Scarlet menarik tangannya ketika mendengar perkataan lelaki itu. Dia membalikkan badannya, dan berjalan mendekati lemari pakaian yang sangat besar. Di bukanya lemari pakaian itu, dan di dalamnya terdapat setelan pakaian hitam berbahan lateks dengan model yang sama. Scarlet segera berpakaian dan menekan tombol yang ada di dalam lemari itu sehingga membuka suatu ruangan kecil di dalam lemari yang di penuhi dengan berbagai macam alat-alat canggih dan senjata-senjata yang tertata rapi menempel di dinding-dinding lemari itu.
Scarlet mengambil dua buah senjata lalu menyelipkannya di samping pahanya. Dia segera keluar dari ruangan itu dan menutup kembali lemarinya. Sementara alat kecil di atas meja dengan suara seorang lelaki tidak berhenti mengoceh dan memanggil-manggil namanya.
“Scar? Jika kau tidak menjawabnya, aku sendiri yang akan menjemputmu!”
“Maaf bos, aku baru selesai mandi,” ucap Scarlet berjalan santai merapikan pakaiannya.
“Kembali ke markas sekarang juga!”
“Sekarang? Aku belum berpakaian, apa bos mau aku kembali ke markas tanpa memakai pakaianku?”
“Tidak. Setelah berpakaian kembalilah ke markas.”
“Baik bos, aku mengerti,” ucap Scarlet menekan tombol di alat kecil itu.
Scarlet segera keluar dari rumah kecil itu menggunakan motor hitamnya. Motor melaju sangat cepat, setiap tikungan dan keramaian jalanan raya di lewatinya dengan sangat santai.
Beberapa menit kemudian Scarlet sampai di depan sebuah bangunan besar dengan gerbang besar yang menjulang tinggi ke atas. Scarlet menginjak gas motornya tanpa berhenti, Dan saat motor yang dia kendarai hampir mendekati gerbang itu, dengan otomatis pintu gerbang itu terbuka sehingga Scarlet bisa masuk dengan motornya tanpa berhenti.
Saat masuk ke dalam halaman gedung yang besar itu. Scarlet turun dari motornya. Di depannya terdapat bangunan yang tingginya sampai puluhan lantai. Ia meneruskan langkahnya masuk ke dalam gedung itu sampai ke area koridor yang sangat sepi. Ia masuk ke dalam sebuah ruangan dan berjalan mendekati sebuah cermin besar di dinding lalu membuka cermin itu seperti membuka sebuah pintu.
Di belakang cermin itu terdapat pintu rahasia masuk dengan sebuah alat pemindai wajah yang tertempel di depannya. Ia mendekatkan wajahnya, membiarkan alat pemindai wajah itu menyisir seluruh wajahnya dengan cahaya berwarna merah.
Tiit ....
“Welcome, Agent C-17,” suara akses masuk yang terdengar di mesin pemindai wajah diiringi dengan pintu yang terbuka otomatis.
Scarlet segera masuk ke dalamnya. Sebuah ruangan yang menghubungkan ruang rahasia yang lain. Dia berjalan melewati beberapa orang yang berada di dalamnya dengan kesibukan mereka masing-masing. Dia memasuki lift yang membawanya ke lantai dasar bangunan itu.
Pintu lift terbuka, scarlet segera berjalan masuk dengan santai. Semua orang yang sedang sibuk menatap ke layar komputernya sempat terhenti dengan aktivitas mereka melihat ke arah Scarlet. Ruangan besar yang di penuhi dengan alat-alat canggih yang memantau semua pergerakan dunia.
“Scar? Apa kau tahu apa yang kau lakukan?” sapa seorang pria yang bertubuh besar menunggu Scarlet menghampirinya.
“Bos, misiku sudah selesai. Apa aku membuat kesalahan?”
“Karena tindakanmu, kau hampir membuat agen yang lainnya terbunuh. Aku menyuruhmu untuk menemuiku setelah misimu selesai, dan kau tidak mematuhinya. Sekarang kau lihat, agen yang lain hampir saja tertangkap karena tindakanmu,” ucap lelaki itu dengan suara lantang.
“Tidak ada hubungannya denganku. Misiku hanya membunuh target yang di tetapkan, dan aku sudah terbiasa bekerja sendiri. Jadi ini bukan kesalahanku,” bantah Scarlet menatap bosnya.
“Bukan kesalahanmu, katamu? Tidak mematuhi perintahku adalah kesalahan setiap agen, sekarang pergi jalani hukumanmu!”
“Aku mengerti, bos,” ucap Scarlet dengan wajah datar dan berbalik meninggalkan bosnya.
Langkah kaki Scarlet sangat cepat berjalan memasuki lorong kecil yang di depannya terdapat sebuah pintu yang akan menjadi tujuannya. Saat Scarlet masuk, ada dua orang wanita yang telah menunggunya dengan cambuk besi yang menjuntai panjang di pegang oleh mereka.
Scarlet berjalan melewati dua wanita itu dan berdiri di tengah-tengah sebuah tiang besi yang berdiri kokoh di sisinya. Dia merentangkan kedua tangannya, membiarkan pergelangan tangannya di lilit oleh rantai besi yang menarik lurus tangannya.
Di depannya terdapat sebuah layar besar yang baru saja menyala, menggambarkan wajah bosnya yang melihat ke arahnya.
“Agen C-17, melanggar perintah atasan. Hukuman yang akan di tanggungnya adalah 20 kali cambukkan besi. Apa kau mengakui kesalahanmu?”
“Ya, Agen C-17, siap menerima hukuman,” ucap Scarlet dengan santai.
Scarlet sama sekali tidak membantah dengan apa yang dikatakan bosnya. Baginya hukuman yang akan dia terima sudah sering terjadi, tubuhnya bahkan seakan merindukan rasa sakit yang menyiksa kulitnya itu.
Scarlet menutup matanya, menunggu cambukkan besi yang akan di rasakan oleh tubuhnya lagi. Saat satu cambukkan menepis bagian belakangnya, mata Scarlet terbuka menatap layar yang masih menampilkan wajah bosnya. Dia menahan rasa perih yang merobek kulitnya, namun tak ada suara teriakan yang keluar dari mulutnya. Setiap cambukkan yang dia terima seakan membungkam mulutnya, tubuhnya bahkan bergetar menahan rasa perih dari cambuk besi itu. Sesekali lututnya tertekuk menahan tubuhnya sendiri, rantai besi yang menahan pergelangan tangannya agar terentang menjadi topangannya untuk berdiri dengan tegak.
Bisa Scarlet rasakan belakangnya mulai basah dengan darah yang perlahan mulai mengalir di belakangnya. Pakaian lateks yang di pakainya sama sekali tidak sobek, tapi kulitnya sangat terasa sudah mulai tersayat. Wajahnya bahkan mengeluarkan keringat yang sangat banyak menahan siksaan itu.
Setelah hukumannya selesai, belenggu di pergelangan tangannya terlepas dengan sendirinya. Scarlet tersungkur dengan nafas yang tersengal-sengal. Layar yang ada di depannya masih menyalanya, bosnya bahkan menatapnya dengan tatapan yang dingin. Scarlet tersenyum kecil menatap ke layar itu dengan tatapan yang tajam.
Setelah layar yang ada di depannya padam, Scarlet berdiri dan berusaha berjalan keluar dari ruangan itu. Dia memasuki ruangan yang lainnya yang tak jauh dari ruang penghukuman itu, wajahnya terlihat pucat saat membuka pintu.
Di dalam ruangan itu di penuhi dengan obat-obatan dan peralatan medis. Scarlet berjalan dengan menopang tubuhnya di antara meja-meja menuju ke rak obat-obatan. Dia membuka pakaiannya, seluruh tubuh bagian belakangnya dipenuhi dengan darah dan bekas luka akibat cambukkan itu.
Dengan sisa-sisa kekuatannya Scarlet mengambil beberapa botol alkohol lalu menyiramnya ke bagian belakangnya. Rasa perih yang menusuk sampai ke tulang belakangnya membuat Scarlet memejamkan matanya dan menggertakkan giginya.
“Arrgggh!” tak dapat menahan lagi Scarlet berteriak dengan mencoba meredam suaranya sendiri saat cairan alkohol itu memasuki seluruh bekas luka yang masih baru.
Nafasnya tertahan menahan setiap siraman cairan alkohol yang berkali-kali dia tuangkan dan mengalir membasahi seluruh tubuh bagian belakangnya.
“Scarlet?” sapa seorang wanita yang berpakaian seperti seorang dokter dengan jubah putihnya dan kacamata yang di pakainya.
Wanita itu datang menghampirinya dan mengambil botol alkohol yang di pegang Scarlet.
“Aku bisa sendiri, jangan menggangguku!” ucap Scarlet dengan nada datar.
“Ini adalah tugasku, aku harus mengobatimu,” ucap wanita itu memegang tangan Scarlet dengan wajah yang cemas memperhatikan bagian belakangnya yang terluka.
“Tapi ini adalah tubuhku. Pergi!” bantah Scarlet melepaskan tangan wanita itu dengan kuat sehingga membuat wanita itu terjatuh.
Saat itu Scarlet merasa pening di kepalanya dan pandangan matanya menjadi gelap. Dia terjatuh lemas di lantai dengan bagian belakang yang tercabik-cabik akibat cambukkan besi.
Di atas ranjang Scarlet membuka pelan matanya dengan tubuh yang tertidur menyamping. Di pergelangan tangannya terpasang selang infus yang mentransferkan sekantong darah yang masuk melalui nadi besar di tangannya. Scarlet berdiri dari ranjang, menggerakkan seluruh badannya. Luka di bagian belakang seakan tidak di rasakannya, dia melepaskan selang infus yang menancap di pergelangan tangannya dan berjalan mendekati pintu. Namun sebelum dia mendekati pintu, seorang wanita masuk dan melihatnya dengan cemas. Wanita yang bertugas sebagai dokter untuk semua agen, memastikan kesehatan dan mengobati agen yang terluka, berjalan menghampirinya. “Sudahku duga, kau bisa pulih secepat ini. Bagaimana perasaanmu? Apa kau merasakan kesakitan?” tanya wanita itu memperhatikan seluruh bagian tubuh Scarlet. “Apa yang kau lakukan padaku?” tanya Scarlet datar. “Aku merawatmu, aku
Dengan cepat Scarlet meluncur di seutas tali besi itu. Dia melayang di udara dengan berpegangan pada tali yang membawanya ke gedung yang ada di depannya. Saat Scarlet berada di depan gedung itu, dia melepaskan pegangannya dan mendaratkan kakinya di atas gedung. Bagaikan seorang yang ahli dalam segala hal, dia membuka pintu dan mematikan alarm pengaman dengan sebuah alat kecil yang di hubungkan ke mesin alarm. Pintu terbuka tanpa mengaktifkan alarm pengaman. Scarlet memakai kacamata inframerah agar bisa melihat di dalam kegelapan. Cahaya merah yang berad,a di sudut atas dinding itu membuat langkahnya terhenti. Dia mengatur langkahnya agar CCTV tidak dapat menjangkau dirinya. Setelah berhasil lolos, dengan cepatnya Scarlet menuju ke ruangan tempat penyimpanan file sesuai dengan denah lokasi yang diingatnya. Tak ada sesuatu yang terjadi dengan misinya kali ini,
Setelah menyelesaikan misinya, Scarlet kembali ke hotel. Telinganya yang sejak tadi berdengung membuatnya sulit mendengarkan suara-suara yang ada di sekitarnya. Bahkan dering panggilan masuk di Hpnya tidak di hiraukannya karena semakin lama telinganya merasakan kesakitan. Dia membasuh wajahnya di dalam kamar mandi dan membersihkan dirinya dari semua kotoran yang menempel pada tubuhnya. Kebiasaan yang sering di lakukan Scarlet saat menyelesaikan misinya adalah dengan merendam tubuhnya di dalam bathup sampai akhirnya dia tertidur sendiri. Belum lama dia tertidur, keringat mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Mimpi yang membuatnya tersiksa setiap kali dia tertidur adalah kenyataan yang dia bawa sampai ke alam bawa sadarnya. Memimpikan bagaimana dia besarkan dan dilatih dengan cara yang kejam, memimpikan bagaimana dia membunuh sahabat yang tumbuh besar bersamanya. Begitu potongan-potongan mimpi itu menunjukkan Scarlet membunuh seora
Saat Scarlet hendak pergi dengan motornya, lelaki yang mengikutinya berlari dan menghadangnya dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia bahkan tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa mengalahakan semua pria itu. “No-nona, apa kau yang melakukan hal itu kepada mereka?” tanya lelaki itu keheranan. “Berhentilah mengikutiku jika kau tidak ingin menjadi salah satu dari mereka!” ucap Scarlet sambil memainkan gas motornya, memaksa lelaki itu untuk menghindar dari hadapannya. Scarlet pergi meninggalkan lelaki itu dengan motornya yang melaju. Di tengah keramaian kendaraan di jalanan, dia berhenti di tepi jalan jembatan gantung dan turun dari motornya sambil memperhatikan cahaya lampu dari bangunan-bangunan yang menjadi penerang di tengah gelapnya malam. Baru kali ini Scarlet menikmati gemerlap malam dengan santai tanpa misi-misi berdarah yang selama ini dia lakukan. “Hmm ....” Sc
“Sudah aku katakan padamu, jangan lagi mengulangi kesalahan yang sama. Mematikan semua kontak dan radarmu setelah menyelesaikan misimu,” teriak seorang lelaki berwajah garang yang adalah bosnya sendiri saat Scarlet baru saja sampai ke markas mereka. Yah, bukannya di sambut dan di puji atas keberhasilannya menyelesaikan misinya, malah dimarahi karena tidak mengaktifkan alat pelacaknya. Saat ocehan kasar keluar dari mulut bosnya, telinga Scarlet berdengung sehingga membuatnya tidak bisa mendengarkan dengan jelas apa yang baru saja di katakannya. Namun dia tau kalau di setiap kesalahan yang dia lakukan selalu ada hukuman yang menantinya di dalam ruangan penyiksaan itu. “Baik bos, aku mengerti,” ucap Scarlet seolah tau apa yang di katakan bosnya. Scarlet segera pergi meninggalkan bosnya, mengacuhkan perkataan yang belum terselesaikan dari
“Baiklah, aku mengerti,” ucap Scarlet singkat lalu segera meninggalkan wanita itu sendirian. Selama beberapa hari tidak sadarkan diri membuat tubuh Scarlet semakin berenergi. Dia berjalan memasuki ruangan bosnya untuk melaporkan kembali misinya, karena saat bosnya mengoceh, pendengarannya sedang terganggu. Jadi tidak ada satu pun perkataan bosnya bisa dia mengerti. Saat Scarlet masuk ke dalam ruangan itu, bosnya sudah menunggunya dengan duduk bersandar di sandaran kursi. “Kau sudah sadar?” “Terima kasih, Bos. Berkat bos aku masih baik-baik saja sampai sekarang,” ucap Scarlet menjatuhkan dirinya di sofa yang empuk. Ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, membunyikan tulang lehernya yang telah lama tertidur kaku di atas ranjang. “Sikap santaimu ini membuatku semakin kesal, Scar. Bagaimana kau bisa bersantai sedangkan aku yang kena imbasnya dari bos
“Kartu undangan? ... oh, ada padaku.” Scarlet merogoh ke dalam tasnya, berharap kartu undangannya ada di dalam tas pestanya. Dan tentu saja seperti perkataan bosnya bahwa semua persiapannya sudah di siapkan. Scarlet mengeluarkan kartu undangan berwarna gold dan menyerahkannya kepada pengawal itu. “Silakan masuk, Mrs. Pattinson. Maaf atas ketidaknyamanannya.” Scarlet berjalan melewati pintu yang telah di bukakan oleh pengawal itu. Acara pesta yang luar biasa pengamanannya. Tentu saja hal itu harus di lakukan karena banyak orang-orang penting yang hadir di dalam sana. Suara alunan musik klasik terdengar di ruangan yang besar itu. Saat ia masuk, penerima tamu yang berdiri di samping pintu menyambutnya dengan sopan dan memberikan sebuah topeng untuk di gunakannya saat itu. Semua tamu yang ada di dalam sudah menggunakan topeng mereka masing-masing. Scarlet pun segera memakai topeng yang di berikan
Dengan kekesalannya, Scarlet berjalan menuju toilet untuk menenangkan dirinya sebentar dan juga tentu saja untuk memasang alat pelacak yang telah di tempelkan di kerah kemeja Don Carlos. Ia mengeluarkan alat pendengar kecil dan memasangkannya di telinganya untuk mendengar apa yang dilakukan oleh Don Carlos. Tebakannya benar kalau Don Carlos pasti akan menemui Alexander untuk bernegosiasi lagi. Melalui alat pendengar itu Scarlet bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dan sepertinya kedua lelaki itu sudah tidak berada di dalam ruangan yang bising dengan suara musik. Dari percakapan mereka Don Carlos menawarkan kebebasan anaknya untuk di tukarkan dengan kekayaan miliknya, tapi Alexander menolaknya dengan serius. Melalui perkataan Alexander yang terdengar sedikit samar-samar membuat Scarlet tertegun saat menyadari suara Alexander sedikit tak asing di telinganya. Dia segera keluar dari toilet dan mencari keberadaan Alexander yang sebenarnya. Scarlet be
“Em, Nona ... kau membawaku di hotel?” Scarlet tak punya pilihan lain selain menempatkan Richard di sampingnya dan membiarkan lelaki itu hidup sedikit lama agar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Apalagi berita tentang masalah yang dia sebabkan di penjara Colorida sudah tersebar di seluruh media masa. Ia terpaksa harus ekstra hati-hati dalam menunjukkan dirinya di depan publik jangan sampai dikenali oleh orang lain. Ia melepaskan borgol di pergelangan tangannya dan mengaitkannya di tiang besi ranjang, membiarkan Richard duduk di atas ranjang dengan nyaman. “Hubungi Don Carlos dan minta dia menemuiku sendirian,” ucapnya melirik ke arah telepon yang terletak di atas meja kecil yang tak jauh dari Richard. “Apa kau tak takut Don Carlos akan menemukan lokasi kita berdua.” “Aku hanya ingin dia tau kalau kau masih hidup dan bersama dengan or
“Jangan bercanda! Tembak mereka,” teriak Scarlet dengan suara lantang. Richard segera mengambil pistol yang berada di samping paha Scarlet dan mulai menembak mobil di belakang mereka. Namun tak ada satupun mobil yang terhalang karena tembakannya selalu meleset saat Scarlet membelokkan motornya untuk menghindari hujan peluru dari belakang. Merasa kesal dengan kemampuan menembak Richard, Scarlet memerintahkan Richard untuk memegang kemudi motor dari belakang. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya Richard yang bingung dengan posisi mereka saat itu. “Berikan pistolnya padaku dan bawa motornya,” ucap Scarlet mengambil pistolnya. Richard dengan cepat membungkukkan badannya ke samping untuk meraih pegangan setir motor yang ada di depan. Sedangkan Scarlet yang telah melepaskan tangannya dari setir m
Di dalam tong sampah Scarlet mulai merasakan kalau tong yang ia masuki sedang bergerak. Seorang petugas kebersihan mulai mendorong tong sampah yang di masuki Scarlet dan membawanya ke bagian belakang dapur untuk membuang semua sampah ke saluran pembuangan. Saat petugas sampah membuka penutup tong, Scarlet dengan cepat berdiri sehingga membuat petugas kebersihan itu terkejut. Ia memegang kepalanya dan memutar dengan kuat sehingga petugas tersebut segera meninggal. Scarlet keluar dari dalam tong itu dan membersihkan kotoran yang menempel di pakaiannya. Ia mengangkat petugas kebersihan itu dan melemparkannya ke dalam saluran pembuangan sampah agar tidak diketahui orang lain. Di atas dinding terdapat sebuah lorong kecil tempat saluran udara yang menghubungkan ke beberapa ruangan di dalam penjara itu. Ia mendorong tong sampah yang ada di sampingnya dan menaikinya. Melalui saluran udara itu Scarlet masuk dan merayap di dala
Ia berjalan kembali ke dapur menemui Nathania dan membereskan piring makanannya. Scarlet menariknya keluar dari rumahnya dan mengunci pintu rumahnya. Ia keluar dari bagasi di samping rumahnya dengan motor hitam besarnya. Ia keluar dari halaman rumahnya diikuti dengan Nathania yang membawa mobilnya dari belakang. Scarlet dengan cepat membawa motornya, menyelip di antara mobil-mobil yang berada di jalanan. Ia berusaha menjauhi mobil Nathania agar tidak sampai bersamaan dengannya di depan gedung besar yang merupakan samaran dari markas mereka. Namun keahliannya Nathania dalam membawa mobil dan mengetahui jalur-jalur jalan membuatnya bisa mengejar motor Scarlet. Keduanya sampai di depan gedung besar secara bersamaan. Scarlet mengacuhkannya dan berjalan memasuki gedung itu sampai menuju ke dalam markas mereka. Saat mereka berdua masuk, bos sudah menunggu kedatangan mereka dengan wajahnya yang datar. “Scar ... apa kau sudah menem
“Warnanya adalah warna favoritku. Ukurannya juga sangat cocok di badanku.” Scarlet menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan dari Nathania. Dia terpaku, ekspresinya yang tadi dingin berubah menjadi murung. “Aku ingin sekali memenuhi seluruh lemari pakaianku dengan warna biru ini,” ucapnya lagi melihat ke arah Scarlet. Ada penyesalan terlihat dari ekspresi wajah Scarlet. Ia membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Nathania tanpa berargumen lagi. Niatnya yang tadinya ingin menghajar Nathania malah berubah saat mendengar perkataan Nathania. Setiap perkataan yang di lontarkan Nathania serasa tak asing di telinganya. Sebuah ingatan dari masa lalu yang membuatnya merasakan sesuatu yang menyayat hatinya sehingga ia memilih untuk pergi meninggalkan wanita yang baru ia kenal itu. Scarlet berdiri di samping jendela kaca, sorot matanya yang kosong membayangkan kembali setiap ingatan-in
“Hmm ... agen C 17,” ucap Nathania tersenyum kecil melihat Scarlet. “Agen D 13, benarkan?” “Ya, kau benar,” jawabnya tertawa kecil. “Apa ada yang lucu?” “Tidak ada. Bagaimana dengan lelaki yang ada di dalam rumah itu? Apa kau membunuhnya?” “Aku tidak yakin kalau dia sudah mati, tapi beberapa tusukan dariku bisa membuat nyawanya berada di ujung tanduk. Kalau nasibnya beruntung mungkin saja dia koma beberapa bulan.” “Dia mungkin bisa menambah masalahmu jika masih hidup.” “Tidak apa-apa. Lebih banyak masalah lebih bagus.” “Scar, apa sekarang kita akan kembali ke markas?” “Kita? Apa maksudnya dengan kita?” tanya Scarlet melihatnya dengan wajah datar. “Scar, sejak aku menolongmu, kita sudah jadi partner,” jawab Nathania dengan wajah yang bingung bercampur kekesalan karena sikap Scarlet yang
Scarlet terbatuk menahan sakit di tenggorokannya yang hampir patah akibat cengkeraman itu. Sementara lelaki yang di tusuknya tersandar di dinding kamar. Lelaki itu sekarat, ia menahan darah di perutnya yang masih mengalir begitu deras dan mencoba meraih pistol yang ada di lantai. Namun langkah Scarlet lebih cepat darinya, tangan lelaki itu di hentikan oleh injakkan kaki Scarlet yang kuat. Scarlet memungut pistolnya dan membidiknya tepat ke atas dahi lelaki yang sudah tidak berdaya di bawahnya. “Si-siapa kamu? Siapa yang menyuruhmu?” “Hmp ... apa hanya ini kemampuan dari seorang jenderal yang terkenal dengan kelicikannya?” “Ha ha ha ... apa seorang jenderal yang licik bisa dengan mudahnya di bunuh oleh gadis sepertimu?” “Apa lelaki yang bersamamu itu adalah Alexander?” “Meskipun kau tau, kau tidak akan bisa membunuhnya dengan mudah.”
Dengan kekesalannya, Scarlet berjalan menuju toilet untuk menenangkan dirinya sebentar dan juga tentu saja untuk memasang alat pelacak yang telah di tempelkan di kerah kemeja Don Carlos. Ia mengeluarkan alat pendengar kecil dan memasangkannya di telinganya untuk mendengar apa yang dilakukan oleh Don Carlos. Tebakannya benar kalau Don Carlos pasti akan menemui Alexander untuk bernegosiasi lagi. Melalui alat pendengar itu Scarlet bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dan sepertinya kedua lelaki itu sudah tidak berada di dalam ruangan yang bising dengan suara musik. Dari percakapan mereka Don Carlos menawarkan kebebasan anaknya untuk di tukarkan dengan kekayaan miliknya, tapi Alexander menolaknya dengan serius. Melalui perkataan Alexander yang terdengar sedikit samar-samar membuat Scarlet tertegun saat menyadari suara Alexander sedikit tak asing di telinganya. Dia segera keluar dari toilet dan mencari keberadaan Alexander yang sebenarnya. Scarlet be
“Kartu undangan? ... oh, ada padaku.” Scarlet merogoh ke dalam tasnya, berharap kartu undangannya ada di dalam tas pestanya. Dan tentu saja seperti perkataan bosnya bahwa semua persiapannya sudah di siapkan. Scarlet mengeluarkan kartu undangan berwarna gold dan menyerahkannya kepada pengawal itu. “Silakan masuk, Mrs. Pattinson. Maaf atas ketidaknyamanannya.” Scarlet berjalan melewati pintu yang telah di bukakan oleh pengawal itu. Acara pesta yang luar biasa pengamanannya. Tentu saja hal itu harus di lakukan karena banyak orang-orang penting yang hadir di dalam sana. Suara alunan musik klasik terdengar di ruangan yang besar itu. Saat ia masuk, penerima tamu yang berdiri di samping pintu menyambutnya dengan sopan dan memberikan sebuah topeng untuk di gunakannya saat itu. Semua tamu yang ada di dalam sudah menggunakan topeng mereka masing-masing. Scarlet pun segera memakai topeng yang di berikan