KENZIO Ponselku berbunyi saat aku sedang asyik mengobrol dengan Viola. Aku melihat nama Clara di layar setelah mengambil benda itu dari dalam saku. Aku memutuskan untuk menerimanya karena aku tahu persis karakter Clara. Dia belum akan berhenti sebelum panggilannya kujawab. "Halo." "Zio, kamu gimana sih? Masa Dena kamu tinggalin sendiri?" Clara langsung menyerang setelah mendengar suaraku. Tampaknya Dena mengadu lagi pada Clara. "Aku ada acara, Cla." "Acara apa?" "Party kayak biasa." Clara memang sudah kuceritakan mengenai tradisi di kantor. "Tapi bukan berarti kamu bisa nyuekin Dena seharian. Dia itu lagi ada masalah dan butuh perhatian kamu sebagai lawyer." "Lho? Aku cuma lawyer-nya, Cla. Perhatian apa yang harus kukasih? Tugasku hanya menangani masalah dia dan suaminya. Bukan yang lain-lain. Kan kamu sendiri yang bilang dia nggak perlu diurus." Clara berdecak jengkel. "Kamu gimana sih, Zio? Pake hati nurani dikitlah. Dia itu saudara aku yang artinya saudara kamu juga!!!" o
KENZIO Kekesalanku pada Clara begitu melekat. Sampai bermeter-meter meninggalkan lokasi acara perasaan kesal itu bukannya menghilang malah semakin menjadi. Ini adalah untuk pertama kalinya Clara berkata kasar padaku walau sebelumnya juga pernah tapi nggak sekasar ini. Aku cukup sering menolerir sikap-sikap Clara yang nggak menyenangkan. Mulai dari kemanjaannya, sikapnya yang suka memaksa sampai keinginannya untuk selalu dijadikan prioritas. Selama ini aku mencoba untuk memahaminya. Aku yang sering mengalah setiap kali kami bertengkar. Tapi kali ini Clara benar-benar sudah keterlaluan. Dia boleh saja mengumpat dan mengucapkan kata-kata kasar pada siapa pun, tapi mungkin dia lupa bahwa aku adalah tunangannya, bukan orang lain. "Zio ..." Suara Viola menyentakku, membuatku mengalihkan perhatian padanya. "Are you okay?" "I'm fine," jawabku lalu mengubah ekspresiku yang kusut. "Kamu masih pusing?" "Sedikit." "Kalau begitu kita pulang aja yuk. Aku bisa turun di sini terus nyambung pak
VIOLASeperti ada yang mengingatkan, aku melepas pagutan bibir kami yang membuat Kenzio tersentak. Sudah sejak awal tadi aku merasa gugup. Mulai di saat dia mengoleskan lipstick di bibirku, aku menyuapinya saat di mobil, hingga dia mendesak jawaban atas pertanyaan yang membuatku hampir saja mengungkap rahasia besar itu. Lalu entah kenapa aku dengan kondisi yang gugup tidak sanggup menolak ciumannya. Malah membalas dengan lumatan yang lebih panas.Kenzio menatapku penuh tanda tanya karena aku menarik diri dengan begitu tiba-tiba.“Kenapa? Kamu nggak suka aku cium?”Wanita mana yang nggak akan suka dicium oleh seorang Kenzio Mahanta?Masalahnya, kenapa dia menciumku? Apa Kenzio terpengaruh film di televisi yang saat ini sedang menayangkan adegan bercinta?“Why do we kiss?” tanyaku lirih. Aku nggak ingin mendengar jawaban, ‘kepengen aja’.Kenzio nggak menjawab pertanyaanku. Sorot matanya yang berubah sendu menatap dengan begitu dalam yang membuatku salah tingkah sendiri. Entah semerah ap
VIOLAAku adalah orang pertama yang terbangun di antara kami pagi ini. Di sebelahku Kenzio masih tertidur lelap dengan tangan dan kaki yang melingkari tubuhku seakan sedang memberiku perlindungan.Bermenit-menit lamanya mataku terpaku di raut gagahnya sembari pikiranku mereka ulang kejadian kemarin. Tak percaya rasanya jika aku sudah memberikan satu-satunya milikku yang paling berharga pada pria yang kucintai. Jangankan bercinta dengannya, berada di dekatnya saja sudah sangat membuatku bahagia.Saat menyingkap selimut aku mendapati keadaanku dan dirinya yang nggak ada bedanya. Tubuh kami terbuka tanpa penutup apa pun kecuali selembar selimut putih ini. Semalam setelah selesai bercinta aku dan dia kelelahan. Setelah afterplay kami sama-sama nggak sempat mengenakan pakaian lalu tertidur sampai pagi. Menyadari saat ini kami sama-sama nggak berpakaian membuatku menjadi malu sendiri. Tapi aku lebih malu lagi saat ingat bagaimana ekspresiku saat bercinta semalam.Dengan perlahan agar tidak
KENZIOAku melarikan mobil sekencang mungkin seperti orang kesetanan. Setelah meninggalkan kamar Viola tadi satu-satunya yang terpikirkan olehku adalah pergi.Apa yang telah kulakukan kemarin? Kenapa aku tega melakukannya pada Viola? Kenapa aku sampai hati mengkhianati Clara?Pengkhianat bukanlah nama tengahku, tapi apa yang telah kulakukan membuatku kini pantas dipanggil dengan sebutan itu.Aku membelokkan mobil ke sebuah SPBU. Lalu membeli sikat gigi dan odol di mini market yang ada di sana. Aku menyikat gigi dan mencuci muka di toilet.Saat berkaca di cermin wastafel, seorang lelaki dengan muka kusut membalas tatapanku. Entah mana yang lebih kusut, muka atau pikiranku.Lalu wajah cantik Viola ikut melintas di depan cermin. Wajah tanpa dosa itu menatapku dengan perasaan bingung karena sikap yang kutunjukkan begitu kontras pagi ini dengan kemarin malam. Dia pasti bertanya-tanya kenapa aku jadi begini. Padahal semalam kami begitu mesra. Setelah bercinta kami bahkan sempat afterplay ya
VIOLAAku nggak bisa mengelak karena Kenzio mengunci tanganku begitu erat lalu menggiring ke mobilnya. Beberapa detik setelahnya aku sudah duduk manis di sana.Kenzio nggak mengatakan apa pun, begitu pun denganku. Kebersamaan kami terasa canggung. Seakan kami adalah dua orang asing yang disatukan dalam suatu tempat. Dari sikapnya aku tahu bisa jadi Kenzio menyesali yang telah kami lakukan kemarin. Mungkin saat itu dia hanya larut terbawa suasana. Lalu pagi ini menyadari bahwa yang kami lakukan merupakan sebuah kesalahan.Saat dalam perjalanan ponselku berbunyi. Ternyata dari Mbak Emma. Aku menjawab pada dering ketiga."Halo, Mbak.""Lo di mana?" Suara Mbak Emma yang keras membuatku berjengit. Selain blak-blakkan, dia suaranya juga keras. Selaras dengan badannya yang berisi.Aku menjauhkan ponsel agak nggak terlalu menempel di telinga."Lagi di jalan mau fotocopy sekalian beli sarapan buat Bu Eka.""Lo jadi nyari kosan?""Jadi, Mbak, kenapa?""Temen gue barusan ngabarin ada kamar yang
KENZIOYogi mengejarku setelah meeting selesai sore ini."Zio, bangsat lo ya, bisa-bisanya lo nikung gue," umpatnya sambil tertawa."Nikung apaan maksud lo?""Tadi lo nganterin Viola maksudnya apa coba?""Gue kan cuma ngebantu meringankan pekerjaan lo doang. Gue tau lo sibuk, bakal hectic banget pasti kalo ditambah nganterin Viola.""Halaaa gaya lo. Kalo misalnya Mbak Emma yang berada di posisi Viola, kira-kira lo mau nganterin dia juga nggak?""Kalo lo gimana?""Kok malah balik nanya gue?""Gue kan pengen tau."Yogi tertawa terbahak-bahak yang membuatku tahu apa jawabannya.Kami berpisah di ujung koridor. Yogi meneruskan langkah menuju ruangan sedangkan aku ke parkiran. Aku akan ke apartemen sekarang untuk 'mengusir' Dena. Sesuai yang dia janjikan, hari ini adalah due date.Dena sedang santai nonton televisi saat aku tiba. Nggak ada tanda-tanda dia akan hengkang dari apartemenku."Kamu ke mana aja, Zio? Aku di sini kamu malah pergi." Dia menyerbuku saat melihatku muncul.Seharusnya d
VIOLASaat menoleh ke belakang aku mendapati Kenzio melangkah cepat menyusulku. Padahal tdinya aku ingin kabur.“Masih ada yang harus dikerjakan?” tanyanya setelah berhasil menyejajarkan kakinya denganku.Aku memberi gelengan kepala.“Kita pulang sekarang,” titahnya tegas lalu menggandeng tanganku.Mau nggak mau aku harus ikut dengannya. Detak jantungku mulai tak beraturan saat tanganku berada dalam genggamannya. Sekaligus membuatku merasa lega. Setelah tadi pagi Kenzio bersikap yang menimbulkan kecanggungan di antara kami, maka saat ini aku merasa menemukan sesuatu yang hilang.Aku memandang ke kanan, ke kiri, serta ke sekitar kami untuk memastikan apa ada orang. Tapi suasana saat ini lumayan sepi. Aku yakin Kenzio sudah memperhitungkannya. Dia nggak mungkin menggandeng tanganku saat kantor masih dipenuhi banyak orang.Aku hanya bisa pasrah saat Kenzio membukakan pintu mobil lalu menuntunku masuk. Lalu setelah kami berada berdua di dalamnya, tak sepatah kata pun meluncur dari bibirny
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa