"Lan, lo di mana? Lama banget di Balinya."Itu bunyi salah satu pesan masuk yang kuterima. Pesan tersebut adalah dari Mecca. Masih banyak lagi pesan lainnya yang berasal dari Windy dan Tiara.Kubalas pesan itu.Me: Gue udah di apart.Mecca: Ih, kapan nyampenya? Kok nggak bilang-bilang kalo udah balik?Me: Dua hari yang lalu. Sorry ya, gue lupa ngabarin.Mecca: Tumben lo pake lupa. Biasanya selalu laporan di grup.Me: Sorry.Mecca: Sorry mulu dari tadi. Gue ke sana ya?Aku belum menjawab tapi Mecca sudah leave chat. Demi menghindari kecurigaannya kukirimkan balasan untuknya.Me: Oke.Mecca benar-benar datang dua puluh menit kemudian. Saat itu aku sedang mempelajari sistim franchise sebuah jaringan minimarket."Coba tebak gue bawa apa?" ucap Mecca langsung."Apa?" tanyaku tanpa minat. Tumben dia nggak nagih oleh-oleh dari Bali.Mecca melepas tas yang tersampir di bahunya, membukanya, kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana."Taraaaa ..." Dia mengembangkan sebuah baju kaos berwarna put
REMBULAN "Lan, ayolah! Lo mau turun atau gue panggil Pak Romeo ke sini?" Mecca terus memaksaku yang membuatku lama-lama menyerah pada keinginannya. Aku yakin jika terus bertahan dengan sikapku dan terus menyatakan penolakan, Mecca akan bertambah curiga."Oke, biar gue yang turun," putusku kemudian."Nah, gitu dong!" Mecca tersenyum senang. "Sana gih, kasihan dia kelamaan nunggu."Malas-malasan aku keluar untuk kemudian menuju lobi. Romeo sedang duduk di salah satu sofa yang berada di sana ketika aku muncul. Dia tampak sedang merenung. Mungkin lamunannya terlalu jauh sampai-sampai nggak tahu akan kedatanganku. Aku terpaksa membuat batuk untuk memberitahunya. Dia terkesiap lalu tersenyum menyapaku."Hai, Lan, sorry muncul lagi di depan kamu," ucapnya setelah berdiri.Dari perkataannya, aku memaknainya bahwa dia sadar aku nggak suka akan kedatangannya."Makasih bajunya," kataku to the point tanpa basa-basi sama sekali."Baju itu aku beli saat hari terakhir di Venice. Tadinya aku mau n
ROMEO "Pak, Bulan ada di ruangannya," kata Mecca memberitahu sekeluarnya dia dan Windy dari ruangan Bulan."Thanks ya," ucapku."Yang sabar ya, Pak. Dia emang galak tapi nggak ngegigit kok." Windy menimpali.Aku tertawa sekenanya kemudian berlalu menuju ruangan Bulan.Sudah dua bulan lamanya aku dan Bulan nggak berkomunikasi. Aku juga nggak menemui dia walau Mecca sering mengajak. Aku menghargai permintaannya. Tapi lama kelamaan aku nggak bisa tahan. Bulan selalu mengisi pikiranku di setiap malam yang sepi. Meski sudah berusaha kuenyahkan namun bayangannya tetap nggak mau pergi. Sampai belakangan kumenyadari dia sudah membuatku jatuh cinta.Aku paling anti dengan yang namanya instalove. Tapi dengan Bulan segalanya terasa berbeda. Tidak ada yang salah dengan waktu dan pertemuan yang singkat. Bila cinta sudah menyapa kita bisa apa?Aku berhenti di depan pintu ruangan Bulan. Selama beberapa saat kuterpaku di depannya. Apa aku harus masuk sekarang? Lantas bagaimana reaksi Bulan? Apa dia
ROMEO"Om Romeee!" Seorang bocah kecil laki-laki berlari menghampiriku ketika melihatku datang. Dia adalah anak kakakku. Namanya Rigel.Aku berjongkok lalu merentangkan tangan untuk menyambut kedatangannya."Anak Om apa kabar?" tanyaku setelah Rigel berada di dalam dekapan."Ayik, Om (baik, Om)," jawabnya lucu. Dia memang menggemaskan dan menjadi kesayangan banyak orang."Lihat nih, Om bawa apa?" Kusodorkan bungkusan padanya."Oleeee!!! (Horeee!!!)" Rigel melompat-lompat menerima hot wheels yang kuberikan."Girang banget sih anak Mama. Apa itu, Nak? Oh, ada Om Romeo." Kak Kei, kakakku muncul ke tengah-tengah kami."Lihat, Ma. Om Rome beliin Je mobil-mobilan." Rigel mengangkat box, menunjukkan pada mamanya."Udah bilang makasih belum sama Om Rome?"Rigel menggeleng dengan lugu. Ekspresinya yang menggemaskan membuatku ingin menciumnya."Lupa ya Mama bilang apa?"Rigel kemudian melihat ke arahku. Bibir mungilnya bergerak-gerak dengan lucu. "Makasih ya, Om, udah beliin Je mobil-mobilan."
ROMEOGimana nggak kaget? Cewek yang mengisi tempat dudukku adalah Bulan."Rom, kok malah bengong? Sini!" Kak Kei kembali melambaikan tangannya agar aku mendekat.Aku yang diam termangu terpaksa menghampiri. Kulihat wajah Bulan semakin pucat. Dia melihatku saja sudah ketakutan, apalagi saat aku datang menghampirinya."Rom, kenalin, ini Bulan, temenku. Lan, ini Romeo, adekku."Ayo taruhan. Bagaimana reaksi Bulan? Apa dia akan bersikap pura-pura nggak mengenalku lagi?"Tepat dugaanku. Lagi-lagi dia bersikap pura-pura nggak kenal aku."Bulan," katanya sambil menyebutkan nama.Kutatap dia dengan lekat, ingin menyiratkan kalau aku nggak suka sikapnya yang pura-pura nggak mengenalku.Bulan memalingkan wajah, berlari dari kejaran mataku."Kei, bentar, gue ke toilet dulu," pamitnya pada Kak Kei."Hati-hati ya, Lan."Bulan mengangguk pelan lantas melangkah cepat meninggalkan kami. Aku melihat dia berjalan menuju toilet.Nggak mau membuang kesempatan, aku segera mengejar Bulan, namun tentu saja
REMBULANSejak membuka usaha sendiri aku lebih sering berada di toko ketimbang di apartemen. Usaha yang kujalani cukup menyenangkan. Aku hanya tinggal memantau dari belakang layar dan menerima progress penjualan. Namun ketika rasa jenuhku datang aku akan ngetem berhari-hari di apartemen.Saat aku sedang memeriksa laporan penjualan pintu ruanganku diketuk. "Masuk!" sahutku pelan.Dua detik setelahnya, Eka, salah satu pramuniaga muncul."Mbak Bulan, ada tamu," beritahunya."Siapa, Ka?""Dia bilang namanya Lakeizia, Mbak."Senyumku menyembul seketika. Aku memang memiliki tiga sahabat baik. Tapi berteman dengan Lakeizia vibes-nya begitu berbeda. Mungkin karena kami berada dalam gelembung yang sama."Suruh tunggu sebentar ya.""Baik, Mbak." Eka menghilang dari hadapanku dalam sekejap.Jarang-jarang Lakeizia atau yang biasa dipanggil Kei itu datang nyamperin aku. Kalau pun ingin bertemu dia selalu menghubungiku terlebih dulu.Kei sedang ngopi di depan toko ketika aku muncul di hadapannya.
REMBULANAku menutup pintu dengan sedikit bantingan ketika tiba di apartemen. Rasanya lelah padahal aku nggak ngapa-ngapain. Ah, mungkin aku lelah menghindar dari Romeo yang tidak henti mengejarku.Apa sikapku tadi kekanakan? Apa yang ada di pikiran Romeo saat ini? Apa menurutnya aku norak, lebay, sialan?Ah, bodoh amat. Aku rasa sikapku sudah tepat. Dengan sikap yang kutunjukkan dia pasti mengerti bahwa aku nggak suka pada caranya yang terus mengejarku.Bel di depan sana berbunyi begitu aku masuk ke kamar.Romeo? Apa itu dia? Jadi dia datang menyusulku?Aku membiarkan bel terus berbunyi tanpa keinginan untuk membuka pintu. Namun semakin lama nggak ada tanda-tanda akan berhenti. Dengan kesal kulangkahkan kaki menuju ruang depan."Kamu lag--" Kalimatku menggantung begitu saja ketika mengetahui bukan Romeo yang datang, tapi Putra, salah satu karyawan toko. "Eh, sorry, saya pikir siapa."Putra tersenyum padaku. "Nggak apa-apa, Mbak Bulan. Saya ke sini disuruh Mbak Rosi, mau mengantar
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa