ROMEO "Pak, Bulan ada di ruangannya," kata Mecca memberitahu sekeluarnya dia dan Windy dari ruangan Bulan."Thanks ya," ucapku."Yang sabar ya, Pak. Dia emang galak tapi nggak ngegigit kok." Windy menimpali.Aku tertawa sekenanya kemudian berlalu menuju ruangan Bulan.Sudah dua bulan lamanya aku dan Bulan nggak berkomunikasi. Aku juga nggak menemui dia walau Mecca sering mengajak. Aku menghargai permintaannya. Tapi lama kelamaan aku nggak bisa tahan. Bulan selalu mengisi pikiranku di setiap malam yang sepi. Meski sudah berusaha kuenyahkan namun bayangannya tetap nggak mau pergi. Sampai belakangan kumenyadari dia sudah membuatku jatuh cinta.Aku paling anti dengan yang namanya instalove. Tapi dengan Bulan segalanya terasa berbeda. Tidak ada yang salah dengan waktu dan pertemuan yang singkat. Bila cinta sudah menyapa kita bisa apa?Aku berhenti di depan pintu ruangan Bulan. Selama beberapa saat kuterpaku di depannya. Apa aku harus masuk sekarang? Lantas bagaimana reaksi Bulan? Apa dia
ROMEO"Om Romeee!" Seorang bocah kecil laki-laki berlari menghampiriku ketika melihatku datang. Dia adalah anak kakakku. Namanya Rigel.Aku berjongkok lalu merentangkan tangan untuk menyambut kedatangannya."Anak Om apa kabar?" tanyaku setelah Rigel berada di dalam dekapan."Ayik, Om (baik, Om)," jawabnya lucu. Dia memang menggemaskan dan menjadi kesayangan banyak orang."Lihat nih, Om bawa apa?" Kusodorkan bungkusan padanya."Oleeee!!! (Horeee!!!)" Rigel melompat-lompat menerima hot wheels yang kuberikan."Girang banget sih anak Mama. Apa itu, Nak? Oh, ada Om Romeo." Kak Kei, kakakku muncul ke tengah-tengah kami."Lihat, Ma. Om Rome beliin Je mobil-mobilan." Rigel mengangkat box, menunjukkan pada mamanya."Udah bilang makasih belum sama Om Rome?"Rigel menggeleng dengan lugu. Ekspresinya yang menggemaskan membuatku ingin menciumnya."Lupa ya Mama bilang apa?"Rigel kemudian melihat ke arahku. Bibir mungilnya bergerak-gerak dengan lucu. "Makasih ya, Om, udah beliin Je mobil-mobilan."
ROMEOGimana nggak kaget? Cewek yang mengisi tempat dudukku adalah Bulan."Rom, kok malah bengong? Sini!" Kak Kei kembali melambaikan tangannya agar aku mendekat.Aku yang diam termangu terpaksa menghampiri. Kulihat wajah Bulan semakin pucat. Dia melihatku saja sudah ketakutan, apalagi saat aku datang menghampirinya."Rom, kenalin, ini Bulan, temenku. Lan, ini Romeo, adekku."Ayo taruhan. Bagaimana reaksi Bulan? Apa dia akan bersikap pura-pura nggak mengenalku lagi?"Tepat dugaanku. Lagi-lagi dia bersikap pura-pura nggak kenal aku."Bulan," katanya sambil menyebutkan nama.Kutatap dia dengan lekat, ingin menyiratkan kalau aku nggak suka sikapnya yang pura-pura nggak mengenalku.Bulan memalingkan wajah, berlari dari kejaran mataku."Kei, bentar, gue ke toilet dulu," pamitnya pada Kak Kei."Hati-hati ya, Lan."Bulan mengangguk pelan lantas melangkah cepat meninggalkan kami. Aku melihat dia berjalan menuju toilet.Nggak mau membuang kesempatan, aku segera mengejar Bulan, namun tentu saja
REMBULANSejak membuka usaha sendiri aku lebih sering berada di toko ketimbang di apartemen. Usaha yang kujalani cukup menyenangkan. Aku hanya tinggal memantau dari belakang layar dan menerima progress penjualan. Namun ketika rasa jenuhku datang aku akan ngetem berhari-hari di apartemen.Saat aku sedang memeriksa laporan penjualan pintu ruanganku diketuk. "Masuk!" sahutku pelan.Dua detik setelahnya, Eka, salah satu pramuniaga muncul."Mbak Bulan, ada tamu," beritahunya."Siapa, Ka?""Dia bilang namanya Lakeizia, Mbak."Senyumku menyembul seketika. Aku memang memiliki tiga sahabat baik. Tapi berteman dengan Lakeizia vibes-nya begitu berbeda. Mungkin karena kami berada dalam gelembung yang sama."Suruh tunggu sebentar ya.""Baik, Mbak." Eka menghilang dari hadapanku dalam sekejap.Jarang-jarang Lakeizia atau yang biasa dipanggil Kei itu datang nyamperin aku. Kalau pun ingin bertemu dia selalu menghubungiku terlebih dulu.Kei sedang ngopi di depan toko ketika aku muncul di hadapannya.
REMBULANAku menutup pintu dengan sedikit bantingan ketika tiba di apartemen. Rasanya lelah padahal aku nggak ngapa-ngapain. Ah, mungkin aku lelah menghindar dari Romeo yang tidak henti mengejarku.Apa sikapku tadi kekanakan? Apa yang ada di pikiran Romeo saat ini? Apa menurutnya aku norak, lebay, sialan?Ah, bodoh amat. Aku rasa sikapku sudah tepat. Dengan sikap yang kutunjukkan dia pasti mengerti bahwa aku nggak suka pada caranya yang terus mengejarku.Bel di depan sana berbunyi begitu aku masuk ke kamar.Romeo? Apa itu dia? Jadi dia datang menyusulku?Aku membiarkan bel terus berbunyi tanpa keinginan untuk membuka pintu. Namun semakin lama nggak ada tanda-tanda akan berhenti. Dengan kesal kulangkahkan kaki menuju ruang depan."Kamu lag--" Kalimatku menggantung begitu saja ketika mengetahui bukan Romeo yang datang, tapi Putra, salah satu karyawan toko. "Eh, sorry, saya pikir siapa."Putra tersenyum padaku. "Nggak apa-apa, Mbak Bulan. Saya ke sini disuruh Mbak Rosi, mau mengantar
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar