Share

Terjebak

Kenzio sudah rapi saat aku bangun pagi ini. Aku menemukannya sedang duduk di kitchen stool sambil menyesap kopi. Sementara matanya terarah pada televisi yang menempel di dinding.

Dia mengenakan kemeja biru langit, celana hitam serta pantofel hitam. Pertanda sudah siap untuk berangkat kerja. Kenzio bukanlah cowok-cowok sedingin es atau tipe-tipe mafia. Tapi dia adalah seorang pria muda yang humble dan menjadi mimpi banyak para wanita namun begitu sulit untuk digapai.

Dari tempatku berdiri—tepat di belakangnya, aroma parfum Kenzio terhirup begitu jelas oleh hidungku. Aromanya lembut namun begitu maskulin. Sepertinya dia masih belum menyadari kehadiranku karena terlalu fokus pada layar televisi.

Aku sengaja berdeham agar Kenzio mengetahui keberadaanku. Upayaku berhasil. Dia menoleh melalui bahu lalu memberi sapaan padaku.

"Aku nggak tahu kalau kamu sudah bangun."

Aku tersenyum kaku. Semalam kami tiba di apartemen pukul setengah dua. Aku baru masuk ke kamar pukul dua lewat dan baru bisa tidur hampir pukul tiga.Total aku tidur hanya tiga jam saja karena sekarang sudah pukul enam pagi.

Aku tidak tahu Kenzio kerja di mana karena sudah siap berangkat sepagi ini.

"Sini. Aku bikinin teh untuk kamu." Dia memanggilku yang masih terpaku di belakangnya.

Aku menarik langkah mendekat lalu duduk di kitchen stool sebelah Kenzio. Aku baru menyadari selain secangkir kopi miliknya ada cangkir lain yang berisi teh hangat. Di antara keduanya aku juga melihat sebuah piring putih lebar berisi roti panggang yang ditata begitu estetik. Astaga, sempat-sempatnya dia plating dan menyediakan sarapan untuk kami berdua padahal dia harus berangkat kerja.

"Menunya roti bakar lagi, jangan bosan ya. Aku belum sempat belanja jadi sarapan apa adanya."

Seharusnya aku yang merasa tidak enak tapi malah dia yang terkesan bersalah. Padahal jelas-jelas aku numpang di sini.

"Thanks, Zio, ini udah sangat cukup kok. Aku suka rotinya."

"Kalau memang begitu kenapa masih dianggurin? Dimakan dong." Kenzio menggeser piring ke arahku.

Aku mengambilnya dengan kaku. Lagi-lagi merasa gugup berdekatan dengannya. Jika Kenzio adalah orang lain—bukan pria yang aku sukai, aku pastikan aku tidak akan segrogi ini.

Dengan perlahan aku menjejalkan roti tersebut lalu mengunyahnya pelan-pelan.

Satu ingatan melintas di benakku. Sejak menganggur dan uang pesangon yang hanya seperlima gaji itu habis, aku nyaris tidak pernah sarapan pagi. Paling aku minum air putih sebanyak-banyaknya untuk mengganjal perut yang keroncongan. Saat siang datang menu favoritku adalah mie rebus yang kukasih kuah sebanyak mungkin dan masaknya sampai kembang agar jadinya banyak. Lalu malamnya menuku ganti lagi jadi mie goreng. Begitu terus berulang-ulang hampir setiap hari. Sedangkan Papa, dia tidak pulang setiap hari ke rumah. Aku tidak tahu ayah tiriku itu menginap di mana. Dia hanya pulang saat mabuk atau saat kalah judi lalu memaksaku agar memberinya uang. Kalau aku menolak maka dia akan menganiaya dengan menjambak rambutku. Selama ini perbuatannya yang menyakitiku hanyalah kekerasan fisik. Hingga tadi malam adalah puncaknya saat dia ingin memperkosaku.

"Rencana kamu apa hari ini?" Pertanyaan Kenzio mengusir jauh-jauh lamunanku.

Aku tidak langsung menjawab. Banyak rencana di kepalaku yang sayangnya tidak bisa kuwujudkan. Aku ingin mencari kerja tapi bagaimana bisa jika aku tidak punya amunisi? Laptopku masih di rumah, dokumen-dokumen pendukung juga di sana.

"Pengen ngelanjutin hunting job sih, tapi laptop aku masih di rumah. Ijazah dan yang lainnya juga."

"Di kamarku ada laptop, nanti kamu bisa pake dulu," jawab Kenzio. "Tentang ijazah sama yang lainnya kamu punya back up di cloud kan?"

Aku mengangguk.

"Good job, jadi kamu nggak perlu lagi balik ke rumah itu."

Satu kendala berhasil teratasi. Sekarang yang menjadi beban pikiranku adalah barang-barang dan pakaianku. Sejak kemarin aku masih memakai bra dan celana dalam basah yang akhirnya kering di badan. Kenzio tidak mungkin membantuku dalam hal ini kan? Aku sudah terlalu banyak menerima bantuan darinya.

Aku mengambil cangkir teh lalu menyesap pelan-pelan. Dari balik cangkir aku melihat Kenzio mengambil dompet dari saku lalu mengambil debit card di sana. Dia meletakkan

tepat di hadapanku.

"Vio, karena aku lagi nggak sempat, jadi aku minta bantuan kamu buat  belanja. Nanti kamu pergi pake taksi. Dan ini sekalian aku lebihin buat kamu. Beli baju, pakaian dalam atau apapun yang kamu butuhkan. Pinnya 020723."

Aku melongo mendengar penuturan Kenzio. Terlalu sulit untuk meyakini jika dia sepercaya itu padaku sampai-sampai memberikan kartu debitnya. Apa dia tidak akan berpikir aku kabur? Apa dia memang begini pada semua orang? Atau jangan-jangan karena dia terlalu kaya makanya menganggap uang bukanlah masalah yang besar. Kehilangan sedikit uang adalah hal biasa baginya karena dia masih memiliki cadangan yang banyak.

"Kenzio, kamu yakin?" tanyaku bimbang.

"Yakin apanya?"

"Kamu yakin ngasih debit card ini ke aku?"

"Apa ada alasan aku buat nggak yakin"?

"Kalau aku kabur dan menguras seluruh isi rekening kamu gimana?"

"Anggap aja aku lagi apes," tawanya ringan seolah hal itu memang bukan hal yang besar baginya.

Lalu Kenzio mengeluarkan lima lembar uang merah dari dompetnya dan memberikan padaku.

"Ini buat ongkos taksi. Pake taksi konvensional aja. Di depan lobi biasanya banyak, soalnya rata-rata karyawan yang tinggal di sini lebih suka pake taksi dari pada kendaraan pribadi. Sekalian nanti mampir di ATM. Ambilin lima juta, aku lagi nggak pegang cash dan nggak sempat juga buat mampir. Aku duluan ya. Takut telat."

Setelah penuturan panjangnya Kenzio langsung berdiri lalu bergerak pergi meninggalkanku.

Aku termangu sampai bermenit-menit lamanya memikirkan kata-kata Kenzio. Di antara begitu banyak hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupku, aku merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan orang sebaik Kenzio.

Aku kembali ke kamar setelah mencuci cangkir bekas tehku dan kopi Kenzio. Aku bermaksud untuk berselancar di internet melanjutkan perjuanganku mencari kerja. Di saat itulah aku menyadari sesuatu hal. Tadi Kenzio bilang akan meminjamkan laptopnya. Tapi belum sempat memberikannya dia sudah terlanjur pergi. Dia seperti tergesa-gesa. Aku tidak tahu apa pekerjaannya. Namun kuat dugaanku bahwa dia adalah seorang CEO di perusahaannya sendiri. Tapi baru kali ini aku tahu ada CEO berangkat kerja pukul enam pagi. Setahuku para CEO itu datangnya suka-suka. Entah itu pukul sepuluh atau saat jam makan siang. Dan lebih seringnya mereka memantau pekerjaan hanya dari rumah. Setidaknya itulah yang sering kulihat di drama-drama cheesy.

Bermenit-menit lamanya aku mondar-mandir di kamar memikirkan caranya.

Ting!

Suara notifikasi ponsel memenuhi ruang dengarku. Dengan cepat aku menyambar ponsel lalu membaca pesan yang ternyata dari Kenzio.

"Vio, laptopnya ada di kamarku. Tadi karena buru-buru aku lupa ngeluarin. Kamu ambil aja ya, pintunya nggak dikunci. Nanti kalau mau pergi belanja baju ganti ada di lemari kamar kamu."

"Oke, makasih, Kenzio." Aku membalas pesannya.

Aku membawa langkah menuju kamar Kenzio. Selama beberapa detik kakiku tertahan di depan pintu. Masuk ke kamar pribadi orang meskipun sudah seizin pemiliknya tetap bukan hal yang lazim buatku. Apalagi ini kamar laki-laki.

Tanganku lalu terulur memutar gagang pintu. Setelah daun pintu terbuka, aroma parfum Kenzio menyerbu hidungku. Selain soft namun maskulin baunya juga elegan. Dulu mantan bosku juga tajir. Parfumnya mahal, tapi membuat kepalaku pusing.

Selain wangi kamar Kenzio juga rapi. Semua barang-barang tertata pada tempatnya. Kamar Kenzio ternyata lebih luas dari kamarku. Ada satu tempat tidur besar yang dari melihatnya saja sudah terasa kenyamanannya. Ada juga sebuah lemari yang jauh lebih besar dari lemari yang ada di kamarku. Seperangkat sofa berwarna hitam, rak tinggi berisi buku-buku yang tersusun rapi hingga televisi layar lebar di dinding.

Namun, yang menarik perhatianku adalah sebuah pigura yang terpajang di atas meja kayu klasik.

Aku menarik langkah mendekati meja tersebut. Dan kini aku dapat melihatnya dengan jelas. Di pigura tersebut terbingkai potret Kenzio bersama orang tuanya serta gadis muda cantik yang aku rasa adalah adiknya. Foto keluarga dengan background kanal Herengrach di Amsterdam itu terlihat begitu harmonis. Membuatku ikut tersenyum menyaksikan kebahagiaan wajah-wajah di dalam foto tersebut.

Aku tidak melihat foto lain di kamar tersebut. Tidak ada foto wanita manapun selain keluarganya. Mungkin Kenzio belum memiliki kekasih. Aku yakin banyak perempuan yang berharap jadi pendampingnya, tapi aku juga yakin bahwa Kenzio sangat selektif dalam memilih pasangan hidup.

Ponsel yang kukantongi berdering nyaring, membuatku tersentak. Aku buru-buru mengambil MacBook di meja lalu bergegas keluar dari kamar itu.

Nama Rita tertera di layar saat aku melihatnya. Dia meneleponku.

Untuk apa Rita menghubungiku?

Mau menagih utangku kah?

Astaga, bagaimana cara aku membayarnya? Jika dihitung-hitung utangku sudah lebih satu juta padanya. Belum lagi pada teman-teman yang lain. Selain untuk makan sehari-hari, aku meminjam pada mereka karena desakan ayah tiriku yang digunakan untuk modal judinya.

Seketika dadaku terasa sesak. Aku bisa saja menghindar dengan mematikan ponsel, namun sampai kapan aku bisa lari? Seandainya lamaranku diterima dan pihak HRD menghubungiku ternyata nomorku tidak aktif, aku juga yang rugi kan?

Aku memutuskan untuk menerima panggilan dari Rita, apa pun konsekuensinya. Aku sudah siap jika dia mau memaki-maki. Toh aku sudah terbiasa menerima sikap kasar orang-orang. Hidupku sekeras itu.

"Halo, Ta," sapaku lesu.

"Vio, lo di mana?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Rita. Debar jantungku mulai mengencang. Aku yakin Rita memang ingin menagih utang. Itulah sebabnya dia menanyakan aku ada di mana.

"Ta, sorry, gue belum bisa bayar utang gue ke lo. Gue belum ada duit. Tapi serius, nanti kalo gue udah dapet kerja gue bakal bayar semuanya nggak pake nyicil. Gue bayar lunas," kataku menjanjikan.

"Gue nggak nagih utang, Vio. Gue cuma pengen tau lo lagi di mana."

Perasaan lega memenuhi dadaku saat mendengar jawaban Rita. Aku masih bisa mengulur waktu sampai memiliki uang.

"Gue pengen ketemu sama lo, mau ngasih tau ada info lowker buat lo."

"Hah? Serius?” Aku hampir terlompat mendengar informasi yang baru saja tertangkap telinga.

"Gue nggak main-main, Vio. Cuma demi lo doang gue bela-belain nelfon dan sharing info ini," ucap Rita sungguh-sungguh, meyakinkanku.

"Oke, oke, thanks, Ta."

"Jadi lo di mana sekarang? Gue sama temen gue yang bakal ngasih kerjaan buat lo mau ketemu." Rita terus mendesak ingin mengetahui keberadaanku saat ini.

"Gue lagi di Jaksel.”

"Hah? Lo ngapain di sana?” Rita tercengang mendengar jawabanku.

Aku mengambuskan napas berat sebelum menjawab.

"Gue kabur dari rumah. Kemarin malam gue hampir diperkosa bokap."

"Hah? Om Hendra mau perkosa lo? Masa sih? Selama ini aman-aman aja kan?”

"Gue nggak bohong, Ta. Gue takut banget makanya gue kabur. Kemarin waktu gue nelfon lo sebenernya gue mau numpang nginep."

"Duh, Vio, sorry banget ya gue nggak tau.” Rita terdengar bersalah.

"Nggak apa-apa, Ta, udah lewat juga. Gue aman di sini.”

"Terus lo di sana di tempat siapa?"

"Temen."

"Temen yang mana? Kok lo nggak pernah cerita? Gue baru tau kalo lo punya temen di Jaksel." Rita keheranan. Selama ini dialah orang yang paling dekat denganku. Aku menceritakan apa pun padanya kecuali Kenzio. Hanya diriku sendiri serta Tuhan yang tahu kalau aku mengagumi lelaki itu bertahun-tahun.

"Dia temen lama gue dulu. Gue memang belum pernah cerita."

"Ya udah, sekarang kita ketemuan. Temen gue mau ngasih lo kerjaan. Nanti lo wajib cerita sama gue tentang temen lo itu."

Setelah selesai teleponan dengan Rita aku bersiap-siap. Kami berjanji bertemu di sebuah pusat perbelanjaan sekaligus nanti aku berbelanja seperti yang disuruh Kenzio.

Aku membuka lemari baju lalu mencari pakaian ganti. Ada beberapa pakaian wanita di dalamnya. Aku jadi tahu sekarang bahwa pakaian tersebut, handuk yang kini melekat di tubuhku, termasuk piyama yang kupakai tadi malam adalah milik adik Kenzio.

Aku mengambil sebuah jeans dan blouse berwarna coklat lalu memakainya. Entah kebetulan tapi ukurannya begitu pas denganku.

Setelahnya aku bergegas turun dari apartemen. Ada beberapa taksi di depan lobi seperti yang Kenzio katakan.

Lima belas menit kemudian aku sudah berada di sebuah pusat perbelanjaan. Masih ada waktu sebelum Rita datang. Aku memanfaatkannya dengan berbelanja kebutuhan bulanan. Telepon dari Rita masuk saat aku baru saja melewati kasir.

Sambil mendorong troli aku menjawab telepon tersebut.

"Ya, Ta?"

"Gue udah di Megantara, lo di mana?"

"Gue di supermarket di basement, deket parkiran."

"Oke, oke, lo tunggu di sana ya."

Aku mengiakan lalu memasukkan ponsel ke dalam saku jeans.

Troli yang penuh dengan belanjaan ini cukup berat. Aku terengah-engah mendorongnya.

Pagi ini lumayan sepi. Karena sebagian besar orang sedang berada di tempat kerja masing-masing.

Aku berhenti sambil mengumpulkan napas. Tidak jauh di dekatku ada ATM gallery. Ingat pesan Kenzio tadi aku mendorong troli ke sana lalu masuk ke sebuah bilik ATM yang kosong. Aku langsung melakukan penarikan.

Tidak sampai lima menit di sana aku ke luar. Namun baru saja kakiku akan menapak ke luar, kehadiran seseorang membuatku pucat pasi. Ayah tiriku sedang berdiri di hadapanku

Senyum tersungging di bibirnya seperti harimau yang berhasil menangkap mangsanya. Demi Tuhan, bagaimana bisa dia menemukanku? Kenapa dia ada di sini?

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Eulis siti Nengsih
waduh gimana jadinya viona ketemu bapak tirinya siapa ya yang ngasih tau viona ada di super market
goodnovel comment avatar
Rizqia
good ...besok lanjut lagi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status