KENZIOAku melarikan mobil sekencang mungkin seperti orang kesetanan. Setelah meninggalkan kamar Viola tadi satu-satunya yang terpikirkan olehku adalah pergi.Apa yang telah kulakukan kemarin? Kenapa aku tega melakukannya pada Viola? Kenapa aku sampai hati mengkhianati Clara?Pengkhianat bukanlah nama tengahku, tapi apa yang telah kulakukan membuatku kini pantas dipanggil dengan sebutan itu.Aku membelokkan mobil ke sebuah SPBU. Lalu membeli sikat gigi dan odol di mini market yang ada di sana. Aku menyikat gigi dan mencuci muka di toilet.Saat berkaca di cermin wastafel, seorang lelaki dengan muka kusut membalas tatapanku. Entah mana yang lebih kusut, muka atau pikiranku.Lalu wajah cantik Viola ikut melintas di depan cermin. Wajah tanpa dosa itu menatapku dengan perasaan bingung karena sikap yang kutunjukkan begitu kontras pagi ini dengan kemarin malam. Dia pasti bertanya-tanya kenapa aku jadi begini. Padahal semalam kami begitu mesra. Setelah bercinta kami bahkan sempat afterplay ya
VIOLAAku nggak bisa mengelak karena Kenzio mengunci tanganku begitu erat lalu menggiring ke mobilnya. Beberapa detik setelahnya aku sudah duduk manis di sana.Kenzio nggak mengatakan apa pun, begitu pun denganku. Kebersamaan kami terasa canggung. Seakan kami adalah dua orang asing yang disatukan dalam suatu tempat. Dari sikapnya aku tahu bisa jadi Kenzio menyesali yang telah kami lakukan kemarin. Mungkin saat itu dia hanya larut terbawa suasana. Lalu pagi ini menyadari bahwa yang kami lakukan merupakan sebuah kesalahan.Saat dalam perjalanan ponselku berbunyi. Ternyata dari Mbak Emma. Aku menjawab pada dering ketiga."Halo, Mbak.""Lo di mana?" Suara Mbak Emma yang keras membuatku berjengit. Selain blak-blakkan, dia suaranya juga keras. Selaras dengan badannya yang berisi.Aku menjauhkan ponsel agak nggak terlalu menempel di telinga."Lagi di jalan mau fotocopy sekalian beli sarapan buat Bu Eka.""Lo jadi nyari kosan?""Jadi, Mbak, kenapa?""Temen gue barusan ngabarin ada kamar yang
KENZIOYogi mengejarku setelah meeting selesai sore ini."Zio, bangsat lo ya, bisa-bisanya lo nikung gue," umpatnya sambil tertawa."Nikung apaan maksud lo?""Tadi lo nganterin Viola maksudnya apa coba?""Gue kan cuma ngebantu meringankan pekerjaan lo doang. Gue tau lo sibuk, bakal hectic banget pasti kalo ditambah nganterin Viola.""Halaaa gaya lo. Kalo misalnya Mbak Emma yang berada di posisi Viola, kira-kira lo mau nganterin dia juga nggak?""Kalo lo gimana?""Kok malah balik nanya gue?""Gue kan pengen tau."Yogi tertawa terbahak-bahak yang membuatku tahu apa jawabannya.Kami berpisah di ujung koridor. Yogi meneruskan langkah menuju ruangan sedangkan aku ke parkiran. Aku akan ke apartemen sekarang untuk 'mengusir' Dena. Sesuai yang dia janjikan, hari ini adalah due date.Dena sedang santai nonton televisi saat aku tiba. Nggak ada tanda-tanda dia akan hengkang dari apartemenku."Kamu ke mana aja, Zio? Aku di sini kamu malah pergi." Dia menyerbuku saat melihatku muncul.Seharusnya d
VIOLASaat menoleh ke belakang aku mendapati Kenzio melangkah cepat menyusulku. Padahal tdinya aku ingin kabur.“Masih ada yang harus dikerjakan?” tanyanya setelah berhasil menyejajarkan kakinya denganku.Aku memberi gelengan kepala.“Kita pulang sekarang,” titahnya tegas lalu menggandeng tanganku.Mau nggak mau aku harus ikut dengannya. Detak jantungku mulai tak beraturan saat tanganku berada dalam genggamannya. Sekaligus membuatku merasa lega. Setelah tadi pagi Kenzio bersikap yang menimbulkan kecanggungan di antara kami, maka saat ini aku merasa menemukan sesuatu yang hilang.Aku memandang ke kanan, ke kiri, serta ke sekitar kami untuk memastikan apa ada orang. Tapi suasana saat ini lumayan sepi. Aku yakin Kenzio sudah memperhitungkannya. Dia nggak mungkin menggandeng tanganku saat kantor masih dipenuhi banyak orang.Aku hanya bisa pasrah saat Kenzio membukakan pintu mobil lalu menuntunku masuk. Lalu setelah kami berada berdua di dalamnya, tak sepatah kata pun meluncur dari bibirny
VIOLASepeninggal Kenzio aku langsung masuk ke kamar yang beberapa hari ini kutinggalkan. Begitu pintu kubuka seketika aroma wangi yang berasal dari pengharum ruangan menguar dan menyeruak menuju rongga hidungku. Selain kamar yang wangi aku juga mendapati sprei yang sudah diganti, padahal seingatku empat hari yang lalu aku baru saja menukarnya.Kenapa Kenzio menggantinya?Apa aku terlalu kotor dan nggak sesuai dengan standar hidupnya yang super bersih?Mengabaikan pikiran itu, kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Aku berniat istirahat sesaat sebelum mandi. Namun, baru saja kupejamkan mata, bayangan saat Kenzio membelai kepala dan mengecup pipiku melintas begitu saja.Why he kisses me?Aku benar-benar nggak ngerti pada sikap Kenzio. Setelah tadi pagi memperlakukanku bagai orang asing, lalu malam ini dia bertingkah begitu manis seolah aku adalah kekasihnya, seakan aku adalah seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya.Aku membuka mata lebar-lebar, lalu mengenyahkan Kenzio dan segala k
"Di apartemen lagi makan.""Delivery pasti."Aku tertawa mendengar tebakan Ayang tanpa mengiakan atau menidakkan.Ayang berdeham yang kutahu akan mulai dengan interogasinya."Zio, tadi Clara menelfon Ayang. Dia curhat, katanya kamu nyuekin dia berhari-hari. Kamu nggak jawab telfon dia, chat-nya juga hanya dibaca. Kenapa sih, Nak? Kalian lagi ada masalah?"Aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Setiap kali jalannya buntu maka Clara akan mengadu pada mamaku. Bahkan, Clara juga nggak sungkan-sungkan menghubungi Papa. Tapi untungnya Papa nggak mau ikut campur pada hubungan kami."Iya Yang," jawabku jujur. Aku memang paling nggak bisa membohongi Ayang. "Tapi Ayang nggak usah pikirin. Kalau aku pulang aku akan beresin masalah ini.""Kamu kapan pulang memangnya? Besok kan tanggal merah, terus ada harpitnas juga."Aku tertawa mendengar istilah itu."Harpitnas nggak berlaku buatku, Yang. Tapi gini deh, kalau dia masih ngadu, Ayang nggak usah peduliin. Kalau perlu Ayang nasihatin biar dia bisa
KENZIOAku tersentak mendengar informasi yang disampaikan Tante Marina. Mataku yang redup digayuti kantuk seketika melebar. Tanpa bertanya apa dan kenapa akibat nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya aku langsung mengiakan.Dengan terburu-buru aku turun dari tempat tidur meninggalkan Viola yang masih pulas dalam lelap. Satu-satunya yang berada di otakku saat ini adalah Clara yang berbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Aku memang masih kesal padanya. Namun sebesar apa pun kejengkelanku, somehow, dia adalah tunanganku.Viola terbangun akibat gerakanku yang grasa-grusu.“Zio, mau ke mana?” tanyanya sambil mengucek mata.“Ke Bali,” jawabku singkat.“Ke Bali? Kok dadakan?” Viola bangun dari berbaring lalu menahan selimut di dada menutupi tubuhnya yang nggak mengenakan apa pun.“Barusan aku dapat kabar ada keluarga yang sakit, jadi aku harus pulang sekarang.”“Orang tua kamu?”“Bukan.” Aku menidakkan tanpa menerangkan lebih lanjut.Selagi aku berkemas Viola terus menatapku. Kemu
VIOLA"Woi, main hp mulu! Kerjaan udah selesai belum?"Aku terkejut ketika Mbak Emma tiba-tiba muncul."Eh, Mbak, udah beres dari tadi."Saat ini aku sedang istirahat di markas. Pinggangku agak sakit setelah mengangkat barang-barang berat.Mbak Emma ikut lesehan di sebelahku. "Asyik bener, lagi ngapain lo?" Dia mencondongkan kepalanya mencuri pandang ke layar hp.Dengan cepat aku menutup chat room Kenzio lalu membuka aplikasi lowongan kerja."Ini, Mbak, lagi ngeliat lowker.""Lowker? Lo nggak betah kerja di sini?""Betah sih, Mbak. Ini cuma iseng-iseng."Mbak Emma memerhatikanku menelusuri satu demi satu lowongan yang tersedia. Sesaat kemudian dia kaget bukan kepalang melihat apa yang kulakukan."Viola, lo ngapain apply lowongan buat S1? Jangan aneh-aneh deh lo. Nggak bakal keterima juga." Dia menertawaiku.Aku tersenyum pahit. Lalu memutuskan untuk berterus terang. Mau nggak mau aku terpaksa jujur padanya. Aku rasa untuk hal yang satu ini nggak ada gunanya aku tutupi dari Mbak Emma,
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa