"Audere est Facere" adalah kata pembuka pertemuan mereka.
"Kita harus mengadakan pertemuan Blighty Boys lagi," ucap Louis yang membuat Ian justru memasang wajah jijiknya seraya memutar gelas dalam genggamannya. "Apakah hanya aku yang masih membenci sebutan itu? Terdengar seperti band atau boy band."
"Tampaknya kita bisa melengserkan Beatles jika meluncurkan satu lagu saja," jawab Pete membuat semuanya tertawa.
"Setidaknya lebih baik daripada Amicitia. Itu terdengar seperti grup banci." Dan menambahkan membuat Ian menghardiknya. "Itu bahasa Latin, Dan! Artinya persahabatan!"
"Aku tetap tak suka, Ian."
"Kurasa aku lebih membenci yang pertama." Pete mengutarakan pendapatnya dan Louis segera mengangkat telunjuk beserta sudut bibirnya. "Ah, tea club. Itu lebih terdengar seperti kegiatan yang sering dihadiri ma di sore hari."
"Bukankah kita memang sudah terdengar demikian? Mengobrol selagi minum teh dan menyantap muffin dan kue dan scone. Lalu mengapa tadinya tak mengusulkan househusband club?"
Tangan Dan pun melambung untuk memukul pelan kepala Pete. "Itu semakin menjijikan, maksudku kita tak membicarakan orang lain. Kita mencoba mengubah dunia." Ian dan Louis baru saja berencana untuk membuka mulut secara bersamaan namun Dan lebih dulu berkata, "Blighty Boys sudah terbentuk enam tahun lamanya. Untuk apa mengubah sesuatu yang sudah melekat dalam diri kita? Tak ada perdebatan lagi, kita berpesta malam ini."
"Seharusnya kau tak menjadi Zoologist, Dan, tapi kritikus politik."
"Terima kasih, Louisa, atas saranmu." Ian dan Pete tertawa mendengar nama Louisa telontar dari mulut Dan sedangkan Louis hanya memutar bola matanya.
Lalu keheningan tiba mengisi celah antara empat pria yang tak bertemu empat tahun lamanya untuk mengejar mimpi mereka masing-masing. Keheningan yang berlangsung tak lama berakhir karena Ian berkata, "Tetap saja aku tak suka nama Blighty Boys," yang membuat Dan, Pete, dan Louis menatapnya dari sudut mata mereka masing-masing mencoba membuka mulut dan mengutarakan argumen mereka yang menentang Ian. Namun, terurungkan karena Ian sudah dulu menyela. "Aku lebih suka yang T.C.B.W.S"
Dengan tatapan kesalnya Dan berkata, "Oh jangan lagi." Sedangkan Pete bergumam, "Itu seperti singkatan agensi bodoh di pinggiran London yang berisi penjilat."
"Tidak, Pete!" pekik Louis membuat Ian yang baru saja menatap Pete beralih menatapnya sedangkan Dan tampaknya tak peduli karena matanya sedang menjelajahi seisi pesta meskipun tubuhnya masih berdiri di sana. "Itu terdengar seperti nama penyakit."
Pete tertawa seraya menepuk bahu Ian berulang kali yang justru ditanggapi dengan tatapan kesalnya. Louis pun terkekeh menatap keduanya. Rasanya seperti kembali ke Wistletone's School dan terjebak dalam perdebatan penentuan nama grup mereka.
Ian menghabiskan sisa wine dalam gelasnya lalu menghembuskan napasnya kesal ketika Pete dan Louis belum berhenti menertawakannya sehingga ia pun berkata, "Kalian hanya tak tahu makna di balik sebuah kata. Itu lebih dari sekadar singkatan." Pete dan Louis tak peduli, sedangkan Dan masih sibuk mencari-cari. "Tea Club by Wistletone's Students. T.C.B.W.S, itu keren."
"Aku tahu kita mencintai teh tapi itu memalukan, Ian. Intinya aku tak suka dan jangan memulai perdebatan lagi. Jelas sekali Blighty Boys terdengar lebih keren dan cocok untuk kita," jelas Pete panjang lebar yang hanya dibalas dengan mimik wajah menghina dari Ian.
"Blighty Men. Kita bukan boys lagi, Boys. Benarkan, Dan?" ucap Louis namun kesadaran Dan tak di sana bersama teman-temannya meskipun tubuhnya masih mampu ditemukan. "Dan?" panggil Louis sekali lagi dan kali ini ditambahkan tepukan singkat pada bahunya membuat pria itu terkejut.
"Oh!" pekik Dan sedikit terkejut bukan hanya karena tepukan Louis, tetapi juga karena menemukan wajah kesal Ian sehingga Dan pun terkekeh singkat. "Ian yang malang selalu terpojokan. Tiga melawan satu. Kau seharusnya mengerti itu, Ian."
"Aku punya pendirian yang kokoh," jawabnya.
"Kau tak di sini, 'kan? Dan?" tanya Louis membuat Dan justru hampir menyatukan kedua alisnya. "Ya, kau tak di sini. Kulihat matamu mencari-cari seseorang."
Dengan begitu Dan pun menggaruk tengkuknya sekilas lalu menjawab, "Derry mengundangkan seorang gadis istimewa untukku. Kupikir dia sudah tiba karena baru saja aku melihat sosoknya berjalan dengan anggun dalan balutan gaun merah mudanya yang hanya sepanjang lutut. Rambutnya tergerai indah dengan sedikit gelombang di bawahnya yang berwarna lebih tua daripada cokelat pada rambut atasnya. Matanya memancarkan—"
Louis, Pete, dan Ian mendengarkan kagum mengingat Dan tak begitu pandai dalam merangkai kata namun perihal menggoda gadis selalu ada saja kata manis yang mampu memikat hati mereka.
"—nuansa cokelat yang kuat membuat siapa pun yang bertatapan dengannya akan jatuh hati saat itu juga. Mungkin sekarang langkahnya melambat karena menemukan sosok Dan Nordström bersama ketiga temannya berdiri di sudut ruang pesta dekat tangga menuju salah satu kamar. Pilihan yang tepat untuk berdiri di sini menunggunya mendekat, karena setelah dansa yang pelan dan mengagumkan malam ini, mungkin kita akan bercinta." Dan mengakhirinya dengan menampakkan seringai cerahnya sedangkan Blighty Boys tertawa dan menyorakinya.
"Beruntung ayahmu tak ada di rumah. Jika dia ada di rumah, kau kesulitan menghadiri pesta dan bercinta, 'kan?" ucap Pete lalu Dan merapihkan jasnya dan menyisir beberapa helai rambutnya dengan jemari.
"Tepat sekali, Petunia." Mereka kembali tertawa sekilas. "Beruntung juga ayahku baru saja pergi tiga hari lalu dan berencana meninggalkan Newcastle dua minggu lamanya memberikan cukup waktu bagi kedua putranya untuk bersenang-senang seperti yang lain."
Ian yang sejak tadi terdiam dan sesekali tertawa seketika berkata setelah telunjuknya terangkat. "Hey, aku suka bagian yang matanya memancarkan nuansa cokelat—" ucapnya mengikuti nada bicara Dan seolah sedang membacakan sebuah puisi—membuat Louis dan Pete tertawa sedangkan Dan tampak bangga. "—yang kuat. Menurutku ada kekuatan dalam kalimat itu. Wanita seperti rubah. Cahaya dalam mata mereka terpancar dan ketika itu terpancar, sumbernya bukan hanya dari mata mereka tetapi juga dari dalam diri mereka sendiri, termasuk jiwa mereka. Aku tak menyangka kau bisa menyalurkan kekuatan dalam katamu sehingga terdengar mengagumkan, hidup, dan benar-benar nyata. Seolah kiasan yang menjadi nyata."
Dan masih tersenyum bangga mendengarkan, berbeda dengan Louis yang mencoba memahami setiap kata dan menangkap inti dari ucapan Ian, sedangakan Pete hanya mendengarkan tak bermaksud menganalisis maupun menangkap inti di balik kalimat Ian seperti Louis.
"Apa dia berhasil mencapai skala Dr. J. Evans Pritchard, Ph.D dalam menulis puisi?" tanya Louis.
Ian terkekeh sekilas. "Pritchard itu membosankan. Dan jelas lebih baik darinya." Pria itu pun tersenyum mendengar ucapan Ian lalu menepuk bahunya sekilas.
"Gentlemen, nikmati saja pestanya. Aku benar-benar harus pergi sekarang menemui gadis itu. Semoga kalian menemukan gadis kalian sendiri." Dengan begitu Dan pergi dari sana meninggalkan teman-temannya terjebak dalam keheningan pesta. Aneh, padahal tak ada keheningan dalam pesta karena musik tak pernah dimatikan namun mereka terjebak dalam situasi itu.
Louis bersiul-siul kecil ketika kedua tangannya tenggelam ke dalam saku celana selagi matanya menatap orang-orang berlalu-lalang di hadapannya. Beberapa ada yang sendiri, beberapa lagi dengan teman, dan beberapa lagi dengan pasangan. Pete baru saja menjinjitkan kakinya mencoba menemukan seseorang di balik kerumunan dan saat itu, muncullah Ursula Humphrey—gadis yang pernah menjalin hubungan dengan Pete Kennedy saat kelas 11 dan berakhir delapan minggu setelahnya—perlahan menghampiri Pete dan tercipta percakapan kecil antara keduanya hingga mereka memutuskan untuk bergabung dengan yang lainnya di lantai dansa meninggalkan Ian dan Louis dalam kecanggungan.
"Kau mau berdansa, Louie?" tanya Ian beberapa menit setelah kepergian Pete, dan Louis pun terkekeh diikuti dengan kekehan Ian setelahnya.
"Dan tampaknya memang sudah merencanakan untuk berdansa dengan gadis yang entah siapa itu—" Ian tertawa membuat ucapan Louis terpotong sekilas. "—sedangkan Pete jelas terkejut dengan kehadiran Ursula."
"Dia terpaksa pergi dengan Ursula, 'kan? Kita tahu dia tak pernah benar-benar mencintai Ursula bahkan ketika kita masih di Wistletone's School."
"Ya, Pete tak pernah mencintainya." Lalu Louis mengalihkan pandangannya untuk menatap Ian yang masih menatap kerumunan. "Sekarang dia juga terpaksa berdansa dengannya karena tak ada gadis lain yang bisa diajaknya berdansa. Mungkin ada, tapi Pete tak mencarinya dan hanya menerima yang datang kepadanya."
"Bagaimana denganmu, Louie? Kau menunggu siapa di pesta ini? Beatrice yang kau cium di lorong kamar asramanya atau Adella yang kau kencani dua minggu lamanya karena kau bertengkar dengan kekasihmu Matilda." Louis terkekeh mendengar ucapan Ian sedangkan pria itu hanya tersenyum. "Kau benar-benar mengharapkan salah satu dari mereka, bukan? Atau mungkin kakak kelas kita, Bambi yang cantik, tapi sayang tak bisa menjadi milikmu."
"Tidak, Ian."
"Tidak?" Kali ini Ian beralih untuk menatap wajah Louis dan senyumannya. "Kau yakin tak mau salah satu dari mereka?"
Louis menggeleng. "Tidak. Semua itu kesalahan. Maksudku dulu, kau tahu bagaimana aku selalu mencoba menjadi bintang di sekolah, itu bodoh. Sudah cukup kubuang waktuku untuk mengencani gadis-gadis yang bahkan tak kucintai dengan sepenuh hati. Aku sudah dewasa dan mencoba menemukan satu yang akan bertahan bersamaku untuk selamanya."
"Haruskah kuberikan tepuk tangan?" Ian memberikan senyuman singkatnya dan Louis bertanya setelahnya, "Bagaimana denganmu, Ian? Apa kau pernah jatuh cinta selama empat tahun terakhir ini karena ketika di Wistletone's kau tak pernah tampak tertarik dengan seseorang selain puisi dan Latin."
"Aku selalu jatuh cinta, Louie, dan aku selalu mengatakan padanya bahwa dia cantik setiap harinya selama aku masih bisa melihatnya."
