VIOLAAku nggak bisa mengelak karena Kenzio mengunci tanganku begitu erat lalu menggiring ke mobilnya. Beberapa detik setelahnya aku sudah duduk manis di sana.Kenzio nggak mengatakan apa pun, begitu pun denganku. Kebersamaan kami terasa canggung. Seakan kami adalah dua orang asing yang disatukan dalam suatu tempat. Dari sikapnya aku tahu bisa jadi Kenzio menyesali yang telah kami lakukan kemarin. Mungkin saat itu dia hanya larut terbawa suasana. Lalu pagi ini menyadari bahwa yang kami lakukan merupakan sebuah kesalahan.Saat dalam perjalanan ponselku berbunyi. Ternyata dari Mbak Emma. Aku menjawab pada dering ketiga."Halo, Mbak.""Lo di mana?" Suara Mbak Emma yang keras membuatku berjengit. Selain blak-blakkan, dia suaranya juga keras. Selaras dengan badannya yang berisi.Aku menjauhkan ponsel agak nggak terlalu menempel di telinga."Lagi di jalan mau fotocopy sekalian beli sarapan buat Bu Eka.""Lo jadi nyari kosan?""Jadi, Mbak, kenapa?""Temen gue barusan ngabarin ada kamar yang
KENZIOYogi mengejarku setelah meeting selesai sore ini."Zio, bangsat lo ya, bisa-bisanya lo nikung gue," umpatnya sambil tertawa."Nikung apaan maksud lo?""Tadi lo nganterin Viola maksudnya apa coba?""Gue kan cuma ngebantu meringankan pekerjaan lo doang. Gue tau lo sibuk, bakal hectic banget pasti kalo ditambah nganterin Viola.""Halaaa gaya lo. Kalo misalnya Mbak Emma yang berada di posisi Viola, kira-kira lo mau nganterin dia juga nggak?""Kalo lo gimana?""Kok malah balik nanya gue?""Gue kan pengen tau."Yogi tertawa terbahak-bahak yang membuatku tahu apa jawabannya.Kami berpisah di ujung koridor. Yogi meneruskan langkah menuju ruangan sedangkan aku ke parkiran. Aku akan ke apartemen sekarang untuk 'mengusir' Dena. Sesuai yang dia janjikan, hari ini adalah due date.Dena sedang santai nonton televisi saat aku tiba. Nggak ada tanda-tanda dia akan hengkang dari apartemenku."Kamu ke mana aja, Zio? Aku di sini kamu malah pergi." Dia menyerbuku saat melihatku muncul.Seharusnya d
VIOLASaat menoleh ke belakang aku mendapati Kenzio melangkah cepat menyusulku. Padahal tdinya aku ingin kabur.“Masih ada yang harus dikerjakan?” tanyanya setelah berhasil menyejajarkan kakinya denganku.Aku memberi gelengan kepala.“Kita pulang sekarang,” titahnya tegas lalu menggandeng tanganku.Mau nggak mau aku harus ikut dengannya. Detak jantungku mulai tak beraturan saat tanganku berada dalam genggamannya. Sekaligus membuatku merasa lega. Setelah tadi pagi Kenzio bersikap yang menimbulkan kecanggungan di antara kami, maka saat ini aku merasa menemukan sesuatu yang hilang.Aku memandang ke kanan, ke kiri, serta ke sekitar kami untuk memastikan apa ada orang. Tapi suasana saat ini lumayan sepi. Aku yakin Kenzio sudah memperhitungkannya. Dia nggak mungkin menggandeng tanganku saat kantor masih dipenuhi banyak orang.Aku hanya bisa pasrah saat Kenzio membukakan pintu mobil lalu menuntunku masuk. Lalu setelah kami berada berdua di dalamnya, tak sepatah kata pun meluncur dari bibirny
VIOLASepeninggal Kenzio aku langsung masuk ke kamar yang beberapa hari ini kutinggalkan. Begitu pintu kubuka seketika aroma wangi yang berasal dari pengharum ruangan menguar dan menyeruak menuju rongga hidungku. Selain kamar yang wangi aku juga mendapati sprei yang sudah diganti, padahal seingatku empat hari yang lalu aku baru saja menukarnya.Kenapa Kenzio menggantinya?Apa aku terlalu kotor dan nggak sesuai dengan standar hidupnya yang super bersih?Mengabaikan pikiran itu, kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Aku berniat istirahat sesaat sebelum mandi. Namun, baru saja kupejamkan mata, bayangan saat Kenzio membelai kepala dan mengecup pipiku melintas begitu saja.Why he kisses me?Aku benar-benar nggak ngerti pada sikap Kenzio. Setelah tadi pagi memperlakukanku bagai orang asing, lalu malam ini dia bertingkah begitu manis seolah aku adalah kekasihnya, seakan aku adalah seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya.Aku membuka mata lebar-lebar, lalu mengenyahkan Kenzio dan segala k
"Di apartemen lagi makan.""Delivery pasti."Aku tertawa mendengar tebakan Ayang tanpa mengiakan atau menidakkan.Ayang berdeham yang kutahu akan mulai dengan interogasinya."Zio, tadi Clara menelfon Ayang. Dia curhat, katanya kamu nyuekin dia berhari-hari. Kamu nggak jawab telfon dia, chat-nya juga hanya dibaca. Kenapa sih, Nak? Kalian lagi ada masalah?"Aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Setiap kali jalannya buntu maka Clara akan mengadu pada mamaku. Bahkan, Clara juga nggak sungkan-sungkan menghubungi Papa. Tapi untungnya Papa nggak mau ikut campur pada hubungan kami."Iya Yang," jawabku jujur. Aku memang paling nggak bisa membohongi Ayang. "Tapi Ayang nggak usah pikirin. Kalau aku pulang aku akan beresin masalah ini.""Kamu kapan pulang memangnya? Besok kan tanggal merah, terus ada harpitnas juga."Aku tertawa mendengar istilah itu."Harpitnas nggak berlaku buatku, Yang. Tapi gini deh, kalau dia masih ngadu, Ayang nggak usah peduliin. Kalau perlu Ayang nasihatin biar dia bisa
KENZIOAku tersentak mendengar informasi yang disampaikan Tante Marina. Mataku yang redup digayuti kantuk seketika melebar. Tanpa bertanya apa dan kenapa akibat nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya aku langsung mengiakan.Dengan terburu-buru aku turun dari tempat tidur meninggalkan Viola yang masih pulas dalam lelap. Satu-satunya yang berada di otakku saat ini adalah Clara yang berbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Aku memang masih kesal padanya. Namun sebesar apa pun kejengkelanku, somehow, dia adalah tunanganku.Viola terbangun akibat gerakanku yang grasa-grusu.“Zio, mau ke mana?” tanyanya sambil mengucek mata.“Ke Bali,” jawabku singkat.“Ke Bali? Kok dadakan?” Viola bangun dari berbaring lalu menahan selimut di dada menutupi tubuhnya yang nggak mengenakan apa pun.“Barusan aku dapat kabar ada keluarga yang sakit, jadi aku harus pulang sekarang.”“Orang tua kamu?”“Bukan.” Aku menidakkan tanpa menerangkan lebih lanjut.Selagi aku berkemas Viola terus menatapku. Kemu
VIOLA"Woi, main hp mulu! Kerjaan udah selesai belum?"Aku terkejut ketika Mbak Emma tiba-tiba muncul."Eh, Mbak, udah beres dari tadi."Saat ini aku sedang istirahat di markas. Pinggangku agak sakit setelah mengangkat barang-barang berat.Mbak Emma ikut lesehan di sebelahku. "Asyik bener, lagi ngapain lo?" Dia mencondongkan kepalanya mencuri pandang ke layar hp.Dengan cepat aku menutup chat room Kenzio lalu membuka aplikasi lowongan kerja."Ini, Mbak, lagi ngeliat lowker.""Lowker? Lo nggak betah kerja di sini?""Betah sih, Mbak. Ini cuma iseng-iseng."Mbak Emma memerhatikanku menelusuri satu demi satu lowongan yang tersedia. Sesaat kemudian dia kaget bukan kepalang melihat apa yang kulakukan."Viola, lo ngapain apply lowongan buat S1? Jangan aneh-aneh deh lo. Nggak bakal keterima juga." Dia menertawaiku.Aku tersenyum pahit. Lalu memutuskan untuk berterus terang. Mau nggak mau aku terpaksa jujur padanya. Aku rasa untuk hal yang satu ini nggak ada gunanya aku tutupi dari Mbak Emma,
KENZIOSudah lima hari aku berada di Bali. Dalam rentang waktu itu yang kulakukan adalah mengurus dan menemani Clara. Aku bahkan sampai nggak punya waktu untuk diri sendiri. Clara menuntut perhatian dariku habis-habisan. Setiap kali aku akan menyentuh handphone dia menghalangiku. Dia ingin agar dirinyalah yang dijadikan pusat atensi. Untuk ‘menebus dosa’, aku memenuhi kemauannya. Termasuk dengan menginap di rumah sakit.Hari ini aku berada di rumah Clara, sedang menyuapinya makan. Kemarin Clara sudah diizinkan pulang dari rumah sakit."Cla, besok aku balik ke Jakarta ya?""Kok besok sih? Hari rabu aja ya?""Nggak bisa, Cla, aku udah terlalu lama nggak ngantor. Rabu aku ada sidang, terus setelahnya aku juga harus mendampingi Dena dalam sidang mediasi."Clara mengembuskan napasnya keberatan.Aku membelai kepalanya, membujuk agar hatinya melunak. "Udah dong, nggak usah sedih. Nanti kita kan masih bisa ketemu. Aku bakal usahain weekend ke sini."Clara menatapku sendu. Tipe tatapan seperti