Kenzio menyetir kencang di sebelahku tanpa berkata apa-apa. Dia tidak bertanya apa yang terjadi padaku. Kenapa aku sampai begini dan segala macam. Sementara aku juga duduk membeku di sebelahnya.
Sesekali aku mencuri pandang padanya. Tapi sepertinya Kenzio tidak menyadari aku memerhatikannya karena terlalu fokus menyetir. Aroma parfum mahal menguar dari dada telanjangnya. Sudah larut malam begini dia masih saja wangi.Sampai kemudian kami tiba di sebuah apartemen mewah di kawasan Jakarta Selatan. Dia mengajakku turun lalu naik ke unit yang ditempatinya.Beberapa orang yang berpapasan dengan kami terheran-heran melihat Kenzio bertelanjang dada. Namun keheranan mereka melihat Kenzio pasti tidak ada apa-apanya saat melihat gadis kumal berjalan di sebelahnya. Dengan penampilanku saat ini—menggunakan celana tidur kumal, baju kaos kegedean, rambut lepek dan basah serta tidak mengenakan alas kaki, orang-orang pasti mengiraku gembel yang tersesat. Atau gadis dari pelosok kampung yang akan bekerja menjadi pembantu di salah satu unit apartemen bangunan ini.Sementara orang-orang masih memandang penuh tanda tanya, Kenzio tampak tidak peduli.Lift yang membawa kami berhenti di lantai 14. Unit apartemen Kenzio terletak paling ujung."Aku tinggal di sini. Silakan duduk dulu." Itu adalah dua kalimat pertama yang aku dengar setelah hening yang panjang sejak perjalanan tadi. Kenzio mengucapkannya setelah membuka pintu.Aku mengangguk kaku lalu menempatkan tubuh bekuku di atas sofa abu-abu. Sedangkan Kenzio masuk ke kamar.Hanya lima menit dia kembali muncul. Kali ini dengan keadaan yang berbeda. Dia sudah memakai baju. Sebuah kaos abu-abu melekat dengan sempurna membungkus dadanya yang tadi terbuka. Tadi aku juga melihat tubuhnya menggigil kedinginan. Meski AC mobil tidak dinyalakan tapi cuaca dingin menyergap sampai ke tulang.Aku tidak akan pernah melupakan malam ini. Aku akan menandai kalender hari ini yang akan kukenang di sepanjang sisa usia yang kumiliki. Kenzio dan pengorbanannya. Jauh-jauh dari Jaksel ke Bekasi hanya untuk menjemputku, memberikan bajunya padaku dan membiarkan tubuhnya kedinginan agar aku merasa sedikit hangat. Bagi orang lain mungkin sepele. Tapi bagiku ini adalah hal yang indah yang akan melekat selamanya di benak.Aku baru menyadari ada sesuatu di tangannya yang segera diberikannya padaku."Viola, pake baju ini dulu." Kenzio memberikan sepasang piyama sutra berwarna coklat yang tentunya mahal padaku."Kamu bisa ganti baju di sana." Kenzio mengimbuhkan lalu menunjukkan kamar di sebelah kamar yang tadi dimasukinya. Aku jadi tahu bahwa itu adalah kamar tamu, sedangkan kamar pertama merupakan kamar pribadi Kenzio.Aku menerima piyama itu lalu melangkah pelan menuju kamar yang dimaksud. Saking gugupnya aku lupa mengucapkan terima kasih.Wangi pengharum ruangan langsung menyerbu hidungku saat aku masuk ke kamar dan menutup pintu.Meski bukan kamar utama tapi kamar ini juga luas dan terasa lapang. Terlebih dengan dindingnya yang dicat menggunakan warna putih semakin membuat kesan itu begitu nyata. Dan ternyata ada pintu yang lain di kamar itu yang merupakan pintu menuju balkon.Ada satu tempat tidur single bed, satu lemari pakaian dua pintu dan juga sebuah meja plus kursi di kamar ini. Tapi yang membuatku bertanya-tanya adalah, ini kamar siapa? Karena terkesan begitu rapi dan terawat. Tidak mungkin kurasa jika pure kamar tamu. Pertanyaan kedua adalah piyama siapa yang akan kupakai? Sudah jelas ini adalah piyama perempuan. Nggak mungkin juga punya Kenzio kan?Ah sudahlah, aku tidak perlu memikirkannya. Yang jelas Kenzio sudah mau membantuku. Piyama tersebut melekat dengan begitu pas di badanku. Aku tidak tahu berapa harganya. Tapi dengan baju ini aku tahu, oh jadi begini rasanya memakai pakaian tidur orang kaya.Duduk di pinggir tempat tidur, kedua tanganku saling meremas. Apa yang harus kulakukan? Ingin keluar tapi merasa sungkan pada Kenzio. Tiba-tiba saat diberi kesempatan berdua aku gugup sejadinya. Aku juga malu padanya. Ingin tidur tapi perutku keroncongan. Lagi pula rasanya tidak sopan langsung tidur tanpa berterima kasih.Aku masih merenung tentang apa yang akan kulakukan ketika ketukan di depan pintu tertangkap oleh telinga. Lalu terdengar suara memanggilku."Viola!"Refleks aku berdiri. Wajah Kenzio menyembul setelah pintu kubuka."Iya?""Aku buatin hot chocolate buat kamu. Diminum dulu."Aku mengangguk lemah lalu mengikuti langkah Kenzio menuju sofa abu-abu tadi. Ada dua cangkir coklat panas yang masih menguarkan uap hangat di meja serta empat tangkup roti bakar dadakan yang sepertinya baru keluar dari microwave. Kenzio membuatnya untuk kami berdua."Silakan ..." Kenzio menyuruh saat melihatku masih duduk dengan kaku.Lagi-lagi aku mengangguk lalu meraih gagang cangkir. Aku menyesapnya dengan perlahan. Sumpah, saat ini aku betul-betul kelaparan tapi mencoba agar tidak menunjukkannya pada Kenzio."Rotinya juga, silakan dimakan," suruh Kenzio lagi setelah aku meletakkan cangkir yang isinya tinggal tidak sampai separuh di atas meja.Lagi-lagi yang aku bisa adalah menganggukkan kepala. Aku betul-betul gugup. Selain karena Kenzio adalah gebetanku dari dulu, aku malu pada diriku sendiri. Pada keadaanku."What happened, Vio?" Pertanyaan itu kudengar setelah satu tangkup roti lolos ke lambungku.Kenzio kini sedang menatapku, menunggu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan atas keheranannya.Lalu aku mulai menceritakan padanya apa yang terjadi tanpa ada yang dikurangi apalagi dilebihkan."Aku hampir diperkosa ayah tiriku dan aku kabur dari rumah. Aku nggak berani pulang ke sana. Waktu aku menghubungi teman-teman mereka juga menolak. Mereka mikirnya aku mau pinjam uang. Padahal aku cuma mau numpang menginap satu malam ini. Tapi aku ngerti kenapa mereka bersikap begitu. Sejak nganggur udah nggak kehitung entah berapa kali aku meminjam uang dari mereka dan belum ada yang diganti," beberku pahit.Aku sudah nggak tahu betapa merahnya mukaku saat menceritakan pada Kenzio. Entah apa penilaiannya padaku setelahnya. Kenzio pasti tidak ingin ambil risiko. Aku yakin besok pagi dia akan buru-buru mengusirku karena khawatir aku akan menjadi benalu di sini."Keluarga kamu yang lain gimana? Mereka tahu kejadian ini?”Aku menggelengkan kepala menidakkan."Aku udah nggak punya keluarga. Bisa dibilang aku tinggal sebatang kara. Ibuku meninggal tiga bulan yang lalu karena kanker. Adekku juga meninggal satu tahun yang lalu karena kecelakaan.""I'm sorry to hear that." Kenzio berucap prihatin.Aku mengangguk. "Nggak apa-apa. Oh iya, aku mau bilang terima kasih banyak atas bantuan kamu. Kalau nggak ada kamu mungkin sekarang aku masih di halte itu dan entah apa yang terjadi."Kenzio menatapku datar."Tapi kamu nggak usah khawatir. Aku cuma numpang malam ini. Besok pagi-pagi banget aku akan pergi. Aku nggak bakal ngerepotin kamu.""Kamu mau pergi ke mana memangnya?" Kenzio memandangku lekat.Aku terdiam sampai di sini. Tidak mampu menjawab pertanyaan itu karena pada dasarnya aku nggak tahu apa jawabannya. Aku nggak punya saudara atau keluarga. Kalau pun ada aku nggak yakin mereka mau menampung parasit. Bahkan aku nggak punya uang sepeser pun. Aku ingat. Di dalam dompet yang kutinggalkan di dalam lemari hanya tersisa tiga lembar uang kertas dua puluh ribu. Totalnya enam puluh ribu rupiah. Itulah sisa uang terakhir yang kumiliki. Itu pun sisa pinjaman dari Rita. Alasanku waktu itu untuk membeli pulsa. Aku butuh kuota untuk apply lamaran kerja."Mungkin aku akan pergi ke rumah saudara, aku bisa numpang tinggal di sana sebentar," jawabku berbohong.Sudut-sudut bibir Kenzio terangkat membentuk senyum miring mendengar perkataanku. "Baru beberapa detik yang lalu kamu bilang nggak punya keluarga. You lie to me, Viola Arunika."Aku tertunduk malu. Pipiku menghangat lantaran Kenzio mendeteksi kebohonganku. Tapi tunggu, ternyata dia juga tahu nama lengkapku. Ya, maksudku, aku kan bukan orang penting. Hanya butiran kaldu di kehidupan Kenzio. Dengan dia bisa mengingat nama pendekku aku sudah takjub luar biasa. Apalagi sampai mengingat nama lengkapku.Lalu dengan menahan malu aku mengangkat kepala untuk kemudian memandang Kenzio yang tengah menatapku.“Sorry, tapi aku nggak mau kamu menganggapku memanfaatkan situasi. Aku berterima kasih banyak atas bantuan kamu. You saved my life, Kenzio.”“Bukan aku yang menyelamatkan kamu, tapi tindakan kamulah yang membuat kamu selamat. Keputusan kamu sudah tepat pergi dari rumah itu. Dan aku harap kamu nggak akan pernah berpikir untuk kembali ke sana.”Aku memang nggak akan balik lagi ke rumah itu. Masalahnya, semua pakaianku yang tidak seberapa ada di sana. Ijazahku, transkrip nilai, serta dokumen penting yang lain juga di sana. Jangan lupakan laptopku yang hanya satu-satunya.“Kamu punya uang?” tanya Kenzio lagi.Aku menggeleng lesu. “Kalau sekarang nggak ada. Di dompet ada sih, enam puluh ribu, tapi ketinggalan di rumah.”“Tuh kan, gimana kamu mau pergi kalau uang juga nggak ada? Apa-apa tuh sekarang pake uang.” Kenzio sepertinya sangat paham keadaanku.Orang bilang uang bukan segalanya. Tapi sekarang aku bilang uang adalah segalanya. Aku nggak akan mati tanpa cinta, tapi aku nggak akan bisa hidup tanpa uang.Aku terdiam, pun dengan Kenzio. Aku nggak tahu apa yang sedang mengisi pikirannya. Mungkin dia ingin memintaku pergi tapi mengetahui keadaanku dia merasa kasihan lalu mengurungkan niatnya.Sesekali aku mencuri pandang pada wajah rupawannya. Aku yakin Tuhan sedang berbahagia saat menciptakannya hingga dia menjadi sosok sempurna seperti yang kulihat saat ini.“Gini deh,” ucapnya kemudian. “Buat sementara kamu bisa tinggal di sini sampai kamu dapat pekerjaan yang baru. Kebetulan aku jarang di apartemen karena sibuk kerja, jadi aku nggak akan menganggu kamu.”Mataku berbinar mendengar perkataan Kenzio. Aku yakin dia bukan manusia tapi setengah malaikat.“Makasih, Zio, I owe you. Aku akan bayar uang sewa tinggal di sini setelah aku dapat kerjaan.”Kenzio tersenyum mendengarnya. “Udah malam, aku tidur duluan ya. Dihabisin rotinya, Vio.” Dia memandang roti di piring yang masih tersisa dua tangkup. Lalu setelahnya masuk ke kamar meninggalkanku sendiri dalam ketermanguan.Aku masih merasa berada di antara ambang takjub dan tak percaya ini semua terjadi padaku. Aku akan tinggal seatap dengan lelaki yang diam-diam kusukai sejak dulu. Kalau orang bilang keajaiban itu ada, maka itu adalah Kenzio.***Kenzio sudah rapi saat aku bangun pagi ini. Aku menemukannya sedang duduk di kitchen stool sambil menyesap kopi. Sementara matanya terarah pada televisi yang menempel di dinding.Dia mengenakan kemeja biru langit, celana hitam serta pantofel hitam. Pertanda sudah siap untuk berangkat kerja. Kenzio bukanlah cowok-cowok sedingin es atau tipe-tipe mafia. Tapi dia adalah seorang pria muda yang humble dan menjadi mimpi banyak para wanita namun begitu sulit untuk digapai.Dari tempatku berdiri—tepat di belakangnya, aroma parfum Kenzio terhirup begitu jelas oleh hidungku. Aromanya lembut namun begitu maskulin. Sepertinya dia masih belum menyadari kehadiranku karena terlalu fokus pada layar televisi.Aku sengaja berdeham agar Kenzio mengetahui keberadaanku. Upayaku berhasil. Dia menoleh melalui bahu lalu memberi sapaan padaku."Aku nggak tahu kalau kamu sudah bangun."Aku tersenyum kaku. Semalam kami tiba di apartemen pukul setengah dua. Aku baru masuk ke kamar pukul dua lewat dan baru bisa t
"Papa mencari kamu ke mana-mana. Papa cemas kamu nggak pulang semalam.""Awas, Om, aku mau lewat. Jangan ganggu aku," ucapku mencoba lewat dari depannya. Aku tidak sudi memanggilnya Papa setelah kebiadabannya kemarin."Om? Kenapa memanggil Papa begitu? Jadi kamu nggak menganggap Papa sebagai papamu lagi?""Nggak akan setelah perbuatan Om kemarin," desisku dingin."Ya sudah, terserah kamu. Papa juga senang dipanggil Om, malah kesannya lebih mesra." Dia terkekeh yang membuatku jijik. "Om minta maaf atas kejadian kemarin. Om nggak sengaja, Vio. Om lagi mabuk. Om nggak tau kalau itu kamu. Sekarang kita pulang ya, ada kenalan Om yang bisa membantu kamu ngasih pekerjaan."Pekerjaan? Aku menyipit tak percaya. Pasti ini akal-akalannya saja.Oh wait, apa ini ada hubungannya dengan Rita? Apa keduanya bersekongkol untuk menjebakku sehingga aku bertemu dengan Om Hendra di sini?Tega sekali dia padaku. Aku pikir Rita benar-benar bisa kupercaya."Aku nggak butuh kerja, Om. Permisi, aku mau lewat. "
"Anda butuh uang berapa?" Tiba-tiba suara lain terdengar di antara kami.Refleks aku memandang ke arah pintu. Pun dengan Om Hendra. Perasaan lega melingkupiku seperti menemukan oase di padang pasir saat melihat Kenzio datang.Om Hendra memutar tubuh lalu memandang tidak suka pada Kenzio. "Lo siapa ikut campur urusan gue?"Kenzio bergerak merengkuh tanganku lalu memosisikanku di belakang punggungnya."Saya calon suaminya Viola. Apa informasi itu sudah cukup buat anda?""Oh, jadi lo laki-laki yang make wanita murahan ini?" Om Hendra menyeringai merendahkanku. “Asal lo tau, dia udah bekas gue. Udah puas gue makenya."Ingin rasanya aku pukul mulut kurang ajar keparat itu."Oh ya?" Kenzio balas tertawa. "Mulai sekarang jangan pernah ganggu Viola lagi. Atau saya nggak akan segan-segan memperkarakan anda. Saya nggak pernah main-main dengan ucapan saya."Tangan Om Hendra sudah terangkat untuk menghajar Kenzio. Namun niatnya itu gagal terlaksana saat dua orang petugas bagian keamanan datang."
Sudah satu minggu lamanya aku tinggal satu atap dengan Kenzio. Seperti yang dikatakannya dulu dia sibuk kerja dan jarang berada di apartemen. Dia baru pulang ketika aku akan beranjak tidur malam. Karena dia terlihat lelah aku juga sungkan mengganggunya. Kami hanya ngobrol seadanya.Pagi saat aku bangun dia juga sudah siap dengan pakaian ala eksekutif muda. Kenzio memiliki banyak kemeja kerja, namun hanya ada dua warna yang kuhafal, putih dan biru langit, karena dua itulah yang sering dia pakai. Dia memiliki puluhan kemeja dari merek yang berbeda hanya untuk warna yang sama. Sehingga bagi orang yang tidak betul-betul mengenalnya akan menganggap Kenzio hanya memakai baju itu-itu saja.Satu hal lagi yang kutandai dari Kenzio adalah dia sering nonton televisi tengah malam di ruang tengah padahal ada televisi di kamarnya. Aku nggak tahu apa penyebabnya. Tidak mungkin TV di kamarnya itu rusak karena tanpa sengaja aku pernah melihanya menyala.Aku tahu kebiasaan Kenzio karena pernah satu mal
VIOLASangat lama Kenzio berada di kamarnya sampai aku berpikir untuk kembali ke kamarku. Mungkin setelah menerima telepon dari seseorang yang entah siapa Kenzio langsung tidur.Baru saja aku berdiri dari tempat duduk, suara Kenzio menghentikanku."Sorry agak lama," ucapnya lalu menempatkan diri di sofa seperti tadi.Aku mengurungkan niat untuk masuk ke kamar."Udah dipikirin atau kamu butuh waktu buat mikirinnya dulu?" Kenzio menanyakan keputusanku.Saat ini aku butuh uang, bukan posisi atau jabatan. Jadi aku pikir apa salahnya menurunkan standar yang telah kutetapkan. Aku rasa nggak ada salahnya menerima tawaran dari Kenzio. Aku bisa bekerja sebagai office girl di kantor Kenzio sambil tetap mencari pekerjaan yang sesuai denganku."Zio, aku udah pikirin barusan dan aku putusin buat kerja di kantor kamu."Jawabanku membuat Kenzio menyunggingkan senyum."Yakin? Ini office girl lho," ujarnya mengujiku."Yakin," jawabku tanpa keraguan."Kamu nggak bakal malu memangnya?"Malu? Bahkan aku
KENZIOAku keluar dari ruangan Armand setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Sengaja tidak langsung kembali ke ruanganku namun mencari keberadaan Viola.Aku menemukannya di toilet.Dia tidak menyadari kehadiranku karena terlalu fokus dengan kegiatannya mengepel lantai.Cukup lama aku berdiri di dekat pintu sampai dia menyadari kehadiranku. Dia terlihat kaget."Eh, Zio, mau pake toilet?" tanyanya.Aku memberi gelengan kepala."Terus?""Cuma mau ngeliat kamu. Gimana? Udah mulai terbiasa?""Udah dong. Cuma ngepel gini." Dia tertawa."Nanti kalau udah selesai ke ruanganku ya, aku butuh bantuan kamu buat fotocopy sekalian ada yang harus dirapiin.""Siaaap!" Viola menjawab cepat lalu aku pergi meninggalkannya.Di sela-sela langkahku kembali ke ruangan, ponselku berbunyi. Dari Dena, salah satu klien. Aku menangani kasus perceraiannya. Entah kenapa semakin ke sini semakin banyak orang-orang bercerai dengan berbagai sebab. Mulai dari perselingkuhan, ketidakcocokan yang baru disadari di
KENZIOAku meminta izin pada Dena untuk menerima telepon. Dia menjawab dengan anggukan singkat.Masuk ke kamar, aku menerima panggilan tersebut. Seketika suara Clara mengisi ruang dengarku."Zio, Dena udah di sana?""Udah, tadi dia nelfon aku dan bilang lagi di lobi apartemen. Jadinya aku pulang.""Hufftt ... syukurlah. Buat sementara biar dia tinggal di apartemen kamu dulu ya. Kasihan banget nggak punya tempat tinggal.""Itu nggak mungkin, Cla." Jelas saja aku menolak permintaan Clara."Why? Kamar kamu kan ada dua.""Ini bukan masalah kamar, Cla.""Jadi apa masalahnya?" Clara mendesak agar aku mengatakan alasan di balik penolakanku."Aku nggak mungkin nerima Dena tinggal di sini, nggak enak sama orang apalagi dia masih berstatus istri orang dan sedang dalam masalah," jawabku mengungkapkan ganjalan yang menjadi uneg-unegku."Astaga, Zio, kamu tuh ya mikirnya kejauhan. Dena kan sepupuku yang artinya nanti bakal jadi saudara kamu juga. Masa kamu nggak kasihan sih. Dia tuh masalahnya uda
KENZIODari apartemen aku kembali ke kantor setelah urusan dengan Dena selesai. Setibanya di sana Viola adalah orang pertama yang ingin kulihat. Dia sedang menyikat toilet begitu aku mencarinya.Entah mengapa melihatnya berurusan dengan WC membuatku jadi nggak tega. Tempatnya bukan sini. Bukan perkara wajahnya cantik. Sama sekali bukan itu. Tapi tempat ini nggak cocok untuknya.Aku berdeham memberi tahu kedatanganku. Seketika dia menoleh."Eh, Zio. Tadi aku udah ke ruangan kamu karena katanya ada yang mau diberesin tapi kamu-nya nggak ada.""Tadi aku ke luar. Perasaan dari tadi kamu di sini mulu." Tadi sebelum aku pergi dia sedang mengepel. Sekarang menyikat WC."Kan job desc aku memang begini," jawabnya santai. “Bentar ya, ini tinggal dikit lagi. Nanti aku ke ruangan kamu.""Aku tunggu," ucapku lalu kembali ke ruangan.Aku belum menemukan alasan yang tepat untuk menyuruh Viola mengungsi sementara dari apartemenku. Tadi sebelum kembali ke kantor aku bicara serius dengan Dena. Aku meng