Kenzio sudah rapi saat aku bangun pagi ini. Aku menemukannya sedang duduk di kitchen stool sambil menyesap kopi. Sementara matanya terarah pada televisi yang menempel di dinding.
Dia mengenakan kemeja biru langit, celana hitam serta pantofel hitam. Pertanda sudah siap untuk berangkat kerja. Kenzio bukanlah cowok-cowok sedingin es atau tipe-tipe mafia. Tapi dia adalah seorang pria muda yang humble dan menjadi mimpi banyak para wanita namun begitu sulit untuk digapai.
Dari tempatku berdiri—tepat di belakangnya, aroma parfum Kenzio terhirup begitu jelas oleh hidungku. Aromanya lembut namun begitu maskulin. Sepertinya dia masih belum menyadari kehadiranku karena terlalu fokus pada layar televisi.
Aku sengaja berdeham agar Kenzio mengetahui keberadaanku. Upayaku berhasil. Dia menoleh melalui bahu lalu memberi sapaan padaku.
"Aku nggak tahu kalau kamu sudah bangun."
Aku tersenyum kaku. Semalam kami tiba di apartemen pukul setengah dua. Aku baru masuk ke kamar pukul dua lewat dan baru bisa tidur hampir pukul tiga.Total aku tidur hanya tiga jam saja karena sekarang sudah pukul enam pagi.
Aku tidak tahu Kenzio kerja di mana karena sudah siap berangkat sepagi ini.
"Sini. Aku bikinin teh untuk kamu." Dia memanggilku yang masih terpaku di belakangnya.
Aku menarik langkah mendekat lalu duduk di kitchen stool sebelah Kenzio. Aku baru menyadari selain secangkir kopi miliknya ada cangkir lain yang berisi teh hangat. Di antara keduanya aku juga melihat sebuah piring putih lebar berisi roti panggang yang ditata begitu estetik. Astaga, sempat-sempatnya dia plating dan menyediakan sarapan untuk kami berdua padahal dia harus berangkat kerja.
"Menunya roti bakar lagi, jangan bosan ya. Aku belum sempat belanja jadi sarapan apa adanya."
Seharusnya aku yang merasa tidak enak tapi malah dia yang terkesan bersalah. Padahal jelas-jelas aku numpang di sini.
"Thanks, Zio, ini udah sangat cukup kok. Aku suka rotinya."
"Kalau memang begitu kenapa masih dianggurin? Dimakan dong." Kenzio menggeser piring ke arahku.
Aku mengambilnya dengan kaku. Lagi-lagi merasa gugup berdekatan dengannya. Jika Kenzio adalah orang lain—bukan pria yang aku sukai, aku pastikan aku tidak akan segrogi ini.
Dengan perlahan aku menjejalkan roti tersebut lalu mengunyahnya pelan-pelan.
Satu ingatan melintas di benakku. Sejak menganggur dan uang pesangon yang hanya seperlima gaji itu habis, aku nyaris tidak pernah sarapan pagi. Paling aku minum air putih sebanyak-banyaknya untuk mengganjal perut yang keroncongan. Saat siang datang menu favoritku adalah mie rebus yang kukasih kuah sebanyak mungkin dan masaknya sampai kembang agar jadinya banyak. Lalu malamnya menuku ganti lagi jadi mie goreng. Begitu terus berulang-ulang hampir setiap hari. Sedangkan Papa, dia tidak pulang setiap hari ke rumah. Aku tidak tahu ayah tiriku itu menginap di mana. Dia hanya pulang saat mabuk atau saat kalah judi lalu memaksaku agar memberinya uang. Kalau aku menolak maka dia akan menganiaya dengan menjambak rambutku. Selama ini perbuatannya yang menyakitiku hanyalah kekerasan fisik. Hingga tadi malam adalah puncaknya saat dia ingin memperkosaku.
"Rencana kamu apa hari ini?" Pertanyaan Kenzio mengusir jauh-jauh lamunanku.
Aku tidak langsung menjawab. Banyak rencana di kepalaku yang sayangnya tidak bisa kuwujudkan. Aku ingin mencari kerja tapi bagaimana bisa jika aku tidak punya amunisi? Laptopku masih di rumah, dokumen-dokumen pendukung juga di sana.
"Pengen ngelanjutin hunting job sih, tapi laptop aku masih di rumah. Ijazah dan yang lainnya juga."
"Di kamarku ada laptop, nanti kamu bisa pake dulu," jawab Kenzio. "Tentang ijazah sama yang lainnya kamu punya back up di cloud kan?"
