Saat Scarlet hendak pergi dengan motornya, lelaki yang mengikutinya berlari dan menghadangnya dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia bahkan tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa mengalahakan semua pria itu.
“No-nona, apa kau yang melakukan hal itu kepada mereka?” tanya lelaki itu keheranan.
“Berhentilah mengikutiku jika kau tidak ingin menjadi salah satu dari mereka!” ucap Scarlet sambil memainkan gas motornya, memaksa lelaki itu untuk menghindar dari hadapannya.
Scarlet pergi meninggalkan lelaki itu dengan motornya yang melaju. Di tengah keramaian kendaraan di jalanan, dia berhenti di tepi jalan jembatan gantung dan turun dari motornya sambil memperhatikan cahaya lampu dari bangunan-bangunan yang menjadi penerang di tengah gelapnya malam. Baru kali ini Scarlet menikmati gemerlap malam dengan santai tanpa misi-misi berdarah yang selama ini dia lakukan.
“Hmm ....” Scarlet menarik nafasnya dalam seolah ada kejenuhan yang ingin dia keluarkan.
Di besarkan dengan cara yang keras dan di latih menjadi mesin pembunuh sejak kecil membuatnya tidak bisa mengekspresikan wajahnya sendiri selain wajah datar dan tatapan membunuh yang terlihat. Adapun senyuman yang pernah ditunjukkannya hanya sandiwara semata untuk membantunya menjalankan misinya. Hari-harinya di penuhi dengan bayangan-bayangan wajah orang yang dibunuhnya. Adakalanya untuk tertidur saja ia tak bisa tertidur dengan nyaman, karena bayangan-bayangan masa lalunya selalu menghantuinya.
Scarlet kembali menyusuri kegelapan malam dengan motor besarnya, ia berhenti di depan toko dan masuk ke dalamnya mencari sebotol minuman keras. Begitu mendapatkan apa yang diinginkannya dia berjalan ke arah kasir hendak membayar minuman yang ada di tangannya.
“Kamu tidak boleh mengambilnya jika tidak memiliki uang, pergi! Minta uang pada orang tuamu baru bisa mengambil apa yang kamu inginkan,” ucap seorang lelaki yang bertugas sebagai kasir kepada seorang anak perempuan yang mengantre di depannya.
Scarlet merogoh sakunya untuk mengambil uang, tapi tatapannya tiba-tiba terpaku pada lelaki itu.
“Nona, berikan minumannya padaku,” ucap kasir itu mengulurkan tangannya untuk mengambil minuman yang di pegang Scarlet.
“Ini milikku, kenapa harus di berikan padamu?” tanya Scralet datar.
“Dasar wanita aneh! Cepat berikan minumannya. Jangan menghambat pekerjaanku!”
Tatapan Scarlet berubah menjadi tajam melihat pria itu. Ia mengambil mainan yang di inginkan seorang anak perempuan yang ada di atas meja kasir lalu memberikannya dengan cepat kepada anak perempuan yang ada di depannya.
“Hei! Apa yang kau lakukan?” teriak kasir lelaki itu dengan lantang.
“Kau harus menjadi kuat agar bisa mendapatkan apa yang kau inginkan. Pergilah,” ucap Scarlet dengan wajah datar melihat anak perempuan itu.
Dengan acuh Scarlet berjalan menjauhi kasir tanpa membayar apa yang dia ambil. Sementara itu kasir mengejarnya dan menahan pundaknya dari belakang sehingga membuat langkah kakinya terhenti. Scarlet dengan cepat menahan tangan lelaki itu dan menjatuhkannya ke lantai hanya dengan satu tangannya.
Kasir lelaki itu berteriak menahan sakit di tangannya, “le-lepaskan aku, kau boleh mengambil minumannya.”
“Nona, tenanglah. Lepaskan dulu tangan lelaki itu,” ucap seorang lelaki yang tak lain adalah lelaki yang mengikutinya sejak berada di Club.
Scarlet melepaskan tangannya dari lelaki itu dan kembali terdiam menatap lelaki yang sejak tadi mengikutinya.
“Ini uang untuk membayar apa yang diambil oleh wanita ini. Apa itu cukup?” ucap lelaki itu memberikan selembar uang kepada kasirnya.
“Terima kasih, Tuan.”
Sementara mereka berdua sedang berbicara, Scarlet telah pergi keluar dari toko tersebut sambil meneguk sebotol minuman yang ada di tangannya.
