Cukup lama setelahnya, melalui berbagai pertimbangan yang serius, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah.
Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki sehat yang diberi nama Arion Adiputra. Tujuh tahun kemudian, seorang putri kecil hadir diantara mereka, Annanda Adiputra.
Memiliki keluarga kecil yang bahagia, hidup Arya terasa lengkap dan sempurna.
***
Arion tengah menjaga Annanda yang telah berusia delapan belas bulan karena ibunya sedang pergi ke minimarket untuk membeli popok bayi.
Di musim lebaran begini, banyak asisten rumah tangga yang minta ijin untuk pulang kampung. Satu-satunya yang masih bekerja untuk membantu Alyasha mengurus rumah adalah Bi Titin, yang saat ini sedang sakit. Alyasha merasa tidak enak untuk mengganggu istirahat perempuan paruh baya itu hanya untuk membeli popok. Toh, Arion sudah bisa diandalkan untuk menjaga adiknya barang sebentar.
"Mamammaamamama.... "
Ocehan bayi memenuhi ruang tamu. Arion duduk bersila di depan adik kecilnya yang sedang memencet-mencet bebek karet. Suara kwekkwekkwek membuat bocah berusia delapan belas bulan itu tergelak senang. Dengan semangat ia memasukkan si bebek ke dalam mulut, dan mulai mengunyah bebek malang itu diantara gigi-gigi kecilnya.
"Jangan gitu, Nanda," ujar Arion sambil berusaha menjauhkan si bebek dari bibir sang adik. "Jangan makan bebeknya. Mau biskuit?" tawarnya sambil memberi sekeping biskuit bayi.
"Da?"
Annanda kecil menelengkan kepala. Jari-jari mungilnya membuka dan menutup, terulur pada Arion. Ia menyerahkan biskuit itu pada Annanda yang langsung memasukkannya ke dalam mulut. Belum beberapa kunyahan, biskuit itu sudah dilepehkan. Sisa biskuit tak berdosa di tangannya dilempar begitu saja.
"Dadadammmgamamamaa...." rengeknya meminta si bebek.
Arion tidak tega menatap mata cokelat bulat dengan pipi gembil dan bibir yang dicebikkan itu.
"Tunggu disini dulu. Kakak cuci bebeknya, baru main kunyah."
Anak laki-laki itu beranjak, tetapi Annanda tidak mengerti kata tunggu. Ia menangis keras-keras ketika sang kakak membawa pergi si bebek.
"Iya, iya. Jangan nangis." Arion buru-buru kembali setelah mencuci bebek di westafel dapur. "Nih, bebeknya kubalikin."
"Mmuuhuu... mamamammaa...."
Annanda meraih bebeknya, lanjut menggigit-gigit. "Da!" ujarnya riang sambil tergelak kencang. Arion berjongkok di depannya.
"Nanda."
Annanda mendongak, menepuk kedua tangannya sambil menggumam-gumam. Bebek terjepit diantara bibir, berlumuran air liur. Arion menoel pipi bayi itu gemas lalu mengecup keningnya. Adiknya mengerjap, dan tiba-tiba saja bersin.
"Aish," keluh Arion sambil meraih tisu. "Nggak sopan bersin pas seseorang menciummu, Non."
Bocah kecil itu menelengkan kepala ketika Arion menyapu hidungnya dengan tisu.
"Da?" Ia mengulurkan bebek penuh liur.
Arion terkekeh. "Makasih. Tapi kamu nggak perlu ngasih bebek berliur sebagai permintaan maaf."
Annanda bertepuk tangan lagi lalu melempar bebeknya. Ia mengulurkan kedua tangan kepada sang kakak, minta digendong.
"Ngantuk, ya?" Arion mengangkat adiknya, dan menggendong bayi itu sambil mengusap-usap punggungnya. Annanda menggumam-gumam kecil sambil menyamankan kepalanya di bahu Arion. Lengan kecilnya melingkari leher sang kakak.
Tak berapa lama kemudian, Annanda kecil terlelap dalam gendongan hangat kakaknya.
Alyasha memulas lipstik berwarna natural di bibir sebagaifinishing make-up. Wajahnya terlihat lebih segar pagi ini. Setelah mengantar Annanda ke Taman Kanak-Kanak, hari ini adalah hari pertama Alyasha kembali bekerja setelah vakum sekian tahun lamanya.Alyasha telah berhenti bekerja sebagai seorang model yang melenggang di atascatwalksetelah pernikahannya dengan Aryadi. Kini, Annanda telah tumbuh menjadi seorang anak yang ceria, dan Arion telah bisa diandalkan untuk menjaga sang adik. Tidak ada alasan bagi Alyasha untuk tidak bekerja kembali.Alyasha bosan jika harus tetap berada di rumah sendirian. Ia sudah membicarakannya dengan Mas Arya, dan diijinkan untuk kembali bekerja. Dengan syarat, Alyasha tidak boleh terlalu memaksakan diri.Alyasha tersenyum mengingat pesan Mas Arya. Suaminya sang
Arion sangat mengidolakan ayahnya.Aryadi Adiputra, adalah contoh sosok ayah teladan. Ia bijak, berkharisma, dan penyayang. Meski pekerjaannya sebagai pebisnis menyita sebagian besar waktu yang ia miliki, Arya selalu meluangkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga setidaknya ketika weekend tiba.Di saat-saat seperti itu, Arya akan mengajak Arion mengobrol. Menanyakan tentang sekolahnya, ekskul, apa Arion memiliki hobi baru, atau apakah punya permintaan yang ingin ia sampaikan pada sang ayah. Arion selalu menunggu saat-saat di mana ia bisa mengobrol berdua bersama ayahnya seperti ini. Arion bebas mengeluarkan uneg-uneg maupun ide yang ada dalam pikirannya sepanjang minggu.Arya juga adalah sosok ayah yang tegas. Ia akan menghukum Arion jika itu memang diperlukan. Namun, ia juga akan memuji dengan wajah bangga ketika Arion menyampaikan prestasi apapun yang berhasil ia raih.Di umur semuda itupun A
Sejak menikah dengan Mas Arya, Alyasha tidak penah sekalipun mencampuri urusan bisnis suaminya. Menurutnya, mereka memiliki keahlian di bidang masing-masing. Mas Arya dengan perusahaannya, Alyasha dengan kariernya di bidang modelling. Dengantidak saling mencampuri pekerjaan masing-masing, mereka berarti saling menghormati satu sama lain.Sesekali, Alyasha akan mampir di kantor untuk sekedar menemui Mas Arya, atau terkadang sambil membawakan bekal yang dibuatnya dengan mencobai menu baru yang ia tonton di Yutube yang menurutnya menarik.Mereka berdua telah berpacaran sekian tahun lamanya sebelum memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Semua karyawan perusahaan mengenal Alyasha. Demikian juga Alyasha, ia mengenal hampir semua orang yang bekerja di Royal Garmen Company. Bahkan, ia juga sampai hapal nama sekuriti maupun cleaning service yang sering membersihkan kantor suaminya.A
"Mau ke mana, Alya?" tanya Aryadi ketika melihat Alyasha sudah berdandan cantik siap keluar rumah."Ah, aku lupa bilang, Mas. Hari ini ada gathering sama teman-teman di Agency. Perayaan karena kemarin Agency berhasil dapet penghargaan untuk kategori Best Model Achievements Award."Selama beberapa saat, Aryadi menatap Alyasha tanpa mengatakan sepatah kata pun. Akhir-akhir ini Alyasha sering sekali pergi keluar. Bahkan, di saat weekend di mana mereka sekeluarga harusnya menghabiskan waktu bersama, Alyasha harus berangkat ke kantor. Annanda memang hanya akan bertanya sekali. Begitu tahu ibunya pergi bekerja, gadis kecil itu tidak akan menanyakan apa-apa lagi. Namun, ayahnya tahu bahwa Annanda rindu untuk menghabiskan waktu dengan sang ibu."Akhir-akhir ini kamu sibuk banget," komentar Aryadi."Iya, Mas. Soalnya, mau menjelang musim Summer Fashion," Alyasha
Pagi itu Alyasha menggeliat perlahan. Kepalanya terasa berat dan berdenyut-denyut nyeri. Kenapa ia bisa sakit kepala? Alyasha tidak ingat.Tempat tidur yang ia tempati terasa aneh di bawah tubuh. Tidak terasa seperti ranjangnya yang biasa. Tangan halusnya meraba di atas kasur, mencari tubuh hangat Mas Arya yang biasa selalu menemani tidurnya.Tangannya tidak menemukan apapun. Apa Mas Arya bangun lebih dulu? Perlahan, ia membuka mata, mengamati sekeliling ruangan.Ini bukan kamar tidurnya.Mata Alyasha membelalak seketika. Terperanjat, ia cepat-cepat turun dari kasur. Hampir jatuh terjungkal karena selimut yang membelit kaki.Alyasha meneliti ruangan dengan panik. Tidak ada siapapun di sana kecuali dirinya. Dengan sebelah tangan, ia memijat pelipis untuk mengurangi rasa pening. Bagaimana ia bisa sampai ke mari?Alyasha berusaha mengingat apa yang telah terjadi di malam sebelumnya. Ia ingat ia pergi untuk menghadirigathering&nbs
"Mas," panggil Alyasha dengan kepala tertunduk.Ia berdiri kikuk di ambang pintu kamar cadangan yang telah dihuni Mas Arya selama seminggu lebih. Awalnya, Alyasha mendiamkannya. Merasa mungkin Mas Arya butuh ruang, atau ini mungkin semacam hukuman baginya. Namun, kian hari, rasa bersalah Alyasha semakin menjadi-jadi hingga tak tertahankan. Akhirnya, hari ini ia memberanikan diri untuk berbicara dengan suaminya."Mas, boleh aku masuk?"Mas Arya sedang berbaring di kasur memunggunginya. Namun, Alyasha tahu ia hanya sedang berpura-pura tidur. Alyasha memasuki kamar dengan langkah pelan-pelan da duduk di tepi ranjang, di belakang punggung suaminya."Mas," panggilnya lagi. Kali ini memberanikan diri menyentuh pundak sang suami. Ia bisa mer
Alyasha memasuki restoran kelas menengah Itu dengan langkah anggun. Ada senyum yang terbentuk di bibirnya. Satu-satunya hal yang mengindikasikan bahwa ia tengah tidak sabar untuk bertemu seseorang adalah gerak kepalanya yang menoleh pelan kesana kemari.Mas Arya meneleponnya hari itu. Menanyakan jika Alyasha punya waktu untuk makan siang bersama.Tentu saja Alyasha mengiyakan. Hubungannya dengan Mas Arya sudah jauh membaik daripada sebelumnya. Alyasha tidak mau mengecewakan suaminya lagi.Langkah kaki Alyasha terhenti ketika matanya menemukan sosok sang suami. Hanya saja, Mas Arya tidak sedang sendiri, ada seseorang yang sedang duduk di sampingnya. Jessy, si sekretaris. Jarak mereka kelewat dekat di mata Alyasha. Rasa tidak sukanya pada Jessy bertambah satu tingkat.Ia melihat Jessy meraih napkin, dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa didengar Alyasha dari jaraknya berdiri. Lalu, wanita itu mengusap sudut bibir Mas Arya dengan napkin. P
"Itu sudah yang ketiga belas," ucap Juan tidak sabaran.Ia menghentikan gerakan Alyasha yang hendak menuang isi dari botolwhiskeyke gelasnya lagi. Alyasha sudah tampak setengah sadar, masih juga berusaha meneis tangan Juan. Wajahnya memerah di bawah remang lampu bar."Juan, berikan padaku!" Alyasha merebut botolwhiskeyitu dari tangan Juan, dan dengan penuh kemenangan menuangkan ke gelasnya. Ia menghabiskan isinya dengan sekali teguk."Kamu akan mabuk.""Tentu saja," sahut Alyasha santai. Ia melambaikan tangannya ke sekeliling ruangan. "Bukankah setiap orang datang ke sini memang untuk mabuk? Untuk melupakan sejenak masalah mereka?"Juan meren