VIOLAAku menggeliat pelan. Pinggangku terasa pegal setelah hampir seharian duduk di depan komputer.Masa-masa morning sickness sudah lama berlalu. Saat ini aku berada di fase sakit pinggang dan punggung, apalagi kalau duduk terlalu lama."Sore, Bumil ..." Sapaan itu berasal dari pria berkemeja abu-abu yang baru saja masuk ke ruanganku. Ada segelas susu di tangannya."Sore," jawabku pada Ben yang kemudian mengisi kursi di seberang meja."Minum dulu yuk susunya." Ben meletakkan gelas berisi susu di meja lalu menggeser ke arahku.Ini adalah salah satu tindakan yang rutin Ben lakukan. Setiap sore selama kami berada di kantor Ben akan membuatkan susu hamil untukku."Thanks, Ben." Aku mengangkat gelas susu lalu meniup perlahan uap panas yang mengepul sebelum menyesapnya.Dari balik gelas aku tahu Ben sedang mengamatiku."Nanti jadi kontrol ke dokter?" tanyanya setelah aku meletakkan gelas yang isinya tinggal setengah di atas meja."Jadi dong," jawabku sambil mengusap perut."Bulan ini udah
VIOLA I’m finally here …Tempat penuh luka dan selalu membuatku untuk meneteskan air mata akhirnya harus kuinjak lagi.Belum sampai setengah tahun meninggalkannya, tapi aku merasa sudah bertahun-tahun pergi dari jakarta. Kalau saja bukan karena tuntutan pekerjaan maka kuyakin nggak akan berada di tempat ini sekarang.Tidak banyak yang berubah dari Jakarta. Tapi saat kakiku menapak setelah turun dari pesawat seolah baru saja menginjak tempat yang benar-benar baru.Dari bandara kami langsung ke head office. Saat taksi yang kutumpangi melintasi Setiabudi mendadak kenangan itu hadir lagi. Padahal aku nggak ingin mengingatnya.Dengan impulsif kepalaku menoleh ke kanan saat lewat di depan kantor Assegaf & Partners. Walaupun nggak begitu lama bekerja di sana sebagai tukang bersih-bersih, namun tempat itu sangat berarti untukku.Gimana kabar Mbak Emma sekarang? Gimana kabar Tedi? Gimana kabar Yogi? Siapa yang menggantikanku setelah aku pergi dari sana?Dan bagaimana kabar ‘orang itu’? Masihk
KENZIO Vio, sayang …Sembilan bulan berlalu, dan aku masih merindukanmu sampai saat ini. Setiap jam, setiap waktu, setiap detik. I miss you so badPesan itu berhasil kuketik lalu kukirim namun hanya centang satu yang keluar.Percaya atau tidak hampir setiap malam sebelum tidur aku mengirim pesan untuk Viola, namun sejauh ini pesanku nggak pernah terkirim.Kuhela napas dalam-dalam setelah melepaskan ponsel dari genggaman hingga tergeletak begitu saja di permukaan kasur di sebelahku.Sudah sekian lama Viola pergi meninggalkanku tapi sampai saat ini aku masih belum bisa melupakannya apalagi menghilangkan perasaan cinta padanya. Meski Yogi berkali-kali mengatakan bahwa Viola sengaja menghilangkan jejak karena sudah berhenti mencintaiku tapi aku terus berharap agar bisa bertemu dengannya. Ini baru sembilan bulan, belum sembilan tahun.Yogi juga sudah berkali-kali mengenalkanku pada wanita yang berbeda yang katanya perempuan baik-baik sama seperti Viola, tapi nggak satu pun dari mereka ya
KENZIO Malamnya Ben benar-benar datang menjemput. Dia masih mengenakan kemeja, celana formal dan pantofel hitam."Langsung dari kantor?" tanyaku melihat penampilannya."Ya beginilah budak korporat," kekehnya pelan."Budak korporat apaan? Budak korporat nggak gini," balasku."Selagi masih kerja untuk orang artinya masih bawahan, sebesar apa pun gajinya. Ya nggak?""Haha … iya ..."Percakapan kami terjeda sesaat ketika ponsel Ben berbunyi. Dia menerimanya sambil menyetir."Gue udah di luar. Lo atur aja dulu. Hubungi Widi kalau ada yang mau ditanyain." Itu sekilas yang kudengar."Dari tim. Biasalah," katanya memberitahuku setelah selesai menelepon."Tim maksudnya, bawahan?"Ben mengangguk.Aku jadi berpikir iklim kerja di sana sepertinya amat sangat santai. Buktinya tadi kudengar cara Ben bicara seperti pada teman sepermainan."Hehe ... Sama anak-anak kantor emang udah biasa begitu, nggak ada formal-formalnya," jelas Ben seakan mengerti apa yang saat ini tengah kupikirkan. "Biar kita le
KENZIO“Salah satu tim gue.” Ben menjawab tanpa memandang padaku. Perhatiannya tertuju ke arah countdown timer di depan sana.Sesolid itu Ben pada bawahannya. Dia benar-benar tipe pimpinan yang pasti sangat disenangi para karyawannya.“Gue pikir istri lo yang sakit.”“Bisa dibilang begitu.” Kalimat itu masih diucapkan tanpa memandang ke arahku.Aku mengernyit heran. Apa maksudnya ini?Aku ingin bertanya banyak tapi karena melihat Ben yang tampak panik luar biasa maka niat itu terpaksa kuurungkan. Aku menyimpulkan sendiri. Mungkin Ben dan istrinya adalah rekan sekantor. Dan istrinya itu merupakan bawahannya.Ben menekan klakson sekuat yang bisa dilakukannya setelah lampu hijau menyala lalu menekan pedal gas sedalam mungkin hingga hampir saja menabrak sepeda motor yang bergerak pelan di depan mobil.Sepanjang sisa perjalanan aku duduk tanpa suara di sebelah Ben. Melihatnya panik aku ikut tegang. Separah apa keadaan istrinya itu sehingga membuat Ben sampai sepanik ini?Setibanya di rumah
VIOLA Setelah melalui observasi dan kondisiku dinyatakan stabil, aku dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ada Ben, Widi dan Hani yang saat ini menemaniku."Dia kok nggak ada miripnya sama lo ya, La?" tanya Widi setelah sedari tadi begitu konsentrasi memandangi putri kecilku yang berada di dalam box bayi. Box itu berada tepat di sebelah tempat tidurku."Jangan-jangan dia mirip bapaknya kali ya," celetuk Hani menimpali."Bukan!" sahutku cepat. "Dia memang nggak mirip siapa-siapa. Nggak semua anak harus mirip sama orang tuanya.""Iya deh."Keduanya mungkin menyadari kalau aku nggak suka anak bapak ini disebut-sebut."Ben, temen lo tadi mana?" Widi mengalihkan topik obrolan demi menghindari suasana canggung."Udah pergi.""Temen siapa?" Aku ikut bertanya pada Ben."Temen dari Jakarta. Kebetulan dia lagi di sini. Tadi aku lagi sama dia waktu Hani menelfon. Terus aku ajak dia ke sini sekalian."Oh.""Katanya dia titip salam buat kamu, semoga sehat terus.""Amin ... makasih.""Tadi dia juga se
VIOLABen memandangku dengan tatapan sedih. Sudah sejak kemarin dia menunjukkan tanda-tanda tersebut. Ben yang biasanya ceria dan begitu energic, kali ini seakan kehilangan semangat hidupnya.Bukan hanya aku, tapi gadis kecilku yang cerdas juga bisa merasakan perubahan sikap Ben. Dia lalu berbisik padaku.“Nda, Ayah kenapa sedih?”“Coba deh Kei tanyain sendiri.” Aku membalas bisikannya.Beranjak dariku, Lakeizia menarik langkah menghampiri Ben yang saat ini sedang memeriksa lagi barang-barangku.Seperti yang Ben katakan kala itu, ternyata aku benar-benar dipromosikan. Aku dipercaya untuk memimpin cabang Starnusa di Bali yang berlokasi tepat di kota Denpasar. Bagiku itu adalah pencapaian terbesar selama aku berkarir. Dan aku nggak mungkin menyia-nyiakannya begitu saja.Sudah sejak dua hari yang lalu aku berada di Jakarta mengurus segala sesuatunya. Ben juga ikut. Dia yang membantuku. Mulai dari packing barang-barang, mengantarku ke Jakarta lalu menemaniku ke kantor pusat, dan masih ban
VIOLA"Lakeizia!" Aku memanggilnya sambil berlari keluar dari pagar.Suasana sore ini cukup sunyi. Nggak ada seorang pun di sekitarku. Orang-orang sibuk di dalam rumah masing-masing atau belum pulang dari tempat aktivitas mereka"Lakeizia! Kei, di mana, Nak?" Aku memanggilnya dengan suara lebih keras sambil memandang ke kiri dan kanan. Tapi nggak ada yang menjawab panggilanku.Aku mulai panik. Lakeizia seperti lenyap ditelan bumi."Lakeizia! Lakeizia!" Aku terus memanggilnya dengan suara keras. Isakku akan pecah. Pelupuk mataku menghangat oleh genangan air mata yang siap untuk tumpah. Aku nggak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi pada putriku. Dia satu-satunya yang kumiliki. Aku lebih baik kehilangan segalanya asal bukan dia."Kei di mana, Sayang?!" Aku terus memanggilnya sambil terus berjalan.Sampai di ujung jalan langkahku terhenti karena sudah buntu.Aku memutar arah kembali ke arah rumah. Mungkin Lakeizia main keluar dari komplek ini. Mungkin sekuriti di dekat gapur
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa