“Sudah aku katakan padamu, jangan lagi mengulangi kesalahan yang sama. Mematikan semua kontak dan radarmu setelah menyelesaikan misimu,” teriak seorang lelaki berwajah garang yang adalah bosnya sendiri saat Scarlet baru saja sampai ke markas mereka.
Yah, bukannya di sambut dan di puji atas keberhasilannya menyelesaikan misinya, malah dimarahi karena tidak mengaktifkan alat pelacaknya.
Saat ocehan kasar keluar dari mulut bosnya, telinga Scarlet berdengung sehingga membuatnya tidak bisa mendengarkan dengan jelas apa yang baru saja di katakannya. Namun dia tau kalau di setiap kesalahan yang dia lakukan selalu ada hukuman yang menantinya di dalam ruangan penyiksaan itu.
“Baik bos, aku mengerti,” ucap Scarlet seolah tau apa yang di katakan bosnya.
Scarlet segera pergi meninggalkan bosnya, mengacuhkan perkataan yang belum terselesaikan dari bosnya.
“Scar! Scarlet! Aku belum selesai berbicara.”
Teriakkan dari bosnya yang memanggil namanya diacuhkannya. Nyeri yang di rasakan di telinganya membuat Scarlet tidak menanggapi panggilan dari bosnya. Ia terus berjalan menuju ke ruangan penyiksaan untuk menerima hukumannya.
Seperti biasanya, lagi-lagi Scarlet dengan santainya masuk ke ruangan itu dan menerima hukumannya. Perih yang mencabik-cabik kulit tubuhnya sudah seperti hadiahnya saat menyelesaikan misinya. Setiap selesai dengan hukumannya, seluruh tubuh bagian belakangnya bermandikan darah yang segar.
Scarlet keluar dari ruangan itu dengan tubuh yang lemah dan wajah yang pucat berkeringat dingin, menahan nyeri dari cambukkan besi yang tertinggal di dagingnya. Ia berjalan memasuki ruangan obat-obatan, ruangan dimana dia bisa mendapatkan obat untuk menghilangkan rasa sakitnya.
Saat berada di dalam ruangan, wanita yang bertugas sebagai dokter untuk semua agen telah menunggunya dengan wajah cemas. Ia menghampiri Scarlet yang sudah tak mampu lagi untuk menopang dirinya sendiri.
“Kemarilah Scar, aku akan membantumu.”
“Pergilah! Aku tidak membutuhkan bantuanmu,” ucap Scarlet mendorong wanita itu dengan sisa-sisa kekuatannya.
Scarlet berjalan melewati wanita itu, dan mencari sesuatu di rak obat-obatan yang telah tertata rapi semua jenis obat-obatan di dalam rak itu. Di ambilnya sebotol cairan alkohol di rak itu lalu menuangkannya ke bagian belakang tubuhnya. Melalui pakaian yang tercabik-cabik itu, cairan alkohol masuk ke dalam daging yang telah tercabik-tercabik akibat cambukkan besi.
Scarlet menahan jeritannya begitu tubuhnya di basahi dengan alkohol. Seluruh cairan alkohol habis di siramnya ke semua luka-lukanya.
Melihat pemandangan yang membuat ngilu semua tulang, wanita yang berdiri di belakangnya kembali mendekati Scarlet dan mengambil botol alkohol yang di pegangnya.
“Sudah cukup Scarlet, sebanyak apapun alkohol yang kau siramkan tidak akan menghilangkan rasa sakitmu.”
“Jangan mencampuri urusanku, pergi kau dari sini!”
“Ini ruanganku, tempat aku bekerja. Kenapa aku harus pergi?”
“Baik. Aku yang seharusnya pergi dari ruanganmu,” ucap Scarlet melangkahkan kakinya dengan badan yang lemas.
“Berhenti. Kau adalah tugasku, merawat luka-lukamu adalah misiku. Sama sepertimu, jika misimu gagal atau tidak mematuhi perintah bos, aku juga akan di hukum. Dan hukuman yang aku terima sama seperti hukuman yang baru saja kamu dapatkan.”
“Itu urusanmu bukan urusanku, dan itu juga hukumanmu bukan hukumanku.”
Saat Scarlet melanjutkan langkah kakinya, wanita itu mengambil kesempatan di saat Scarlet lengah. Wanita itu dengan cepat menancapkan jarum suntik ke tengkuk leher Scarlet sehingga dalam sedetik membuat Scarlet jatuh ke lantai dan tak sadarkan diri.
Seperti biasanya, wanita itu melakukan hal yang biasa dia lakukan saat Scarlet terluka. Wanita itu membersihkan semua luka Scarlet lalu menyiapkan sebotol kecil yang berisi cairan obat yang baru saja dia keluarkan dari lemari penyimpanan.
Selama beberapa hari Scarlet belum juga sadar meskipun lukanya telah mengering dengan cepat hanya dalam waktu yang singkat itu. Beberapa kali wanita yang merawatnya mengambil sampel darahnya dan menyuntikan beberapa cairan ke dalam tubuhnya.
Saat wanita itu sedang sibuk dengan peralatan medisnya dan memantau monitor perkembangan Scarlet yang ada di layar komputer, Scarlet terbangun. Ia membuka perlahan matanya, melihat langit-langit dinding berwarna putih.
Ia menggerakkan kepalanya ke samping, melihat ke arah wanita yang duduk di depan layar komputer.
Scarlet bangun dari ranjang dan melepaskan semua jarum yang menusuk di tubuhnya. Dia berjalan dengan baik, bahkan rasa sakit di lukanya telah menghilang.
“Scar, kau sudah sadar? Bagus kalau begitu.”
Scarlet memandangnya dengan tatapan yang dingin. Ia mendekati wanita itu dan mengangkat tubuhnya melalui kerah jubah dokter yang di pakai wanita itu.
“Kau berani melakukan hal ini padaku? Kau pikir aku tidak akan membunuhmu meskipun aku harus di hukum lagi?” ucap Scarlet menatapnya tajam.
“A-aku tau kau bisa membunuhku. Untuk orang sepertimu yang bisa membunuh teman yang tumbuh besar bersamamu, tidak ada apa-apanya jika harus membunuhku. Tapi saat aku meninggal, tidak ada satu orang pun yang bisa menyembuhkan luka hukumanmu seperti caraku menyembuhkannya.”
“Darimana kau tau hal ini? Apa latihanmu juga sama seperti latihanku?”
“Tidak. Latihanku mengembangkan obat seperti yang kau lihat. Setiap kali sahabatmu terluka, dia selalu datang kemari dan menceritakan tentangmu,” jawab wanita itu dengan mata yang berkaca-kaca.
Emosi Scarlet berubah saat mendengar wanita itu membicarakan tentang sahabatnya. Ia melepaskan wanita itu dan membuatnya terduduk kembali di kursinya.
“Dia juga menceritakan kalau latihannya saat itu adalah membunuhmu, dan-“
“Berhenti! Jangan mengungkit hal itu. Katakan padaku, kali ini obat apa yang kau berikan padaku?” sela Scarlet memotong perkataan wanita itu.
“Kenapa? Apa kau membencinya karena ingin membunuhmu, atau kau membenci dirimu sendiri?”
“Jika ada misi untuk membunuhmu, aku akan senang menerimanya,” ucap Scarlet menatapnya tajam.
“Baiklah, aku hanya sedikit bercanda denganmu. Kau tau sendirikan pekerjaanku ini membuatku sangat kesepian dan hanya di temani beberapa ekor tikus dan kelinci yang tidak bisa di ajak berbicara. Jadi aku hanya merasa senang karena ada orang yang mau menemaniku berbicara.”
“Lukamu seperti biasa, aku memberikan obat yang biasa aku gunakan padamu juga. Tapi aku menemukan kejanggalan dalam anggota tubuhmu-“
Belum sempat wanita itu menyelesaikan perkataannya, tangan Scarlet lagi-lagi telah mencengkeram leher wanita itu. Sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa ingin sekali dia membunuh wanita itu. Jemari Scarlet dengan kuat mencekik leher wanita itu sehingga membuatnya kesulitan bernafas.
Kali ini Scarlet benar-benar ingin mencekik wanita itu sampai mati, tapi wanita itu berusaha mengambil lembaran diagnosis di mejanya dan menunjukkan ke hadapan Scarlet.
Scarlet terdiam saat melihat lembaran diagnosis yang ada di depannya. Dia melepaskan cengkeramannya dan mengambil lembaran itu.
Wanita itu terbatuk-batuk setelah terlepas dari cengkeraman yang hampir mematahkan lehernya. Dia mengatur pernafasannya agar bisa menjelaskan hasil diagnosisnya.
“Ada masalah dengan pendengaranmu. Mungkin karena baru-baru ini kau mendapatkan sinyal suara yang keras dan tak terduga sehingga membuat telingamu kebingungan harus menerima arus suara yang lain.”
“Jelaskan dengan bahasa yang aku pahami,” ucap Scarlet sedikit tidak mengerti dengan perkataannya.
“Baiklah. Intinya, pendengaranmu untuk sementara ini akan sedikit terganggu. Tapi jangan khawatir, ini hanya sementara dan akan cepat sembuh selama kau tidak menerima gelombang suara yang keras selama beberapa hari ke depan.”
“Baiklah, aku mengerti,” ucap Scarlet singkat lalu segera meninggalkan wanita itu sendirian. Selama beberapa hari tidak sadarkan diri membuat tubuh Scarlet semakin berenergi. Dia berjalan memasuki ruangan bosnya untuk melaporkan kembali misinya, karena saat bosnya mengoceh, pendengarannya sedang terganggu. Jadi tidak ada satu pun perkataan bosnya bisa dia mengerti. Saat Scarlet masuk ke dalam ruangan itu, bosnya sudah menunggunya dengan duduk bersandar di sandaran kursi. “Kau sudah sadar?” “Terima kasih, Bos. Berkat bos aku masih baik-baik saja sampai sekarang,” ucap Scarlet menjatuhkan dirinya di sofa yang empuk. Ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, membunyikan tulang lehernya yang telah lama tertidur kaku di atas ranjang. “Sikap santaimu ini membuatku semakin kesal, Scar. Bagaimana kau bisa bersantai sedangkan aku yang kena imbasnya dari bos
“Kartu undangan? ... oh, ada padaku.” Scarlet merogoh ke dalam tasnya, berharap kartu undangannya ada di dalam tas pestanya. Dan tentu saja seperti perkataan bosnya bahwa semua persiapannya sudah di siapkan. Scarlet mengeluarkan kartu undangan berwarna gold dan menyerahkannya kepada pengawal itu. “Silakan masuk, Mrs. Pattinson. Maaf atas ketidaknyamanannya.” Scarlet berjalan melewati pintu yang telah di bukakan oleh pengawal itu. Acara pesta yang luar biasa pengamanannya. Tentu saja hal itu harus di lakukan karena banyak orang-orang penting yang hadir di dalam sana. Suara alunan musik klasik terdengar di ruangan yang besar itu. Saat ia masuk, penerima tamu yang berdiri di samping pintu menyambutnya dengan sopan dan memberikan sebuah topeng untuk di gunakannya saat itu. Semua tamu yang ada di dalam sudah menggunakan topeng mereka masing-masing. Scarlet pun segera memakai topeng yang di berikan
Dengan kekesalannya, Scarlet berjalan menuju toilet untuk menenangkan dirinya sebentar dan juga tentu saja untuk memasang alat pelacak yang telah di tempelkan di kerah kemeja Don Carlos. Ia mengeluarkan alat pendengar kecil dan memasangkannya di telinganya untuk mendengar apa yang dilakukan oleh Don Carlos. Tebakannya benar kalau Don Carlos pasti akan menemui Alexander untuk bernegosiasi lagi. Melalui alat pendengar itu Scarlet bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dan sepertinya kedua lelaki itu sudah tidak berada di dalam ruangan yang bising dengan suara musik. Dari percakapan mereka Don Carlos menawarkan kebebasan anaknya untuk di tukarkan dengan kekayaan miliknya, tapi Alexander menolaknya dengan serius. Melalui perkataan Alexander yang terdengar sedikit samar-samar membuat Scarlet tertegun saat menyadari suara Alexander sedikit tak asing di telinganya. Dia segera keluar dari toilet dan mencari keberadaan Alexander yang sebenarnya. Scarlet be
Scarlet terbatuk menahan sakit di tenggorokannya yang hampir patah akibat cengkeraman itu. Sementara lelaki yang di tusuknya tersandar di dinding kamar. Lelaki itu sekarat, ia menahan darah di perutnya yang masih mengalir begitu deras dan mencoba meraih pistol yang ada di lantai. Namun langkah Scarlet lebih cepat darinya, tangan lelaki itu di hentikan oleh injakkan kaki Scarlet yang kuat. Scarlet memungut pistolnya dan membidiknya tepat ke atas dahi lelaki yang sudah tidak berdaya di bawahnya. “Si-siapa kamu? Siapa yang menyuruhmu?” “Hmp ... apa hanya ini kemampuan dari seorang jenderal yang terkenal dengan kelicikannya?” “Ha ha ha ... apa seorang jenderal yang licik bisa dengan mudahnya di bunuh oleh gadis sepertimu?” “Apa lelaki yang bersamamu itu adalah Alexander?” “Meskipun kau tau, kau tidak akan bisa membunuhnya dengan mudah.”
“Hmm ... agen C 17,” ucap Nathania tersenyum kecil melihat Scarlet. “Agen D 13, benarkan?” “Ya, kau benar,” jawabnya tertawa kecil. “Apa ada yang lucu?” “Tidak ada. Bagaimana dengan lelaki yang ada di dalam rumah itu? Apa kau membunuhnya?” “Aku tidak yakin kalau dia sudah mati, tapi beberapa tusukan dariku bisa membuat nyawanya berada di ujung tanduk. Kalau nasibnya beruntung mungkin saja dia koma beberapa bulan.” “Dia mungkin bisa menambah masalahmu jika masih hidup.” “Tidak apa-apa. Lebih banyak masalah lebih bagus.” “Scar, apa sekarang kita akan kembali ke markas?” “Kita? Apa maksudnya dengan kita?” tanya Scarlet melihatnya dengan wajah datar. “Scar, sejak aku menolongmu, kita sudah jadi partner,” jawab Nathania dengan wajah yang bingung bercampur kekesalan karena sikap Scarlet yang
“Warnanya adalah warna favoritku. Ukurannya juga sangat cocok di badanku.” Scarlet menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan dari Nathania. Dia terpaku, ekspresinya yang tadi dingin berubah menjadi murung. “Aku ingin sekali memenuhi seluruh lemari pakaianku dengan warna biru ini,” ucapnya lagi melihat ke arah Scarlet. Ada penyesalan terlihat dari ekspresi wajah Scarlet. Ia membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Nathania tanpa berargumen lagi. Niatnya yang tadinya ingin menghajar Nathania malah berubah saat mendengar perkataan Nathania. Setiap perkataan yang di lontarkan Nathania serasa tak asing di telinganya. Sebuah ingatan dari masa lalu yang membuatnya merasakan sesuatu yang menyayat hatinya sehingga ia memilih untuk pergi meninggalkan wanita yang baru ia kenal itu. Scarlet berdiri di samping jendela kaca, sorot matanya yang kosong membayangkan kembali setiap ingatan-in
Ia berjalan kembali ke dapur menemui Nathania dan membereskan piring makanannya. Scarlet menariknya keluar dari rumahnya dan mengunci pintu rumahnya. Ia keluar dari bagasi di samping rumahnya dengan motor hitam besarnya. Ia keluar dari halaman rumahnya diikuti dengan Nathania yang membawa mobilnya dari belakang. Scarlet dengan cepat membawa motornya, menyelip di antara mobil-mobil yang berada di jalanan. Ia berusaha menjauhi mobil Nathania agar tidak sampai bersamaan dengannya di depan gedung besar yang merupakan samaran dari markas mereka. Namun keahliannya Nathania dalam membawa mobil dan mengetahui jalur-jalur jalan membuatnya bisa mengejar motor Scarlet. Keduanya sampai di depan gedung besar secara bersamaan. Scarlet mengacuhkannya dan berjalan memasuki gedung itu sampai menuju ke dalam markas mereka. Saat mereka berdua masuk, bos sudah menunggu kedatangan mereka dengan wajahnya yang datar. “Scar ... apa kau sudah menem
Di dalam tong sampah Scarlet mulai merasakan kalau tong yang ia masuki sedang bergerak. Seorang petugas kebersihan mulai mendorong tong sampah yang di masuki Scarlet dan membawanya ke bagian belakang dapur untuk membuang semua sampah ke saluran pembuangan. Saat petugas sampah membuka penutup tong, Scarlet dengan cepat berdiri sehingga membuat petugas kebersihan itu terkejut. Ia memegang kepalanya dan memutar dengan kuat sehingga petugas tersebut segera meninggal. Scarlet keluar dari dalam tong itu dan membersihkan kotoran yang menempel di pakaiannya. Ia mengangkat petugas kebersihan itu dan melemparkannya ke dalam saluran pembuangan sampah agar tidak diketahui orang lain. Di atas dinding terdapat sebuah lorong kecil tempat saluran udara yang menghubungkan ke beberapa ruangan di dalam penjara itu. Ia mendorong tong sampah yang ada di sampingnya dan menaikinya. Melalui saluran udara itu Scarlet masuk dan merayap di dala
“Em, Nona ... kau membawaku di hotel?” Scarlet tak punya pilihan lain selain menempatkan Richard di sampingnya dan membiarkan lelaki itu hidup sedikit lama agar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Apalagi berita tentang masalah yang dia sebabkan di penjara Colorida sudah tersebar di seluruh media masa. Ia terpaksa harus ekstra hati-hati dalam menunjukkan dirinya di depan publik jangan sampai dikenali oleh orang lain. Ia melepaskan borgol di pergelangan tangannya dan mengaitkannya di tiang besi ranjang, membiarkan Richard duduk di atas ranjang dengan nyaman. “Hubungi Don Carlos dan minta dia menemuiku sendirian,” ucapnya melirik ke arah telepon yang terletak di atas meja kecil yang tak jauh dari Richard. “Apa kau tak takut Don Carlos akan menemukan lokasi kita berdua.” “Aku hanya ingin dia tau kalau kau masih hidup dan bersama dengan or
“Jangan bercanda! Tembak mereka,” teriak Scarlet dengan suara lantang. Richard segera mengambil pistol yang berada di samping paha Scarlet dan mulai menembak mobil di belakang mereka. Namun tak ada satupun mobil yang terhalang karena tembakannya selalu meleset saat Scarlet membelokkan motornya untuk menghindari hujan peluru dari belakang. Merasa kesal dengan kemampuan menembak Richard, Scarlet memerintahkan Richard untuk memegang kemudi motor dari belakang. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya Richard yang bingung dengan posisi mereka saat itu. “Berikan pistolnya padaku dan bawa motornya,” ucap Scarlet mengambil pistolnya. Richard dengan cepat membungkukkan badannya ke samping untuk meraih pegangan setir motor yang ada di depan. Sedangkan Scarlet yang telah melepaskan tangannya dari setir m
Di dalam tong sampah Scarlet mulai merasakan kalau tong yang ia masuki sedang bergerak. Seorang petugas kebersihan mulai mendorong tong sampah yang di masuki Scarlet dan membawanya ke bagian belakang dapur untuk membuang semua sampah ke saluran pembuangan. Saat petugas sampah membuka penutup tong, Scarlet dengan cepat berdiri sehingga membuat petugas kebersihan itu terkejut. Ia memegang kepalanya dan memutar dengan kuat sehingga petugas tersebut segera meninggal. Scarlet keluar dari dalam tong itu dan membersihkan kotoran yang menempel di pakaiannya. Ia mengangkat petugas kebersihan itu dan melemparkannya ke dalam saluran pembuangan sampah agar tidak diketahui orang lain. Di atas dinding terdapat sebuah lorong kecil tempat saluran udara yang menghubungkan ke beberapa ruangan di dalam penjara itu. Ia mendorong tong sampah yang ada di sampingnya dan menaikinya. Melalui saluran udara itu Scarlet masuk dan merayap di dala
Ia berjalan kembali ke dapur menemui Nathania dan membereskan piring makanannya. Scarlet menariknya keluar dari rumahnya dan mengunci pintu rumahnya. Ia keluar dari bagasi di samping rumahnya dengan motor hitam besarnya. Ia keluar dari halaman rumahnya diikuti dengan Nathania yang membawa mobilnya dari belakang. Scarlet dengan cepat membawa motornya, menyelip di antara mobil-mobil yang berada di jalanan. Ia berusaha menjauhi mobil Nathania agar tidak sampai bersamaan dengannya di depan gedung besar yang merupakan samaran dari markas mereka. Namun keahliannya Nathania dalam membawa mobil dan mengetahui jalur-jalur jalan membuatnya bisa mengejar motor Scarlet. Keduanya sampai di depan gedung besar secara bersamaan. Scarlet mengacuhkannya dan berjalan memasuki gedung itu sampai menuju ke dalam markas mereka. Saat mereka berdua masuk, bos sudah menunggu kedatangan mereka dengan wajahnya yang datar. “Scar ... apa kau sudah menem
“Warnanya adalah warna favoritku. Ukurannya juga sangat cocok di badanku.” Scarlet menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan dari Nathania. Dia terpaku, ekspresinya yang tadi dingin berubah menjadi murung. “Aku ingin sekali memenuhi seluruh lemari pakaianku dengan warna biru ini,” ucapnya lagi melihat ke arah Scarlet. Ada penyesalan terlihat dari ekspresi wajah Scarlet. Ia membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Nathania tanpa berargumen lagi. Niatnya yang tadinya ingin menghajar Nathania malah berubah saat mendengar perkataan Nathania. Setiap perkataan yang di lontarkan Nathania serasa tak asing di telinganya. Sebuah ingatan dari masa lalu yang membuatnya merasakan sesuatu yang menyayat hatinya sehingga ia memilih untuk pergi meninggalkan wanita yang baru ia kenal itu. Scarlet berdiri di samping jendela kaca, sorot matanya yang kosong membayangkan kembali setiap ingatan-in
“Hmm ... agen C 17,” ucap Nathania tersenyum kecil melihat Scarlet. “Agen D 13, benarkan?” “Ya, kau benar,” jawabnya tertawa kecil. “Apa ada yang lucu?” “Tidak ada. Bagaimana dengan lelaki yang ada di dalam rumah itu? Apa kau membunuhnya?” “Aku tidak yakin kalau dia sudah mati, tapi beberapa tusukan dariku bisa membuat nyawanya berada di ujung tanduk. Kalau nasibnya beruntung mungkin saja dia koma beberapa bulan.” “Dia mungkin bisa menambah masalahmu jika masih hidup.” “Tidak apa-apa. Lebih banyak masalah lebih bagus.” “Scar, apa sekarang kita akan kembali ke markas?” “Kita? Apa maksudnya dengan kita?” tanya Scarlet melihatnya dengan wajah datar. “Scar, sejak aku menolongmu, kita sudah jadi partner,” jawab Nathania dengan wajah yang bingung bercampur kekesalan karena sikap Scarlet yang
Scarlet terbatuk menahan sakit di tenggorokannya yang hampir patah akibat cengkeraman itu. Sementara lelaki yang di tusuknya tersandar di dinding kamar. Lelaki itu sekarat, ia menahan darah di perutnya yang masih mengalir begitu deras dan mencoba meraih pistol yang ada di lantai. Namun langkah Scarlet lebih cepat darinya, tangan lelaki itu di hentikan oleh injakkan kaki Scarlet yang kuat. Scarlet memungut pistolnya dan membidiknya tepat ke atas dahi lelaki yang sudah tidak berdaya di bawahnya. “Si-siapa kamu? Siapa yang menyuruhmu?” “Hmp ... apa hanya ini kemampuan dari seorang jenderal yang terkenal dengan kelicikannya?” “Ha ha ha ... apa seorang jenderal yang licik bisa dengan mudahnya di bunuh oleh gadis sepertimu?” “Apa lelaki yang bersamamu itu adalah Alexander?” “Meskipun kau tau, kau tidak akan bisa membunuhnya dengan mudah.”
Dengan kekesalannya, Scarlet berjalan menuju toilet untuk menenangkan dirinya sebentar dan juga tentu saja untuk memasang alat pelacak yang telah di tempelkan di kerah kemeja Don Carlos. Ia mengeluarkan alat pendengar kecil dan memasangkannya di telinganya untuk mendengar apa yang dilakukan oleh Don Carlos. Tebakannya benar kalau Don Carlos pasti akan menemui Alexander untuk bernegosiasi lagi. Melalui alat pendengar itu Scarlet bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dan sepertinya kedua lelaki itu sudah tidak berada di dalam ruangan yang bising dengan suara musik. Dari percakapan mereka Don Carlos menawarkan kebebasan anaknya untuk di tukarkan dengan kekayaan miliknya, tapi Alexander menolaknya dengan serius. Melalui perkataan Alexander yang terdengar sedikit samar-samar membuat Scarlet tertegun saat menyadari suara Alexander sedikit tak asing di telinganya. Dia segera keluar dari toilet dan mencari keberadaan Alexander yang sebenarnya. Scarlet be
“Kartu undangan? ... oh, ada padaku.” Scarlet merogoh ke dalam tasnya, berharap kartu undangannya ada di dalam tas pestanya. Dan tentu saja seperti perkataan bosnya bahwa semua persiapannya sudah di siapkan. Scarlet mengeluarkan kartu undangan berwarna gold dan menyerahkannya kepada pengawal itu. “Silakan masuk, Mrs. Pattinson. Maaf atas ketidaknyamanannya.” Scarlet berjalan melewati pintu yang telah di bukakan oleh pengawal itu. Acara pesta yang luar biasa pengamanannya. Tentu saja hal itu harus di lakukan karena banyak orang-orang penting yang hadir di dalam sana. Suara alunan musik klasik terdengar di ruangan yang besar itu. Saat ia masuk, penerima tamu yang berdiri di samping pintu menyambutnya dengan sopan dan memberikan sebuah topeng untuk di gunakannya saat itu. Semua tamu yang ada di dalam sudah menggunakan topeng mereka masing-masing. Scarlet pun segera memakai topeng yang di berikan