Setelah menyelesaikan misinya, Scarlet kembali ke hotel. Telinganya yang sejak tadi berdengung membuatnya sulit mendengarkan suara-suara yang ada di sekitarnya. Bahkan dering panggilan masuk di Hpnya tidak di hiraukannya karena semakin lama telinganya merasakan kesakitan.
Dia membasuh wajahnya di dalam kamar mandi dan membersihkan dirinya dari semua kotoran yang menempel pada tubuhnya. Kebiasaan yang sering di lakukan Scarlet saat menyelesaikan misinya adalah dengan merendam tubuhnya di dalam bathup sampai akhirnya dia tertidur sendiri.
Belum lama dia tertidur, keringat mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Mimpi yang membuatnya tersiksa setiap kali dia tertidur adalah kenyataan yang dia bawa sampai ke alam bawa sadarnya. Memimpikan bagaimana dia besarkan dan dilatih dengan cara yang kejam, memimpikan bagaimana dia membunuh sahabat yang tumbuh besar bersamanya. Begitu potongan-potongan mimpi itu menunjukkan Scarlet membunuh seorang wanita dengan tangannya sendiri, dia segera terbangun dengan teriakan.
Keringat yang mengalir di seluruh tubuh yang terendam air di dalam bathup membuatnya tidak nyaman lagi. Scarlet segera keluar dari bathup dan berpakaian. Telinganya juga sudah tidak berdegung dan sakit lagi.
Suara dering Hp kini bisa dia dengar, tapi tetap saja dia merasa resah dengan gangguan Hpnya yang berdering. Dia segera mematikan Hpnya agar tidak menambah kekesalannya.
Langit malam yang gelap tanpa sinar bintang dan bulan membawa dirinya menjelajahi pusat kota yang sangat ramai. Begitu sampai di depan gedung Club malam, Scarlet segera menghentikan motornya dan memasuki Club itu.
Di dalam Club dia segera menuju ke meja bartender dan duduk disana. Tatapan mata lelaki yang memandangnya seakan ingin memangsa tidak di pedulikannya. Scarlet hanya menikmati minuman yang baru saja dia pesan.
“Hai cantik, apa aku boleh menemanimu minum,” sapa seorang lelaki dengan senyuman nakal berdiri di samping Scarlet.
“....” Scarlet hanya terdiam meliriknya lalu kembali meneguk minumannya.
“Baiklah, aku harap kau setuju. Lagipula kursi di sampingmu kosong,” lagi kata lelaki itu duduk di sampingnya.
Scarlet dengan cepat menghabiskan minumannya dan berdiri dari kursinya, tapi saat dia hendak pergi, lelaki yang duduk di sampingnya menahan tangannya.
“Hei, tidak sopan meninggalkan orang yang menemanimu minum. Ayo minum lagi.”
“Kamu, berikan segelas minuman yang dia minum padanya,” ucap lelaki itu melihat ke bartender yang ada di depannya.
Scarlet melepaskan tangannya dengan menatap tajam lelaki itu. Dia segera meneguk segelas minuman yang di berikan padanya tanpa berkata-kata.
“Aku suka tatapanmu itu, membuatku ingin sekali menggigitmu,” ucap lelaki itu tersenyum nakal.
“Lagi, berikan minumannya pada wanita cantik ini.”
Scarlet berbalik dengan kesal menjauhi lelaki itu, tapi sekali lagi lelaki itu menahan tangannya. Wajah Scarlet memerah, bukan karena pengaruh alkohol yang diminumnya tapi karena menahan emosi yang sudah meluap-luap, tangannya bahkan terasa semakin gatal ingin mematahkan tangan lelaki itu. Dia mengepalkan jemari tangannya dengan kuat, bersiap untuk melayangkan satu pukulan ke wajah lelaki itu.
“Apa yang kau lakukan? Lepaskan tangan gadis ini!” ucap seorang pria yang lain sehingga membuatnya menggagalkan rencananya.
Seorang pria bertubuh besar, tinggi, dan juga berwajah tampan dan mapan berdiri di tengah-tengah mereka dengan wajah yang datar.
“Kau tidak tau siapa aku? Jangan mencampuri urusanku, pergi sana!”
Dengan cepat lelaki yang membela Scarlet melepaskan tangan lelaki itu sehingga Scarlet bisa terlepas dari cengkeraman lelaki yang mengganggunya.
Terjadi argumen diantara kedua lelaki yang berada di depan Scarlet hingga akhirnya menyebabkan mereka berdua berkelahi. Scarlet hanya terdiam memangku tangannya, menikmati pertunjukan yang menarik baginya.
Saat selesai berkelahi, lelaki yang menggagalkan rencana Scarlet menghampirinya. Lelaki berwajah tampan dan mapan, dengan sepasang mata berwarna biru terang bagaikan lautan yang indah membuat Scarlet terpaku menatapnya. Seakan terhipnotis dengan mata indahnya, Scarlet menunggu lelaki itu mendekatinya agar bisa memperhatikan matanya lebih dekat lagi.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya lelaki itu, memperhatikan wajah Scarlet yang terdiam.
“....” Scarlet hanya terdiam mematung, menikmati sepasang mata indah yang berada di depannya.
“Nona ... hei, apa kau baik-baik saja?”
Scarlet segera tersadar saat suara bas dari lelaki itu mengetuk pendengarannya. Dengan wajah datar Scarlet mengangguk meninggalkan lelaki yang masih berdiri dengan wajah kebingungan.
Malam masih panjang, jarang sekali Scarlet menikmati waktunya tanpa misi yang mengikutinya setiap menyelesaikan misi yang lain. Tak ingin kembali ke hotel Scarlet berjalan di sepanjang jalan, meninggalkan motornya yang masih terparkir.
Saat berjalan melewati gang sempit yang sunyi, terdengar suara lelaki yang bercakap-cakap. Beberapa lelaki yang sedang berkumpul memperhatikan Scarlet yang berjalan melewati mereka dengan santai. Para lelaki itu melirik bentuk tubuh Scarlet sambil bersiul, mereka berjalan mengikutinya bahkan menggodanya.
“Kau mau kemana gadis cantik?”
“Ayo temani kami bermain.”
Ucap beberapa lelaki yang mengikutinya dari belakang. Setiap godaan yang di ucapkan beberapa lelaki itu tidak di gubrisnya. Dia hanya meneruskan langkahnya dengan santai dan mengacuhkan mereka.
Beberapa lelaki itu segera menghadangnya dari depan karena sikap acuh Scarlet yang membuat mereka semakin tertarik dengannya.
“Jangan jual mahal, kami akan membayarmu dengan uang yang sangat banyak jika kau melakukan perintah kami dengan baik.”
Scarlet menatap mereka satu persatu dengan wajah datar, “Kalian ingin membayarku? Untuk melakukan apa? Membunuh? Mencuri?”
“Aku semakin suka dengan gadis liar sepertimu. Tenang saja, kau tidak perlu melakukan semua hal yang kau katakan. Kau hanya perlu mengikuti semua perkataan kami, ayo ikuti kami. Kita cari tempat yang lebih nyaman untuk berbicara,” ucap salah satu dari lelaki yang menghadangnya.
Mereka memegang tangan Scarlet dan membawanya masuk di gang sempit yang gelap dan sunyi. Sementara Scarlet sendiri hanya terdiam mengikuti kemana mereka membawanya.
Pemandangan Scarlet di bawa oleh beberapa lelaki sempat dilihat oleh lelaki bermata biru terang yang menggagalkan rencananya saat di dalam Club. Lelaki itu mengikuti mereka untuk menolong Scarlet.
Saat sampai di lorong gang yang gelap dan sunyi, semua lelaki berkerumun mendekati Scarlet dengan tatapan yang kelaparan ingin menikmatinya. Scarlet masih terdiam menunggu mereka beraksi.
“Oh, wajah yang manis ini membuatku ingin sekali melahapmu,” ucap lelaki itu mendekatkan wajahnya ke depan wajah Scarlet.
Tangan lelaki itu perlahan menyentuh bahu Scarlet dan bersiap untuk mengecupnya.
“Aarrrgghhh!” teriak histeris lelaki itu.
Satu tendangan yang kuat dengan lutut Scarlet tepat mengenai bagian kebanggaan lelaki itu. Beberapa lelaki yang melihat aksi Scarlet sempat terkejut, mereka mendekati Scarlet secara bersamaan untuk menahannya agar tidak memberontak. Namun Scarlet dengan cepatnya mematahkan batang leher semua pria yang mendekatinya. Kini yang tersisa hanyalah lelaki yang sedang menahan rasa sakit di kebanggaannya.
“Tidak ... jangan ... aku mohon, maafkan aku,” ucap lelaki itu dengan suara yang bergetar ketakutan saat melihat teman-temannya sudah tidak bernyawa lagi.
“Ulurkan tanganmu,” ucap Scarlet dengan wajah datar, melihat lelaki yang ada di depannya.
Lelaki itu mengulurkan tangannya yang masih bergemetar ke hadapan Scarlet. Dengan cepat Scarlet memutar tangan lelaki itu dan menghajarnya dengan tangannya.
“Aarrgh!” lelaki itu berteriak semakin histeris dengan tangan yang sudah terurai lemas ke bawa karena di patahkan oleh Scarlet.
“Bersyukurlah pada tanganmu karena sudah menyelamatkan nyawamu,” ucap Scarlet lalu segera berbalik dan berjalan meninggalkan lelaki itu.
Saat Scarlet keluar dari gang yang sempit itu, dia berpapasan dengan lelaki yang menggagalkan rencananya saat berada di dalam Club. Lelaki itu menatapnya dengan wajah kebingungan dan keheranan karena melihat Scarlet yang keluar dengan selamat secepat itu.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya lelaki itu memperhatikan Scarlet sekali lagi dengan keheranan.
“Berhenti mengikutiku jika kau tidak ingin berakhir seperti mereka!” ucap Scarlet datar menatapnya dengan tatapan yang tajam.
Scarlet berjalan melewati lelaki itu yang masih kebingungan. Karena rasa penasaran lelaki itu pergi melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan beberapa lelaki yang membawanya. Sementara Scarlet sendiri kembali ke Club itu untuk mengambil motornya.
Saat Scarlet hendak pergi dengan motornya, lelaki yang mengikutinya berlari dan menghadangnya dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia bahkan tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa mengalahakan semua pria itu. “No-nona, apa kau yang melakukan hal itu kepada mereka?” tanya lelaki itu keheranan. “Berhentilah mengikutiku jika kau tidak ingin menjadi salah satu dari mereka!” ucap Scarlet sambil memainkan gas motornya, memaksa lelaki itu untuk menghindar dari hadapannya. Scarlet pergi meninggalkan lelaki itu dengan motornya yang melaju. Di tengah keramaian kendaraan di jalanan, dia berhenti di tepi jalan jembatan gantung dan turun dari motornya sambil memperhatikan cahaya lampu dari bangunan-bangunan yang menjadi penerang di tengah gelapnya malam. Baru kali ini Scarlet menikmati gemerlap malam dengan santai tanpa misi-misi berdarah yang selama ini dia lakukan. “Hmm ....” Sc
“Sudah aku katakan padamu, jangan lagi mengulangi kesalahan yang sama. Mematikan semua kontak dan radarmu setelah menyelesaikan misimu,” teriak seorang lelaki berwajah garang yang adalah bosnya sendiri saat Scarlet baru saja sampai ke markas mereka. Yah, bukannya di sambut dan di puji atas keberhasilannya menyelesaikan misinya, malah dimarahi karena tidak mengaktifkan alat pelacaknya. Saat ocehan kasar keluar dari mulut bosnya, telinga Scarlet berdengung sehingga membuatnya tidak bisa mendengarkan dengan jelas apa yang baru saja di katakannya. Namun dia tau kalau di setiap kesalahan yang dia lakukan selalu ada hukuman yang menantinya di dalam ruangan penyiksaan itu. “Baik bos, aku mengerti,” ucap Scarlet seolah tau apa yang di katakan bosnya. Scarlet segera pergi meninggalkan bosnya, mengacuhkan perkataan yang belum terselesaikan dari
“Baiklah, aku mengerti,” ucap Scarlet singkat lalu segera meninggalkan wanita itu sendirian. Selama beberapa hari tidak sadarkan diri membuat tubuh Scarlet semakin berenergi. Dia berjalan memasuki ruangan bosnya untuk melaporkan kembali misinya, karena saat bosnya mengoceh, pendengarannya sedang terganggu. Jadi tidak ada satu pun perkataan bosnya bisa dia mengerti. Saat Scarlet masuk ke dalam ruangan itu, bosnya sudah menunggunya dengan duduk bersandar di sandaran kursi. “Kau sudah sadar?” “Terima kasih, Bos. Berkat bos aku masih baik-baik saja sampai sekarang,” ucap Scarlet menjatuhkan dirinya di sofa yang empuk. Ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, membunyikan tulang lehernya yang telah lama tertidur kaku di atas ranjang. “Sikap santaimu ini membuatku semakin kesal, Scar. Bagaimana kau bisa bersantai sedangkan aku yang kena imbasnya dari bos
“Kartu undangan? ... oh, ada padaku.” Scarlet merogoh ke dalam tasnya, berharap kartu undangannya ada di dalam tas pestanya. Dan tentu saja seperti perkataan bosnya bahwa semua persiapannya sudah di siapkan. Scarlet mengeluarkan kartu undangan berwarna gold dan menyerahkannya kepada pengawal itu. “Silakan masuk, Mrs. Pattinson. Maaf atas ketidaknyamanannya.” Scarlet berjalan melewati pintu yang telah di bukakan oleh pengawal itu. Acara pesta yang luar biasa pengamanannya. Tentu saja hal itu harus di lakukan karena banyak orang-orang penting yang hadir di dalam sana. Suara alunan musik klasik terdengar di ruangan yang besar itu. Saat ia masuk, penerima tamu yang berdiri di samping pintu menyambutnya dengan sopan dan memberikan sebuah topeng untuk di gunakannya saat itu. Semua tamu yang ada di dalam sudah menggunakan topeng mereka masing-masing. Scarlet pun segera memakai topeng yang di berikan
Dengan kekesalannya, Scarlet berjalan menuju toilet untuk menenangkan dirinya sebentar dan juga tentu saja untuk memasang alat pelacak yang telah di tempelkan di kerah kemeja Don Carlos. Ia mengeluarkan alat pendengar kecil dan memasangkannya di telinganya untuk mendengar apa yang dilakukan oleh Don Carlos. Tebakannya benar kalau Don Carlos pasti akan menemui Alexander untuk bernegosiasi lagi. Melalui alat pendengar itu Scarlet bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dan sepertinya kedua lelaki itu sudah tidak berada di dalam ruangan yang bising dengan suara musik. Dari percakapan mereka Don Carlos menawarkan kebebasan anaknya untuk di tukarkan dengan kekayaan miliknya, tapi Alexander menolaknya dengan serius. Melalui perkataan Alexander yang terdengar sedikit samar-samar membuat Scarlet tertegun saat menyadari suara Alexander sedikit tak asing di telinganya. Dia segera keluar dari toilet dan mencari keberadaan Alexander yang sebenarnya. Scarlet be
Scarlet terbatuk menahan sakit di tenggorokannya yang hampir patah akibat cengkeraman itu. Sementara lelaki yang di tusuknya tersandar di dinding kamar. Lelaki itu sekarat, ia menahan darah di perutnya yang masih mengalir begitu deras dan mencoba meraih pistol yang ada di lantai. Namun langkah Scarlet lebih cepat darinya, tangan lelaki itu di hentikan oleh injakkan kaki Scarlet yang kuat. Scarlet memungut pistolnya dan membidiknya tepat ke atas dahi lelaki yang sudah tidak berdaya di bawahnya. “Si-siapa kamu? Siapa yang menyuruhmu?” “Hmp ... apa hanya ini kemampuan dari seorang jenderal yang terkenal dengan kelicikannya?” “Ha ha ha ... apa seorang jenderal yang licik bisa dengan mudahnya di bunuh oleh gadis sepertimu?” “Apa lelaki yang bersamamu itu adalah Alexander?” “Meskipun kau tau, kau tidak akan bisa membunuhnya dengan mudah.”
“Hmm ... agen C 17,” ucap Nathania tersenyum kecil melihat Scarlet. “Agen D 13, benarkan?” “Ya, kau benar,” jawabnya tertawa kecil. “Apa ada yang lucu?” “Tidak ada. Bagaimana dengan lelaki yang ada di dalam rumah itu? Apa kau membunuhnya?” “Aku tidak yakin kalau dia sudah mati, tapi beberapa tusukan dariku bisa membuat nyawanya berada di ujung tanduk. Kalau nasibnya beruntung mungkin saja dia koma beberapa bulan.” “Dia mungkin bisa menambah masalahmu jika masih hidup.” “Tidak apa-apa. Lebih banyak masalah lebih bagus.” “Scar, apa sekarang kita akan kembali ke markas?” “Kita? Apa maksudnya dengan kita?” tanya Scarlet melihatnya dengan wajah datar. “Scar, sejak aku menolongmu, kita sudah jadi partner,” jawab Nathania dengan wajah yang bingung bercampur kekesalan karena sikap Scarlet yang
“Warnanya adalah warna favoritku. Ukurannya juga sangat cocok di badanku.” Scarlet menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan dari Nathania. Dia terpaku, ekspresinya yang tadi dingin berubah menjadi murung. “Aku ingin sekali memenuhi seluruh lemari pakaianku dengan warna biru ini,” ucapnya lagi melihat ke arah Scarlet. Ada penyesalan terlihat dari ekspresi wajah Scarlet. Ia membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Nathania tanpa berargumen lagi. Niatnya yang tadinya ingin menghajar Nathania malah berubah saat mendengar perkataan Nathania. Setiap perkataan yang di lontarkan Nathania serasa tak asing di telinganya. Sebuah ingatan dari masa lalu yang membuatnya merasakan sesuatu yang menyayat hatinya sehingga ia memilih untuk pergi meninggalkan wanita yang baru ia kenal itu. Scarlet berdiri di samping jendela kaca, sorot matanya yang kosong membayangkan kembali setiap ingatan-in
“Em, Nona ... kau membawaku di hotel?” Scarlet tak punya pilihan lain selain menempatkan Richard di sampingnya dan membiarkan lelaki itu hidup sedikit lama agar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Apalagi berita tentang masalah yang dia sebabkan di penjara Colorida sudah tersebar di seluruh media masa. Ia terpaksa harus ekstra hati-hati dalam menunjukkan dirinya di depan publik jangan sampai dikenali oleh orang lain. Ia melepaskan borgol di pergelangan tangannya dan mengaitkannya di tiang besi ranjang, membiarkan Richard duduk di atas ranjang dengan nyaman. “Hubungi Don Carlos dan minta dia menemuiku sendirian,” ucapnya melirik ke arah telepon yang terletak di atas meja kecil yang tak jauh dari Richard. “Apa kau tak takut Don Carlos akan menemukan lokasi kita berdua.” “Aku hanya ingin dia tau kalau kau masih hidup dan bersama dengan or
“Jangan bercanda! Tembak mereka,” teriak Scarlet dengan suara lantang. Richard segera mengambil pistol yang berada di samping paha Scarlet dan mulai menembak mobil di belakang mereka. Namun tak ada satupun mobil yang terhalang karena tembakannya selalu meleset saat Scarlet membelokkan motornya untuk menghindari hujan peluru dari belakang. Merasa kesal dengan kemampuan menembak Richard, Scarlet memerintahkan Richard untuk memegang kemudi motor dari belakang. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya Richard yang bingung dengan posisi mereka saat itu. “Berikan pistolnya padaku dan bawa motornya,” ucap Scarlet mengambil pistolnya. Richard dengan cepat membungkukkan badannya ke samping untuk meraih pegangan setir motor yang ada di depan. Sedangkan Scarlet yang telah melepaskan tangannya dari setir m
Di dalam tong sampah Scarlet mulai merasakan kalau tong yang ia masuki sedang bergerak. Seorang petugas kebersihan mulai mendorong tong sampah yang di masuki Scarlet dan membawanya ke bagian belakang dapur untuk membuang semua sampah ke saluran pembuangan. Saat petugas sampah membuka penutup tong, Scarlet dengan cepat berdiri sehingga membuat petugas kebersihan itu terkejut. Ia memegang kepalanya dan memutar dengan kuat sehingga petugas tersebut segera meninggal. Scarlet keluar dari dalam tong itu dan membersihkan kotoran yang menempel di pakaiannya. Ia mengangkat petugas kebersihan itu dan melemparkannya ke dalam saluran pembuangan sampah agar tidak diketahui orang lain. Di atas dinding terdapat sebuah lorong kecil tempat saluran udara yang menghubungkan ke beberapa ruangan di dalam penjara itu. Ia mendorong tong sampah yang ada di sampingnya dan menaikinya. Melalui saluran udara itu Scarlet masuk dan merayap di dala
Ia berjalan kembali ke dapur menemui Nathania dan membereskan piring makanannya. Scarlet menariknya keluar dari rumahnya dan mengunci pintu rumahnya. Ia keluar dari bagasi di samping rumahnya dengan motor hitam besarnya. Ia keluar dari halaman rumahnya diikuti dengan Nathania yang membawa mobilnya dari belakang. Scarlet dengan cepat membawa motornya, menyelip di antara mobil-mobil yang berada di jalanan. Ia berusaha menjauhi mobil Nathania agar tidak sampai bersamaan dengannya di depan gedung besar yang merupakan samaran dari markas mereka. Namun keahliannya Nathania dalam membawa mobil dan mengetahui jalur-jalur jalan membuatnya bisa mengejar motor Scarlet. Keduanya sampai di depan gedung besar secara bersamaan. Scarlet mengacuhkannya dan berjalan memasuki gedung itu sampai menuju ke dalam markas mereka. Saat mereka berdua masuk, bos sudah menunggu kedatangan mereka dengan wajahnya yang datar. “Scar ... apa kau sudah menem
“Warnanya adalah warna favoritku. Ukurannya juga sangat cocok di badanku.” Scarlet menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan dari Nathania. Dia terpaku, ekspresinya yang tadi dingin berubah menjadi murung. “Aku ingin sekali memenuhi seluruh lemari pakaianku dengan warna biru ini,” ucapnya lagi melihat ke arah Scarlet. Ada penyesalan terlihat dari ekspresi wajah Scarlet. Ia membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Nathania tanpa berargumen lagi. Niatnya yang tadinya ingin menghajar Nathania malah berubah saat mendengar perkataan Nathania. Setiap perkataan yang di lontarkan Nathania serasa tak asing di telinganya. Sebuah ingatan dari masa lalu yang membuatnya merasakan sesuatu yang menyayat hatinya sehingga ia memilih untuk pergi meninggalkan wanita yang baru ia kenal itu. Scarlet berdiri di samping jendela kaca, sorot matanya yang kosong membayangkan kembali setiap ingatan-in
“Hmm ... agen C 17,” ucap Nathania tersenyum kecil melihat Scarlet. “Agen D 13, benarkan?” “Ya, kau benar,” jawabnya tertawa kecil. “Apa ada yang lucu?” “Tidak ada. Bagaimana dengan lelaki yang ada di dalam rumah itu? Apa kau membunuhnya?” “Aku tidak yakin kalau dia sudah mati, tapi beberapa tusukan dariku bisa membuat nyawanya berada di ujung tanduk. Kalau nasibnya beruntung mungkin saja dia koma beberapa bulan.” “Dia mungkin bisa menambah masalahmu jika masih hidup.” “Tidak apa-apa. Lebih banyak masalah lebih bagus.” “Scar, apa sekarang kita akan kembali ke markas?” “Kita? Apa maksudnya dengan kita?” tanya Scarlet melihatnya dengan wajah datar. “Scar, sejak aku menolongmu, kita sudah jadi partner,” jawab Nathania dengan wajah yang bingung bercampur kekesalan karena sikap Scarlet yang
Scarlet terbatuk menahan sakit di tenggorokannya yang hampir patah akibat cengkeraman itu. Sementara lelaki yang di tusuknya tersandar di dinding kamar. Lelaki itu sekarat, ia menahan darah di perutnya yang masih mengalir begitu deras dan mencoba meraih pistol yang ada di lantai. Namun langkah Scarlet lebih cepat darinya, tangan lelaki itu di hentikan oleh injakkan kaki Scarlet yang kuat. Scarlet memungut pistolnya dan membidiknya tepat ke atas dahi lelaki yang sudah tidak berdaya di bawahnya. “Si-siapa kamu? Siapa yang menyuruhmu?” “Hmp ... apa hanya ini kemampuan dari seorang jenderal yang terkenal dengan kelicikannya?” “Ha ha ha ... apa seorang jenderal yang licik bisa dengan mudahnya di bunuh oleh gadis sepertimu?” “Apa lelaki yang bersamamu itu adalah Alexander?” “Meskipun kau tau, kau tidak akan bisa membunuhnya dengan mudah.”
Dengan kekesalannya, Scarlet berjalan menuju toilet untuk menenangkan dirinya sebentar dan juga tentu saja untuk memasang alat pelacak yang telah di tempelkan di kerah kemeja Don Carlos. Ia mengeluarkan alat pendengar kecil dan memasangkannya di telinganya untuk mendengar apa yang dilakukan oleh Don Carlos. Tebakannya benar kalau Don Carlos pasti akan menemui Alexander untuk bernegosiasi lagi. Melalui alat pendengar itu Scarlet bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dan sepertinya kedua lelaki itu sudah tidak berada di dalam ruangan yang bising dengan suara musik. Dari percakapan mereka Don Carlos menawarkan kebebasan anaknya untuk di tukarkan dengan kekayaan miliknya, tapi Alexander menolaknya dengan serius. Melalui perkataan Alexander yang terdengar sedikit samar-samar membuat Scarlet tertegun saat menyadari suara Alexander sedikit tak asing di telinganya. Dia segera keluar dari toilet dan mencari keberadaan Alexander yang sebenarnya. Scarlet be
“Kartu undangan? ... oh, ada padaku.” Scarlet merogoh ke dalam tasnya, berharap kartu undangannya ada di dalam tas pestanya. Dan tentu saja seperti perkataan bosnya bahwa semua persiapannya sudah di siapkan. Scarlet mengeluarkan kartu undangan berwarna gold dan menyerahkannya kepada pengawal itu. “Silakan masuk, Mrs. Pattinson. Maaf atas ketidaknyamanannya.” Scarlet berjalan melewati pintu yang telah di bukakan oleh pengawal itu. Acara pesta yang luar biasa pengamanannya. Tentu saja hal itu harus di lakukan karena banyak orang-orang penting yang hadir di dalam sana. Suara alunan musik klasik terdengar di ruangan yang besar itu. Saat ia masuk, penerima tamu yang berdiri di samping pintu menyambutnya dengan sopan dan memberikan sebuah topeng untuk di gunakannya saat itu. Semua tamu yang ada di dalam sudah menggunakan topeng mereka masing-masing. Scarlet pun segera memakai topeng yang di berikan