“Nona, tunggu,” panggil lelaki yang mengikutinya, berjalan mendekatinya dari arah belakang.
Merasa curiga dan kesal dengan kehadiran lelaki itu yang selalu membuntutinya, ia dengan cepat berbalik dan mencengkeram batang leher lelaki yang memiliki tubuh lebih tinggi darinya. Scarlet mendorongnya sampai tubuh lelaki itu tersandar pada tiang beton yang sangat besar.
“Siapa kau? Siapa yang menyuruhmu membuntutiku?” tanya Scarlet dengan tatapan tajam, mencengkeram leher lelaki itu dengan kuat.
Tidak terbiasa dengan dunia luar membuatnya merasa curiga dengan lelaki yang tidak dia kenal yang selalu mengikutinya.
“Seorang wanita sepertimu yang sangat berhati-hati dengan orang pasti memiliki kehidupan yang sulit,” ucap lelaki itu dengan santai tanpa adanya rasa takut akan hawa membunuh yang terpancar dari pandangan Scarlet.
“Hentikan omong kosongmu! Katakan, siapa yang menyuruhmu?”
Sepasang mata berwarna biru layaknya lautan menatap Scarlet dengan tenang. Bahkan cengkeraman jemari Scarlet yang begitu kuat tidak membuatnya gentar ataupun merasa kesakitan.
Lelaki itu menahan tangan Scarlet dan dengan kuatnya dia menjauhkan jemari Scarlet yang mencengkeram lehernya.
“Aku sama sekali tidak mengenalmu, dan pertemuan kita hanya kebetulan saja. Sejak awal aku yang lebih dulu datang ke tempat ini sebelum kamu. Dan jika aku tau kau bisa berkelahi melawan lima pria sekaligus, aku tidak akan membantumu saat berada di dalam Club,” ucap lelaki itu dengan wajah datar sambil melepaskan tangan Scarlet secara kasar.
“Dalam kehidupanku, aku sama sekali tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk menangani masalahku sendiri.”
“Baik! Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi,” lagi kata lelaki itu dengan wajah datar.
“Jika aku sampai melihatmu lagi, aku akan membunuhmu!” balas Scarlet dengan tatapan yang tajam, tak mau kalah dari lelaki yang ada di depannya.
Scarlet menahan kegeramannya sambil memperhatikan lelaki itu berjalan menjauh dan mendekati sebuah mobil dengan dua orang pengawal yang membukakan pintu agar lelaki itu bisa masuk ke dalam mobilnya.
Malam yang seharusnya dia nikmati dengan santai menjadi malam yang membuatnya ingin membunuh seseorang. Ia segera kembali ke hotel dan menikmati malam panjang yang menurutnya sangat menyiksa jika harus tertidur.
Seperti biasanya, Scarlet harus mengalami mimpi yang sangat buruk setiap kali dia tertidur. Mimpi dimana dia membunuh temannya yang tumbuh besar bersamanya. Setiap potongan-potongan mimpi itu kembali menguasai tidurnya, ia selalu terbangun dengan keringat yang banyak di dahinya.
Scarlet duduk di tepi ranjangnya dengan deru nafas yang tak beraturan. Perlahan dia berdiri lalu mengambil alat pendengar yang berbentuk seperti headsed bluetooth di atas meja. Begitu alatnya di pasangkan ke telinga, suara lelaki terdengar dengan lantang seperti sedang memarahinya.
“Aku tertidur, bos.”
“Misinya sudah lama aku selesaikan.”
“Baik, aku akan segera kembali.”
Ucap Scarlet dengan santainya menjawab semua pertanyaan yang di ajukan oleh seorang lelaki, yang tak lain adalah bosnya sendiri.
Scarlet segera mempersiapkan kepulangannya dengan membereskan semua barang-barang yang di bawanya. Rasa tidak sabar untuk kembali dan memulai misi barunya lagi membuatnya bersemangat, apalagi kepulangannya kali ini sangat memuaskan hatinya karena telah berhasil menyelesaikan misi yang di anggap sangat sulit bagi bosnya.
“Sudah aku katakan padamu, jangan lagi mengulangi kesalahan yang sama. Mematikan semua kontak dan radarmu setelah menyelesaikan misimu,” teriak seorang lelaki berwajah garang yang adalah bosnya sendiri saat Scarlet baru saja sampai ke markas mereka. Yah, bukannya di sambut dan di puji atas keberhasilannya menyelesaikan misinya, malah dimarahi karena tidak mengaktifkan alat pelacaknya. Saat ocehan kasar keluar dari mulut bosnya, telinga Scarlet berdengung sehingga membuatnya tidak bisa mendengarkan dengan jelas apa yang baru saja di katakannya. Namun dia tau kalau di setiap kesalahan yang dia lakukan selalu ada hukuman yang menantinya di dalam ruangan penyiksaan itu. “Baik bos, aku mengerti,” ucap Scarlet seolah tau apa yang di katakan bosnya. Scarlet segera pergi meninggalkan bosnya, mengacuhkan perkataan yang belum terselesaikan dari
“Baiklah, aku mengerti,” ucap Scarlet singkat lalu segera meninggalkan wanita itu sendirian. Selama beberapa hari tidak sadarkan diri membuat tubuh Scarlet semakin berenergi. Dia berjalan memasuki ruangan bosnya untuk melaporkan kembali misinya, karena saat bosnya mengoceh, pendengarannya sedang terganggu. Jadi tidak ada satu pun perkataan bosnya bisa dia mengerti. Saat Scarlet masuk ke dalam ruangan itu, bosnya sudah menunggunya dengan duduk bersandar di sandaran kursi. “Kau sudah sadar?” “Terima kasih, Bos. Berkat bos aku masih baik-baik saja sampai sekarang,” ucap Scarlet menjatuhkan dirinya di sofa yang empuk. Ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, membunyikan tulang lehernya yang telah lama tertidur kaku di atas ranjang. “Sikap santaimu ini membuatku semakin kesal, Scar. Bagaimana kau bisa bersantai sedangkan aku yang kena imbasnya dari bos
“Kartu undangan? ... oh, ada padaku.” Scarlet merogoh ke dalam tasnya, berharap kartu undangannya ada di dalam tas pestanya. Dan tentu saja seperti perkataan bosnya bahwa semua persiapannya sudah di siapkan. Scarlet mengeluarkan kartu undangan berwarna gold dan menyerahkannya kepada pengawal itu. “Silakan masuk, Mrs. Pattinson. Maaf atas ketidaknyamanannya.” Scarlet berjalan melewati pintu yang telah di bukakan oleh pengawal itu. Acara pesta yang luar biasa pengamanannya. Tentu saja hal itu harus di lakukan karena banyak orang-orang penting yang hadir di dalam sana. Suara alunan musik klasik terdengar di ruangan yang besar itu. Saat ia masuk, penerima tamu yang berdiri di samping pintu menyambutnya dengan sopan dan memberikan sebuah topeng untuk di gunakannya saat itu. Semua tamu yang ada di dalam sudah menggunakan topeng mereka masing-masing. Scarlet pun segera memakai topeng yang di berikan
Dengan kekesalannya, Scarlet berjalan menuju toilet untuk menenangkan dirinya sebentar dan juga tentu saja untuk memasang alat pelacak yang telah di tempelkan di kerah kemeja Don Carlos. Ia mengeluarkan alat pendengar kecil dan memasangkannya di telinganya untuk mendengar apa yang dilakukan oleh Don Carlos. Tebakannya benar kalau Don Carlos pasti akan menemui Alexander untuk bernegosiasi lagi. Melalui alat pendengar itu Scarlet bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dan sepertinya kedua lelaki itu sudah tidak berada di dalam ruangan yang bising dengan suara musik. Dari percakapan mereka Don Carlos menawarkan kebebasan anaknya untuk di tukarkan dengan kekayaan miliknya, tapi Alexander menolaknya dengan serius. Melalui perkataan Alexander yang terdengar sedikit samar-samar membuat Scarlet tertegun saat menyadari suara Alexander sedikit tak asing di telinganya. Dia segera keluar dari toilet dan mencari keberadaan Alexander yang sebenarnya. Scarlet be
Scarlet terbatuk menahan sakit di tenggorokannya yang hampir patah akibat cengkeraman itu. Sementara lelaki yang di tusuknya tersandar di dinding kamar. Lelaki itu sekarat, ia menahan darah di perutnya yang masih mengalir begitu deras dan mencoba meraih pistol yang ada di lantai. Namun langkah Scarlet lebih cepat darinya, tangan lelaki itu di hentikan oleh injakkan kaki Scarlet yang kuat. Scarlet memungut pistolnya dan membidiknya tepat ke atas dahi lelaki yang sudah tidak berdaya di bawahnya. “Si-siapa kamu? Siapa yang menyuruhmu?” “Hmp ... apa hanya ini kemampuan dari seorang jenderal yang terkenal dengan kelicikannya?” “Ha ha ha ... apa seorang jenderal yang licik bisa dengan mudahnya di bunuh oleh gadis sepertimu?” “Apa lelaki yang bersamamu itu adalah Alexander?” “Meskipun kau tau, kau tidak akan bisa membunuhnya dengan mudah.”
“Hmm ... agen C 17,” ucap Nathania tersenyum kecil melihat Scarlet. “Agen D 13, benarkan?” “Ya, kau benar,” jawabnya tertawa kecil. “Apa ada yang lucu?” “Tidak ada. Bagaimana dengan lelaki yang ada di dalam rumah itu? Apa kau membunuhnya?” “Aku tidak yakin kalau dia sudah mati, tapi beberapa tusukan dariku bisa membuat nyawanya berada di ujung tanduk. Kalau nasibnya beruntung mungkin saja dia koma beberapa bulan.” “Dia mungkin bisa menambah masalahmu jika masih hidup.” “Tidak apa-apa. Lebih banyak masalah lebih bagus.” “Scar, apa sekarang kita akan kembali ke markas?” “Kita? Apa maksudnya dengan kita?” tanya Scarlet melihatnya dengan wajah datar. “Scar, sejak aku menolongmu, kita sudah jadi partner,” jawab Nathania dengan wajah yang bingung bercampur kekesalan karena sikap Scarlet yang
“Warnanya adalah warna favoritku. Ukurannya juga sangat cocok di badanku.” Scarlet menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan dari Nathania. Dia terpaku, ekspresinya yang tadi dingin berubah menjadi murung. “Aku ingin sekali memenuhi seluruh lemari pakaianku dengan warna biru ini,” ucapnya lagi melihat ke arah Scarlet. Ada penyesalan terlihat dari ekspresi wajah Scarlet. Ia membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Nathania tanpa berargumen lagi. Niatnya yang tadinya ingin menghajar Nathania malah berubah saat mendengar perkataan Nathania. Setiap perkataan yang di lontarkan Nathania serasa tak asing di telinganya. Sebuah ingatan dari masa lalu yang membuatnya merasakan sesuatu yang menyayat hatinya sehingga ia memilih untuk pergi meninggalkan wanita yang baru ia kenal itu. Scarlet berdiri di samping jendela kaca, sorot matanya yang kosong membayangkan kembali setiap ingatan-in
Ia berjalan kembali ke dapur menemui Nathania dan membereskan piring makanannya. Scarlet menariknya keluar dari rumahnya dan mengunci pintu rumahnya. Ia keluar dari bagasi di samping rumahnya dengan motor hitam besarnya. Ia keluar dari halaman rumahnya diikuti dengan Nathania yang membawa mobilnya dari belakang. Scarlet dengan cepat membawa motornya, menyelip di antara mobil-mobil yang berada di jalanan. Ia berusaha menjauhi mobil Nathania agar tidak sampai bersamaan dengannya di depan gedung besar yang merupakan samaran dari markas mereka. Namun keahliannya Nathania dalam membawa mobil dan mengetahui jalur-jalur jalan membuatnya bisa mengejar motor Scarlet. Keduanya sampai di depan gedung besar secara bersamaan. Scarlet mengacuhkannya dan berjalan memasuki gedung itu sampai menuju ke dalam markas mereka. Saat mereka berdua masuk, bos sudah menunggu kedatangan mereka dengan wajahnya yang datar. “Scar ... apa kau sudah menem
“Em, Nona ... kau membawaku di hotel?” Scarlet tak punya pilihan lain selain menempatkan Richard di sampingnya dan membiarkan lelaki itu hidup sedikit lama agar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Apalagi berita tentang masalah yang dia sebabkan di penjara Colorida sudah tersebar di seluruh media masa. Ia terpaksa harus ekstra hati-hati dalam menunjukkan dirinya di depan publik jangan sampai dikenali oleh orang lain. Ia melepaskan borgol di pergelangan tangannya dan mengaitkannya di tiang besi ranjang, membiarkan Richard duduk di atas ranjang dengan nyaman. “Hubungi Don Carlos dan minta dia menemuiku sendirian,” ucapnya melirik ke arah telepon yang terletak di atas meja kecil yang tak jauh dari Richard. “Apa kau tak takut Don Carlos akan menemukan lokasi kita berdua.” “Aku hanya ingin dia tau kalau kau masih hidup dan bersama dengan or
“Jangan bercanda! Tembak mereka,” teriak Scarlet dengan suara lantang. Richard segera mengambil pistol yang berada di samping paha Scarlet dan mulai menembak mobil di belakang mereka. Namun tak ada satupun mobil yang terhalang karena tembakannya selalu meleset saat Scarlet membelokkan motornya untuk menghindari hujan peluru dari belakang. Merasa kesal dengan kemampuan menembak Richard, Scarlet memerintahkan Richard untuk memegang kemudi motor dari belakang. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya Richard yang bingung dengan posisi mereka saat itu. “Berikan pistolnya padaku dan bawa motornya,” ucap Scarlet mengambil pistolnya. Richard dengan cepat membungkukkan badannya ke samping untuk meraih pegangan setir motor yang ada di depan. Sedangkan Scarlet yang telah melepaskan tangannya dari setir m
Di dalam tong sampah Scarlet mulai merasakan kalau tong yang ia masuki sedang bergerak. Seorang petugas kebersihan mulai mendorong tong sampah yang di masuki Scarlet dan membawanya ke bagian belakang dapur untuk membuang semua sampah ke saluran pembuangan. Saat petugas sampah membuka penutup tong, Scarlet dengan cepat berdiri sehingga membuat petugas kebersihan itu terkejut. Ia memegang kepalanya dan memutar dengan kuat sehingga petugas tersebut segera meninggal. Scarlet keluar dari dalam tong itu dan membersihkan kotoran yang menempel di pakaiannya. Ia mengangkat petugas kebersihan itu dan melemparkannya ke dalam saluran pembuangan sampah agar tidak diketahui orang lain. Di atas dinding terdapat sebuah lorong kecil tempat saluran udara yang menghubungkan ke beberapa ruangan di dalam penjara itu. Ia mendorong tong sampah yang ada di sampingnya dan menaikinya. Melalui saluran udara itu Scarlet masuk dan merayap di dala
Ia berjalan kembali ke dapur menemui Nathania dan membereskan piring makanannya. Scarlet menariknya keluar dari rumahnya dan mengunci pintu rumahnya. Ia keluar dari bagasi di samping rumahnya dengan motor hitam besarnya. Ia keluar dari halaman rumahnya diikuti dengan Nathania yang membawa mobilnya dari belakang. Scarlet dengan cepat membawa motornya, menyelip di antara mobil-mobil yang berada di jalanan. Ia berusaha menjauhi mobil Nathania agar tidak sampai bersamaan dengannya di depan gedung besar yang merupakan samaran dari markas mereka. Namun keahliannya Nathania dalam membawa mobil dan mengetahui jalur-jalur jalan membuatnya bisa mengejar motor Scarlet. Keduanya sampai di depan gedung besar secara bersamaan. Scarlet mengacuhkannya dan berjalan memasuki gedung itu sampai menuju ke dalam markas mereka. Saat mereka berdua masuk, bos sudah menunggu kedatangan mereka dengan wajahnya yang datar. “Scar ... apa kau sudah menem
“Warnanya adalah warna favoritku. Ukurannya juga sangat cocok di badanku.” Scarlet menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan dari Nathania. Dia terpaku, ekspresinya yang tadi dingin berubah menjadi murung. “Aku ingin sekali memenuhi seluruh lemari pakaianku dengan warna biru ini,” ucapnya lagi melihat ke arah Scarlet. Ada penyesalan terlihat dari ekspresi wajah Scarlet. Ia membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Nathania tanpa berargumen lagi. Niatnya yang tadinya ingin menghajar Nathania malah berubah saat mendengar perkataan Nathania. Setiap perkataan yang di lontarkan Nathania serasa tak asing di telinganya. Sebuah ingatan dari masa lalu yang membuatnya merasakan sesuatu yang menyayat hatinya sehingga ia memilih untuk pergi meninggalkan wanita yang baru ia kenal itu. Scarlet berdiri di samping jendela kaca, sorot matanya yang kosong membayangkan kembali setiap ingatan-in
“Hmm ... agen C 17,” ucap Nathania tersenyum kecil melihat Scarlet. “Agen D 13, benarkan?” “Ya, kau benar,” jawabnya tertawa kecil. “Apa ada yang lucu?” “Tidak ada. Bagaimana dengan lelaki yang ada di dalam rumah itu? Apa kau membunuhnya?” “Aku tidak yakin kalau dia sudah mati, tapi beberapa tusukan dariku bisa membuat nyawanya berada di ujung tanduk. Kalau nasibnya beruntung mungkin saja dia koma beberapa bulan.” “Dia mungkin bisa menambah masalahmu jika masih hidup.” “Tidak apa-apa. Lebih banyak masalah lebih bagus.” “Scar, apa sekarang kita akan kembali ke markas?” “Kita? Apa maksudnya dengan kita?” tanya Scarlet melihatnya dengan wajah datar. “Scar, sejak aku menolongmu, kita sudah jadi partner,” jawab Nathania dengan wajah yang bingung bercampur kekesalan karena sikap Scarlet yang
Scarlet terbatuk menahan sakit di tenggorokannya yang hampir patah akibat cengkeraman itu. Sementara lelaki yang di tusuknya tersandar di dinding kamar. Lelaki itu sekarat, ia menahan darah di perutnya yang masih mengalir begitu deras dan mencoba meraih pistol yang ada di lantai. Namun langkah Scarlet lebih cepat darinya, tangan lelaki itu di hentikan oleh injakkan kaki Scarlet yang kuat. Scarlet memungut pistolnya dan membidiknya tepat ke atas dahi lelaki yang sudah tidak berdaya di bawahnya. “Si-siapa kamu? Siapa yang menyuruhmu?” “Hmp ... apa hanya ini kemampuan dari seorang jenderal yang terkenal dengan kelicikannya?” “Ha ha ha ... apa seorang jenderal yang licik bisa dengan mudahnya di bunuh oleh gadis sepertimu?” “Apa lelaki yang bersamamu itu adalah Alexander?” “Meskipun kau tau, kau tidak akan bisa membunuhnya dengan mudah.”
Dengan kekesalannya, Scarlet berjalan menuju toilet untuk menenangkan dirinya sebentar dan juga tentu saja untuk memasang alat pelacak yang telah di tempelkan di kerah kemeja Don Carlos. Ia mengeluarkan alat pendengar kecil dan memasangkannya di telinganya untuk mendengar apa yang dilakukan oleh Don Carlos. Tebakannya benar kalau Don Carlos pasti akan menemui Alexander untuk bernegosiasi lagi. Melalui alat pendengar itu Scarlet bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dan sepertinya kedua lelaki itu sudah tidak berada di dalam ruangan yang bising dengan suara musik. Dari percakapan mereka Don Carlos menawarkan kebebasan anaknya untuk di tukarkan dengan kekayaan miliknya, tapi Alexander menolaknya dengan serius. Melalui perkataan Alexander yang terdengar sedikit samar-samar membuat Scarlet tertegun saat menyadari suara Alexander sedikit tak asing di telinganya. Dia segera keluar dari toilet dan mencari keberadaan Alexander yang sebenarnya. Scarlet be
“Kartu undangan? ... oh, ada padaku.” Scarlet merogoh ke dalam tasnya, berharap kartu undangannya ada di dalam tas pestanya. Dan tentu saja seperti perkataan bosnya bahwa semua persiapannya sudah di siapkan. Scarlet mengeluarkan kartu undangan berwarna gold dan menyerahkannya kepada pengawal itu. “Silakan masuk, Mrs. Pattinson. Maaf atas ketidaknyamanannya.” Scarlet berjalan melewati pintu yang telah di bukakan oleh pengawal itu. Acara pesta yang luar biasa pengamanannya. Tentu saja hal itu harus di lakukan karena banyak orang-orang penting yang hadir di dalam sana. Suara alunan musik klasik terdengar di ruangan yang besar itu. Saat ia masuk, penerima tamu yang berdiri di samping pintu menyambutnya dengan sopan dan memberikan sebuah topeng untuk di gunakannya saat itu. Semua tamu yang ada di dalam sudah menggunakan topeng mereka masing-masing. Scarlet pun segera memakai topeng yang di berikan