KENZIOAku baru bisa bernapas lega setelah Clara pergi.Seharian tadi aku benar-benar mengajaknya jalan sampai dia kelelahan. Dia hampir saja membatalkan penerbangan ke Bali. Untung dia mau mendengar nasihatku. Bahwa dia harus bisa bersikap profesional dan bertanggung jawab pada profesinya.Selesai mengantarnya ke bandara aku nggak langsung pulang tapi membelokkan mobilku ke kosan Viola.Sebut aku main gila, tapi aku harus menyelesaikan masalahku dengan Viola. Dan untungnya lagi tadi siang dia mau menyebutkan alamat tempat tinggalnya.Mobilku berhenti di sebuah kos-kosan sederhana berwarna kuning. Tanpa ada pagar atau pun gerbang.Turun dari mobil, aku langsung mengetuk pintu. Selang setengah menit pintu terbuka. Viola muncul.Sudah kuduga reaksinya kala melihatku."Zio?"Aku tersenyum. "Aku menggangu?""Nggak. Tapi dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?""Tadi siang kamu sendiri yang ngasih tahu. Lupa?"Viola terdiam sesaat seakan sedang mengingat-ingat.Apa beban pikirannya sebany
VIOLAAku tertegun lama setelah mendengar pernyataan Kenzio. Setelah sadar dari ketermanguan kukedipkan mata berkali-kali. Kenzio tersenyum menyaksikan tingkahku.Jika ada mimpi indah maka Kenzio adalah mimpi terindahku.Bagaimana mungkin dia bilang mencintaiku sejak SMU? Itu adalah hal paling mustahil yang pernah ada. Namun, melihat raut sungguh-sungguhnya memberi keyakinan padaku bahwa segala yang diucapkannya bukan merupakan sebuah kebohongan.Iris coklat itu terpaku di wajahku. Sangat intens dan begitu dalam hingga membuatku salah tingkah. Dia masih menanti jawaban dariku atas pertanyaannya tadi.Kalau saja tidak tahu malu sudah dari tadi aku berteriak mengatakan bahwa aku juga sangat mencintainya sejak lama. Hanya dia satu-satunya yang mengisiku. Sebut aku lebay, tapi di antara banyak pria di dunia, yang terlihat hanya Kenzio Mahanta seorang.“Vio …” Kenzio menyentuh tanganku yang berada di atas meja, mengingatkan bahwa dirinya butuh jawaban.“I love you too, Zio …” Kalimat sakti
KENZIOHal yang paling berat untuk kulakukan adalah meninggalkan Viola, tapi kali ini aku harus pergi demi memperjelas status hubunganku dengan Clara. Aku udah nggak ada alasan lagi untuk bertahan dengannya. Jujur, bukan hanya karena kehadiran Viola, tapi karena setelah ribuan kali kupikir aku dan Clara memang udah nggak cocok tapi dipaksakan untuk bersama.Aku berencana setelah memutuskan Clara akan membawa Viola ke rumah. Aku akan mengenalkannya pada keluarga. Lalu setelahnya step by step aku akan meningkatkan status hubungan kami. Aku akan menikahinya, menjadikannya sebagai istri. Apa lagi memangnya yang kutunggu? Kami sudah tinggal seatap dan hidup bersama.Setelah tiba di Bali yang pertama kulakukan adalah menghubungi Viola, mengabari kalau aku sudah tiba dengan selamat."Aku udah nyampe, Sayang,” ucapku setelah turun dari pesawat."Idih, voice call aja kenapa sih? Orang-orang pada ngeliat tuh." Dia tertawa saat kutunjukkan situasi di sekitar."Biarin, bodoh amat," jawabku nggak
KENZIOPagi ini aku sedang bersiap-siap untuk surfing ke pantai Dreamland dengan Papa. di sana adalah tempat yang ideal untuk surfing karena ombaknya besar.Saat aku baru saja melewati pintu rumah ponselku berbunyi.Dari Viola."Ya, Sayang? Aku udah mau berangkat surfing nih.”"Zio, aku diterima kerja!" Suara Viola terdengar begitu bersemangat."Kerja yang di mana?""Yang tempo hari lho. Yang aku interview Rabu kemarin.”Aku ingat saat itu Viola absen ngantor karena mengikuti interview, bahkan aku yang mengantarnya."Finally, congrats my gorgeous, Viola!""Aku happy, tapi penempatannya nggak di sini,” suaranya berubah lesu."Jadi di mana? Bogor? Depok? Tangerang?" Aku menyebut satu per satu nama daerah itu."Bukan, Zio, tapi di Batam.”Mulutku bagai dibungkam mendengarnya."Aku sih belum kasih jawaban. Tapi mereka bilang ditunggu sampai Senin. Jadi mereka mau buka cabang baru di Batam. Mereka setuju sama gaji yang kuajukan waktu interview. Posisiku juga posisi inti." Viola menerangkan
VIOLA“Semua yang pertama adalah buat first love-nya aku.”It’s all bullshit. Nyatanya sampai saat ini dia nggak datang. Dia mengecewakanku. Dia mengingkari janjinya sendiri.“Kalau orang tuanya mohon-mohon gimana?“Mohon-mohon gimana?”“Mohon-mohon biar kamu melanjutkan pertunangan dengan anak mereka.”"Itu hak mereka, tapi keputusan tetap ada di tanganku. Orang udah nggak mau masa mau dipaksa. Lagian anaknya nggak aku apa-apain kok. Paling cuma peluk sama cium. Dan itu hanya ciuman bisa. Dia nggak pernah kukasih Kenzio's kiss. Hanya kamu yang dapat privilege itu.”In the end promises are just words.“Gue bakalan kangen banget sama lo, Viola.”Aku menatap Mbak Emma dan menemukan aura kesedihan di iris pekatnya.Hari ini adalah pertemuan terakhir kami karena aku memutuskan menerima penempatan kerja di Batam dan akan berangkat ke sana.Pada awalnya karena Kenzio nggak setuju, aku bermaksud membuang peluang itu. Namun, semua berubah begitu cepat. Aku nggak ada artinya buat dia. Jadi bua
KENZIONggak ada yang membuatku segelisah ini selain mengetahui ponsel Viola tidak aktif. Nomornya nggak bisa dihubungi. Hal itu terjadi sejak kemarin malam. Senin pagi pesanku masih terkirim walau Viola nggak membalasnya. Namun saat malamnya kutelepon dia udah nggak bisa dihubungi sampai pagi ini.“Zio!”Aku menjauhkan ponsel dari telinga setelah gagal menghubungi Viola. Kulihat Om Brahma berjalan mendekatiku.“Iya, Om?”“Om mau bicara sebentar dengan kamu.”Aku mengangguk menunggu apa yang akan disampaikan mantan calon mertuaku itu.“Om baru saja bicara dengan dokter. Katanya Clara berhasil melewati masa-masa kritisnya paca operasi kemarin. Dokter sendiri merasa takjub, nggak menyangka karena ternyata Clara sekuat itu. Sekarang kita hanya menunggu sampai Clara sadar.”Raut Om Brahma terlihat lega yang membuatku juga lega. Artinya aku bisa pergi tanpa beban.“Syukurlah, Om. Semoga Clara segera bangun.”“Semoga, Zio.” Om Brahma menghela napasnya lalu menatapku lekat. “Zio, kalau bisa
KENZIO“Lo mau nyusulin dia ke Batam?” Yogi menatapku ragu saat keesokan hari aku bertemu dengannya dan kuceritakan semua yang terjadi mulai dari kepulanganku ke Bali untuk memutuskan Clara, kecelakaan itu, hingga tentang Viola yang pergi ke Batam tanpa menungguku pulang.“Gue nggak mungkin ngebiarin dia pergi gitu aja, Gi. Dia marah sama gue. Dari kemarin gue nggak tidur karena mikirin dia. Kepala gue rasanya mau meledak.”“Oke, gue setuju, masalahnya sekarang apa lo tau di sana dia tinggal di mana?”Aku menggeleng lesu. Mana kutahu kalau dia perginya saja nggak bilang ke aku dulu.“Tapi lo tau dia kerja di mana kan? Maksud gue nama perusahaannya. Tau dong ya masa enggak?”“Duh, Gi, kalo gue tau nggak bakal sepusing ini.” Aku meremas rambut frustasi.“Astaga, Zio, bener-bener lo ya. Masa pacar sendiri nggak tau kerja di mana. Pacar kayak apa sih lo? Katanya sayang, katanya cinta.”Saat itu memang aku yang mengantar Viola pergi interview. Tapi sayangnya nggak sampai ke tempat. Di teng
KENZIOIni adalah hari ketiga kami di Batam. Aku menunda beberapa urusan dengan klien yang bisa kutunda serta membatalkan yang bisa dibatalkan hanya demi mencari Viola.Aku dan Yogi mencarinya bukan hanya di kota namun juga sampai ke pinggiran. Dan hasilnya nihil."Sewa detektif aja nggak sih?" Ide konyol itu terlontar dari mulut Yogi."Lo jangan ngaco, Gi. Ini bukan film." Aku nggak setuju pada idenya itu."Nggak ada yang bilang ini film. Lagian gue besok udah nggak bisa lagi nemenin lo. Gue mesti balik ke Jakarta. Lo gimana?" Yogi memandangku lekat."Gue masih stay di sini," jawabku."Sampe kapan?"Nggak tau.""Bucin boleh aja, Kenzio, tapi bego jangan. Viola udah nggak mau sama lo. Dia udah nggak cinta lagi. Masa itu aja lo nggak ngerti?"Aku nggak menanggapi kalimat tajam Yogi. Selain nggak ingin berdebat tubuhku juga butuh istirahat.Karena aku bungkam Yogi mengira aku marah.“Sorry, gue terlalu frontal, tapi ini demi kebaikan lo juga, Zio.”“Nggak apa-apa. Lo bener, gue memang b