REMBULANTertegun sesaat mendengar permintaanku yang tiba-tiba, akhirnya Romeo mengizinkanku masuk ke kamarnya.Kakiku terayun pelan memasuki kamar Romeo. Kamar hotel yang ditempatinya semerbak oleh aroma parfumnya yang soft namun maskulin."Kamu nggak jadi tidur?" Romeo menanyakannya setelah aku duduk tepat di pinggir ranjang."Nggak bisa tidur.""Ada yang dipikirin?""Aku ngerasa nggak enak sama kamu, Rom. Gara-gara aku kamu nggak jadi menghadiri festival.""Nggak masalah. Nggak penting. Nanti juga bakal tahu hasilnya lewat EA News. Aku malah lebih takut meninggalkan kamu sendiri di sini daripada ketinggalan acara itu," jawab Romeo sambil tersenyum tipis."Aku nggak apa-apa, Rom. Aku akan baik-baik saja," kataku meyakinkan. "Pergilah. Kayaknya masih sempat." "Kalau aku pergi kamu gimana? Gimana kalau nanti kamu mau dipeluk lagi tapi aku nggak ada?"Perkataan Romeo membuat pipiku bersemu merah. Bisa saja dia akan mengolok-olokku dengan menceritakan kejadian itu pada teman-temannya s
ROMEO Posisi Bulan yang berada tepat di belakangku dan menyandarkan dagunya ke pundakku membuatku bisa merasakan payudaranya yang menempel di punggungku. Jujur saja dia membuatku bangun. Tapi mungkin Bulan tidak sadar kalau posisinya itu begitu berbahaya. Walau bagaimanapun aku tetaplah seorang laki-laki normal yang memiliki hasrat dan nafsu."Cantik banget lukisan kamu, Rom. Cewek yang di sini mirip sama aku dan nggak ada bedanya," puji Bulan penuh kekaguman mengagumi lukisan tersebut melalui bahuku."Ya iyalah, Lan. Ini kan memang kamu," jawabku sambil tersenyum kecil."Tapi aku nggak nyangka bakal semirip aku lho, Rom. Kamu hebat. Keren. Lukisan kamu tuh udah kayak pelukis profesional." Pujian demi pujian tanpa henti berloncatan keluar dari mulut Bulan."Percaya nggak? Ini pertama kalinya aku melukis perempuan.""Percaya," jawab Bulan tanpa ragu.Aku nggak bohong. Kalau pun harus melukis manusia aku selalu melukis laki-laki. Bulan adalah perempuan pertama dan baru satu-satunya yan
REMBULAN Cahaya matahari yang menerobos melalui sela-sela tirai mengusik tidurku. Membuatku tidak nyaman dan memaksa untuk membuka mata.Aku mengerjap berkali-kali, beradaptasi dengan penglihatan yang baru. Di mana ini?Baru saja hendak menebak, rasa linu menjalar di sela-sela paha, membuatku bertanya-tanya apa yang sudah terjadi.Keherananku barusan seakan nggak ada apa-apanya. Begitu memutar tubuh segenap diriku dibuat kaget oleh seseorang yang tidur di sebelahku.Romeo!Kubekap mulut kuat-kuat dengan telapak tangan demi menahan teriakan agar tidak lolos.Bagaimana bisa aku dan Romeo berada di ranjang yang sama?Seakan belum cukup untuk membuatku terkejut aku kembali mendapatkan kejutan lainnya. Jantungku hampir terlepas dari rongganya ketika menyadari di balik selimut putih yang menyelubungi tubuh kami berdua aku dan Romeo sama sekali tidak berpakaian.Ya Tuhan ... apa yang kami lakukan semalam? Kenapa bisa begini? Apa aku dan Romeo melakukan hubungan intim? Lantas, bagaimana m
"Lan, lo di mana? Lama banget di Balinya."Itu bunyi salah satu pesan masuk yang kuterima. Pesan tersebut adalah dari Mecca. Masih banyak lagi pesan lainnya yang berasal dari Windy dan Tiara.Kubalas pesan itu.Me: Gue udah di apart.Mecca: Ih, kapan nyampenya? Kok nggak bilang-bilang kalo udah balik?Me: Dua hari yang lalu. Sorry ya, gue lupa ngabarin.Mecca: Tumben lo pake lupa. Biasanya selalu laporan di grup.Me: Sorry.Mecca: Sorry mulu dari tadi. Gue ke sana ya?Aku belum menjawab tapi Mecca sudah leave chat. Demi menghindari kecurigaannya kukirimkan balasan untuknya.Me: Oke.Mecca benar-benar datang dua puluh menit kemudian. Saat itu aku sedang mempelajari sistim franchise sebuah jaringan minimarket."Coba tebak gue bawa apa?" ucap Mecca langsung."Apa?" tanyaku tanpa minat. Tumben dia nggak nagih oleh-oleh dari Bali.Mecca melepas tas yang tersampir di bahunya, membukanya, kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana."Taraaaa ..." Dia mengembangkan sebuah baju kaos berwarna put
REMBULAN "Lan, ayolah! Lo mau turun atau gue panggil Pak Romeo ke sini?" Mecca terus memaksaku yang membuatku lama-lama menyerah pada keinginannya. Aku yakin jika terus bertahan dengan sikapku dan terus menyatakan penolakan, Mecca akan bertambah curiga."Oke, biar gue yang turun," putusku kemudian."Nah, gitu dong!" Mecca tersenyum senang. "Sana gih, kasihan dia kelamaan nunggu."Malas-malasan aku keluar untuk kemudian menuju lobi. Romeo sedang duduk di salah satu sofa yang berada di sana ketika aku muncul. Dia tampak sedang merenung. Mungkin lamunannya terlalu jauh sampai-sampai nggak tahu akan kedatanganku. Aku terpaksa membuat batuk untuk memberitahunya. Dia terkesiap lalu tersenyum menyapaku."Hai, Lan, sorry muncul lagi di depan kamu," ucapnya setelah berdiri.Dari perkataannya, aku memaknainya bahwa dia sadar aku nggak suka akan kedatangannya."Makasih bajunya," kataku to the point tanpa basa-basi sama sekali."Baju itu aku beli saat hari terakhir di Venice. Tadinya aku mau n
ROMEO "Pak, Bulan ada di ruangannya," kata Mecca memberitahu sekeluarnya dia dan Windy dari ruangan Bulan."Thanks ya," ucapku."Yang sabar ya, Pak. Dia emang galak tapi nggak ngegigit kok." Windy menimpali.Aku tertawa sekenanya kemudian berlalu menuju ruangan Bulan.Sudah dua bulan lamanya aku dan Bulan nggak berkomunikasi. Aku juga nggak menemui dia walau Mecca sering mengajak. Aku menghargai permintaannya. Tapi lama kelamaan aku nggak bisa tahan. Bulan selalu mengisi pikiranku di setiap malam yang sepi. Meski sudah berusaha kuenyahkan namun bayangannya tetap nggak mau pergi. Sampai belakangan kumenyadari dia sudah membuatku jatuh cinta.Aku paling anti dengan yang namanya instalove. Tapi dengan Bulan segalanya terasa berbeda. Tidak ada yang salah dengan waktu dan pertemuan yang singkat. Bila cinta sudah menyapa kita bisa apa?Aku berhenti di depan pintu ruangan Bulan. Selama beberapa saat kuterpaku di depannya. Apa aku harus masuk sekarang? Lantas bagaimana reaksi Bulan? Apa dia
ROMEO"Om Romeee!" Seorang bocah kecil laki-laki berlari menghampiriku ketika melihatku datang. Dia adalah anak kakakku. Namanya Rigel.Aku berjongkok lalu merentangkan tangan untuk menyambut kedatangannya."Anak Om apa kabar?" tanyaku setelah Rigel berada di dalam dekapan."Ayik, Om (baik, Om)," jawabnya lucu. Dia memang menggemaskan dan menjadi kesayangan banyak orang."Lihat nih, Om bawa apa?" Kusodorkan bungkusan padanya."Oleeee!!! (Horeee!!!)" Rigel melompat-lompat menerima hot wheels yang kuberikan."Girang banget sih anak Mama. Apa itu, Nak? Oh, ada Om Romeo." Kak Kei, kakakku muncul ke tengah-tengah kami."Lihat, Ma. Om Rome beliin Je mobil-mobilan." Rigel mengangkat box, menunjukkan pada mamanya."Udah bilang makasih belum sama Om Rome?"Rigel menggeleng dengan lugu. Ekspresinya yang menggemaskan membuatku ingin menciumnya."Lupa ya Mama bilang apa?"Rigel kemudian melihat ke arahku. Bibir mungilnya bergerak-gerak dengan lucu. "Makasih ya, Om, udah beliin Je mobil-mobilan."
ROMEOGimana nggak kaget? Cewek yang mengisi tempat dudukku adalah Bulan."Rom, kok malah bengong? Sini!" Kak Kei kembali melambaikan tangannya agar aku mendekat.Aku yang diam termangu terpaksa menghampiri. Kulihat wajah Bulan semakin pucat. Dia melihatku saja sudah ketakutan, apalagi saat aku datang menghampirinya."Rom, kenalin, ini Bulan, temenku. Lan, ini Romeo, adekku."Ayo taruhan. Bagaimana reaksi Bulan? Apa dia akan bersikap pura-pura nggak mengenalku lagi?"Tepat dugaanku. Lagi-lagi dia bersikap pura-pura nggak kenal aku."Bulan," katanya sambil menyebutkan nama.Kutatap dia dengan lekat, ingin menyiratkan kalau aku nggak suka sikapnya yang pura-pura nggak mengenalku.Bulan memalingkan wajah, berlari dari kejaran mataku."Kei, bentar, gue ke toilet dulu," pamitnya pada Kak Kei."Hati-hati ya, Lan."Bulan mengangguk pelan lantas melangkah cepat meninggalkan kami. Aku melihat dia berjalan menuju toilet.Nggak mau membuang kesempatan, aku segera mengejar Bulan, namun tentu saja
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa