KENZIOPagi ini aku sedang bersiap-siap untuk surfing ke pantai Dreamland dengan Papa. di sana adalah tempat yang ideal untuk surfing karena ombaknya besar.Saat aku baru saja melewati pintu rumah ponselku berbunyi.Dari Viola."Ya, Sayang? Aku udah mau berangkat surfing nih.”"Zio, aku diterima kerja!" Suara Viola terdengar begitu bersemangat."Kerja yang di mana?""Yang tempo hari lho. Yang aku interview Rabu kemarin.”Aku ingat saat itu Viola absen ngantor karena mengikuti interview, bahkan aku yang mengantarnya."Finally, congrats my gorgeous, Viola!""Aku happy, tapi penempatannya nggak di sini,” suaranya berubah lesu."Jadi di mana? Bogor? Depok? Tangerang?" Aku menyebut satu per satu nama daerah itu."Bukan, Zio, tapi di Batam.”Mulutku bagai dibungkam mendengarnya."Aku sih belum kasih jawaban. Tapi mereka bilang ditunggu sampai Senin. Jadi mereka mau buka cabang baru di Batam. Mereka setuju sama gaji yang kuajukan waktu interview. Posisiku juga posisi inti." Viola menerangkan
VIOLA“Semua yang pertama adalah buat first love-nya aku.”It’s all bullshit. Nyatanya sampai saat ini dia nggak datang. Dia mengecewakanku. Dia mengingkari janjinya sendiri.“Kalau orang tuanya mohon-mohon gimana?“Mohon-mohon gimana?”“Mohon-mohon biar kamu melanjutkan pertunangan dengan anak mereka.”"Itu hak mereka, tapi keputusan tetap ada di tanganku. Orang udah nggak mau masa mau dipaksa. Lagian anaknya nggak aku apa-apain kok. Paling cuma peluk sama cium. Dan itu hanya ciuman bisa. Dia nggak pernah kukasih Kenzio's kiss. Hanya kamu yang dapat privilege itu.”In the end promises are just words.“Gue bakalan kangen banget sama lo, Viola.”Aku menatap Mbak Emma dan menemukan aura kesedihan di iris pekatnya.Hari ini adalah pertemuan terakhir kami karena aku memutuskan menerima penempatan kerja di Batam dan akan berangkat ke sana.Pada awalnya karena Kenzio nggak setuju, aku bermaksud membuang peluang itu. Namun, semua berubah begitu cepat. Aku nggak ada artinya buat dia. Jadi bua
KENZIONggak ada yang membuatku segelisah ini selain mengetahui ponsel Viola tidak aktif. Nomornya nggak bisa dihubungi. Hal itu terjadi sejak kemarin malam. Senin pagi pesanku masih terkirim walau Viola nggak membalasnya. Namun saat malamnya kutelepon dia udah nggak bisa dihubungi sampai pagi ini.“Zio!”Aku menjauhkan ponsel dari telinga setelah gagal menghubungi Viola. Kulihat Om Brahma berjalan mendekatiku.“Iya, Om?”“Om mau bicara sebentar dengan kamu.”Aku mengangguk menunggu apa yang akan disampaikan mantan calon mertuaku itu.“Om baru saja bicara dengan dokter. Katanya Clara berhasil melewati masa-masa kritisnya paca operasi kemarin. Dokter sendiri merasa takjub, nggak menyangka karena ternyata Clara sekuat itu. Sekarang kita hanya menunggu sampai Clara sadar.”Raut Om Brahma terlihat lega yang membuatku juga lega. Artinya aku bisa pergi tanpa beban.“Syukurlah, Om. Semoga Clara segera bangun.”“Semoga, Zio.” Om Brahma menghela napasnya lalu menatapku lekat. “Zio, kalau bisa
KENZIO“Lo mau nyusulin dia ke Batam?” Yogi menatapku ragu saat keesokan hari aku bertemu dengannya dan kuceritakan semua yang terjadi mulai dari kepulanganku ke Bali untuk memutuskan Clara, kecelakaan itu, hingga tentang Viola yang pergi ke Batam tanpa menungguku pulang.“Gue nggak mungkin ngebiarin dia pergi gitu aja, Gi. Dia marah sama gue. Dari kemarin gue nggak tidur karena mikirin dia. Kepala gue rasanya mau meledak.”“Oke, gue setuju, masalahnya sekarang apa lo tau di sana dia tinggal di mana?”Aku menggeleng lesu. Mana kutahu kalau dia perginya saja nggak bilang ke aku dulu.“Tapi lo tau dia kerja di mana kan? Maksud gue nama perusahaannya. Tau dong ya masa enggak?”“Duh, Gi, kalo gue tau nggak bakal sepusing ini.” Aku meremas rambut frustasi.“Astaga, Zio, bener-bener lo ya. Masa pacar sendiri nggak tau kerja di mana. Pacar kayak apa sih lo? Katanya sayang, katanya cinta.”Saat itu memang aku yang mengantar Viola pergi interview. Tapi sayangnya nggak sampai ke tempat. Di teng
KENZIOIni adalah hari ketiga kami di Batam. Aku menunda beberapa urusan dengan klien yang bisa kutunda serta membatalkan yang bisa dibatalkan hanya demi mencari Viola.Aku dan Yogi mencarinya bukan hanya di kota namun juga sampai ke pinggiran. Dan hasilnya nihil."Sewa detektif aja nggak sih?" Ide konyol itu terlontar dari mulut Yogi."Lo jangan ngaco, Gi. Ini bukan film." Aku nggak setuju pada idenya itu."Nggak ada yang bilang ini film. Lagian gue besok udah nggak bisa lagi nemenin lo. Gue mesti balik ke Jakarta. Lo gimana?" Yogi memandangku lekat."Gue masih stay di sini," jawabku."Sampe kapan?"Nggak tau.""Bucin boleh aja, Kenzio, tapi bego jangan. Viola udah nggak mau sama lo. Dia udah nggak cinta lagi. Masa itu aja lo nggak ngerti?"Aku nggak menanggapi kalimat tajam Yogi. Selain nggak ingin berdebat tubuhku juga butuh istirahat.Karena aku bungkam Yogi mengira aku marah.“Sorry, gue terlalu frontal, tapi ini demi kebaikan lo juga, Zio.”“Nggak apa-apa. Lo bener, gue memang b
VIOLALelaki itu tersenyum padaku. Mungkin sudah sejak tadi dia mengamatiku asyik sendiri.Aku membalas senyumnya. “Eh, Pak. Ini lagi foto-foto.”“Pemandangannya indah ya.”Aku mengangguk setuju.Lalu sesaat kami saling diam sedangkan mata kami sama-sama menatap ke seberang sana.“Saya mengganggu ya? Lanjutin aja foto-fotonya,” kata Ben karena aku menyimpan ponsel ke dalam saku.“Udah selesai kok, Pak.” Semuanya sudah siap kuabadikan.“Tapi nggak apa-apa kan kalau saya di sini?”“Nggak apa-apa,” jawabku. Aku nggak mungkin melarangnya kan?Ben kemudian menempatkan diri duduk di sebelahku. Kami mengobrol ringan membicarakan pekerjaan. Dia juga sedikit menceritakan tentang kehidupan pribadinya tanpa sungkan seakan kami merupakan dua orang yang sudah saling mengenal sejak lama. Sikap Ben yang hangat dan saat ini nggak menempatkan dirinya sebagai atasan membuatku merasa nyaman berbicara dengannya.“Seminggu di sini berasa homesick nggak, La?” tanyanya.Aku tersenyum untuk dua hal. Pertama,
VIOLAJadi, aku bekerja di perusahaan pembiayaan yang melayani pembiayaan beragam produk. Mulai dari sepeda motor, alat-alat elektronik, furniture, hingga kebutuhan lainnya.Memasuki bulan ketiga cabang usaha di sini menampakkan geliatnya. Nggak ada lagi waktu untuk bersantai kecuali hari Minggu. Hampir setiap hari aku pulang malam. Bahkan pada hari sabtu yang jam kerjanya hanya setengah hari aku sengaja meminta lembur. Hari-hari yang kumiliki aku habiskan untuk bekerja sehingga aku nggak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang nggak perlu.Bekerja di Starnusa sangat menyenangkan. Selain karena perusahaan besar yang kuat secara modal, tim kami juga solid. Apalagi di bawah kepemimpinan Ben. Lelaki itu tahu kapan menempatkan dirinya sebagai leader, dan kapan sebagai teman. Kalau ada karyawan yang melakukan kesalahan maka Ben nggak akan mempermalukannya dengan me-roasting di depan banyak orang. Ben akan memanggil yang bersangkutan baik-baik lalu deep talk berdua. Bagiku Ben adalah soso
VIOLASeluruh persendianku bagai terlepas dari tempatnya. Sementara pikiranku bercabang tak menentu bersama wajah Kenzio yang menari-nari di depan mata.Aku baru saja bisa bernapas setelah penderitaan panjang yang nyaris tiada akhir. Namun kenapa aku kembali diuji dengan kenyataan pahit ini?Apa aku nggak boleh bahagia sedikit saja?Apa dosa yang telah kulakukan sehingga cobaan hidup ini tiada henti menimpaku?"Viola! Lo masih lama?"Ketukan di pintu kamar mandi membuyarkan segalanya. Wajah Kenzio, pelukan hangatnya di tubuhku, ciumannya di bibirku, segalanya."Viola!" Suara Widi kembali terdengar lantaran nggak kuberi jawaban."Iya bentar." Aku menyahut.Kutatap wajahku di kaca sebelum keluar dari kamar mandi, hanya untuk meyakinkan bahwa segala kekusutan ini tidak tergambar di sana. Setelahnya kubuka pintu dan memasang tampang biasa."La, lo dicariin Ben tuh."Aku mengangguk lalu masuk ke kamar untuk meletakkan testpack yang kugenggam erat-erat di tangan.Kuhela napas sedalam mungki