Ia melirik arloji yang baru saja diraihnya dari dalam kantong celananya. Sudah mendekati waktu makan siang dan ia yakin sekali aula utama akan ramai dipenuhi anak-anak yang bersiap untuk makan bersama.
Namun, sebelum Louis tiba di ujung lorong, ada pemandangan tak wajar yang ditangkapnya dari arah sebuah kelas di sisi kiri jalan. Ia mendorong tubuhnya untuk mengintip dari kaca yang tertempel di wajah pintu. Tampak murid-murid di dalam sana sedang tak duduk di kursi mereka melainkan berjalan mondar-mandir tampak mencari sesuatu. Tak jarang beberapa di antara mereka bersorak kecil dengan secarik kertas di tangannya.
Louis tak tahu jika ayahnya menerapkan metode belajar yang seperti itu. Tampak tak biasa, bising, dan tak teratur. Semenjak dirinya masuk sekolah militer entah mengapa, keteraturan menjadi salah satu penyakitnya hampir seperti OCD dan ia merasa terganggu dengan ketidak teraturan yang terjadi di dalam kelas itu.
Untung saja beberapa menit setelahnya bel istirahat berbunyi sehingga ia menarik dirinya menjauh dari pintu membiarkan murid-murid berlarian dengan buku-buku tebal di pelukan mereka. Setelah kelas sepi menyisakan seorang wanita yang sedang merapikan mejanya, Louis melenggang masuk setelah mengetuk pintu kelas itu pelan membuat wanita itu mendongak menatapnya. "Apa itu tadi?" tanya Louis singkat namun wanita itu hanya memandangnya bingung.
"Maaf?" tanyanya dalam aksen Midlands yang kental. Louis sudah mendengar banyak orang berbicara dalam aksen Inggris yang berbeda-beda karena wilayah mereka yang memengaruhi pelafalan kata masyarakatnya, dan Louis jelas mengenali aksen Midlands sebab ayahnya sering kedatangan tamu dari berbagai belahan UK. Namun, aksen Midlandsnya itu terdengar agak berbeda. Mungkin ... mengesankan. Begitulah tanggapannya.
"Anda Nona—" Telunjuknya terulur mengarah keberadaan wanita itu seraya berusaha menemukan sesuatu yang dilupakan otaknya.
Wanita itu terkekeh singkat melihat ekspresi Louis yang berusaha menemukan sesuatu dalam pikirannya. "Harrel, Tuan Wistletone," jawabnya dengan senyuman.
"Ah ya, Nona Harrel. Anda wanita di dalam ruangan ... lupakan," ucap Louis cepat-cepat lalu melanjutkan, "Apa yang terjadi di kelas Anda tadi?"
Nona Harrel baru saja menumpuk buku terakhirnya sehingga tersusun buku-buku tebal yang mungkin setinggi tiga puluh centimeter. "Kami sedang membahas riddle, Tuan. Bab yang dimasukkan dalam kurikulum."
"Membahas? Maaf, tapi ... yang kulihat mereka tampak mencari sesuatu, bersorak, dan tidak teratur."
Tetapi Nona Harrel hanya terkekeh singkat menanggapinya. "Maafkan saya, Tuan, maksud saya bukan membahas riddle ,tapi lebih tepatnya bermain riddle."
Louis hanya membulatkan bibirnya merasa malu dan bingung harus melakukan apa setelah ini. Apakah dia harus meminta maaf kepada Nona Harrel saat ini juga? "Apa metode belajar itu sudah disetujui?" Ia merasa harus mengalihkan pembicaraannya agar tidak merasa lebih malu lagi.
Nona Harrel mengangguk. "Jika Anda melihat saya di ruangan ayah Anda, saya baru saja membicarakan itu dengan beliau. Memang terlihat aneh dan tak disiplin tapi kita harus mencobanya, bukan? Sebenarnya itu salah satu strategi untuk meningkatkan semangat belajar siswa. Kita tak harus belajar dengan terus duduk di atas kursi, mendengarkan, membaca, dan menulis di sana pula. Ada banyak cara untuk mendapatkan ilmu dan saya tak ingin mengajar hanya berdiri di depan papan tulis seraya menjelaskan semua yang saya tahu sedangkan murid-murid saya bahkan tak paham satu kata pun dari apa yang saya ajarkan. Jika itu terjadi, saya merasa gagal menjadi seorang guru."
Louis tersenyum mendengar penjelasannya dan sekarang berjalan lebih dekat lagi menuju Nona Harrel yang masih berdiri di depan mejanya. "Jadi, bagaimana itu? Bagaimana metode pembelajaran yang Anda terapkan, Nona Harrel?"
Wanita itu kini berdiri di depan kelas menatap seisi ruang kelasnya. Ia tersenyum setelah mendapatkan suatu objek di sudut ruangan lalu meminta Louis berdiri di sampingnya. "What kind of room has no door and window?" tanyanya dan Louis terdiam. Louis berharap ia bertanya soal hukum Newton atau sebagainya daripada riddle seperti itu.
"Dorm room?" ucapnya seraya menggidikan bahunya, sedangkan kedua tangannya disembunyikan di dalam saku celana. Namun, Nona Harrel menggeleng sehingga Louis kembali berpikir. "Common room?" Wanita itu hanya terkekeh seraya menggeleng menanggapinya. "Ayolah! Common room di Wistletone's School tidak ada jendelanya!"
"Tapi memiliki pintu."
"Bisa diterima." Dan pria itu pun kembali berpikir membiarkan Nona Harrel menutupi bibirnya yang menampakkan kekehan kecil.
"Anda tak akan bisa menemukan jawabannya jika hanya berdiri di sini, Tuan Wistletone. Setidaknya ajaklah mata Anda untuk menjelajahi ruangan ini." Louis terdiam lalu mulai berjalan beberapa langkah ke depan—memandangi setiap sudut kelas tapi tetap tak menemukan apa pun.
"Baiklah, aku menyerah."Nona Harrel pun menertawakannya sedikit lalu berjalan ke sudut ruangan di mana rak buku terdapat. Telunjuknya terulur ke arah sesuatu yang tak asing baginya. "Mushroom," ucapnya dengan senyuman membuat Louis menepuk dahinya sendiri.
"Ya Tuhan, aku bodoh sekali."
Dan wanita itu kembali berjalan menuju Louis lalu berhenti di hadapannya. "Begitulah kami bermain riddle, Tuan Wistletone."
"Menarik," gumam Louis ketika wanita itu kembali ke bagian mejanya dan mengangkat semua buku-bukunya.
"Jika Anda tak keberatan, saya pamit untuk makan siang."
Louis seketika mengangguk. "Silakan, Nona Harrel. Maaf membuang sedikit waktu Anda."
Nona Harrel hanya tersenyum lalu berkata, "Selamat siang."
Yang setelahnya dibalas dengan anggukan singkat dari seorang Louis Wistletone.
Malam harinya benar saja. Baik Anthony, Richard, maupun Louis pulang ke rumah untuk makan malam bersama. Sayang sekali Celestine belum tampak keberadaannya di sekitar meja makan membuat Louis semakin jengkel dengan sosok Joseph Stefar si bajingan nyaris miskin. Namun, ia tak bermaksud menghancurkan malam pertamanya di Newcastle dengan berteriak memaki-maki nama Joseph Stefar di meja makannya. Ia memilih untuk diam seolah menikmati makan malamnya. Bahkan ketika adiknya, Virginia Wistletone, menawarinya segelas wine, ia hanya mengangguk tak menjawab ya atau tidak. Rasanya makan malam, malam itu, begitu sepi tak ada topik yang bisa dibicarakan.
"Ini seharusnya tak terjadi padamu."Namun dengan cepat Celestine menarik tubuhnya menjauh dan menggelengkan kepalanya setelah mengusap wajahnya. Senyuman pun tercipta saat itu juga. "Aku tak menyesalinya, Lou. Aku dan Joseph saling mencintai dan kami sudah memiliki seorang putri sekarang. Setidaknya sekarang aku mempunyai alasan untuk tetap bersama Joseph m
Tak memiliki pilihan setelah pernyataan ayahnya didengar, Jasper pun mendorong tubuhnya untuk masuk ke dalam rumah dan dari balik jendela, tampak Jasper sedang memaksa istrinya untuk keluar memberikan Abigail kepada Louis. Meskipun wanita itu ragu, pada akhirnya ia keluar dengan Abigail dalam gendongannya membuat Louis sedikit terbelalak mengetahui fakta bahwa Abigail bukan lagi seorang bayi karena dia muncul dalam balutan baju tidur yang cantik dengan rambut pendek mencapai daun telinganya. Tampak sangat cantik dan membuat Louis tersenyum ketika menarik Abigail ke dalam gendongannya karena gadis kecil itu memiliki mata Celestine tapi lebih gelap jadi tampak seperti biru miliknya yang tak t
Malam hari itu bintang-bintang tampak mengadakan pertemuan mereka sendiri di atas langit—menyingkirkan uap air yang berusaha menghalangi mereka sehingga orang-orang bisa mengintip pertemuan para bintang dari bawahnya ketika kepala mereka menengadah dan tercipta pantulan bintang-bintang itu di mata mereka. Namun, lain halnya dengan Louis yang sekarang sedang di dalam kamarnya mencoba mencocokan antara setelan jas dan warna dasinya selagi berdiri di depan cermin, pria itu menyunggingkan senyuman sekilas begitu melihat setelan jasnya sudah sempurna—ditambah dengan beberapa ml gel rambut yang membuat penampilannya kelewat sempurna untuk sebuah pesta musim gugur.
"Audere est Facere" adalah kata pembuka pertemuan mereka."Kita harus mengadakan pertemuan Blighty Boys lagi," ucap Louis yang membuat Ian justru memasang wajah jijiknya
Kehadiran Louis mengejutkan wanita itu. Namun, sedetik kemudian ia memberikan senyuman manisnya. "Bolehkah aku duduk di sampingmu?" tanya Louis kepadanya yang dibalas dengan anggukan sehingga pria itu bisa mendudukkan bokongnya di sana. "Kau sendirian, Nona Harrel?"Emma Harrel menggeleng singkat tanpa jawaban, tapi setelahnya ia berkata, "Saya bersama teman
Pagi hari di The Teahouse saat itu terasa berbeda karena empat jiwa lama yang tak lagi berkeliaran di sana dikembalikan hari ini juga mengubah suasana sepi dan tentram di The Teahouse menjadi sedikit bising daripada hari-hari normal sebelum mereka tiba. Di sudut teahouse, seorang wanita dengan topi di kepalanya dan buku yang bersandar di atas kedua tangannya, merasa terganggu dengan cekikikan kecil Ian dan Pete yang terdengar lebih keras daripada milik Louis. Sedangkan Dan saat ini sedang menceritakan sebuah kisah tentangnya dan kelelawar dalam balutan lelucon karangannya.
Keheningan tercipta pasca bencana yang Ian bagi kepada aliansi itu. Hati memang berbicara lebih banyak ketimbang bibir, dan itu bukanlah hal yang wajar terjadi di pertemuan aliansi bernama Blighty Boys. Jelas salah satu dari mereka ingin menyuarakan hati. Meski tak sepenuhnya sesuai, setidaknya ada yang bersedia memecah duka terselimuti keheningan ini."Hey,