"Anda butuh uang berapa?" Tiba-tiba suara lain terdengar di antara kami.
Refleks aku memandang ke arah pintu. Pun dengan Om Hendra. Perasaan lega melingkupiku seperti menemukan oase di padang pasir saat melihat Kenzio datang.
Om Hendra memutar tubuh lalu memandang tidak suka pada Kenzio. "Lo siapa ikut campur urusan gue?"
Kenzio bergerak merengkuh tanganku lalu memosisikanku di belakang punggungnya.
"Saya calon suaminya Viola. Apa informasi itu sudah cukup buat anda?"
"Oh, jadi lo laki-laki yang make wanita murahan ini?" Om Hendra menyeringai merendahkanku. “Asal lo tau, dia udah bekas gue. Udah puas gue makenya."
Ingin rasanya aku pukul mulut kurang ajar keparat itu.
"Oh ya?" Kenzio balas tertawa. "Mulai sekarang jangan pernah ganggu Viola lagi. Atau saya nggak akan segan-segan memperkarakan anda. Saya nggak pernah main-main dengan ucapan saya."
Tangan Om Hendra sudah terangkat untuk menghajar Kenzio. Namun niatnya itu gagal terlaksana saat dua orang petugas bagian keamanan datang.
"Pak, tolong tangani orang ini. Dia nggak hanya merusak fasilitas umum tapi juga mau memeras calon istri saya," lapor Kenzio.
Dengan sigap petugas keamanan menarik tangan Om Hendra lalu membawa bersama mereka.
“Awas lo nanti!” Om Hendra mengancam sambil melayangkan tatapan tajamnya pada Kenzio.
Sepeninggal mereka tangisku kembali pecah. Sisa-sisa ketakutan tadi tumpah melalui air mata.Kenzio merengkuhku lalu membawa ke pelukannya dan berkata lembut di atas puncak kepalaku yang hanya sebatas dagunya, “Jangan takut, Viola, sekarang kamu aman. Ada aku. Siapa pun nggak akan bisa menyakiti kamu. Aku akan selalu melindungi kamu apa pun keadaannya, aku janji …”
Di dalam pelukan Kenzio tubuhku membeku. Isakku terhenti begitu saja. Ucapan sederhana itu bagai obat penenang yang meredakan segala penyakitku.
Aku memberanikan diri membalas pelukannya dengan melingkarkan tangan ke tubuh Kenzio. Kupejamkan mata meresapi keberadaannya. Segala ketakutan dan perasaan tidak aman itu sirna. Yang ada hanya perasaan nyaman dan terlindungi. Aku percaya pada janjinya. Dia akan selalu bersamaku apa pun keadaannya. Kenzio tidak akan pernah mengingkari janjinya.
***
Insiden di mall itu membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku semakin mencintai Kenzio. Belum pernah ada lelaki yang menimbulkan letupan di dadaku seperti saat aku bersama Kenzio. Apalagi saat dia memelukku tadi. Dan hal itu tidak akan baik buatku.
Aku harus sesegera mungkin mendapatkan pekerjaan lalu pergi dari apartemen ini lalu menghilang selamanya dari kehidupan Kenzio. Aku nggak boleh memelihara perasaanku padanya karena hal itu sama artinya dengan menyakiti diri sendiri.
Kenzio saat ini duduk di sebelahku. Setelah kejadian tadi dia mengajakku pulang. Sampai saat ini dia masih betah berada di sisiku.
Aku menceritakan padanya kronologi bagaimana bisa bertemu dengan Om Hendra. Dengan cepat Kenzio menganalisa bahwa lelaki itu bekerjasama dengan Rita.
"Aku takut kalau setelah ini Om Hendra bakal lebih ganas. Dia pasti dendam." Aku bergidik membayangkan hal buruk apa yang bisa dilakukan lelaki itu.
"Udah kubilang kan, selagi ada aku kamu aman. Dia atau mereka nggak akan berani mengganggu." Kenzio meyakinkanku. "Mulai sekarang ganti SIM card kamu, nanti aku beliin yang baru."
"Tapi gimana kalau misalnya ada lowker yang nyangkut dan mereka nggak bisa menghubungiku?" kataku keberatan.
"Anggap aja nggak rezeki," jawab Kenzio ringan.
Dari ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya aku jadi bertanya-tanya apa dia tidak pernah mengkhawatirkan apa pun dalam hidupnya?
"Itu kalau kamu nggak keberatan. Aku juga nggak berhak untuk memaksa kamu. Satu-satunya cara agar kamu bisa bebas dari lingkungan toxic itu kamu harus putuskan rantainya, Vio. Jangan tanggung-tanggung."
Aku menggigit bibir menyadari kebenaran perkataan Kenzio. Namun ada kecemasan-kecemasan yang mengganggu pikiranku.
"Aku masih punya utang pada mereka. Aku nggak mau dianggap kabur dan nggak bertanggung jawab. Mereka pasti akan mencariku."
"Berapa utang kamu?"
"Banyak," jawabku malu. Entah apa penilaian Kenzio padaku. Mungkin dia akan melabeliku Viola si tukang utang.
"Sebutin."
Aku menyebutkan satu per satu nama teman-teman tempatku berutang serta jumlah utangku pada mereka.
"Sekarang kamu telfon mereka dan minta nomer rekeningnya." Kenzio menyuruhku.
"Buat apa?"
"Kita bayar utang kamu. Lalu setelahnya Jangan berhubungan dengan mereka lagi. Selamanya."
"Tapi aku nggak punya—"
"Pake uangku, Vio. Aku yang bakal bayar semuanya. Ayo, jangan buang-buang waktu."
"Makasih, Zio. Aku pasti akan bayar utangku ke kamu nanti kalau aku udah kerja.“
Kenzio menjawab dengan senyum tipis.
Aku nggak tahu apa arti senyumnya itu. Mungkin dia benar-benar percaya padaku atau hanya sekadar mengiakan karena nyatanya sampai saat ini hidupku masih nggak jelas.
Aku mulai menghubungi satu demi satu teman-temanku dimulai dari Rita, si pengkhianat.
Dia tidak menjawab panggilan dariku. Aku tahu dia sengaja. Dia ingin menghindariku karena dia tahu aku akan menuntut atas perbuatannya yang kejam.
"Nggak dijawab." Aku menunjukkan ponsel pada Kenzio.
"Chat aja. Minta norek dia.” Kenzio mengarahkanku.
Aku melaksanakan instruksinya lalu mengirimi Rita pesan.
"Ta, gue nggak nyangka lo setega itu. Padahal gue percaya banget sama lo. Lo tau nggak? Semalem gue mau diperkosa. Diperkosa, Ta!!! Dan lo malah ngumpanin gue ke bajingan itu. Gue kecewa sama lo, Ta. Gue nggak nyangka kalo lo bakal begini. Salah gue apa sih? Gara-gara utang yang belum dibayar? Gue bakal bayar sekarang. Kirim nomer rekening lo, gue bakal lunasin semua sekarang nggak pake nyicil."
Emosiku tumpah ruah bersama ketikan kata demi kata yang kukirim untuk Rita. Dan rasanya puas karena sesak di dadaku tersalurkan.
Lima menit kemudian Rita membalasnya.
"Sorry banget, Vio, gue minta maaf. Gue juga nggak sengaja ngelakuinnya. Gue diancem bokap lo. Sorry, ini memang salah gue. Sekarang lo di mana? Lo baik-baik aja kan?"
Masih berani dia mengharapkan keadaanku baik-baik saja setelah apa yang dia lakukan padaku.
"Lo nggak usah mikirin gue. Sekarang send norek lo."
"Lo udah punya duit memangnya? Lo dapet duit dari mana? Lo nggak ngelacur kan? Please, Vio, lo jangan pake jalan pintas. Ingat Tuhan. Semua manusia pernah mengalami ujian nggak cuma lo."
"Kalo gue ngelacur juga bukan urusan lo. Gue yang bakal nanggung dosanya. KIRIM NOMER REKENING LO SEKARANG!"
Rita membuatku jengkel dengan nasihat sok bijaknya. Dia bilang aku nggak boleh menjual diri, tapi dia lupa berpikir kalau sampai Om Hendra menangkapku nasibku bisa lebih buruk.
Aku menerima nomor rekening Rita sesaat kemudian. Lalu Kenzio mentransfer uang sebagai pembayar utangku padanya. Bukan hanya Rita, namun juga teman-temanku yang lain. Setelah dihitung-hitung jumlah seluruh utangku delapan juta tujuh ratus ribuan pada mereka. Aku berutang bukan dalam nominal yang banyak pada satu orang. Hanya beratus-ratus ribu, namun tempatnya banyak sehingga tanpa disangka sudah menumpuk menjadi jutaan.
"Done," ucap Kenzio setelah mentransfer utang terakhir lalu menunjukkan tanda berhasil transfer di ponselnya padaku.
"Makasih, Zio," ucapku pelan. Perasaan lega sekaligus malu hadir di saat yang sama.
"Sekarang ganti nomer hp kamu. Jangan dipake lagi. Nggak ada yang tahu kan kalau kamu tinggal di sini?"
"Nggak ada," jawabku lalu memberikan ponsel pada Kenzio.
Dia membuka ponsel itu lalu mengambil SIM card dari sana.
"Demi kebaikan kamu biar aku yang simpan SIM card ini ya. Nanti aku ganti sama yang baru."
Aku mengangguk setuju. Lalu Kenzio memasukkan SIM card tersebut ke dalam dompetnya.
Aku baru ingat belum memberikan uang lima juta yang kuambil di ATM tadi padanya.
Kurogoh saku lalu mengeluarkan lipatan uang dari sana serta kartu debit dari saku yang lain.
"Zio, ini uangnya dan ini debit card kamu." Hampir saja kejadian. Kalau Om Hendra berhasil menangkapku bukan tidak mungkin dia juga akan memaksaku untuk memberitahu pinnya agar bisa menguras uang Kenzio.
Kenzio mengambil kartu debit namun mengembalikan uang padaku.
"Ini kamu pegang dulu. Buat ngelamar kerja butuh biaya kan?"
"Tapi ini terlalu banyak, Zio." Aku merasa sungkan menerima uang darinya. Utangku sudah menumpuk pada Kenzio. Delapan juta tujuh ratus ditambah lima juta dan itu belum termasuk kebaikannya yang lain.
"Memangnya kamu sudah tahu kapan waktunya diterima kerja? Maksudku, apa kamu bisa menjamin sebelum uang ini habis kamu sudah punya pekerjaan?"
Aku menggelengkan kepala. Mana aku tahu. Masa depanku dipenuhi oleh ketidakpastian.
"Makanya kamu pegang uang ini. Gunakan untuk kebutuhan kamu."
Darahku berdesir hebat saat kulitku dan Kenzio bersentuhan begitu dia menyerahkan langsung lipatan uang kertas tersebut ke telapak tanganku. Sekali lagi, ini nggak akan baik untuk kesehatan hatiku. Aku harus segera mendapat pekerjaan lalu pindah dari apartemennya.
***
Sudah satu minggu lamanya aku tinggal satu atap dengan Kenzio. Seperti yang dikatakannya dulu dia sibuk kerja dan jarang berada di apartemen. Dia baru pulang ketika aku akan beranjak tidur malam. Karena dia terlihat lelah aku juga sungkan mengganggunya. Kami hanya ngobrol seadanya.Pagi saat aku bangun dia juga sudah siap dengan pakaian ala eksekutif muda. Kenzio memiliki banyak kemeja kerja, namun hanya ada dua warna yang kuhafal, putih dan biru langit, karena dua itulah yang sering dia pakai. Dia memiliki puluhan kemeja dari merek yang berbeda hanya untuk warna yang sama. Sehingga bagi orang yang tidak betul-betul mengenalnya akan menganggap Kenzio hanya memakai baju itu-itu saja.Satu hal lagi yang kutandai dari Kenzio adalah dia sering nonton televisi tengah malam di ruang tengah padahal ada televisi di kamarnya. Aku nggak tahu apa penyebabnya. Tidak mungkin TV di kamarnya itu rusak karena tanpa sengaja aku pernah melihanya menyala.Aku tahu kebiasaan Kenzio karena pernah satu mal
VIOLASangat lama Kenzio berada di kamarnya sampai aku berpikir untuk kembali ke kamarku. Mungkin setelah menerima telepon dari seseorang yang entah siapa Kenzio langsung tidur.Baru saja aku berdiri dari tempat duduk, suara Kenzio menghentikanku."Sorry agak lama," ucapnya lalu menempatkan diri di sofa seperti tadi.Aku mengurungkan niat untuk masuk ke kamar."Udah dipikirin atau kamu butuh waktu buat mikirinnya dulu?" Kenzio menanyakan keputusanku.Saat ini aku butuh uang, bukan posisi atau jabatan. Jadi aku pikir apa salahnya menurunkan standar yang telah kutetapkan. Aku rasa nggak ada salahnya menerima tawaran dari Kenzio. Aku bisa bekerja sebagai office girl di kantor Kenzio sambil tetap mencari pekerjaan yang sesuai denganku."Zio, aku udah pikirin barusan dan aku putusin buat kerja di kantor kamu."Jawabanku membuat Kenzio menyunggingkan senyum."Yakin? Ini office girl lho," ujarnya mengujiku."Yakin," jawabku tanpa keraguan."Kamu nggak bakal malu memangnya?"Malu? Bahkan aku
KENZIOAku keluar dari ruangan Armand setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Sengaja tidak langsung kembali ke ruanganku namun mencari keberadaan Viola.Aku menemukannya di toilet.Dia tidak menyadari kehadiranku karena terlalu fokus dengan kegiatannya mengepel lantai.Cukup lama aku berdiri di dekat pintu sampai dia menyadari kehadiranku. Dia terlihat kaget."Eh, Zio, mau pake toilet?" tanyanya.Aku memberi gelengan kepala."Terus?""Cuma mau ngeliat kamu. Gimana? Udah mulai terbiasa?""Udah dong. Cuma ngepel gini." Dia tertawa."Nanti kalau udah selesai ke ruanganku ya, aku butuh bantuan kamu buat fotocopy sekalian ada yang harus dirapiin.""Siaaap!" Viola menjawab cepat lalu aku pergi meninggalkannya.Di sela-sela langkahku kembali ke ruangan, ponselku berbunyi. Dari Dena, salah satu klien. Aku menangani kasus perceraiannya. Entah kenapa semakin ke sini semakin banyak orang-orang bercerai dengan berbagai sebab. Mulai dari perselingkuhan, ketidakcocokan yang baru disadari di
KENZIOAku meminta izin pada Dena untuk menerima telepon. Dia menjawab dengan anggukan singkat.Masuk ke kamar, aku menerima panggilan tersebut. Seketika suara Clara mengisi ruang dengarku."Zio, Dena udah di sana?""Udah, tadi dia nelfon aku dan bilang lagi di lobi apartemen. Jadinya aku pulang.""Hufftt ... syukurlah. Buat sementara biar dia tinggal di apartemen kamu dulu ya. Kasihan banget nggak punya tempat tinggal.""Itu nggak mungkin, Cla." Jelas saja aku menolak permintaan Clara."Why? Kamar kamu kan ada dua.""Ini bukan masalah kamar, Cla.""Jadi apa masalahnya?" Clara mendesak agar aku mengatakan alasan di balik penolakanku."Aku nggak mungkin nerima Dena tinggal di sini, nggak enak sama orang apalagi dia masih berstatus istri orang dan sedang dalam masalah," jawabku mengungkapkan ganjalan yang menjadi uneg-unegku."Astaga, Zio, kamu tuh ya mikirnya kejauhan. Dena kan sepupuku yang artinya nanti bakal jadi saudara kamu juga. Masa kamu nggak kasihan sih. Dia tuh masalahnya uda
KENZIODari apartemen aku kembali ke kantor setelah urusan dengan Dena selesai. Setibanya di sana Viola adalah orang pertama yang ingin kulihat. Dia sedang menyikat toilet begitu aku mencarinya.Entah mengapa melihatnya berurusan dengan WC membuatku jadi nggak tega. Tempatnya bukan sini. Bukan perkara wajahnya cantik. Sama sekali bukan itu. Tapi tempat ini nggak cocok untuknya.Aku berdeham memberi tahu kedatanganku. Seketika dia menoleh."Eh, Zio. Tadi aku udah ke ruangan kamu karena katanya ada yang mau diberesin tapi kamu-nya nggak ada.""Tadi aku ke luar. Perasaan dari tadi kamu di sini mulu." Tadi sebelum aku pergi dia sedang mengepel. Sekarang menyikat WC."Kan job desc aku memang begini," jawabnya santai. “Bentar ya, ini tinggal dikit lagi. Nanti aku ke ruangan kamu.""Aku tunggu," ucapku lalu kembali ke ruangan.Aku belum menemukan alasan yang tepat untuk menyuruh Viola mengungsi sementara dari apartemenku. Tadi sebelum kembali ke kantor aku bicara serius dengan Dena. Aku meng
VIOLASecara resmi jam kerjaku berakhir pada pukul lima sore. Tapi Mbak Emma—office girl senior di sini bilang kami harus menunggu sedikit lagi. Siapa tahu para advokat di sini butuh sesuatu semisal minta dibeliin jajanan.Berhubung kantor Assegaf & Partners berlokasi di seberang mall, biasanya pada jam-jam segini para advokat itu sering meminta office girl atau office boy untuk membelikan makanan di sana. Mereka juga akan memberi tip atas jasa itu. Lumayan buat nambah-nambah, itu yang Mbak Emma katakan tadi.Maka sampai saat ini aku masih menunggu. Kali ada yang butuh jasaku. Tapi sampai empat puluh lima menit berlalu dari pukul lima, aku masih menganggur. Tidak ada yang memanggilku.“Lo ngapain masih ngetem di sini? Nggak pulang?” Mbak Emma menegurku saat melihatku bengong sendiri.“Udah boleh pulang ya, Mbak?”“Udah kalo kerjaan udah kelar. Toilet udah kering?”Aku mengangguk.“Sampah udah dibuang?”Sekali lagi aku menjawab dengan anggukan kepala.“Hand wash udah di-refill?”“Udah
KENZIOAku terburu-buru turun dari mobil lalu bergegas masuk ke dalam kantor.Suasana kantor sudah sepi saat aku berjalan di koridor. Tadi siang saat bicara dengan Viola aku nggak sempat menyelesaikan pembicaraan kami karena keburu ada klien. Viola menyanggupi untuk mengungsi sementara. Masalahnya adalah dia nggak punya tempat untuk berteduh. Tadi aku berencana untuk mengantarnya ke hotel. Tapi sebelum dia tahu obrolan kami terputus.Aku berhenti ketika kakiku berujung di toilet. Masuk ke dalamnya, aku nggak menemukan Viola. Begitu pun saat mencari ke toilet pria. Hanya ada ruang kosong yang sudah bersih dan wangi.Ruang kecil berukuran 3x3 yang merupakan tempat istirahat para pekerja kebersihan juga tertutup rapat. Mereka pasti sudah pada pulang.Sambil melangkah meninggalkan toilet kuhubungi Viola. Namun ternyata ponselnya mati. Aku langsung disambut oleh suara operator. Viola nggak bisa dihubungi.Astaga, ke mana dia? Kenapa mendadak hpnya mati? Apa dia marah padaku? Apa dia tersin
VIOLAAku duduk berdiam diri di sebelah Kenzio, sementara dia menyetir dengan fokus. Aku jadi nggak enak lagi kalau begini. Menilik dari wajah lelahnya, aku yakin Kenzio belum sempat beristirahat, tapi aku lagi-lagi membuatnya repot.“Kamu tahu dari mana aku ada di tempat tadi?” tanyaku membuka obrolan setelah hening yang cukup lama.Kenzio memandang padaku lalu menjawab, "Nggak penting aku tahu dari mana. Yang paling penting sekarang adalah kamu menjawab pertanyaanku. Gimana bisa kamu berpikir bermalam di tempat kayak gitu?""Tempat kayak gitu gimana?” aku balik bertanya."Tempat itu nggak pantas untuk kamu. Kamu nggak layak ada di sana.""Jadi di mana tempat yang layak untukku?"Kenzio menatap padaku sekali lagi. Tangannya lalu terulur membelai kepalaku. Sikapnya itu terang saja membuatku kaget. Seketika darahku berdesir hebat seperti ada aliran listrik yang mengalirinya. Kenzio nggak akan mengerti betapa physical touch yang terjadi di antara kami berdua sangat berarti bagiku. Dia n