"Benarkah? Siapa dia? Kau tak pernah bercerita tentangnya."
"Kau pasti tak ingin mendengarnya." Louis tertawa dan mendekatkan wajahnya kepada milik Ian. "Oh ya, aku ingin." Namun, Ian menolak untuk menjawab dan beralasan harus pergi ke toilet karena Louis terus memaksanya.
Kini hanya ada Louis seorang diri menatap kerumunan. Mata birunya beralih menatap gelas winenya yang kosong dan bermaksud pergi untuk mengisi gelasnya. Pada sudut meja di mana hidangan tersaji, ia bertemu beberapa teman lama lainnya dan terjebak dalam percakapan acak yang tak begitu menyenangkan. Lalu, setelah teman lamanya itu menghilang, Louis mengisi gelasnya penuh dan berniat kembali berdiri di dekat tangga menunggu Ian keluar dari toilet. Namun, di sanalah ia melihat seorang wanita yang tak asing baginya duduk di atas tangga pada urutan keempat membuat Louis berdiri di hadapannya.
Kehadiran Louis mengejutkan wanita itu. Namun, sedetik kemudian ia memberikan senyuman manisnya. "Bolehkah aku duduk di sampingmu?" tanya Louis kepadanya yang dibalas dengan anggukan sehingga pria itu bisa mendudukkan bokongnya di sana. "Kau sendirian, Nona Harrel?"Emma Harrel menggeleng singkat tanpa jawaban, tapi setelahnya ia berkata, "Saya bersama teman
Pagi hari di The Teahouse saat itu terasa berbeda karena empat jiwa lama yang tak lagi berkeliaran di sana dikembalikan hari ini juga mengubah suasana sepi dan tentram di The Teahouse menjadi sedikit bising daripada hari-hari normal sebelum mereka tiba. Di sudut teahouse, seorang wanita dengan topi di kepalanya dan buku yang bersandar di atas kedua tangannya, merasa terganggu dengan cekikikan kecil Ian dan Pete yang terdengar lebih keras daripada milik Louis. Sedangkan Dan saat ini sedang menceritakan sebuah kisah tentangnya dan kelelawar dalam balutan lelucon karangannya.
Keheningan tercipta pasca bencana yang Ian bagi kepada aliansi itu. Hati memang berbicara lebih banyak ketimbang bibir, dan itu bukanlah hal yang wajar terjadi di pertemuan aliansi bernama Blighty Boys. Jelas salah satu dari mereka ingin menyuarakan hati. Meski tak sepenuhnya sesuai, setidaknya ada yang bersedia memecah duka terselimuti keheningan ini."Hey,
Sorakan di pangkal tenggorokan itu mendorong sepasang jari Nyonya Bache untuk memelorotkan kacamatanya. Peringatan dari sepasang bola mata pun teracuhkan begitu saja sebab hal lain tengah mengisi hati demi rencana bermalam yang menyenangkan. Sudah empat tahun dan empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Apabila rencana bermalam sungguh terlaksana nantinya, suasana nostalgia tak terhindarkan segera menyerang."Karena kita di rumah Dan, jelas dia harus menyuguhkan makanan yang enak dan kita tak harus membawa dari rumah." Anggota Blighty Boys tertawa bersamaan. Namun, Dan yang mengakhiri tawanya lebih dulu ketika manik matanya beralih menatap pintu masuk The Teahouse.Tarikan sudut bibir Dan ditampakkan. "Kalian tak perlu khawatir. Aku akan menjadi tuan rumah yang baik dan ramah. Akan kusuguhkan sesuatu yang belum pernah kalian lihat dan akan kupastikan kalian men
Dua pasang roda sepeda berputar menyisir pinggiran Newcastle melewati jembatan berbatu bata beserta jalan setapaknya. Beberapa orang yang sibuk berlalu-lalang membawa beban pekerjaan mendengus ketika kedua pengendara sepeda itu cekikikan mengendarai sepeda mereka dengan brutal hampir menabrak beberapa orang di sepanjang jalan itu. Beruntung, tak satu pun pejalan tertabrak salah satu dari keduanya. Namun, mereka mendapat sorakan amarah dari beberapa pejalan yang tak membuat keduanya memperlambat laju sepedanya. Hampir saja sepeda yang dikendarai Louis Wistletone menabrak salah satu pohon di pinggir taman karena Dan Nordström dengan jahilnya menendang pelan area pedalnya. Namun, anehnya, Louis tak merasa kesal dan justru menertawakan kejadian yang hampir membuatnya terluka itu hingga mereka berhenti di depan pintu gerbang besar di sudut paling pojok kota—di mana pemukiman penduduk berjarak sekitar seratus l
Hukuman dari Richard Wistletone mengacaukan segalanya. Bukan kesalahan sang kepala sekolah, memang. Keduanya saja yang begitu lancang melanggar aturan meski perintahnya tak asing lagi. Oleh karena itu, setelah menendang lantai dengan kesal, Dan berkata, "Sial! Semua rencana kita gagal.""Setidaknya sudah kukatakan idemu buruk."
Kejutan yang ditemukannya di balik rak buku-buku perpustakaan masih mengacaukan sikap. Berulang kali pula Louis memutar leher untuk menemukan wajah si pustakawati baru. Nyatanya itu selalu menggelitik hati meski langkah menuju rekan aliansi.Louis tak menemukan Dan di kursinya. Rupanya pria itu berdiri di ambang pintu perpustakaan dengan jas yang sudah ia ke
Tiga orang pria bersemangat menarikan sepasang kaki mereka di sepanjang trotoar area perindustrian kuno di Newcastle. Salah satu dari mereka baru saja memainkan suspender celananya ketika dua lainnya bernyanyi, "Some talk of Alexander, and some of Hercules," dengan kompak, menarik perhatian beberapa pekerja industri yang pada sore itu me
Dua bulan semenjak pertemuannya dengan Dan Nordstrom, dia masih belum menemukan jawaban. Sebuah kotak—sama persis dengan milik Louis Wistletone ketika ia masih menjadi kepala sekolah di sana—berdiri di sudut meja yang sama. Kebenaran dan kebohongan ada di dalamnya. Apabila Pete mencoba memilih mana yang harus dikatakan lebih dulu, ia tak tahu. Keduanya harus dikatakan bersamaan. Sehingga sore ini ia memilih untuk pulang, kendati tinggal di asrama Wistletone’s School seperti beberapa hari sebelumnya.Jikalau kotak itu milik Louis yang diwariskan untuknya, maka ia memiliki benda untuk diwariskan pula nantinya; sebuah jurnal. Mungkin terdengar tak menyenangkan, tapi sama seperti kotak Louis dengan rahasia di dalamnya, ia juga memiliki beberapa di dalam jurnal itu. Yang Pete butuhkan hanyalah seseorang untuk dipercaya menjaga rahasia dalam jurnal dia.Ia baru saja menuruni beberapa anak tangga ketika kotak itu nyaris lolos dari dekapannya sebab sepasang anak laki-laki berumur 14 tahunan b
The Teahouse tampak berbeda di abad kedua puluh satu. Tidak, bukan karena pelayannya telah digantikan robot semenjak Nyonya Bache pergi. Tidak juga karena interior antiknya berubah mengusung gaya Inggris modern. Mereka tetap serupa, tapi di bawah naungan atmosfer yang berbeda. Bahkan tempat ini sekarang menyajikan kopi semenjak kebudayaan mengonsumsi kopi tak lagi asing di lidah masyarakat Inggris. Tempat ini pun memiliki tambahan & Cafè setelah kata Teahouse dan mereka menghapus awalan The. Meskipun demikian, pria dengan koper persegi panjang di lantai tak pernah mengubah selera tehnya meski kopi mulai menjajaki daftar terfavorit.Pria itu kini memandang beberapa lembar kertas di dalam sebuah stopmap selagi menanti teh pesanannya tiba untuk dicicipi. Ketika ia selesai menumpuk rapi semua kertas dan memasukkannya kembali ke dalam koper, sebuah jurnal dari dalam sana mengganti posisi si stopmap. Tangan menarikan pena itu untuk menulis 28 April 2010. Tak ada perubahan. Masih aku. Masih
Ketika halaman Wistletone's School tampak senyap sebab semua orang disibukkan dengan pembelajaran, sepasang anak laki-laki justru mengendap-endap menuju sisi lain lapangan utama Wistletone's untuk sebuah aksi. Salah satu dari mereka tampak ketakutan dan hampir mengurungkan aksi yang terencana, tapi satunya lagi justru tampak bersemangat dan berkata, "Jangan khawatir, Alexis. Ini akan menyenangkan! Aku berani jamin!" Ia pun mendorong diri lebih jauh menuju objek incarannya."Tapi kita bisa terlibat masalah, Knox! Aku tak ingin dimarahi ayah lagi."Teman sebayanya pun segera melambaikan tangan di udara. "Jangan pedulikan. Ikuti saja perintahku untuk lari setelah ini, maka kau akan selamat dari kejaran bapa."Meski Alexis tampak ingin melontarkan patah kata lainnya, si anak bernama Knox sudah dulu memegangi sebuah tali yang cukup tebal.Kini, Alexis pun terpaksa menggenggam tali itu dan keduanya menghitung dengan cekikikan—atau justru hanya Knox yang tampak bersemangat. "Satu, dua, tiga!
Semalam, awan menangis hebat untuk alasan yang tak pasti. Sehingga pagi ini, dedaunan masih berkeringat dingin menanti sang surya membasuh peluh itu. Atmosfer pun mendingin meski sinar surya berhasil menembus kumpulan awan tipis yang menjulurkan leher mereka untuk mengintip kehidupan di Newcastle pada awal musim gugur, tepatnya pada tanggal sembilan september seribu sembilan ratus delapah puluh sembilan.Seorang pria yang telah mengenakan kemeja dengan balutan vest pun masih berdiri di hadapan kaca selagi gigi saling bergulat menghancurkan secuil roti di dalam mulut. Ia menarik sebuah sisir dari tempatnya untuk merapikan tatanan rambut yang sudah sempurna. Bahkan pagi ini, ia baru saja membersihkan kumis dan berewok seolah sungguh bersiap untuk sebuah pertemuan istimewa.Begitu suara ketukan pintu terdengar, ia segera meletakkan sisirnya dan meneguk habis teh dalam cangkir. Ditariklah gagang pintu itu menampakkan seorang pria dengan sebuket bunga besar yang tampak segar. Ia pun puas m
Sang surya terus didorong rotasi bumi menuju cakrawala yang masih jauh di seberang sana. Sementara itu, Ruenna sendiri baru saja melambaikan tangan setelah mengucapkan terima kasih sehingga Anthony bisa melanjutkan perjalanannya menuju Grainger Town yang diramaikan beberapa pelayat pula untuk jamuan.Puluhan topik melilit percakapan antara dua orang bahkan lebih ketika Louis mendorong diri mengisi salah satu ruang di ruang tamunya. Beberapa hidangan pun tampak mulai dicicipi lidah-lidah para pelayat yang sempat menunjukkan simpati mereka kepada Louis. Pria itu hanya mengangguk, tapi tak tertarik untuk melibatkan diri pada topik yang mereka tawarkan. Sebagai gantinya, ia mencoba menemukan Sylvia yang masih bersama Virginia di perpustakaan sejak ia menuju Jesmond.Ia menyadari bahwa Judith Hope baru saja mendorong diri meninggalkan perpustakaan dengan nampan di tangan. Ketika ia mencoba mengacuhkan wanita itu, ia justru mengelus bahu Louis sekilas selagi netra mencoba memberikan kekuata
Ketika para pelayat mulai berdatangan dan ibadah penghiburan terlalui sudah, peti Emma kembali mengisi ruang di perut ambulan menuju tempat di mana jutaan kisah tinggal. Kali ini Louis ada di sisinya tanpa Sylvia yang kemungkinan berada di bawah asuhan Virginia. Sementara seberhenti ambulan itu tepat di hadapan gerbang berkarat setinggi perut milik pemakaman Jesmond, beberapa orang sudah mendahului Louis mengisi ruang di beberapa sisi lubang galian untuk peti Emma.Pintu ambulan yang terbuka membuat Richard bertatapan dengan emosi Louis yang baru saja menetes tanpa disadari. Pria itu pun menarik napas perlahan sebelum melarikan tangan untuk menggenggam tangan putranya. ❝Whose heart plowing an ungainly perpetually, will never find an undaunted space.❞Namun, ucapan itu membuat Louis menggelengkan kepala sehingga tetesan emosi lainnya luruh sudah. "Jangan memberiku nasihat yang tak bisa dipraktikan, Pap. Aku sudah menyinggung soal kehidupan kita yang berbeda. Semua ini tak akan mudah un
Ketika rembulan belum bersedia ditelan cakrawala, tak ada satu hal pun yang mampu menyelamatkannya dari duka. Bahkan memori kebohongan semalam pun sempat terganti begitu beberapa orang melenggang masuk ke dalam kamarnya hanya untuk membawa Emma pergi dari belenggu kehidupan yang ingin ditinggalkan.Orang-orang dari rumah sakit segera mengevakuasi tubuh tak tersentuh kehidupan itu beberapa jam setelah semua sandiwara Louis terlaksana. Hal itu pula yang menyebabkan beberapa orang dari rumah sakit tak menyimpan banyak tanda tanya di kepala begitu melihat wajah Colin Marlowe.Tampaknya skenario kebohongan Louis yang terencana disetujui oleh Tuhan seolah Tuhan pun ingin menyelamatkan nasib Louis kali ini yang terikat nama keluarga dan latar belakang Sylvia—Joan Creveld. Namun, semua skenario yang telah ditulis tak sama sekali membantu Louis menerima takdir ketika kakinya menginjak lantai rumah sakit untuk menyaksikan betapa kering tubuh Emma seperti harapan si wanita. Ia merasa bersalah se
Sepasang iris Louis berdetak menyaksikan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun mendorong kaki itu cepat menuju seorang wanita yang terbaring lemah di atas ubin yang sangat terawat. Begitu si wanita sudah dalam jangkauan, diangkatlah kepala itu mencoba membawanya kembali ke kehidupan. Tubuh pun sempat diguncang berkali-kali sementara jantung Louis sudah diramaikan ketakutan."Emma!" pekiknya cukup keras selagi tangan menampar pelan pipinya. Namun, wanita itu tak membuka netra. Tubuhnya pun tampak tak bergerak sama sekali. Meski itu gerakan alamiah untuk menunjukkan bekerjanya pernapasan pun, hal itu tak mampu Louis lihat. Sementara sepanjang pipi hingga dagu menampakkan jejak tangisan yang kentara sekali belum sempat dihapus.Ketika Louis mendorong telunjuk mencoba menemukan deru napas meluncur dari lubang hidungnya, hal itu tak dapat dirasakan. Digeletakkan lagi wanita itu di atas ubin, denyut nadi maupun jantung tak lagi bergejolak seolah tubuh itu sudah kehilangan segala
Beberapa momen tercipta sangatlah serupa dengan ekspetasi. Beberapa lagi tercipta lebih baik dari garis rata-rata ekspetasi. Namun, kali ini, momen tak begitu menyenangkan kembali menghampiri akibat waktu yang selalu merespons layaknya gazelle di balik semak-semak. Mereka berlarian begitu cepat untuk mengubah jam menjadi hari. Akibat ulah si waktu yang kelewat cepat untuk sebuah hal fana, sepasang kekasih yang telah mencicipi berbagai rasa kehidupan kembali disaksikan stasiun serupa.Mungkin beberapa hal tampak sama di netra Louis. Namun, selalu ada hal berbeda yang disuguhkan untuknya setiap kali kata perpisahan mengantarkan ke area stasiun bersama setelan jasnya. Bibir masih terkatup ketika tangan itu bertengger di sisi wajah Emma sementara Sylvia ada di gendongan Alma. Gigi gerahamnya bertemu menciptakan bunyi ting yang sangatlah pelan guna menghapus keraguan."Aku tak akan pergi untuk selamanya. Jangan berikan aku kejutan, Emma. Ketika aku pulang, tak ada lagi kesengsaraan yang ka