KENZIOAku terburu-buru turun dari mobil lalu bergegas masuk ke dalam kantor.Suasana kantor sudah sepi saat aku berjalan di koridor. Tadi siang saat bicara dengan Viola aku nggak sempat menyelesaikan pembicaraan kami karena keburu ada klien. Viola menyanggupi untuk mengungsi sementara. Masalahnya adalah dia nggak punya tempat untuk berteduh. Tadi aku berencana untuk mengantarnya ke hotel. Tapi sebelum dia tahu obrolan kami terputus.Aku berhenti ketika kakiku berujung di toilet. Masuk ke dalamnya, aku nggak menemukan Viola. Begitu pun saat mencari ke toilet pria. Hanya ada ruang kosong yang sudah bersih dan wangi.Ruang kecil berukuran 3x3 yang merupakan tempat istirahat para pekerja kebersihan juga tertutup rapat. Mereka pasti sudah pada pulang.Sambil melangkah meninggalkan toilet kuhubungi Viola. Namun ternyata ponselnya mati. Aku langsung disambut oleh suara operator. Viola nggak bisa dihubungi.Astaga, ke mana dia? Kenapa mendadak hpnya mati? Apa dia marah padaku? Apa dia tersin
VIOLAAku duduk berdiam diri di sebelah Kenzio, sementara dia menyetir dengan fokus. Aku jadi nggak enak lagi kalau begini. Menilik dari wajah lelahnya, aku yakin Kenzio belum sempat beristirahat, tapi aku lagi-lagi membuatnya repot.“Kamu tahu dari mana aku ada di tempat tadi?” tanyaku membuka obrolan setelah hening yang cukup lama.Kenzio memandang padaku lalu menjawab, "Nggak penting aku tahu dari mana. Yang paling penting sekarang adalah kamu menjawab pertanyaanku. Gimana bisa kamu berpikir bermalam di tempat kayak gitu?""Tempat kayak gitu gimana?” aku balik bertanya."Tempat itu nggak pantas untuk kamu. Kamu nggak layak ada di sana.""Jadi di mana tempat yang layak untukku?"Kenzio menatap padaku sekali lagi. Tangannya lalu terulur membelai kepalaku. Sikapnya itu terang saja membuatku kaget. Seketika darahku berdesir hebat seperti ada aliran listrik yang mengalirinya. Kenzio nggak akan mengerti betapa physical touch yang terjadi di antara kami berdua sangat berarti bagiku. Dia n
VIOLAPagi ini Aku dikejutkan oleh kedatangan Kenzio. Menggunakan kemeja putih favoritnya dengan lengan digulung hingga sebatas siku, Kenzio tampak memesona seperti biasa.Memangnya kapan sih Kenzio nggak memesona?Jangankan dalam keadaan rapi dan segar seperti sekarang, bahkan saat baru bangun tidur dia tetap membuatku nggak berkedip dengan muka bantal dan rambutnya yang kusut."Kamu sudah siap?" tanyanya padaku."Eh, ehm, sudah." Aku agak tergagap lantaran terlalu fokus menikmati keindahan di hadapanku. Semoga saja Kenzio nggak menyadarinya."Kita berangkat sekarang?"Aku menjawab dengan anggukan kepala. Seharusnya Kenzio nggak perlu repot-repot menjemputku. Aku bisa naik ojek ke kantor."Kamu mau sarapan dulu?" tanyanya di sela-sela langkah kami menuju lift.Seperti tamu hotel lainnya aku berhak mendapat free breakfast. Tapi nggak enak juga rasanya kalau sampai membuat Kenzio menungguku. Lagi pula perutku nggak terlalu mendesak minta diisi. Semalam sepuluh menit setelah Kenzio perg
KENZIO“Sibuk, Bro?”Aku mengangkat wajah dari berkas yang kutekuri lalu memindahkan tatapan pada Yogi yang baru saja masuk. Yogi adalah rekanku sesama pengacara yang juga berkantor di sini. Selain itu dia merupakan teman dekatku.“Nggak juga, gue lagi mempelajari kasusnya Pak Ivan.”Yogi mendekat, menarik kursi lalu duduk di seberang meja tepat di hadapanku.“Congrats ya, akhirnya selesai juga tuh kasus.” Aku mengulurkan tangan memberi selamat. Yogi baru saja memenangkan kasus perselingkuhan seorang pejabat yang main di belakang istrinya dengan seorang selebgram hingga si selebgram hamil. Tapi tentu saja dalam hal ini Yogi membela istri si pejabat tersebut.Yogi menyambut tanganku lalu tersenyum bangga. "Thanks, Zio. Ntar malam lo wajib datang, nggak ada alasan buat nolak. Gue nggak mau ya nerima alasan jenis apa pun."Biasanya di kantor kami setiap ada yang memenangkan kasus maka akan mengadakan party untuk merayakannya. Nggak wajib. Hanya saja sudah menjadi tradisi sejak lama. Aku
VIOLA Mau nggak mau aku harus turun karena Kenzio sudah membukakan pintu mobil untukku.“Memang nanti ada acara apa sampai kita harus beli baju baru?” tanyaku sembari berjalan di sebelah Kenzio.Baju-bajuku yang dibelikannya memenuhi lemari di apartemen. Jadi kalau sudah ada, apa gunanya membeli yang baru? Hanya buang-buang uang kupikir. Kesulitan hidup yang kualami membuatku sangat menghargai uang dan berpikir berulang kali untuk mengeluarkannya.“Ada party,” jawab Kenzio singkat.“Party? Party apa?”“Biasanya di kantor kalau ada yang baru menangin kasus akan ngadain perayaan kecil-kecilan gitu. Nah, nanti yang bakal ngadain party adalah Yogi, yang tadi pake kemeja maroon.” Kenzio tersenyum sambil melirik ke arahku.Ini dia kenapa sih? Lagi ngeledek aku?Aku menahan langkah tepat di depan pintu butik yang membuat Kenzio memandang padaku.“Kenapa?” tanyanya.“Zio, apa nggak sebaiknya ambil baju di apartemen aja?”“Nggak usah, aku malas bolak-balik.”“Tapi aku nggak punya uang. Iya si
KENZIO Ponselku berbunyi saat aku sedang asyik mengobrol dengan Viola. Aku melihat nama Clara di layar setelah mengambil benda itu dari dalam saku. Aku memutuskan untuk menerimanya karena aku tahu persis karakter Clara. Dia belum akan berhenti sebelum panggilannya kujawab. "Halo." "Zio, kamu gimana sih? Masa Dena kamu tinggalin sendiri?" Clara langsung menyerang setelah mendengar suaraku. Tampaknya Dena mengadu lagi pada Clara. "Aku ada acara, Cla." "Acara apa?" "Party kayak biasa." Clara memang sudah kuceritakan mengenai tradisi di kantor. "Tapi bukan berarti kamu bisa nyuekin Dena seharian. Dia itu lagi ada masalah dan butuh perhatian kamu sebagai lawyer." "Lho? Aku cuma lawyer-nya, Cla. Perhatian apa yang harus kukasih? Tugasku hanya menangani masalah dia dan suaminya. Bukan yang lain-lain. Kan kamu sendiri yang bilang dia nggak perlu diurus." Clara berdecak jengkel. "Kamu gimana sih, Zio? Pake hati nurani dikitlah. Dia itu saudara aku yang artinya saudara kamu juga!!!" o
KENZIO Kekesalanku pada Clara begitu melekat. Sampai bermeter-meter meninggalkan lokasi acara perasaan kesal itu bukannya menghilang malah semakin menjadi. Ini adalah untuk pertama kalinya Clara berkata kasar padaku walau sebelumnya juga pernah tapi nggak sekasar ini. Aku cukup sering menolerir sikap-sikap Clara yang nggak menyenangkan. Mulai dari kemanjaannya, sikapnya yang suka memaksa sampai keinginannya untuk selalu dijadikan prioritas. Selama ini aku mencoba untuk memahaminya. Aku yang sering mengalah setiap kali kami bertengkar. Tapi kali ini Clara benar-benar sudah keterlaluan. Dia boleh saja mengumpat dan mengucapkan kata-kata kasar pada siapa pun, tapi mungkin dia lupa bahwa aku adalah tunangannya, bukan orang lain. "Zio ..." Suara Viola menyentakku, membuatku mengalihkan perhatian padanya. "Are you okay?" "I'm fine," jawabku lalu mengubah ekspresiku yang kusut. "Kamu masih pusing?" "Sedikit." "Kalau begitu kita pulang aja yuk. Aku bisa turun di sini terus nyambung pak
VIOLASeperti ada yang mengingatkan, aku melepas pagutan bibir kami yang membuat Kenzio tersentak. Sudah sejak awal tadi aku merasa gugup. Mulai di saat dia mengoleskan lipstick di bibirku, aku menyuapinya saat di mobil, hingga dia mendesak jawaban atas pertanyaan yang membuatku hampir saja mengungkap rahasia besar itu. Lalu entah kenapa aku dengan kondisi yang gugup tidak sanggup menolak ciumannya. Malah membalas dengan lumatan yang lebih panas.Kenzio menatapku penuh tanda tanya karena aku menarik diri dengan begitu tiba-tiba.“Kenapa? Kamu nggak suka aku cium?”Wanita mana yang nggak akan suka dicium oleh seorang Kenzio Mahanta?Masalahnya, kenapa dia menciumku? Apa Kenzio terpengaruh film di televisi yang saat ini sedang menayangkan adegan bercinta?“Why do we kiss?” tanyaku lirih. Aku nggak ingin mendengar jawaban, ‘kepengen aja’.Kenzio nggak menjawab pertanyaanku. Sorot matanya yang berubah sendu menatap dengan begitu dalam yang membuatku salah tingkah sendiri. Entah semerah ap
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa