KENZIOSudah lima hari aku berada di Bali. Dalam rentang waktu itu yang kulakukan adalah mengurus dan menemani Clara. Aku bahkan sampai nggak punya waktu untuk diri sendiri. Clara menuntut perhatian dariku habis-habisan. Setiap kali aku akan menyentuh handphone dia menghalangiku. Dia ingin agar dirinyalah yang dijadikan pusat atensi. Untuk ‘menebus dosa’, aku memenuhi kemauannya. Termasuk dengan menginap di rumah sakit.Hari ini aku berada di rumah Clara, sedang menyuapinya makan. Kemarin Clara sudah diizinkan pulang dari rumah sakit."Cla, besok aku balik ke Jakarta ya?""Kok besok sih? Hari rabu aja ya?""Nggak bisa, Cla, aku udah terlalu lama nggak ngantor. Rabu aku ada sidang, terus setelahnya aku juga harus mendampingi Dena dalam sidang mediasi."Clara mengembuskan napasnya keberatan.Aku membelai kepalanya, membujuk agar hatinya melunak. "Udah dong, nggak usah sedih. Nanti kita kan masih bisa ketemu. Aku bakal usahain weekend ke sini."Clara menatapku sendu. Tipe tatapan seperti
Aku mencari nomor Viola lalu menghubunginya, namun hanya suara operator yang menjawab. Ponselnya nggak aktif."Zio! Makan dulu yuk!" Suara Ayang bersama ketukan pintu mengisi pendengaranku."Iya, Yang, bentar lagi.""Sekarang kenapa? Papa udah nunggu, bentar lagi mau ke resort."By the way, orang tuaku memiliki beberapa resort dan hotel di Bali. Dulu saat aku kecil, Papa mengajak Ayang pulang ke Indonesia setelah bertahun-tahun tinggal di USA. Mereka memutuskan menetap di Bali ketimbang di Jakarta atau Semarang, kota kelahiran Ayang. Dari sanalah usaha orang tuaku bermula yang syukurnya bertahan hingga saat ini.Aku akhirnya keluar dari kamar lalu mengikuti langkah Ayang ke ruang makan. Di sana Papa dan Rhiannon sudah menunggu."Lemes banget? Capek banget kayaknya abis ngurus si manja," sindir Rhiannon saat aku duduk di sebelahnya."Rhiii ...," Ayang melirik Rhiannon penuh peringatan.Rhiannon mencibir. "Jangan dibelain deh, Yang. Yang aku bilang kan fakta. Baru kali ini ada orang ber
KENZIOSejak kemarin dan selama penerbangan tadi aku nggak berhenti memikirkan Clara dan Viola. Aku nggak mungkin memutuskan hubungan dengan Clara. Tapi lebih nggak mungkin lagi memberi keduanya ikatan. Maka aku berniat untuk berbicara jujur dengan Viola mengenai statusku yang sudah memiliki tunangan. Aku tahu dia akan terkejut, nggak menyangka, bahkan terluka setelah mengetahuinya. Alih-alih akan memberinya kejutan malah aku yang mendapat surprise."Vio, kamu tahu dari mana soal Clara?" Aku menanyakannya setelah berdetik-detik termangu.Dia tersenyum pahit lalu melepaskan diri sepenuhnya dari pelukanku."Nggak penting aku tahu dari mana. Yang penting sekarang aku sudah tahu.""Tapi aku harus tetap tahu, Vio." Aku nggak akan bisa tenang sebelum mengetahui kronologinya.Viola mengembuskan napas lalu memalingkan muka ke arah lain, melarikan diri dari tatapanku."Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Vio."Viola mengembalikan tatapannya padaku. "Apanya yang harus dibicarakan baik-baik. Semu
KENZIO"Woi, Bro, kusut banget tampang lo, katanya baru ketemu Ayang."Aku nggak menanggapi candaan Yogi saat masuk ke ruangannya. Ada yang lebih penting untuk kutanyakan padanya."Lo bilang ke siapa soal Clara?""Hah? Maksud lo apa?"Rasanya ingin kutampol muka sok polos itu."Lo spill ke siapa kalo gue pulang ke Bali karena Clara masuk rumah sakit akibat percobaan bunuh diri?"Yogi terdiam sesaat lalu tampak seperti sedang mengingat-ingat."Gue nggak pernah spill sama siapa-siapa sih. Tapi waktu itu gueeee ... Eh, iya, sorry, sorry, waktu itu ada si cantik di sini jadi gue keceplosan soalnya doi bikin galfok sih.""Si cantik?""Viola maksudnya." Yogi terkekeh sedangkan aku ingin mencabik-cabik mukanya sekarang.Tepat dugaanku. Viola nggak mungkin tahu sendiri tanpa ada yang memberitahu. Aku memang sudah berencana untuk mengaku pada Viola tapi bukan dengan cara yang begini."Lo emang ember ya, Gi. Mulut lo persis kayak ibu-ibu kalah arisan.""Emangnya si cantik bilang apa?" tatap Yog
VIOLAAku buru-buru memungut box itu. Clara yang ikut jongkok dengan cepat membuka box.Birthday cake untuk Kenzio baik-baik saja, namun Clara seakan ingin menelanku hidup-hidup.“Maaf, Mbak, maaf, saya nggak sengaja.”“Saya kan sudah bilang agar hati-hati. Kalau kue ini sampai hancur gimana? Saya jauh-jauh datang dari Bali cuma buat ngasih tunangan saya surprise. Tapi kamu hampir merusak segalanya!”“Sekali lagi maaf.”Clara mendengkus lalu mengambil alih box kue itu kemudian berjalan cepat meninggalkanku membawa kekesalannya.Aku hanya bisa mengelus dada, mencoba untuk bersabar. Aku memang salah. Tadi Clara sudah bilang agar hati-hati.Saat kembali ke pantry aku menemukan tatapan tajam Mbak Emma.“Lo apain kue buat Mas Kenzio?”Oh, jadi Clara mengadu.“Gue lagi jalan di belakang dia, tapi tiba-tiba Mbak Clara-nya berhenti. Gue kaget dan kuenya jatuh, tapi di dalam box kok, nggak apa-apa.”“Nggak apa-apa gimana? Tuh kue pantatnya bonyok!” Suara Mbak Emma meninggi.“Maaf.” Hanya itu y
KENZIOMendengar ucapan selamat itu terucap dari bibir Viola membuatku nggak sanggup menahan perasaan. Perasaan yang tak kutahu harus kunamakan apa. Mungkin terharu, karena sepotong kalimat itu diucapkan dengan begitu tulus.“Makasih, Vio,” jawabku.Aku yang tadinya hanya bermaksud sekadar mengantar kue jadi berbicara banyak dengan Viola.“Sekarang tinggal di mana?” tanyaku.Viola menyebutkan nama kawasan yang berjarak sekitar lima belas menit dari kantor. Syukurlah dia mendapatkan tempat tinggal yang nggak begitu jauh dari sini jadi dia bisa menghemat pengeluarannya.“Oh ya, Zio, aku minta nomer rekening kamu dong. Aku udah gajian, aku mau transfer cicilan utangku. Satu juta dulu ya?”Kembali Viola membuatku tertegun oleh kata-katanya. Dia masih saja membahas utang itu. Padahal aku hanya bergurau dengan mengatakan total utangnya senilai dua puluh juta. Itu semua hanya alasanku agar Viola tetap bertahan di apartemen. Meski pada akhirnya alasan itu tidak lagi sanggup membuat Viola bert
KENZIOAku baru bisa bernapas lega setelah Clara pergi.Seharian tadi aku benar-benar mengajaknya jalan sampai dia kelelahan. Dia hampir saja membatalkan penerbangan ke Bali. Untung dia mau mendengar nasihatku. Bahwa dia harus bisa bersikap profesional dan bertanggung jawab pada profesinya.Selesai mengantarnya ke bandara aku nggak langsung pulang tapi membelokkan mobilku ke kosan Viola.Sebut aku main gila, tapi aku harus menyelesaikan masalahku dengan Viola. Dan untungnya lagi tadi siang dia mau menyebutkan alamat tempat tinggalnya.Mobilku berhenti di sebuah kos-kosan sederhana berwarna kuning. Tanpa ada pagar atau pun gerbang.Turun dari mobil, aku langsung mengetuk pintu. Selang setengah menit pintu terbuka. Viola muncul.Sudah kuduga reaksinya kala melihatku."Zio?"Aku tersenyum. "Aku menggangu?""Nggak. Tapi dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?""Tadi siang kamu sendiri yang ngasih tahu. Lupa?"Viola terdiam sesaat seakan sedang mengingat-ingat.Apa beban pikirannya sebany
VIOLAAku tertegun lama setelah mendengar pernyataan Kenzio. Setelah sadar dari ketermanguan kukedipkan mata berkali-kali. Kenzio tersenyum menyaksikan tingkahku.Jika ada mimpi indah maka Kenzio adalah mimpi terindahku.Bagaimana mungkin dia bilang mencintaiku sejak SMU? Itu adalah hal paling mustahil yang pernah ada. Namun, melihat raut sungguh-sungguhnya memberi keyakinan padaku bahwa segala yang diucapkannya bukan merupakan sebuah kebohongan.Iris coklat itu terpaku di wajahku. Sangat intens dan begitu dalam hingga membuatku salah tingkah. Dia masih menanti jawaban dariku atas pertanyaannya tadi.Kalau saja tidak tahu malu sudah dari tadi aku berteriak mengatakan bahwa aku juga sangat mencintainya sejak lama. Hanya dia satu-satunya yang mengisiku. Sebut aku lebay, tapi di antara banyak pria di dunia, yang terlihat hanya Kenzio Mahanta seorang.“Vio …” Kenzio menyentuh tanganku yang berada di atas meja, mengingatkan bahwa dirinya butuh jawaban.“I love you too, Zio …” Kalimat sakti