KENZIOAku keluar dari ruangan Armand setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Sengaja tidak langsung kembali ke ruanganku namun mencari keberadaan Viola.Aku menemukannya di toilet.Dia tidak menyadari kehadiranku karena terlalu fokus dengan kegiatannya mengepel lantai.Cukup lama aku berdiri di dekat pintu sampai dia menyadari kehadiranku. Dia terlihat kaget."Eh, Zio, mau pake toilet?" tanyanya.Aku memberi gelengan kepala."Terus?""Cuma mau ngeliat kamu. Gimana? Udah mulai terbiasa?""Udah dong. Cuma ngepel gini." Dia tertawa."Nanti kalau udah selesai ke ruanganku ya, aku butuh bantuan kamu buat fotocopy sekalian ada yang harus dirapiin.""Siaaap!" Viola menjawab cepat lalu aku pergi meninggalkannya.Di sela-sela langkahku kembali ke ruangan, ponselku berbunyi. Dari Dena, salah satu klien. Aku menangani kasus perceraiannya. Entah kenapa semakin ke sini semakin banyak orang-orang bercerai dengan berbagai sebab. Mulai dari perselingkuhan, ketidakcocokan yang baru disadari di
KENZIOAku meminta izin pada Dena untuk menerima telepon. Dia menjawab dengan anggukan singkat.Masuk ke kamar, aku menerima panggilan tersebut. Seketika suara Clara mengisi ruang dengarku."Zio, Dena udah di sana?""Udah, tadi dia nelfon aku dan bilang lagi di lobi apartemen. Jadinya aku pulang.""Hufftt ... syukurlah. Buat sementara biar dia tinggal di apartemen kamu dulu ya. Kasihan banget nggak punya tempat tinggal.""Itu nggak mungkin, Cla." Jelas saja aku menolak permintaan Clara."Why? Kamar kamu kan ada dua.""Ini bukan masalah kamar, Cla.""Jadi apa masalahnya?" Clara mendesak agar aku mengatakan alasan di balik penolakanku."Aku nggak mungkin nerima Dena tinggal di sini, nggak enak sama orang apalagi dia masih berstatus istri orang dan sedang dalam masalah," jawabku mengungkapkan ganjalan yang menjadi uneg-unegku."Astaga, Zio, kamu tuh ya mikirnya kejauhan. Dena kan sepupuku yang artinya nanti bakal jadi saudara kamu juga. Masa kamu nggak kasihan sih. Dia tuh masalahnya uda
KENZIODari apartemen aku kembali ke kantor setelah urusan dengan Dena selesai. Setibanya di sana Viola adalah orang pertama yang ingin kulihat. Dia sedang menyikat toilet begitu aku mencarinya.Entah mengapa melihatnya berurusan dengan WC membuatku jadi nggak tega. Tempatnya bukan sini. Bukan perkara wajahnya cantik. Sama sekali bukan itu. Tapi tempat ini nggak cocok untuknya.Aku berdeham memberi tahu kedatanganku. Seketika dia menoleh."Eh, Zio. Tadi aku udah ke ruangan kamu karena katanya ada yang mau diberesin tapi kamu-nya nggak ada.""Tadi aku ke luar. Perasaan dari tadi kamu di sini mulu." Tadi sebelum aku pergi dia sedang mengepel. Sekarang menyikat WC."Kan job desc aku memang begini," jawabnya santai. “Bentar ya, ini tinggal dikit lagi. Nanti aku ke ruangan kamu.""Aku tunggu," ucapku lalu kembali ke ruangan.Aku belum menemukan alasan yang tepat untuk menyuruh Viola mengungsi sementara dari apartemenku. Tadi sebelum kembali ke kantor aku bicara serius dengan Dena. Aku meng
VIOLASecara resmi jam kerjaku berakhir pada pukul lima sore. Tapi Mbak Emma—office girl senior di sini bilang kami harus menunggu sedikit lagi. Siapa tahu para advokat di sini butuh sesuatu semisal minta dibeliin jajanan.Berhubung kantor Assegaf & Partners berlokasi di seberang mall, biasanya pada jam-jam segini para advokat itu sering meminta office girl atau office boy untuk membelikan makanan di sana. Mereka juga akan memberi tip atas jasa itu. Lumayan buat nambah-nambah, itu yang Mbak Emma katakan tadi.Maka sampai saat ini aku masih menunggu. Kali ada yang butuh jasaku. Tapi sampai empat puluh lima menit berlalu dari pukul lima, aku masih menganggur. Tidak ada yang memanggilku.“Lo ngapain masih ngetem di sini? Nggak pulang?” Mbak Emma menegurku saat melihatku bengong sendiri.“Udah boleh pulang ya, Mbak?”“Udah kalo kerjaan udah kelar. Toilet udah kering?”Aku mengangguk.“Sampah udah dibuang?”Sekali lagi aku menjawab dengan anggukan kepala.“Hand wash udah di-refill?”“Udah
KENZIOAku terburu-buru turun dari mobil lalu bergegas masuk ke dalam kantor.Suasana kantor sudah sepi saat aku berjalan di koridor. Tadi siang saat bicara dengan Viola aku nggak sempat menyelesaikan pembicaraan kami karena keburu ada klien. Viola menyanggupi untuk mengungsi sementara. Masalahnya adalah dia nggak punya tempat untuk berteduh. Tadi aku berencana untuk mengantarnya ke hotel. Tapi sebelum dia tahu obrolan kami terputus.Aku berhenti ketika kakiku berujung di toilet. Masuk ke dalamnya, aku nggak menemukan Viola. Begitu pun saat mencari ke toilet pria. Hanya ada ruang kosong yang sudah bersih dan wangi.Ruang kecil berukuran 3x3 yang merupakan tempat istirahat para pekerja kebersihan juga tertutup rapat. Mereka pasti sudah pada pulang.Sambil melangkah meninggalkan toilet kuhubungi Viola. Namun ternyata ponselnya mati. Aku langsung disambut oleh suara operator. Viola nggak bisa dihubungi.Astaga, ke mana dia? Kenapa mendadak hpnya mati? Apa dia marah padaku? Apa dia tersin
VIOLAAku duduk berdiam diri di sebelah Kenzio, sementara dia menyetir dengan fokus. Aku jadi nggak enak lagi kalau begini. Menilik dari wajah lelahnya, aku yakin Kenzio belum sempat beristirahat, tapi aku lagi-lagi membuatnya repot.“Kamu tahu dari mana aku ada di tempat tadi?” tanyaku membuka obrolan setelah hening yang cukup lama.Kenzio memandang padaku lalu menjawab, "Nggak penting aku tahu dari mana. Yang paling penting sekarang adalah kamu menjawab pertanyaanku. Gimana bisa kamu berpikir bermalam di tempat kayak gitu?""Tempat kayak gitu gimana?” aku balik bertanya."Tempat itu nggak pantas untuk kamu. Kamu nggak layak ada di sana.""Jadi di mana tempat yang layak untukku?"Kenzio menatap padaku sekali lagi. Tangannya lalu terulur membelai kepalaku. Sikapnya itu terang saja membuatku kaget. Seketika darahku berdesir hebat seperti ada aliran listrik yang mengalirinya. Kenzio nggak akan mengerti betapa physical touch yang terjadi di antara kami berdua sangat berarti bagiku. Dia n
VIOLAPagi ini Aku dikejutkan oleh kedatangan Kenzio. Menggunakan kemeja putih favoritnya dengan lengan digulung hingga sebatas siku, Kenzio tampak memesona seperti biasa.Memangnya kapan sih Kenzio nggak memesona?Jangankan dalam keadaan rapi dan segar seperti sekarang, bahkan saat baru bangun tidur dia tetap membuatku nggak berkedip dengan muka bantal dan rambutnya yang kusut."Kamu sudah siap?" tanyanya padaku."Eh, ehm, sudah." Aku agak tergagap lantaran terlalu fokus menikmati keindahan di hadapanku. Semoga saja Kenzio nggak menyadarinya."Kita berangkat sekarang?"Aku menjawab dengan anggukan kepala. Seharusnya Kenzio nggak perlu repot-repot menjemputku. Aku bisa naik ojek ke kantor."Kamu mau sarapan dulu?" tanyanya di sela-sela langkah kami menuju lift.Seperti tamu hotel lainnya aku berhak mendapat free breakfast. Tapi nggak enak juga rasanya kalau sampai membuat Kenzio menungguku. Lagi pula perutku nggak terlalu mendesak minta diisi. Semalam sepuluh menit setelah Kenzio perg
KENZIO“Sibuk, Bro?”Aku mengangkat wajah dari berkas yang kutekuri lalu memindahkan tatapan pada Yogi yang baru saja masuk. Yogi adalah rekanku sesama pengacara yang juga berkantor di sini. Selain itu dia merupakan teman dekatku.“Nggak juga, gue lagi mempelajari kasusnya Pak Ivan.”Yogi mendekat, menarik kursi lalu duduk di seberang meja tepat di hadapanku.“Congrats ya, akhirnya selesai juga tuh kasus.” Aku mengulurkan tangan memberi selamat. Yogi baru saja memenangkan kasus perselingkuhan seorang pejabat yang main di belakang istrinya dengan seorang selebgram hingga si selebgram hamil. Tapi tentu saja dalam hal ini Yogi membela istri si pejabat tersebut.Yogi menyambut tanganku lalu tersenyum bangga. "Thanks, Zio. Ntar malam lo wajib datang, nggak ada alasan buat nolak. Gue nggak mau ya nerima alasan jenis apa pun."Biasanya di kantor kami setiap ada yang memenangkan kasus maka akan mengadakan party untuk merayakannya. Nggak wajib. Hanya saja sudah menjadi tradisi sejak lama. Aku