Aku mengangguk.
"Good job, jadi kamu nggak perlu lagi balik ke rumah itu."
Satu kendala berhasil teratasi. Sekarang yang menjadi beban pikiranku adalah barang-barang dan pakaianku. Sejak kemarin aku masih memakai bra dan celana dalam basah yang akhirnya kering di badan. Kenzio tidak mungkin membantuku dalam hal ini kan? Aku sudah terlalu banyak menerima bantuan darinya.
Aku mengambil cangkir teh lalu menyesap pelan-pelan. Dari balik cangkir aku melihat Kenzio mengambil dompet dari saku lalu mengambil debit card di sana. Dia meletakkan
tepat di hadapanku."Vio, karena aku lagi nggak sempat, jadi aku minta bantuan kamu buat belanja. Nanti kamu pergi pake taksi. Dan ini sekalian aku lebihin buat kamu. Beli baju, pakaian dalam atau apapun yang kamu butuhkan. Pinnya 020723."
Aku melongo mendengar penuturan Kenzio. Terlalu sulit untuk meyakini jika dia sepercaya itu padaku sampai-sampai memberikan kartu debitnya. Apa dia tidak akan berpikir aku kabur? Apa dia memang begini pada semua orang? Atau jangan-jangan karena dia terlalu kaya makanya menganggap uang bukanlah masalah yang besar. Kehilangan sedikit uang adalah hal biasa baginya karena dia masih memiliki cadangan yang banyak.
"Kenzio, kamu yakin?" tanyaku bimbang.
"Yakin apanya?"
"Kamu yakin ngasih debit card ini ke aku?"
"Apa ada alasan aku buat nggak yakin"?
"Kalau aku kabur dan menguras seluruh isi rekening kamu gimana?"
"Anggap aja aku lagi apes," tawanya ringan seolah hal itu memang bukan hal yang besar baginya.
Lalu Kenzio mengeluarkan lima lembar uang merah dari dompetnya dan memberikan padaku.
"Ini buat ongkos taksi. Pake taksi konvensional aja. Di depan lobi biasanya banyak, soalnya rata-rata karyawan yang tinggal di sini lebih suka pake taksi dari pada kendaraan pribadi. Sekalian nanti mampir di ATM. Ambilin lima juta, aku lagi nggak pegang cash dan nggak sempat juga buat mampir. Aku duluan ya. Takut telat."
Setelah penuturan panjangnya Kenzio langsung berdiri lalu bergerak pergi meninggalkanku.
Aku termangu sampai bermenit-menit lamanya memikirkan kata-kata Kenzio. Di antara begitu banyak hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupku, aku merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan orang sebaik Kenzio.
Aku kembali ke kamar setelah mencuci cangkir bekas tehku dan kopi Kenzio. Aku bermaksud untuk berselancar di internet melanjutkan perjuanganku mencari kerja. Di saat itulah aku menyadari sesuatu hal. Tadi Kenzio bilang akan meminjamkan laptopnya. Tapi belum sempat memberikannya dia sudah terlanjur pergi. Dia seperti tergesa-gesa. Aku tidak tahu apa pekerjaannya. Namun kuat dugaanku bahwa dia adalah seorang CEO di perusahaannya sendiri. Tapi baru kali ini aku tahu ada CEO berangkat kerja pukul enam pagi. Setahuku para CEO itu datangnya suka-suka. Entah itu pukul sepuluh atau saat jam makan siang. Dan lebih seringnya mereka memantau pekerjaan hanya dari rumah. Setidaknya itulah yang sering kulihat di drama-drama cheesy.
Bermenit-menit lamanya aku mondar-mandir di kamar memikirkan caranya.
Ting!
Suara notifikasi ponsel memenuhi ruang dengarku. Dengan cepat aku menyambar ponsel lalu membaca pesan yang ternyata dari Kenzio.
"Vio, laptopnya ada di kamarku. Tadi karena buru-buru aku lupa ngeluarin. Kamu ambil aja ya, pintunya nggak dikunci. Nanti kalau mau pergi belanja baju ganti ada di lemari kamar kamu."
"Oke, makasih, Kenzio." Aku membalas pesannya.
Aku membawa langkah menuju kamar Kenzio. Selama beberapa detik kakiku tertahan di depan pintu. Masuk ke kamar pribadi orang meskipun sudah seizin pemiliknya tetap bukan hal yang lazim buatku. Apalagi ini kamar laki-laki.
Tanganku lalu terulur memutar gagang pintu. Setelah daun pintu terbuka, aroma parfum Kenzio menyerbu hidungku. Selain soft namun maskulin baunya juga elegan. Dulu mantan bosku juga tajir. Parfumnya mahal, tapi membuat kepalaku pusing.
Selain wangi kamar Kenzio juga rapi. Semua barang-barang tertata pada tempatnya. Kamar Kenzio ternyata lebih luas dari kamarku. Ada satu tempat tidur besar yang dari melihatnya saja sudah terasa kenyamanannya. Ada juga sebuah lemari yang jauh lebih besar dari lemari yang ada di kamarku. Seperangkat sofa berwarna hitam, rak tinggi berisi buku-buku yang tersusun rapi hingga televisi layar lebar di dinding.
Namun, yang menarik perhatianku adalah sebuah pigura yang terpajang di atas meja kayu klasik.
Aku menarik langkah mendekati meja tersebut. Dan kini aku dapat melihatnya dengan jelas. Di pigura tersebut terbingkai potret Kenzio bersama orang tuanya serta gadis muda cantik yang aku rasa adalah adiknya. Foto keluarga dengan background kanal Herengrach di Amsterdam itu terlihat begitu harmonis. Membuatku ikut tersenyum menyaksikan kebahagiaan wajah-wajah di dalam foto tersebut.
Aku tidak melihat foto lain di kamar tersebut. Tidak ada foto wanita manapun selain keluarganya. Mungkin Kenzio belum memiliki kekasih. Aku yakin banyak perempuan yang berharap jadi pendampingnya, tapi aku juga yakin bahwa Kenzio sangat selektif dalam memilih pasangan hidup.
Ponsel yang kukantongi berdering nyaring, membuatku tersentak. Aku buru-buru mengambil MacBook di meja lalu bergegas keluar dari kamar itu.
Nama Rita tertera di layar saat aku melihatnya. Dia meneleponku.
Untuk apa Rita menghubungiku?
Mau menagih utangku kah?
Astaga, bagaimana cara aku membayarnya? Jika dihitung-hitung utangku sudah lebih satu juta padanya. Belum lagi pada teman-teman yang lain. Selain untuk makan sehari-hari, aku meminjam pada mereka karena desakan ayah tiriku yang digunakan untuk modal judinya.
Seketika dadaku terasa sesak. Aku bisa saja menghindar dengan mematikan ponsel, namun sampai kapan aku bisa lari? Seandainya lamaranku diterima dan pihak HRD menghubungiku ternyata nomorku tidak aktif, aku juga yang rugi kan?
Aku memutuskan untuk menerima panggilan dari Rita, apa pun konsekuensinya. Aku sudah siap jika dia mau memaki-maki. Toh aku sudah terbiasa menerima sikap kasar orang-orang. Hidupku sekeras itu.
"Halo, Ta," sapaku lesu.
"Vio, lo di mana?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Rita. Debar jantungku mulai mengencang. Aku yakin Rita memang ingin menagih utang. Itulah sebabnya dia menanyakan aku ada di mana.
"Ta, sorry, gue belum bisa bayar utang gue ke lo. Gue belum ada duit. Tapi serius, nanti kalo gue udah dapet kerja gue bakal bayar semuanya nggak pake nyicil. Gue bayar lunas," kataku menjanjikan.
"Gue nggak nagih utang, Vio. Gue cuma pengen tau lo lagi di mana."
Perasaan lega memenuhi dadaku saat mendengar jawaban Rita. Aku masih bisa mengulur waktu sampai memiliki uang.
"Gue pengen ketemu sama lo, mau ngasih tau ada info lowker buat lo."
"Hah? Serius?” Aku hampir terlompat mendengar informasi yang baru saja tertangkap telinga.
"Gue nggak main-main, Vio. Cuma demi lo doang gue bela-belain nelfon dan sharing info ini," ucap Rita sungguh-sungguh, meyakinkanku.
"Oke, oke, thanks, Ta."
"Jadi lo di mana sekarang? Gue sama temen gue yang bakal ngasih kerjaan buat lo mau ketemu." Rita terus mendesak ingin mengetahui keberadaanku saat ini.
"Gue lagi di Jaksel.”
"Hah? Lo ngapain di sana?” Rita tercengang mendengar jawabanku.
Aku mengambuskan napas berat sebelum menjawab.
"Gue kabur dari rumah. Kemarin malam gue hampir diperkosa bokap."
"Hah? Om Hendra mau perkosa lo? Masa sih? Selama ini aman-aman aja kan?”
"Gue nggak bohong, Ta. Gue takut banget makanya gue kabur. Kemarin waktu gue nelfon lo sebenernya gue mau numpang nginep."
"Duh, Vio, sorry banget ya gue nggak tau.” Rita terdengar bersalah.
"Nggak apa-apa, Ta, udah lewat juga. Gue aman di sini.”
"Terus lo di sana di tempat siapa?"
"Temen."
"Temen yang mana? Kok lo nggak pernah cerita? Gue baru tau kalo lo punya temen di Jaksel." Rita keheranan. Selama ini dialah orang yang paling dekat denganku. Aku menceritakan apa pun padanya kecuali Kenzio. Hanya diriku sendiri serta Tuhan yang tahu kalau aku mengagumi lelaki itu bertahun-tahun.
"Dia temen lama gue dulu. Gue memang belum pernah cerita."
"Ya udah, sekarang kita ketemuan. Temen gue mau ngasih lo kerjaan. Nanti lo wajib cerita sama gue tentang temen lo itu."
Setelah selesai teleponan dengan Rita aku bersiap-siap. Kami berjanji bertemu di sebuah pusat perbelanjaan sekaligus nanti aku berbelanja seperti yang disuruh Kenzio.
Aku membuka lemari baju lalu mencari pakaian ganti. Ada beberapa pakaian wanita di dalamnya. Aku jadi tahu sekarang bahwa pakaian tersebut, handuk yang kini melekat di tubuhku, termasuk piyama yang kupakai tadi malam adalah milik adik Kenzio.
Aku mengambil sebuah jeans dan blouse berwarna coklat lalu memakainya. Entah kebetulan tapi ukurannya begitu pas denganku.
Setelahnya aku bergegas turun dari apartemen. Ada beberapa taksi di depan lobi seperti yang Kenzio katakan.
Lima belas menit kemudian aku sudah berada di sebuah pusat perbelanjaan. Masih ada waktu sebelum Rita datang. Aku memanfaatkannya dengan berbelanja kebutuhan bulanan. Telepon dari Rita masuk saat aku baru saja melewati kasir.
Sambil mendorong troli aku menjawab telepon tersebut.
"Ya, Ta?"
"Gue udah di Megantara, lo di mana?"
"Gue di supermarket di basement, deket parkiran."
"Oke, oke, lo tunggu di sana ya."
Aku mengiakan lalu memasukkan ponsel ke dalam saku jeans.
Troli yang penuh dengan belanjaan ini cukup berat. Aku terengah-engah mendorongnya.
Pagi ini lumayan sepi. Karena sebagian besar orang sedang berada di tempat kerja masing-masing.
Aku berhenti sambil mengumpulkan napas. Tidak jauh di dekatku ada ATM gallery. Ingat pesan Kenzio tadi aku mendorong troli ke sana lalu masuk ke sebuah bilik ATM yang kosong. Aku langsung melakukan penarikan.
Tidak sampai lima menit di sana aku ke luar. Namun baru saja kakiku akan menapak ke luar, kehadiran seseorang membuatku pucat pasi. Ayah tiriku sedang berdiri di hadapanku
Senyum tersungging di bibirnya seperti harimau yang berhasil menangkap mangsanya. Demi Tuhan, bagaimana bisa dia menemukanku? Kenapa dia ada di sini?
***
"Papa mencari kamu ke mana-mana. Papa cemas kamu nggak pulang semalam.""Awas, Om, aku mau lewat. Jangan ganggu aku," ucapku mencoba lewat dari depannya. Aku tidak sudi memanggilnya Papa setelah kebiadabannya kemarin."Om? Kenapa memanggil Papa begitu? Jadi kamu nggak menganggap Papa sebagai papamu lagi?""Nggak akan setelah perbuatan Om kemarin," desisku dingin."Ya sudah, terserah kamu. Papa juga senang dipanggil Om, malah kesannya lebih mesra." Dia terkekeh yang membuatku jijik. "Om minta maaf atas kejadian kemarin. Om nggak sengaja, Vio. Om lagi mabuk. Om nggak tau kalau itu kamu. Sekarang kita pulang ya, ada kenalan Om yang bisa membantu kamu ngasih pekerjaan."Pekerjaan? Aku menyipit tak percaya. Pasti ini akal-akalannya saja.Oh wait, apa ini ada hubungannya dengan Rita? Apa keduanya bersekongkol untuk menjebakku sehingga aku bertemu dengan Om Hendra di sini?Tega sekali dia padaku. Aku pikir Rita benar-benar bisa kupercaya."Aku nggak butuh kerja, Om. Permisi, aku mau lewat. "
"Anda butuh uang berapa?" Tiba-tiba suara lain terdengar di antara kami.Refleks aku memandang ke arah pintu. Pun dengan Om Hendra. Perasaan lega melingkupiku seperti menemukan oase di padang pasir saat melihat Kenzio datang.Om Hendra memutar tubuh lalu memandang tidak suka pada Kenzio. "Lo siapa ikut campur urusan gue?"Kenzio bergerak merengkuh tanganku lalu memosisikanku di belakang punggungnya."Saya calon suaminya Viola. Apa informasi itu sudah cukup buat anda?""Oh, jadi lo laki-laki yang make wanita murahan ini?" Om Hendra menyeringai merendahkanku. “Asal lo tau, dia udah bekas gue. Udah puas gue makenya."Ingin rasanya aku pukul mulut kurang ajar keparat itu."Oh ya?" Kenzio balas tertawa. "Mulai sekarang jangan pernah ganggu Viola lagi. Atau saya nggak akan segan-segan memperkarakan anda. Saya nggak pernah main-main dengan ucapan saya."Tangan Om Hendra sudah terangkat untuk menghajar Kenzio. Namun niatnya itu gagal terlaksana saat dua orang petugas bagian keamanan datang."
Sudah satu minggu lamanya aku tinggal satu atap dengan Kenzio. Seperti yang dikatakannya dulu dia sibuk kerja dan jarang berada di apartemen. Dia baru pulang ketika aku akan beranjak tidur malam. Karena dia terlihat lelah aku juga sungkan mengganggunya. Kami hanya ngobrol seadanya.Pagi saat aku bangun dia juga sudah siap dengan pakaian ala eksekutif muda. Kenzio memiliki banyak kemeja kerja, namun hanya ada dua warna yang kuhafal, putih dan biru langit, karena dua itulah yang sering dia pakai. Dia memiliki puluhan kemeja dari merek yang berbeda hanya untuk warna yang sama. Sehingga bagi orang yang tidak betul-betul mengenalnya akan menganggap Kenzio hanya memakai baju itu-itu saja.Satu hal lagi yang kutandai dari Kenzio adalah dia sering nonton televisi tengah malam di ruang tengah padahal ada televisi di kamarnya. Aku nggak tahu apa penyebabnya. Tidak mungkin TV di kamarnya itu rusak karena tanpa sengaja aku pernah melihanya menyala.Aku tahu kebiasaan Kenzio karena pernah satu mal
VIOLASangat lama Kenzio berada di kamarnya sampai aku berpikir untuk kembali ke kamarku. Mungkin setelah menerima telepon dari seseorang yang entah siapa Kenzio langsung tidur.Baru saja aku berdiri dari tempat duduk, suara Kenzio menghentikanku."Sorry agak lama," ucapnya lalu menempatkan diri di sofa seperti tadi.Aku mengurungkan niat untuk masuk ke kamar."Udah dipikirin atau kamu butuh waktu buat mikirinnya dulu?" Kenzio menanyakan keputusanku.Saat ini aku butuh uang, bukan posisi atau jabatan. Jadi aku pikir apa salahnya menurunkan standar yang telah kutetapkan. Aku rasa nggak ada salahnya menerima tawaran dari Kenzio. Aku bisa bekerja sebagai office girl di kantor Kenzio sambil tetap mencari pekerjaan yang sesuai denganku."Zio, aku udah pikirin barusan dan aku putusin buat kerja di kantor kamu."Jawabanku membuat Kenzio menyunggingkan senyum."Yakin? Ini office girl lho," ujarnya mengujiku."Yakin," jawabku tanpa keraguan."Kamu nggak bakal malu memangnya?"Malu? Bahkan aku
KENZIOAku keluar dari ruangan Armand setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Sengaja tidak langsung kembali ke ruanganku namun mencari keberadaan Viola.Aku menemukannya di toilet.Dia tidak menyadari kehadiranku karena terlalu fokus dengan kegiatannya mengepel lantai.Cukup lama aku berdiri di dekat pintu sampai dia menyadari kehadiranku. Dia terlihat kaget."Eh, Zio, mau pake toilet?" tanyanya.Aku memberi gelengan kepala."Terus?""Cuma mau ngeliat kamu. Gimana? Udah mulai terbiasa?""Udah dong. Cuma ngepel gini." Dia tertawa."Nanti kalau udah selesai ke ruanganku ya, aku butuh bantuan kamu buat fotocopy sekalian ada yang harus dirapiin.""Siaaap!" Viola menjawab cepat lalu aku pergi meninggalkannya.Di sela-sela langkahku kembali ke ruangan, ponselku berbunyi. Dari Dena, salah satu klien. Aku menangani kasus perceraiannya. Entah kenapa semakin ke sini semakin banyak orang-orang bercerai dengan berbagai sebab. Mulai dari perselingkuhan, ketidakcocokan yang baru disadari di
KENZIOAku meminta izin pada Dena untuk menerima telepon. Dia menjawab dengan anggukan singkat.Masuk ke kamar, aku menerima panggilan tersebut. Seketika suara Clara mengisi ruang dengarku."Zio, Dena udah di sana?""Udah, tadi dia nelfon aku dan bilang lagi di lobi apartemen. Jadinya aku pulang.""Hufftt ... syukurlah. Buat sementara biar dia tinggal di apartemen kamu dulu ya. Kasihan banget nggak punya tempat tinggal.""Itu nggak mungkin, Cla." Jelas saja aku menolak permintaan Clara."Why? Kamar kamu kan ada dua.""Ini bukan masalah kamar, Cla.""Jadi apa masalahnya?" Clara mendesak agar aku mengatakan alasan di balik penolakanku."Aku nggak mungkin nerima Dena tinggal di sini, nggak enak sama orang apalagi dia masih berstatus istri orang dan sedang dalam masalah," jawabku mengungkapkan ganjalan yang menjadi uneg-unegku."Astaga, Zio, kamu tuh ya mikirnya kejauhan. Dena kan sepupuku yang artinya nanti bakal jadi saudara kamu juga. Masa kamu nggak kasihan sih. Dia tuh masalahnya uda
KENZIODari apartemen aku kembali ke kantor setelah urusan dengan Dena selesai. Setibanya di sana Viola adalah orang pertama yang ingin kulihat. Dia sedang menyikat toilet begitu aku mencarinya.Entah mengapa melihatnya berurusan dengan WC membuatku jadi nggak tega. Tempatnya bukan sini. Bukan perkara wajahnya cantik. Sama sekali bukan itu. Tapi tempat ini nggak cocok untuknya.Aku berdeham memberi tahu kedatanganku. Seketika dia menoleh."Eh, Zio. Tadi aku udah ke ruangan kamu karena katanya ada yang mau diberesin tapi kamu-nya nggak ada.""Tadi aku ke luar. Perasaan dari tadi kamu di sini mulu." Tadi sebelum aku pergi dia sedang mengepel. Sekarang menyikat WC."Kan job desc aku memang begini," jawabnya santai. “Bentar ya, ini tinggal dikit lagi. Nanti aku ke ruangan kamu.""Aku tunggu," ucapku lalu kembali ke ruangan.Aku belum menemukan alasan yang tepat untuk menyuruh Viola mengungsi sementara dari apartemenku. Tadi sebelum kembali ke kantor aku bicara serius dengan Dena. Aku meng
VIOLASecara resmi jam kerjaku berakhir pada pukul lima sore. Tapi Mbak Emma—office girl senior di sini bilang kami harus menunggu sedikit lagi. Siapa tahu para advokat di sini butuh sesuatu semisal minta dibeliin jajanan.Berhubung kantor Assegaf & Partners berlokasi di seberang mall, biasanya pada jam-jam segini para advokat itu sering meminta office girl atau office boy untuk membelikan makanan di sana. Mereka juga akan memberi tip atas jasa itu. Lumayan buat nambah-nambah, itu yang Mbak Emma katakan tadi.Maka sampai saat ini aku masih menunggu. Kali ada yang butuh jasaku. Tapi sampai empat puluh lima menit berlalu dari pukul lima, aku masih menganggur. Tidak ada yang memanggilku.“Lo ngapain masih ngetem di sini? Nggak pulang?” Mbak Emma menegurku saat melihatku bengong sendiri.“Udah boleh pulang ya, Mbak?”“Udah kalo kerjaan udah kelar. Toilet udah kering?”Aku mengangguk.“Sampah udah dibuang?”Sekali lagi aku menjawab dengan anggukan kepala.“Hand wash udah di-refill?”“Udah