REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
“Kenzio Mahanta …”Nama itu meluncur lancar dari bibirku ketika menyaksikan sosok laki-laki itu dari jauh. Mendadak tubuhku terseret ke masa lalu. Tepatnya ke waktu beberapa tahun yang lalu. Tujuh atau delapan tahun yang silam. Ah, aku lupa persisnya. Sosok di hadapanku kini begitu nyata dalam versi yang telah disempurnakan berkali-kali lipat. Tidak mustahil juga jika aku akan bertemu dengan lelaki itu. Toh, ini adalah acara reuni terbuka yang bisa dihadiri oleh siapa saja. Tidak terkecuali dia.Dan Kenzio masih saja gagah seperti dulu.Ah, sial. Aku masih saja memujinya.Aku akui aku memang tidak kebal oleh pesonanya sejak dulu. Tapi yang tidak kusangka adalah mesti hitungan tahun berlalu tapi perasaanku padanya tidak berubah.Aku mencintainya.Tapi aku tidak berani berharap lebih. Memangnya siapa aku?Aku ibarat upik abu sedangkan dia adalah pangeran berkuda putih yang sudah jelas tidak akan mau melirik padaku.Sekarang aku bingung harus menghilang atau pura-pura tidak melihat. Aku
Saat pesanku terkirim di saat itulah aku menyadari mungkin aku terlalu to the point. Semestinya tadi aku berbasa-basi dulu. Setidaknya aku bertanya kabar Kenzio atau sekadar say hello. Bukannya langsung menodong minta bantuan.Semenit dua menit hingga sepuluh menit aku menunggu, namun pesanku masih belum dibaca. Mungkin Kenzio sudah tidur. Mungkin ponselnya mati. Atau mungkin dia sudah melihatnya tapi sengaja tidak membalas karena kalimat ‘Kalau kamu butuh bantuan jangan sungkan hubungi aku ya’ hanya sekadar basa-basi.Lagi pula Kenzio belum tentu masih mengingatku. Selain aku hanya sampah, ada ribuan atau jutaan nama Viola di dunia ini. Apalagi akunku privat dan foto profilku bukan fotoku melainkan sebuah quote sok bijak.Aku mengesah lelah sambil mengucek mata. Angin dingin yang menyerang tubuh basahku membuatku semakin menggigil. Selain mata yang mulai berat, perutku ikut-ikutan lapar. Tadi karena sibuk berkutat dengan laptop aku melewatkan makan malam.Aku membawa tubuh yang semak
Kenzio menyetir kencang di sebelahku tanpa berkata apa-apa. Dia tidak bertanya apa yang terjadi padaku. Kenapa aku sampai begini dan segala macam. Sementara aku juga duduk membeku di sebelahnya. Sesekali aku mencuri pandang padanya. Tapi sepertinya Kenzio tidak menyadari aku memerhatikannya karena terlalu fokus menyetir. Aroma parfum mahal menguar dari dada telanjangnya. Sudah larut malam begini dia masih saja wangi. Sampai kemudian kami tiba di sebuah apartemen mewah di kawasan Jakarta Selatan. Dia mengajakku turun lalu naik ke unit yang ditempatinya. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami terheran-heran melihat Kenzio bertelanjang dada. Namun keheranan mereka melihat Kenzio pasti tidak ada apa-apanya saat melihat gadis kumal berjalan di sebelahnya. Dengan penampilanku saat ini—menggunakan celana tidur kumal, baju kaos kegedean, rambut lepek dan basah serta tidak mengenakan alas kaki, orang-orang pasti mengiraku gembel yang tersesat. Atau gadis dari pelosok kampung yang akan be
Kenzio sudah rapi saat aku bangun pagi ini. Aku menemukannya sedang duduk di kitchen stool sambil menyesap kopi. Sementara matanya terarah pada televisi yang menempel di dinding.Dia mengenakan kemeja biru langit, celana hitam serta pantofel hitam. Pertanda sudah siap untuk berangkat kerja. Kenzio bukanlah cowok-cowok sedingin es atau tipe-tipe mafia. Tapi dia adalah seorang pria muda yang humble dan menjadi mimpi banyak para wanita namun begitu sulit untuk digapai.Dari tempatku berdiri—tepat di belakangnya, aroma parfum Kenzio terhirup begitu jelas oleh hidungku. Aromanya lembut namun begitu maskulin. Sepertinya dia masih belum menyadari kehadiranku karena terlalu fokus pada layar televisi.Aku sengaja berdeham agar Kenzio mengetahui keberadaanku. Upayaku berhasil. Dia menoleh melalui bahu lalu memberi sapaan padaku."Aku nggak tahu kalau kamu sudah bangun."Aku tersenyum kaku. Semalam kami tiba di apartemen pukul setengah dua. Aku baru masuk ke kamar pukul dua lewat dan baru bisa t
"Papa mencari kamu ke mana-mana. Papa cemas kamu nggak pulang semalam.""Awas, Om, aku mau lewat. Jangan ganggu aku," ucapku mencoba lewat dari depannya. Aku tidak sudi memanggilnya Papa setelah kebiadabannya kemarin."Om? Kenapa memanggil Papa begitu? Jadi kamu nggak menganggap Papa sebagai papamu lagi?""Nggak akan setelah perbuatan Om kemarin," desisku dingin."Ya sudah, terserah kamu. Papa juga senang dipanggil Om, malah kesannya lebih mesra." Dia terkekeh yang membuatku jijik. "Om minta maaf atas kejadian kemarin. Om nggak sengaja, Vio. Om lagi mabuk. Om nggak tau kalau itu kamu. Sekarang kita pulang ya, ada kenalan Om yang bisa membantu kamu ngasih pekerjaan."Pekerjaan? Aku menyipit tak percaya. Pasti ini akal-akalannya saja.Oh wait, apa ini ada hubungannya dengan Rita? Apa keduanya bersekongkol untuk menjebakku sehingga aku bertemu dengan Om Hendra di sini?Tega sekali dia padaku. Aku pikir Rita benar-benar bisa kupercaya."Aku nggak butuh kerja, Om. Permisi, aku mau lewat. "
"Anda butuh uang berapa?" Tiba-tiba suara lain terdengar di antara kami.Refleks aku memandang ke arah pintu. Pun dengan Om Hendra. Perasaan lega melingkupiku seperti menemukan oase di padang pasir saat melihat Kenzio datang.Om Hendra memutar tubuh lalu memandang tidak suka pada Kenzio. "Lo siapa ikut campur urusan gue?"Kenzio bergerak merengkuh tanganku lalu memosisikanku di belakang punggungnya."Saya calon suaminya Viola. Apa informasi itu sudah cukup buat anda?""Oh, jadi lo laki-laki yang make wanita murahan ini?" Om Hendra menyeringai merendahkanku. “Asal lo tau, dia udah bekas gue. Udah puas gue makenya."Ingin rasanya aku pukul mulut kurang ajar keparat itu."Oh ya?" Kenzio balas tertawa. "Mulai sekarang jangan pernah ganggu Viola lagi. Atau saya nggak akan segan-segan memperkarakan anda. Saya nggak pernah main-main dengan ucapan saya."Tangan Om Hendra sudah terangkat untuk menghajar Kenzio. Namun niatnya itu gagal terlaksana saat dua orang petugas bagian keamanan datang."
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa