ROMEOGimana nggak kaget? Cewek yang mengisi tempat dudukku adalah Bulan."Rom, kok malah bengong? Sini!" Kak Kei kembali melambaikan tangannya agar aku mendekat.Aku yang diam termangu terpaksa menghampiri. Kulihat wajah Bulan semakin pucat. Dia melihatku saja sudah ketakutan, apalagi saat aku datang menghampirinya."Rom, kenalin, ini Bulan, temenku. Lan, ini Romeo, adekku."Ayo taruhan. Bagaimana reaksi Bulan? Apa dia akan bersikap pura-pura nggak mengenalku lagi?"Tepat dugaanku. Lagi-lagi dia bersikap pura-pura nggak kenal aku."Bulan," katanya sambil menyebutkan nama.Kutatap dia dengan lekat, ingin menyiratkan kalau aku nggak suka sikapnya yang pura-pura nggak mengenalku.Bulan memalingkan wajah, berlari dari kejaran mataku."Kei, bentar, gue ke toilet dulu," pamitnya pada Kak Kei."Hati-hati ya, Lan."Bulan mengangguk pelan lantas melangkah cepat meninggalkan kami. Aku melihat dia berjalan menuju toilet.Nggak mau membuang kesempatan, aku segera mengejar Bulan, namun tentu saja
REMBULANSejak membuka usaha sendiri aku lebih sering berada di toko ketimbang di apartemen. Usaha yang kujalani cukup menyenangkan. Aku hanya tinggal memantau dari belakang layar dan menerima progress penjualan. Namun ketika rasa jenuhku datang aku akan ngetem berhari-hari di apartemen.Saat aku sedang memeriksa laporan penjualan pintu ruanganku diketuk. "Masuk!" sahutku pelan.Dua detik setelahnya, Eka, salah satu pramuniaga muncul."Mbak Bulan, ada tamu," beritahunya."Siapa, Ka?""Dia bilang namanya Lakeizia, Mbak."Senyumku menyembul seketika. Aku memang memiliki tiga sahabat baik. Tapi berteman dengan Lakeizia vibes-nya begitu berbeda. Mungkin karena kami berada dalam gelembung yang sama."Suruh tunggu sebentar ya.""Baik, Mbak." Eka menghilang dari hadapanku dalam sekejap.Jarang-jarang Lakeizia atau yang biasa dipanggil Kei itu datang nyamperin aku. Kalau pun ingin bertemu dia selalu menghubungiku terlebih dulu.Kei sedang ngopi di depan toko ketika aku muncul di hadapannya.
REMBULANAku menutup pintu dengan sedikit bantingan ketika tiba di apartemen. Rasanya lelah padahal aku nggak ngapa-ngapain. Ah, mungkin aku lelah menghindar dari Romeo yang tidak henti mengejarku.Apa sikapku tadi kekanakan? Apa yang ada di pikiran Romeo saat ini? Apa menurutnya aku norak, lebay, sialan?Ah, bodoh amat. Aku rasa sikapku sudah tepat. Dengan sikap yang kutunjukkan dia pasti mengerti bahwa aku nggak suka pada caranya yang terus mengejarku.Bel di depan sana berbunyi begitu aku masuk ke kamar.Romeo? Apa itu dia? Jadi dia datang menyusulku?Aku membiarkan bel terus berbunyi tanpa keinginan untuk membuka pintu. Namun semakin lama nggak ada tanda-tanda akan berhenti. Dengan kesal kulangkahkan kaki menuju ruang depan."Kamu lag--" Kalimatku menggantung begitu saja ketika mengetahui bukan Romeo yang datang, tapi Putra, salah satu karyawan toko. "Eh, sorry, saya pikir siapa."Putra tersenyum padaku. "Nggak apa-apa, Mbak Bulan. Saya ke sini disuruh Mbak Rosi, mau mengantar
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu