KENZIONggak ada yang membuatku segelisah ini selain mengetahui ponsel Viola tidak aktif. Nomornya nggak bisa dihubungi. Hal itu terjadi sejak kemarin malam. Senin pagi pesanku masih terkirim walau Viola nggak membalasnya. Namun saat malamnya kutelepon dia udah nggak bisa dihubungi sampai pagi ini.“Zio!”Aku menjauhkan ponsel dari telinga setelah gagal menghubungi Viola. Kulihat Om Brahma berjalan mendekatiku.“Iya, Om?”“Om mau bicara sebentar dengan kamu.”Aku mengangguk menunggu apa yang akan disampaikan mantan calon mertuaku itu.“Om baru saja bicara dengan dokter. Katanya Clara berhasil melewati masa-masa kritisnya paca operasi kemarin. Dokter sendiri merasa takjub, nggak menyangka karena ternyata Clara sekuat itu. Sekarang kita hanya menunggu sampai Clara sadar.”Raut Om Brahma terlihat lega yang membuatku juga lega. Artinya aku bisa pergi tanpa beban.“Syukurlah, Om. Semoga Clara segera bangun.”“Semoga, Zio.” Om Brahma menghela napasnya lalu menatapku lekat. “Zio, kalau bisa
KENZIO“Lo mau nyusulin dia ke Batam?” Yogi menatapku ragu saat keesokan hari aku bertemu dengannya dan kuceritakan semua yang terjadi mulai dari kepulanganku ke Bali untuk memutuskan Clara, kecelakaan itu, hingga tentang Viola yang pergi ke Batam tanpa menungguku pulang.“Gue nggak mungkin ngebiarin dia pergi gitu aja, Gi. Dia marah sama gue. Dari kemarin gue nggak tidur karena mikirin dia. Kepala gue rasanya mau meledak.”“Oke, gue setuju, masalahnya sekarang apa lo tau di sana dia tinggal di mana?”Aku menggeleng lesu. Mana kutahu kalau dia perginya saja nggak bilang ke aku dulu.“Tapi lo tau dia kerja di mana kan? Maksud gue nama perusahaannya. Tau dong ya masa enggak?”“Duh, Gi, kalo gue tau nggak bakal sepusing ini.” Aku meremas rambut frustasi.“Astaga, Zio, bener-bener lo ya. Masa pacar sendiri nggak tau kerja di mana. Pacar kayak apa sih lo? Katanya sayang, katanya cinta.”Saat itu memang aku yang mengantar Viola pergi interview. Tapi sayangnya nggak sampai ke tempat. Di teng
KENZIOIni adalah hari ketiga kami di Batam. Aku menunda beberapa urusan dengan klien yang bisa kutunda serta membatalkan yang bisa dibatalkan hanya demi mencari Viola.Aku dan Yogi mencarinya bukan hanya di kota namun juga sampai ke pinggiran. Dan hasilnya nihil."Sewa detektif aja nggak sih?" Ide konyol itu terlontar dari mulut Yogi."Lo jangan ngaco, Gi. Ini bukan film." Aku nggak setuju pada idenya itu."Nggak ada yang bilang ini film. Lagian gue besok udah nggak bisa lagi nemenin lo. Gue mesti balik ke Jakarta. Lo gimana?" Yogi memandangku lekat."Gue masih stay di sini," jawabku."Sampe kapan?"Nggak tau.""Bucin boleh aja, Kenzio, tapi bego jangan. Viola udah nggak mau sama lo. Dia udah nggak cinta lagi. Masa itu aja lo nggak ngerti?"Aku nggak menanggapi kalimat tajam Yogi. Selain nggak ingin berdebat tubuhku juga butuh istirahat.Karena aku bungkam Yogi mengira aku marah.“Sorry, gue terlalu frontal, tapi ini demi kebaikan lo juga, Zio.”“Nggak apa-apa. Lo bener, gue memang b
VIOLALelaki itu tersenyum padaku. Mungkin sudah sejak tadi dia mengamatiku asyik sendiri.Aku membalas senyumnya. “Eh, Pak. Ini lagi foto-foto.”“Pemandangannya indah ya.”Aku mengangguk setuju.Lalu sesaat kami saling diam sedangkan mata kami sama-sama menatap ke seberang sana.“Saya mengganggu ya? Lanjutin aja foto-fotonya,” kata Ben karena aku menyimpan ponsel ke dalam saku.“Udah selesai kok, Pak.” Semuanya sudah siap kuabadikan.“Tapi nggak apa-apa kan kalau saya di sini?”“Nggak apa-apa,” jawabku. Aku nggak mungkin melarangnya kan?Ben kemudian menempatkan diri duduk di sebelahku. Kami mengobrol ringan membicarakan pekerjaan. Dia juga sedikit menceritakan tentang kehidupan pribadinya tanpa sungkan seakan kami merupakan dua orang yang sudah saling mengenal sejak lama. Sikap Ben yang hangat dan saat ini nggak menempatkan dirinya sebagai atasan membuatku merasa nyaman berbicara dengannya.“Seminggu di sini berasa homesick nggak, La?” tanyanya.Aku tersenyum untuk dua hal. Pertama,
VIOLAJadi, aku bekerja di perusahaan pembiayaan yang melayani pembiayaan beragam produk. Mulai dari sepeda motor, alat-alat elektronik, furniture, hingga kebutuhan lainnya.Memasuki bulan ketiga cabang usaha di sini menampakkan geliatnya. Nggak ada lagi waktu untuk bersantai kecuali hari Minggu. Hampir setiap hari aku pulang malam. Bahkan pada hari sabtu yang jam kerjanya hanya setengah hari aku sengaja meminta lembur. Hari-hari yang kumiliki aku habiskan untuk bekerja sehingga aku nggak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang nggak perlu.Bekerja di Starnusa sangat menyenangkan. Selain karena perusahaan besar yang kuat secara modal, tim kami juga solid. Apalagi di bawah kepemimpinan Ben. Lelaki itu tahu kapan menempatkan dirinya sebagai leader, dan kapan sebagai teman. Kalau ada karyawan yang melakukan kesalahan maka Ben nggak akan mempermalukannya dengan me-roasting di depan banyak orang. Ben akan memanggil yang bersangkutan baik-baik lalu deep talk berdua. Bagiku Ben adalah soso
VIOLASeluruh persendianku bagai terlepas dari tempatnya. Sementara pikiranku bercabang tak menentu bersama wajah Kenzio yang menari-nari di depan mata.Aku baru saja bisa bernapas setelah penderitaan panjang yang nyaris tiada akhir. Namun kenapa aku kembali diuji dengan kenyataan pahit ini?Apa aku nggak boleh bahagia sedikit saja?Apa dosa yang telah kulakukan sehingga cobaan hidup ini tiada henti menimpaku?"Viola! Lo masih lama?"Ketukan di pintu kamar mandi membuyarkan segalanya. Wajah Kenzio, pelukan hangatnya di tubuhku, ciumannya di bibirku, segalanya."Viola!" Suara Widi kembali terdengar lantaran nggak kuberi jawaban."Iya bentar." Aku menyahut.Kutatap wajahku di kaca sebelum keluar dari kamar mandi, hanya untuk meyakinkan bahwa segala kekusutan ini tidak tergambar di sana. Setelahnya kubuka pintu dan memasang tampang biasa."La, lo dicariin Ben tuh."Aku mengangguk lalu masuk ke kamar untuk meletakkan testpack yang kugenggam erat-erat di tangan.Kuhela napas sedalam mungki
VIOLAAku menggeliat pelan. Pinggangku terasa pegal setelah hampir seharian duduk di depan komputer.Masa-masa morning sickness sudah lama berlalu. Saat ini aku berada di fase sakit pinggang dan punggung, apalagi kalau duduk terlalu lama."Sore, Bumil ..." Sapaan itu berasal dari pria berkemeja abu-abu yang baru saja masuk ke ruanganku. Ada segelas susu di tangannya."Sore," jawabku pada Ben yang kemudian mengisi kursi di seberang meja."Minum dulu yuk susunya." Ben meletakkan gelas berisi susu di meja lalu menggeser ke arahku.Ini adalah salah satu tindakan yang rutin Ben lakukan. Setiap sore selama kami berada di kantor Ben akan membuatkan susu hamil untukku."Thanks, Ben." Aku mengangkat gelas susu lalu meniup perlahan uap panas yang mengepul sebelum menyesapnya.Dari balik gelas aku tahu Ben sedang mengamatiku."Nanti jadi kontrol ke dokter?" tanyanya setelah aku meletakkan gelas yang isinya tinggal setengah di atas meja."Jadi dong," jawabku sambil mengusap perut."Bulan ini udah
VIOLA I’m finally here …Tempat penuh luka dan selalu membuatku untuk meneteskan air mata akhirnya harus kuinjak lagi.Belum sampai setengah tahun meninggalkannya, tapi aku merasa sudah bertahun-tahun pergi dari jakarta. Kalau saja bukan karena tuntutan pekerjaan maka kuyakin nggak akan berada di tempat ini sekarang.Tidak banyak yang berubah dari Jakarta. Tapi saat kakiku menapak setelah turun dari pesawat seolah baru saja menginjak tempat yang benar-benar baru.Dari bandara kami langsung ke head office. Saat taksi yang kutumpangi melintasi Setiabudi mendadak kenangan itu hadir lagi. Padahal aku nggak ingin mengingatnya.Dengan impulsif kepalaku menoleh ke kanan saat lewat di depan kantor Assegaf & Partners. Walaupun nggak begitu lama bekerja di sana sebagai tukang bersih-bersih, namun tempat itu sangat berarti untukku.Gimana kabar Mbak Emma sekarang? Gimana kabar Tedi? Gimana kabar Yogi? Siapa yang menggantikanku setelah aku pergi dari sana?Dan bagaimana kabar ‘orang itu’? Masihk
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa