"Di apartemen lagi makan.""Delivery pasti."Aku tertawa mendengar tebakan Ayang tanpa mengiakan atau menidakkan.Ayang berdeham yang kutahu akan mulai dengan interogasinya."Zio, tadi Clara menelfon Ayang. Dia curhat, katanya kamu nyuekin dia berhari-hari. Kamu nggak jawab telfon dia, chat-nya juga hanya dibaca. Kenapa sih, Nak? Kalian lagi ada masalah?"Aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Setiap kali jalannya buntu maka Clara akan mengadu pada mamaku. Bahkan, Clara juga nggak sungkan-sungkan menghubungi Papa. Tapi untungnya Papa nggak mau ikut campur pada hubungan kami."Iya Yang," jawabku jujur. Aku memang paling nggak bisa membohongi Ayang. "Tapi Ayang nggak usah pikirin. Kalau aku pulang aku akan beresin masalah ini.""Kamu kapan pulang memangnya? Besok kan tanggal merah, terus ada harpitnas juga."Aku tertawa mendengar istilah itu."Harpitnas nggak berlaku buatku, Yang. Tapi gini deh, kalau dia masih ngadu, Ayang nggak usah peduliin. Kalau perlu Ayang nasihatin biar dia bisa
KENZIOAku tersentak mendengar informasi yang disampaikan Tante Marina. Mataku yang redup digayuti kantuk seketika melebar. Tanpa bertanya apa dan kenapa akibat nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya aku langsung mengiakan.Dengan terburu-buru aku turun dari tempat tidur meninggalkan Viola yang masih pulas dalam lelap. Satu-satunya yang berada di otakku saat ini adalah Clara yang berbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Aku memang masih kesal padanya. Namun sebesar apa pun kejengkelanku, somehow, dia adalah tunanganku.Viola terbangun akibat gerakanku yang grasa-grusu.“Zio, mau ke mana?” tanyanya sambil mengucek mata.“Ke Bali,” jawabku singkat.“Ke Bali? Kok dadakan?” Viola bangun dari berbaring lalu menahan selimut di dada menutupi tubuhnya yang nggak mengenakan apa pun.“Barusan aku dapat kabar ada keluarga yang sakit, jadi aku harus pulang sekarang.”“Orang tua kamu?”“Bukan.” Aku menidakkan tanpa menerangkan lebih lanjut.Selagi aku berkemas Viola terus menatapku. Kemu
VIOLA"Woi, main hp mulu! Kerjaan udah selesai belum?"Aku terkejut ketika Mbak Emma tiba-tiba muncul."Eh, Mbak, udah beres dari tadi."Saat ini aku sedang istirahat di markas. Pinggangku agak sakit setelah mengangkat barang-barang berat.Mbak Emma ikut lesehan di sebelahku. "Asyik bener, lagi ngapain lo?" Dia mencondongkan kepalanya mencuri pandang ke layar hp.Dengan cepat aku menutup chat room Kenzio lalu membuka aplikasi lowongan kerja."Ini, Mbak, lagi ngeliat lowker.""Lowker? Lo nggak betah kerja di sini?""Betah sih, Mbak. Ini cuma iseng-iseng."Mbak Emma memerhatikanku menelusuri satu demi satu lowongan yang tersedia. Sesaat kemudian dia kaget bukan kepalang melihat apa yang kulakukan."Viola, lo ngapain apply lowongan buat S1? Jangan aneh-aneh deh lo. Nggak bakal keterima juga." Dia menertawaiku.Aku tersenyum pahit. Lalu memutuskan untuk berterus terang. Mau nggak mau aku terpaksa jujur padanya. Aku rasa untuk hal yang satu ini nggak ada gunanya aku tutupi dari Mbak Emma,
KENZIOSudah lima hari aku berada di Bali. Dalam rentang waktu itu yang kulakukan adalah mengurus dan menemani Clara. Aku bahkan sampai nggak punya waktu untuk diri sendiri. Clara menuntut perhatian dariku habis-habisan. Setiap kali aku akan menyentuh handphone dia menghalangiku. Dia ingin agar dirinyalah yang dijadikan pusat atensi. Untuk ‘menebus dosa’, aku memenuhi kemauannya. Termasuk dengan menginap di rumah sakit.Hari ini aku berada di rumah Clara, sedang menyuapinya makan. Kemarin Clara sudah diizinkan pulang dari rumah sakit."Cla, besok aku balik ke Jakarta ya?""Kok besok sih? Hari rabu aja ya?""Nggak bisa, Cla, aku udah terlalu lama nggak ngantor. Rabu aku ada sidang, terus setelahnya aku juga harus mendampingi Dena dalam sidang mediasi."Clara mengembuskan napasnya keberatan.Aku membelai kepalanya, membujuk agar hatinya melunak. "Udah dong, nggak usah sedih. Nanti kita kan masih bisa ketemu. Aku bakal usahain weekend ke sini."Clara menatapku sendu. Tipe tatapan seperti
Aku mencari nomor Viola lalu menghubunginya, namun hanya suara operator yang menjawab. Ponselnya nggak aktif."Zio! Makan dulu yuk!" Suara Ayang bersama ketukan pintu mengisi pendengaranku."Iya, Yang, bentar lagi.""Sekarang kenapa? Papa udah nunggu, bentar lagi mau ke resort."By the way, orang tuaku memiliki beberapa resort dan hotel di Bali. Dulu saat aku kecil, Papa mengajak Ayang pulang ke Indonesia setelah bertahun-tahun tinggal di USA. Mereka memutuskan menetap di Bali ketimbang di Jakarta atau Semarang, kota kelahiran Ayang. Dari sanalah usaha orang tuaku bermula yang syukurnya bertahan hingga saat ini.Aku akhirnya keluar dari kamar lalu mengikuti langkah Ayang ke ruang makan. Di sana Papa dan Rhiannon sudah menunggu."Lemes banget? Capek banget kayaknya abis ngurus si manja," sindir Rhiannon saat aku duduk di sebelahnya."Rhiii ...," Ayang melirik Rhiannon penuh peringatan.Rhiannon mencibir. "Jangan dibelain deh, Yang. Yang aku bilang kan fakta. Baru kali ini ada orang ber
KENZIOSejak kemarin dan selama penerbangan tadi aku nggak berhenti memikirkan Clara dan Viola. Aku nggak mungkin memutuskan hubungan dengan Clara. Tapi lebih nggak mungkin lagi memberi keduanya ikatan. Maka aku berniat untuk berbicara jujur dengan Viola mengenai statusku yang sudah memiliki tunangan. Aku tahu dia akan terkejut, nggak menyangka, bahkan terluka setelah mengetahuinya. Alih-alih akan memberinya kejutan malah aku yang mendapat surprise."Vio, kamu tahu dari mana soal Clara?" Aku menanyakannya setelah berdetik-detik termangu.Dia tersenyum pahit lalu melepaskan diri sepenuhnya dari pelukanku."Nggak penting aku tahu dari mana. Yang penting sekarang aku sudah tahu.""Tapi aku harus tetap tahu, Vio." Aku nggak akan bisa tenang sebelum mengetahui kronologinya.Viola mengembuskan napas lalu memalingkan muka ke arah lain, melarikan diri dari tatapanku."Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Vio."Viola mengembalikan tatapannya padaku. "Apanya yang harus dibicarakan baik-baik. Semu
KENZIO"Woi, Bro, kusut banget tampang lo, katanya baru ketemu Ayang."Aku nggak menanggapi candaan Yogi saat masuk ke ruangannya. Ada yang lebih penting untuk kutanyakan padanya."Lo bilang ke siapa soal Clara?""Hah? Maksud lo apa?"Rasanya ingin kutampol muka sok polos itu."Lo spill ke siapa kalo gue pulang ke Bali karena Clara masuk rumah sakit akibat percobaan bunuh diri?"Yogi terdiam sesaat lalu tampak seperti sedang mengingat-ingat."Gue nggak pernah spill sama siapa-siapa sih. Tapi waktu itu gueeee ... Eh, iya, sorry, sorry, waktu itu ada si cantik di sini jadi gue keceplosan soalnya doi bikin galfok sih.""Si cantik?""Viola maksudnya." Yogi terkekeh sedangkan aku ingin mencabik-cabik mukanya sekarang.Tepat dugaanku. Viola nggak mungkin tahu sendiri tanpa ada yang memberitahu. Aku memang sudah berencana untuk mengaku pada Viola tapi bukan dengan cara yang begini."Lo emang ember ya, Gi. Mulut lo persis kayak ibu-ibu kalah arisan.""Emangnya si cantik bilang apa?" tatap Yog
VIOLAAku buru-buru memungut box itu. Clara yang ikut jongkok dengan cepat membuka box.Birthday cake untuk Kenzio baik-baik saja, namun Clara seakan ingin menelanku hidup-hidup.“Maaf, Mbak, maaf, saya nggak sengaja.”“Saya kan sudah bilang agar hati-hati. Kalau kue ini sampai hancur gimana? Saya jauh-jauh datang dari Bali cuma buat ngasih tunangan saya surprise. Tapi kamu hampir merusak segalanya!”“Sekali lagi maaf.”Clara mendengkus lalu mengambil alih box kue itu kemudian berjalan cepat meninggalkanku membawa kekesalannya.Aku hanya bisa mengelus dada, mencoba untuk bersabar. Aku memang salah. Tadi Clara sudah bilang agar hati-hati.Saat kembali ke pantry aku menemukan tatapan tajam Mbak Emma.“Lo apain kue buat Mas Kenzio?”Oh, jadi Clara mengadu.“Gue lagi jalan di belakang dia, tapi tiba-tiba Mbak Clara-nya berhenti. Gue kaget dan kuenya jatuh, tapi di dalam box kok, nggak apa-apa.”“Nggak apa-apa gimana? Tuh kue pantatnya bonyok!” Suara Mbak Emma meninggi.“Maaf.” Hanya itu y