“Kenzio Mahanta …”
Nama itu meluncur lancar dari bibirku ketika menyaksikan sosok laki-laki itu dari jauh. Mendadak tubuhku terseret ke masa lalu. Tepatnya ke waktu beberapa tahun yang lalu. Tujuh atau delapan tahun yang silam. Ah, aku lupa persisnya. Sosok di hadapanku kini begitu nyata dalam versi yang telah disempurnakan berkali-kali lipat. Tidak mustahil juga jika aku akan bertemu dengan lelaki itu. Toh, ini adalah acara reuni terbuka yang bisa dihadiri oleh siapa saja. Tidak terkecuali dia.
Dan Kenzio masih saja gagah seperti dulu.
Ah, sial. Aku masih saja memujinya.
Aku akui aku memang tidak kebal oleh pesonanya sejak dulu. Tapi yang tidak kusangka adalah mesti hitungan tahun berlalu tapi perasaanku padanya tidak berubah.
Aku mencintainya.
Tapi aku tidak berani berharap lebih. Memangnya siapa aku?
Aku ibarat upik abu sedangkan dia adalah pangeran berkuda putih yang sudah jelas tidak akan mau melirik padaku.
Sekarang aku bingung harus menghilang atau pura-pura tidak melihat. Aku yakin pertemuan dengan Kenzio efeknya tidak akan baik-baik saja bagi hatiku. Jadi, daripada mencari penyakit lebih baik aku lenyap sebelum dia menyadari keberadaanku.
Aku baru saja akan memutar tubuh ketika seseorang menggaungkan namaku.
“Viola!”
Dengan terpaksa kubalikkan badan ke belakang. Jantungku hampir lepas dari rongganya ketika mengetahui Kenziolah yang memanggil namaku. Pria setinggi 183 sentimeter dengan kemeja putih dan jas semi formal itu berdiri di hadapanku. Dan ini nyata, bukan hanya halusinasiku.
Dia masih mengenalku. Kenzio mengingat namaku.
“Viola kan?”
Aku menjawab dengan anggukan sekaligus senyum kaku di bibir. Berdiri berhadapan dengannya membuatku merasa semakin kerdil. Barang-barang mewah yang melekat di tubuhnya from head to toe sudah cukup untuk menggambarkan seberapa sukses pria di hadapanku ini.
“Long time no see, apa kabar?” Kenzio mengulurkan tangan padaku.
Aku menyambutnya lalu menjawab seadanya. “Baik.”
“Kamu masih ingat aku? Kenzio.”
Siapa yang nggak ingat sama kamu, Kenzio?
Di antara lembaran ingatanku yang mulai pudar, Kenzio satu-satunya yang tidak akan pernah luntur dari memoriku. He was my long time crush.
“Tentu aku ingat.” Aku memaksakan bibir untuk mengukir senyum. Lalu kuingatkan diriku sendiri agar nggak malu-maluin.
Kenzio membalas senyumku. Tipis namun begitu manis.
“Kamu datang sendiri?” tanyanya sembari memandang ke sekeliling mencaritahu apa ada yang bersamaku.
“Iya.”
Selain datang sendiri aku juga sengaja menyendiri, menghindar dari keramaian dan kerumunan orang-orang.
Aku tahu risiko datang ke acara reuni adalah siap mendengarkan cerita orang-orang mengenai kesuksesan mereka. Entah itu di bidang karir, percintaan atau pun segi kehidupan yang lainnya. Tadi aku sempat bergabung dengan kumpulan teman-teman lamaku. Dan aku hanya bisa tersenyum hampa saat mendengar celotehan mereka mengenai kehidupan mereka saat ini.
Shinta, salah satu teman dekatku dulu, sekarang sudah kaya raya dan naik kasta berkat menikah dengan suaminya yang adalah pengusaha batu bara. Sedangkan Rani sukses menjadi wanita karir melalui jalur sekretaris CEO. Temanku yang lain, Anggi, yang meskipun menikah di usia muda dan memiliki dua orang anak, saat ini berhasil menambah pundi-pundi rupiah berkat jualan tas dan sepatu branded yang dimodali suaminya.
Hanya aku yang tidak punya pencapaian apa pun. I'm nothing. Udah kusam, pengangguran, nyaris depresi, hidup lagi.
"Kebetulan kalau begitu. Duduk di sana yuk." Kenzio menunjuk bangku kosong di sudut yang tak berpenghuni.
Serius Kenzio mengajak aku duduk bersamanya?
Jangan GR dulu, Vio. Mungkin dia cuma lagi butuh teman ngobrol, bisik hatiku.
Aku berjalan bersisian dengan Kenzio menuju tempat yang ditunjuknya.
Sejak tadi aku tidak melihat teman-teman Kenzio semasa SMU. Walaupun kami satu sekolah, tapi teman Kenzio jelas bukan temanku. Kami beda circle. Itu sudah pasti. Bisa gempa bumi dahsyat kalau sobat missqueen sepertiku berteman dengannya. Makanya aku kaget saat tahu Kenzio masih mengingatku.
"Rangga sama Dion nggak datang ya?" Aku memberanikan diri untuk bertanya setelah kami duduk di tempat masing-masing. Dua nama yang kusebut adalah teman dekat Kenzio saat masih SMU.
Kenzio menyesap mocktail-nya sebelum menjawab, "Kayaknya belum."
Oh, mungkin itulah sebabnya dia mengajakku duduk bersamanya. Karena sohibnya belum nongol.
Aku mencuri pandang saat Kenzio menyebar matanya ke sekeliling kami. Mungkin sedang mencari-cari keberadaan teman-temannya yang tadi kutanyakan.
Melihat wajah Kenzio seperti sedang membaca ulang memori masa lalu. Begitu banyak hal yang kuingat dari Kenzio.
Dulu Kenzio adalah siswa pindahan dari Bali. Kami sama-sama mengikuti kelas akselerasi. Selain terkenal karena kecerdasan dan ketampanannya Kenzio juga pernah menjadi ketua OSIS. Which is dia idola cewek-cewek satu sekolah. Tak terkecuali aku. Namun aku kehilangan jejaknya setelah kami tamat.
Lulus SMU, aku dengan perekonomian orang tuaku yang morat-marit berhasil kuliah di salah satu perguruan tinggi. Itu pun dengan bantuan beasiswa. Namun bagi mahasiswa berprestasi sepertiku dunia kerja tidaklah seramah itu. Beberapa kali aku ganti profesi. Pindah dari perusahaan A ke perusahaan B adalah hal yang biasa. Aku tidak begitu beruntung dalam karir karena hanya menjadi karyawan biasa.
Seakan belum puas membumbui hidupku, takdir mengambil ibuku. Tiga bulan yang lalu ibuku meninggal. Lalu satu bulan setelahnya aku di-PHK. Dan hingga saat ini aku hidup bersama ayah tiriku yang merupakan seorang pengangguran, pemabuk dan penjudi.
Aku buru-buru memalingkan muka saat Kenzio menggerakkan kepalanya sehingga muka kami berhadapan.
"Kerja di mana sekarang, Vio?" tanyanya.
Pertanyaan ini yang sering ditanyakan orang-orang seakan sedang menyelami sejauh apa tingkat kesuksesannya.
"I'm jobless, aku di-PHK tiga bulan yang lalu," akuku jujur.
Kenzio tampak terkejut mendengarnya. Mungkin terlalu kaget. Bagaimana bisa seorang Viola dengan percaya diri datang ke acara ini lalu bergabung bersama orang-orang sukses lainnya? Namun dengan cepat Kenzio mengganti ekspresinya.
"Nggak apa-apa, namanya juga hidup. Kalau kamu butuh bantuan jangan sungkan hubungi aku ya."
Hanya kalimat sederhana tapi membuat percikan semangat di dadaku.
"Kenzio!!! Woi, datang juga lo!" Sebuah suara berat terdengar bersama dengan sosok laki-laki berbadan kekar berambut ikal menghampiri kami. Aku tidak lupa wajahnya. Itu Rangga. Di samping Rangga ada dua laki-laki lain.
Kenzio tersenyum. Dia berdiri lalu menyambut gengnya, melupakanku yang duduk bersamanya.
Dari pada jadi topeng monyet di sini, aku memutuskan untuk pergi diam-diam. Karena sepertinya Kenzio juga tidak akan peduli.
***
Aku menutup laptop setelah selesai apply job vacancy di sebuah situs. Ini entah lamaran yang ke berapa dalam dua bulan ini. Namun belum ada satu pun yang nyangkut.
Sambil menguap aku bangkit dari kursi. Hujan yang turun deras di luar sana membuatku ingin langsung tidur.
Baru akan merebahkan diri di tempat tidur, aku mendengar pintu kamar diketuk. Dengan malas kuseret langkah untuk membukanya. Wajah Papa menyembul. Dia melangkah maju mendekatiku hingga aku mencium aroma alkohol yang menguar dari mulutnya. Aku mundur ke belakang.
“Ada apa, Pa?” Perasaanku tidak enak melihat gelagat yang ditunjukkan ayah tiriku.
“Kamu cantik, Violaaa …,” jawab Papa dengan suaranya yang berat sementara tangannya naik menyentuh pundakku.
Aku terkejut karena merasa ucapannya begitu aneh. Tidak biasanyaa Papa memujiku.
“Papa pasti lagi mabuk, Papa istirahat ya.” Aku mencoba menepis tangan Papa dari pundak, namun cengkramannya begitu kuat.
“Aku bukan papamu. Layani aku sekarang …” Papa mendekatkan muka ke wajahku. Bibirnya mencoba meraih bibirku untuk dicium.
Tindakan Papa membuatku ketakutan. Jantungku berdebar kencang saking takutnya. Papa pasti sedang mabuk berat. Sontak aku mendorong wajahnya hingga jauh dariku.
Papa jadi marah atas aksiku. Tangan besarnya mencoba merangkum mukaku. Sebelum dia berhasil aku memundurkan tubuh.
“Sadar, Pa, aku anak Papa. Jangan aneh-aneh,” lirihku ketakutan.
“Hahaha …” Tawa Papa menggelegar memecahkan kamarku yang sempit.
“Kamu bukan anakku. Kamu nggak pernah jadi anakku. Justru aku ingin membuat anak denganmu.”
“Papa udah gila!!!” Aku berteriak sekuat mungkin.
“Sudah aku bilang jangan panggil Papa! Aku bukan papamu!” suara Papa jauh lebih keras.
Papa terus memajukan tubuhnya lalu mengunci gerakanku dengan badannya yang besar hingga aku tersandar ke dinding. Aku tidak bisa ke mana-mana.
“Kamu nggak akan bisa lari, Viola. Berteriaklah sekuatnya.” Papa menyeringai yang membuatku semakin ketakutan. Kedua tangannya berhasil menangkup pipiku.
Sekujur tubuhku menggigil. Masa depanku memang suram, namun aku tidak ingin memberikan kesucianku pada pria bajiangan ini.
Papa kembali mencoba mencium bibirku. Saat bibirnya semakin dekat jantungku seakan ingin meloncat keluar.
Hanya beberapa inci lagi maka bibir tebalnya akan menempel di bibirku. Aku memejamkan mata berpura-pura pasrah. Lalu lututku kuangkat menendang kemaluannya kuat-kuat.
Papa kaget bukan main lalu mengumpat sejadinya sambil meringis memegang kemaluannya.
Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur.
“Sialan! Mau ke mana kamu jalang?” teriak Papa yang masih kesakitan.
Aku berlari dari kamar lalu mencari pintu keluar. Tanganku gemetar memutar kunci pintu yang sialnya tidak mau dibuka.
“Jangan pergi kamu! Kamu nggak akan bisa keluar dari rumah ini!” Suara Papa terdengar sangat jelas.
Saat menoleh ke belakang, aku melihat Papa berjalan terhuyung-huyung ke arahku.
Ya Tuhan, tolong selamatkan aku, aku nggak mau diperkosa orang ini. Hidupku terlalu berharga untuk kuserahkan pada dia.
Dengan panik aku memutar kunci lebih kuat. Sedikit lagi tangan Papa akan berada di bahuku.
Tapi malam ini aku masih bisa selamat. Pintu yang kuncinya macet itu berhasil kubuka.
Aku berlari keluar menerjang hujan deras. Papa tidak membiarkanku lolos. Dia mengejarku.
“Violaaaaa!!! Tunggu!!!”
Papa yang berada dalam keadaan mabuk berat jatuh tersungkur. Lalu setelahnya aku tidak tahu lagi karena berlari semakin jauh dari rumah.
Langkahku berakhir di sebuah halte kosong. Aku duduk di sana sambil memeluk tubuh yang basah kuyup.
Hujan semakin deras. Petir sambar menyambar di langit. Tapi semua itu tidak lagi membuatku takut. Aku jauh lebih takut kalau Papa sampai memerkosaku.
Ah, lelaki itu bukan ayahku. Aku tidak pantas memanggilnya ‘Papa’. Dia pria bajingan.
Sambil terus termenung memeluk tubuh yang menggigil kedinginan aku berpikir sendiri, apa lagi yang harus kulakukan? Siapa yang bisa menolongku? Aku nggak mungkin kembali ke rumah itu.
"Kalau kamu butuh bantuan jangan sungkan hubungi aku ya."
Tiba-tiba suara itu terngiang.
Kenzio.
Apa dia benar bisa membantuku? Atau ucapannya saat itu hanya basa-basi semata?
Namun apa salahnya aku coba?
Tapi bagaimana caranya? Bahkan aku tidak tahu nomor teleponnya.
Merogoh saku baju tidur yang kupakai, aku bersyukur masih sempat mengantongi ponsel.
Kubuka menu di layar ponsel yang sudah retak itu. Tanganku menggulir daftar kontak mencari-cari siapa yang bisa kuhubungi. Semoga ada yang bisa memberiku tumpangan menginap malam ini.
Tidak ada yang menjawab teleponku saat aku menghubungi beberapa teman. Mungkin mereka pikir aku akan meminjam uang. Berhubung uang pesangonku sudah habis, beberapa kali aku meminjam uang dari mereka dan berjanji akan mengganti kalau sudah mendapat pekerjaan yang baru.
Tidak hilang akal, aku membuka WA lalu mengirimi pesan pada beberapa dari mereka.
"Ta, lo udah tidur? Gue butuh bantuan lo, Ta."
Jantungku berdetak cepat. Senyum terkembang di bibirku saat melihat tulisan Rita is typing.
Pesanku berbalas beberapa detik kemudian.
"Sorry, Vio, gue lagi bokek. Jadi nggak bisa ngebantu lo."
Hatiku mencelos seketika membaca pesan itu. Aku bukan meminjam uang, hanya ingin numpang menginap malam ini.
Terlanjur sedih, aku membiarkan pesan Rita tanpa perlu menjelaskan. Begitu pun dengan lima pesan lain yang kukirim pada teman-temanku masih belum dibaca, atau memang sengaja tidak dibaca karena mereka pikir aku ingin meminjam uang.
Don’t be sad, Vio. Aku memberi semangat pada diri sendiri. Tapi aku tidak sekuat itu.
Mataku menatap nanar pada jalanan yang sepi. Kalau nanti ada mobil yang lewat aku akan menabrakkan diri. Lebih baik aku mati sia-sia daripada diperkosa karena deritanya abadi seumur hidup.
Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Malah turun semakin deras dan aku masih terdampar di sini. Entahlah. Aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana.
Layar ponselku lalu berkedip. Ada notifikasi dari I*******m. Aku membukanya. Ternyata hanya apdetan kabar artis. Dengan perasaan hampa jariku bergulir sana sini tapi pikiranku kosong, tidak tahu apa yang kulakukan.
Kenzio. Nama itu melintas lagi.
Cowok keren seperti Kenzio pasti aktif di sosmed kan?
Iseng aku mengetikkan namanya.
Kenzio Mahanta
Sebuah akun centang biru keluar. Sejenak aku merasa ragu kala melihat foto profilnya. Di foto itu tampak seorang laki-laki berkemeja biru sedang merokok. Sebuah kacamata hitam menggantung di bajunya tepat di bagian dada.
Masalahnya, setahuku Kenzio bukan perokok. Saat teman-temannya merokok sembunyi-sembunyi di kantin saat sekolah dulu, Kenzio adalah satu-satunya yang tidak ikut dengan mereka. Dia anak baik-baik. Tapi itu kan dulu. Bukankah waktu bisa mengubah segalanya?
Dan cowok di foto ini memang Kenzio. Aku tidak akan pernah melupakan tahi lalat besar di bawah bibirnya tepat di bagian kanan.
Aku memutuskan untuk mengirimnya pesan.
"Kenzio, ini aku, Viola. Sorry aku mengganggu malam-malam. Apa penawaran kamu waktu itu masih berlaku? I need your help."
***
Saat pesanku terkirim di saat itulah aku menyadari mungkin aku terlalu to the point. Semestinya tadi aku berbasa-basi dulu. Setidaknya aku bertanya kabar Kenzio atau sekadar say hello. Bukannya langsung menodong minta bantuan.Semenit dua menit hingga sepuluh menit aku menunggu, namun pesanku masih belum dibaca. Mungkin Kenzio sudah tidur. Mungkin ponselnya mati. Atau mungkin dia sudah melihatnya tapi sengaja tidak membalas karena kalimat ‘Kalau kamu butuh bantuan jangan sungkan hubungi aku ya’ hanya sekadar basa-basi.Lagi pula Kenzio belum tentu masih mengingatku. Selain aku hanya sampah, ada ribuan atau jutaan nama Viola di dunia ini. Apalagi akunku privat dan foto profilku bukan fotoku melainkan sebuah quote sok bijak.Aku mengesah lelah sambil mengucek mata. Angin dingin yang menyerang tubuh basahku membuatku semakin menggigil. Selain mata yang mulai berat, perutku ikut-ikutan lapar. Tadi karena sibuk berkutat dengan laptop aku melewatkan makan malam.Aku membawa tubuh yang semak
Kenzio menyetir kencang di sebelahku tanpa berkata apa-apa. Dia tidak bertanya apa yang terjadi padaku. Kenapa aku sampai begini dan segala macam. Sementara aku juga duduk membeku di sebelahnya. Sesekali aku mencuri pandang padanya. Tapi sepertinya Kenzio tidak menyadari aku memerhatikannya karena terlalu fokus menyetir. Aroma parfum mahal menguar dari dada telanjangnya. Sudah larut malam begini dia masih saja wangi. Sampai kemudian kami tiba di sebuah apartemen mewah di kawasan Jakarta Selatan. Dia mengajakku turun lalu naik ke unit yang ditempatinya. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami terheran-heran melihat Kenzio bertelanjang dada. Namun keheranan mereka melihat Kenzio pasti tidak ada apa-apanya saat melihat gadis kumal berjalan di sebelahnya. Dengan penampilanku saat ini—menggunakan celana tidur kumal, baju kaos kegedean, rambut lepek dan basah serta tidak mengenakan alas kaki, orang-orang pasti mengiraku gembel yang tersesat. Atau gadis dari pelosok kampung yang akan be
Kenzio sudah rapi saat aku bangun pagi ini. Aku menemukannya sedang duduk di kitchen stool sambil menyesap kopi. Sementara matanya terarah pada televisi yang menempel di dinding.Dia mengenakan kemeja biru langit, celana hitam serta pantofel hitam. Pertanda sudah siap untuk berangkat kerja. Kenzio bukanlah cowok-cowok sedingin es atau tipe-tipe mafia. Tapi dia adalah seorang pria muda yang humble dan menjadi mimpi banyak para wanita namun begitu sulit untuk digapai.Dari tempatku berdiri—tepat di belakangnya, aroma parfum Kenzio terhirup begitu jelas oleh hidungku. Aromanya lembut namun begitu maskulin. Sepertinya dia masih belum menyadari kehadiranku karena terlalu fokus pada layar televisi.Aku sengaja berdeham agar Kenzio mengetahui keberadaanku. Upayaku berhasil. Dia menoleh melalui bahu lalu memberi sapaan padaku."Aku nggak tahu kalau kamu sudah bangun."Aku tersenyum kaku. Semalam kami tiba di apartemen pukul setengah dua. Aku baru masuk ke kamar pukul dua lewat dan baru bisa t
"Papa mencari kamu ke mana-mana. Papa cemas kamu nggak pulang semalam.""Awas, Om, aku mau lewat. Jangan ganggu aku," ucapku mencoba lewat dari depannya. Aku tidak sudi memanggilnya Papa setelah kebiadabannya kemarin."Om? Kenapa memanggil Papa begitu? Jadi kamu nggak menganggap Papa sebagai papamu lagi?""Nggak akan setelah perbuatan Om kemarin," desisku dingin."Ya sudah, terserah kamu. Papa juga senang dipanggil Om, malah kesannya lebih mesra." Dia terkekeh yang membuatku jijik. "Om minta maaf atas kejadian kemarin. Om nggak sengaja, Vio. Om lagi mabuk. Om nggak tau kalau itu kamu. Sekarang kita pulang ya, ada kenalan Om yang bisa membantu kamu ngasih pekerjaan."Pekerjaan? Aku menyipit tak percaya. Pasti ini akal-akalannya saja.Oh wait, apa ini ada hubungannya dengan Rita? Apa keduanya bersekongkol untuk menjebakku sehingga aku bertemu dengan Om Hendra di sini?Tega sekali dia padaku. Aku pikir Rita benar-benar bisa kupercaya."Aku nggak butuh kerja, Om. Permisi, aku mau lewat. "
"Anda butuh uang berapa?" Tiba-tiba suara lain terdengar di antara kami.Refleks aku memandang ke arah pintu. Pun dengan Om Hendra. Perasaan lega melingkupiku seperti menemukan oase di padang pasir saat melihat Kenzio datang.Om Hendra memutar tubuh lalu memandang tidak suka pada Kenzio. "Lo siapa ikut campur urusan gue?"Kenzio bergerak merengkuh tanganku lalu memosisikanku di belakang punggungnya."Saya calon suaminya Viola. Apa informasi itu sudah cukup buat anda?""Oh, jadi lo laki-laki yang make wanita murahan ini?" Om Hendra menyeringai merendahkanku. “Asal lo tau, dia udah bekas gue. Udah puas gue makenya."Ingin rasanya aku pukul mulut kurang ajar keparat itu."Oh ya?" Kenzio balas tertawa. "Mulai sekarang jangan pernah ganggu Viola lagi. Atau saya nggak akan segan-segan memperkarakan anda. Saya nggak pernah main-main dengan ucapan saya."Tangan Om Hendra sudah terangkat untuk menghajar Kenzio. Namun niatnya itu gagal terlaksana saat dua orang petugas bagian keamanan datang."
Sudah satu minggu lamanya aku tinggal satu atap dengan Kenzio. Seperti yang dikatakannya dulu dia sibuk kerja dan jarang berada di apartemen. Dia baru pulang ketika aku akan beranjak tidur malam. Karena dia terlihat lelah aku juga sungkan mengganggunya. Kami hanya ngobrol seadanya.Pagi saat aku bangun dia juga sudah siap dengan pakaian ala eksekutif muda. Kenzio memiliki banyak kemeja kerja, namun hanya ada dua warna yang kuhafal, putih dan biru langit, karena dua itulah yang sering dia pakai. Dia memiliki puluhan kemeja dari merek yang berbeda hanya untuk warna yang sama. Sehingga bagi orang yang tidak betul-betul mengenalnya akan menganggap Kenzio hanya memakai baju itu-itu saja.Satu hal lagi yang kutandai dari Kenzio adalah dia sering nonton televisi tengah malam di ruang tengah padahal ada televisi di kamarnya. Aku nggak tahu apa penyebabnya. Tidak mungkin TV di kamarnya itu rusak karena tanpa sengaja aku pernah melihanya menyala.Aku tahu kebiasaan Kenzio karena pernah satu mal
VIOLASangat lama Kenzio berada di kamarnya sampai aku berpikir untuk kembali ke kamarku. Mungkin setelah menerima telepon dari seseorang yang entah siapa Kenzio langsung tidur.Baru saja aku berdiri dari tempat duduk, suara Kenzio menghentikanku."Sorry agak lama," ucapnya lalu menempatkan diri di sofa seperti tadi.Aku mengurungkan niat untuk masuk ke kamar."Udah dipikirin atau kamu butuh waktu buat mikirinnya dulu?" Kenzio menanyakan keputusanku.Saat ini aku butuh uang, bukan posisi atau jabatan. Jadi aku pikir apa salahnya menurunkan standar yang telah kutetapkan. Aku rasa nggak ada salahnya menerima tawaran dari Kenzio. Aku bisa bekerja sebagai office girl di kantor Kenzio sambil tetap mencari pekerjaan yang sesuai denganku."Zio, aku udah pikirin barusan dan aku putusin buat kerja di kantor kamu."Jawabanku membuat Kenzio menyunggingkan senyum."Yakin? Ini office girl lho," ujarnya mengujiku."Yakin," jawabku tanpa keraguan."Kamu nggak bakal malu memangnya?"Malu? Bahkan aku
KENZIOAku keluar dari ruangan Armand setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Sengaja tidak langsung kembali ke ruanganku namun mencari keberadaan Viola.Aku menemukannya di toilet.Dia tidak menyadari kehadiranku karena terlalu fokus dengan kegiatannya mengepel lantai.Cukup lama aku berdiri di dekat pintu sampai dia menyadari kehadiranku. Dia terlihat kaget."Eh, Zio, mau pake toilet?" tanyanya.Aku memberi gelengan kepala."Terus?""Cuma mau ngeliat kamu. Gimana? Udah mulai terbiasa?""Udah dong. Cuma ngepel gini." Dia tertawa."Nanti kalau udah selesai ke ruanganku ya, aku butuh bantuan kamu buat fotocopy sekalian ada yang harus dirapiin.""Siaaap!" Viola menjawab cepat lalu aku pergi meninggalkannya.Di sela-sela langkahku kembali ke ruangan, ponselku berbunyi. Dari Dena, salah satu klien. Aku menangani kasus perceraiannya. Entah kenapa semakin ke sini semakin banyak orang-orang bercerai dengan berbagai sebab. Mulai dari perselingkuhan, ketidakcocokan yang baru disadari di