Malam hari itu bintang-bintang tampak mengadakan pertemuan mereka sendiri di atas langit—menyingkirkan uap air yang berusaha menghalangi mereka sehingga orang-orang bisa mengintip pertemuan para bintang dari bawahnya ketika kepala mereka menengadah dan tercipta pantulan bintang-bintang itu di mata mereka. Namun, lain halnya dengan Louis yang sekarang sedang di dalam kamarnya mencoba mencocokan antara setelan jas dan warna dasinya selagi berdiri di depan cermin, pria itu menyunggingkan senyuman sekilas begitu melihat setelan jasnya sudah sempurna—ditambah dengan beberapa ml gel rambut yang membuat penampilannya kelewat sempurna untuk sebuah pesta musim gugur.
Sudah empat tahun ia tak menghadiri pesta dan sudah empat tahun pula ia tak melihat para gadis dalam balutan gaun yang indah dan tatanan rambut yang menawan—membuatnya tak sabar untuk segera tiba di Fenham, tempat pesta yang disewa Diederik Nordström. Dan ketika semuanya sudah sempurna, ia menyisir rambutnya sekali lagi agar tampak lebih rapih dari sebelumnya, kemudian keluar dari kamar dan kebetulan ada Anthony yang berdiri di sana dengan bukunya.
"Oh," ucap Anthony pelan diikuti dengan manik mata yang menatap adiknya dari atas hingga bawah. "Jadi kau memang akan berpesta malam ini?"
Louis menatap setelan jasnya sekali lagi lalu mendongakkan kepalanya menatap pria itu yang masih memegangi buku dengan salah satu tangannya. "Begitulah. Lagi pula, aku merindukan teman lama."
"Teman lama? Kau yakin ini bukan soal gadis?" Dan Louis pun terkekeh setelahnya. "Dan itu juga. Ayolah, Ant, aku sudah pergi cukup lama dan sangat merindukan kehidupan normalku!"
Selepasnya, Anthony pun menutup halaman bukunya itu sehingga terdengar bunyi debam pelan. "Aku tak menghardikmu. Hanya sedikit memperjelas tujuanmu yang tersembunyi."
"Ya, aku mengerti." Louis hampir berlalu, tapi ia kembali lagi ke hadapan Anthony untuk berkata, "Apakah kau yakin tak ingin pergi bersamaku? Mungkin pestanya akan meriah mengingat para Nordström yang mengadakan, meskipun tidak di kediamannya."
Anthony terkekeh sekilas lalu memindahkan buku dari genggaman ke pelukannya. "Nay (tidak). Aku benar-benar harus belajar. Aku tak boleh telat lulus, nilaiku tak boleh turun, dan sial, aku harus menjadi seorang guru. Apakah aku cocok menjadi seorang guru?"
"Ya, kau cocok menjadi guru keributan." Keduanya terkekeh singkat. "Sebaiknya aku pergi sekarang sebelum percakapan ini menjadi menarik dan aku jadi malas untuk pergi." Anthony hanya menambahkan sedikit senyuman lalu menjawab, "Jangan sampai ada yang kau pukuli malam ini," sebelum Louis benar-benar menghilang sehingga pria itu hanya terkekeh seraya mengangkat salah satu ibu jarinya.
Sepanjang jalan menuju pintu keluar rumah Wistletone tampak sepi. Namun, Louis baru saja melewati perpustakaan di mana ada ibunya, Celestine, dan putrinya—Abigail—yang manis sedang menatap grandfather clock takjub seolah tak pernah melihat jam semacam itu sebelumnya. Richard Wistletone tak menampakkan sosoknya, mungkin sedang di dalam ruang kerjanya sedangkan Virginia, jelas sekali putri termuda pasangan Wistletone itu sedang di dalam kamarnya mengerjakan tugas kuliah.
"Keluarga Wistletone tak begitu menakjubkan," ucap Richard kepada Louis pada musim gugur 4 tahun silam sebelum putranya itu pergi menempuh pendidikan militernya.
"Putri tertuaku tak pernah duduk di bangku kuliahan. Putra pertamaku akan ku kirim ke Universitas Newcastle. Putra keduaku akan melanjutkan ke sekolah militer sedangkan putri termudaku akan mengikuti jejak kakaknya bersekolah di Universitas Newcastle. Sungguh tak ada yang begitu mengagumkan. Sangat mudah ditiru oleh yang lainnya. Jadi kumohon, Louis, ketika mereka mendengar nama belakangmu, tak seharusnya kau bertingkah berlebihan seolah nama Wistletone adalah anugerah yang tiada batasnya." Dengan begitu Louis mengangguk kepada sang ayah, Richard, yang kini memegangi kedua bahunya sebelum memberikan sebuah pelukan lalu membiarkan Louis pergi dengan kereta api di belakangnya.
Louis tak pernah mengerti dengan kerendahan hati ayahnya itu seolah tak mau memanfaatkan pemberian istimewa dari Tuhan. Ia selalu berkata bahwa semua orang bisa menjadi seperti Wistletone dengan mudah jika mereka berusaha keras. Namun, tetap saja rasanya berbeda bagi seorang Louis Wistletone yang sangat bangga dengan keluarganya seolah dengan nama belakangnya itu, ia bisa mendapatkan semua yang diinginkannya. Namun, tak lagi semenjak ia kembali dari sekolah militer setelah empat tahun lamanya. Di sana, ia mengerti Wistletone sudah tak bernilai seperti lampau hari sebelum ia tiba di sekolah itu. Di sana, Wistletone hanyalah nama dan hanya kemampuan yang mampu melambungkannya.
Ingatan empat tahun silamnya itu terkubur ketika mobilnya mulai melaju meninggalkan halaman rumah yang luas dan terdapat hamparan rerumputan di kanan kirinya yang kini berganti dengan pemandangan pinggiran kota Newcastle yang tak terlalu ramai, tapi dipenuhi pepohonan rindang. Tampak sepi dan udaranya terasa lebih dingin dari hari-hari lalu.
Fenham semakin dekat dan deretan mobil maupun sepeda sudah memenuhi halaman tempat pesta yang dipesan Nordström bersaudara atau lebih tepatnya Diederik. Menemukan tempat pesta itu cukup mudah bagi Louis, meskipun Dan hanya mengatakan Fenham. Jelas, hanya pesta Nordström yang meriah dan itu kentara sehingga ia tak akan keliru menghadiri pesta. Lagi pula, Fenham tidaklah luas.
Gemerlap pesta yang diselenggarakan Diederik membuat Louis segera memarkirkan mobilnya dan mengubur dirinya dengan kerumunan orang-orang yang menyunggingkan senyuman dan segelas wine di tangan mereka. Namun, sebelum ia menemukan teman-teman lamanya, Diederik si penyelenggara pesta adalah orang pertama yang ia peluk setibanya di sana. Setelah pelukan singkat itu keduanya saling tatap dalam balutan senyuman.
"Selamat datang, Louis!" ucap Diederik seraya melebarkan kedua belah lengannya bangga sehingga Louis tersenyum menanggapi. Setelah kalimat itu, Diederik menyipitkan matanya untuk menatap Louis. "Oh, aku tersanjung." Namun, ucapannya membuat Louis kebingungan. "Kau datang dengan wajah memar itu agar semua orang kagum mengetahui kau seorang tentara yang tampaknya berani mati."
Louis terkekeh singkat. "Tidak, bukan begitu, Derry. Ini memar yang tak terduga. Aku mendapatkannya semalam karena perkelahianku dengan Joseph."
"Wow!" pekiknya sekilas.
"Dan berkata kau mengadakan pesta karena ayahmu tidak di rumah. Betapa sederhananya alasanmu di balik pesta mewah ini."
Senyuman Diederik semakin lebar kala itu. Kemudian ia menjawab, "Ya. Maksudku jarang sekali ayah pergi dua minggu lamanya. Kita harus mengadakan pesta untuk itu! Salah satu wujud bersyukur." Diederik mengakhirinya dengan kedipan sebelah mata. Tampaknya Nordström bersaudara sama-sama sosok yang fleksibel.
"Semoga kau tak mengadakan pesta setelah kematian Tuan Duncan Nordström."
"Aku masih waras, Louie." Kepalanya tergeleng pelan ketika mengatakan itu lalu Diederik beralih untuk memeluk Louis sekali lagi. "Nikmati pestanya, Chap." Ia mengakhirinya dengan menepuk bahu Louis sekilas lalu mengubur keberadaannya dalam kerumunan.
Louis mencari. Matanya mencari-cari orang-orang yang dirindukannya, yang diharapkan ada di sini pula, dan pencariannya membuahkan hasil sehingga bibirnya mengucapkan nama, "Maximilian Millepied, saudaraku," setelah seorang pria sedikit berlari ke arahnya untuk memberikan pelukan hangat membuat beberapa tetes wine dalam gelasnya melompat keluar—beruntung tak membasahi jas Louis yang sudah rapih.
"Louie." Maximilian Millepied yang sudah melepaskan pelukannya pun, menatap wajah temannya yang tak menunjukkan banyak perubahan sama sekali (kecuali memar di wajahnya) lalu memeluknya sekali lagi sebelum digantikan yang lain.
"Wistletone!" pekik Pete Kennedy dengan senyuman lebarnya diikuti pelukan setelahnya. Kebahagiaan memenuhi hati Louis saat itu juga. Sebelum pelukan itu berakhir, Louis pun berkata, "Oh, oh, Kennedy!" Sedangkan Dan Nordström mendekat namun tak berniat memeluk sahabat lamanya, Louis, sehingga ketika Louis berbalik untuk memeluknya, Dan justru mencegahnya membuat ia kebingungan.
"Aku tidak berpelukan dengan teroris. Maksudku, lihatlah tampangnya yang berantakan. Bagaimana kau bisa menarik perhatian para gadis dengan rupa seperti itu?" ucap Dan tetapi Louis hanya memutar bola matanya sekilas lalu memeluk pria itu.
Masih dengan wajah sumringahnya ia berkata, "Hargai sedikit memar di wajahku, itu lencana keberanian dan senang melihat kalian lagi, sungguh. Sudah empat tahun lamanya dan bila seperti ini keadaannya, aku tak berminat meninggalkan Newcastle." Anggota Blighty Boys pun tertawa.
Pete yang baru saja tertawa pun menjawab, "Ya, senang pastinya Blighty Boys bisa dipertemukan kembali. Namun, Louie, memar di wajahmu tak tampak seperti lencana keberanian melainkan lencana berandalan." Mereka kembali tertawa dan Louis hanya bergumam Terima kasih dengan pelan.
Ian mengangkat telunjuknya ke arah Louis di mana segelas wine ada dalam genggaman tangan yang sama. "Ketika aku mendengar kau melanjutkan ke sekolah militer, kupikir itu lelucon. Lalu surat-surat yang kukirimkan padamu, tak pernah kembali."
"Maafkan aku, Ian. Aku sedikit sibuk selama bersekolah di sana."
"Sibuk memukuli orang, 'kan? Louie?" Ucapan Pete menuntun Louis untuk menatapnya. "Lencana berandalanmu itu pasti kau dapatkan dari sebuah perkelahian."
Ian menggeleng dalam kekehannya sedangkan Dan tersenyum membiarkan Louis memijat dagunya lalu menjawab, "Ini sejak semalam. Aku memukuli si brengsek Stefar." Mereka pun ber-woo bersama-sama. "Sebenarnya ingin sekalian memukuli Jasper—"
"Itu tidak sopan," ucap Ian tiba-tiba menumbuhkan senyuman lainnya dari Dan dan Pete.
"Ayolah, Ian! Dia menyebalkan! Kau tak pernah mengenal Jasper luar dalam. Kau tak tahu betapa menyebalkannya pria tua itu." Louis menjelaskannya dengan kesal sedangkan Ian masih menegaskan bahwa ucapan dan perlakuan Louis itu tak sopan kepada Jasper yang lebih tua darinya, hingga Pete masuk ke dalam perdebatan keduanya dan memihak Louis karena ia pernah sekali berurusan dengan Joseph yang mengakibatkan kedua orangtuanya harus berhadapan dengan pasangan Stefar yang menjengkelkan.
"Sudahlah kalian." Ketiganya pun terdiam menatap Dan yang baru saja meneguk tetes wine lain dalam gelasnya. "Kalian seperti pasangan suami istri dengan tiga anak. Hentikan, itu memalukan dan tak dewasa."
Pete memicingkan bibirnya ketika Dan menyelesaikan ucapannya. "Aku tak bercanda, Pete, itu tak dewasa. Lagi pula, mengapa kalian begitu peduli dengan para Stefar yang bahkan tak ada di sini? Merusak nuansa pesta." Dan menghabiskan segelas winenya lalu mengulurkan tangannya. "Brotherhood?"
Baik Louis, Ian, maupun Pete akhirnya saling tatap dalam kekehan lalu mengulurkan lengan mereka secara bergantian untuk menutupi punggung tangan yang satu dengan yang lainnya. Keempatnya kini menundukkan kepala seraya menutup mata mereka mengabaikan beberapa pasang orang yang menatap mereka aneh. "Dipertemukannya lagi persaudaraan ini merupakan bukti terwujudnya salah satu mimpi yang masih tergantung di atas awan hingga akhirnya lenyap karena kematian memisahkan." Empat pasang mata itu terbuka meskipun tangannya masih saling bertumpukan. "Audere est Facere."
"Audere est Facere."
"Audere est Facere."
"Audere est Facere."
Ketiganya mengikuti secara bergantian lalu mereka menarik lengan mereka dan memeluk satu sama lain sekali lagi secara bergantian dengan senyuman.
* audere est facere berarti untuk berani diperlukan tindakan.
"Audere est Facere" adalah kata pembuka pertemuan mereka."Kita harus mengadakan pertemuan Blighty Boys lagi," ucap Louis yang membuat Ian justru memasang wajah jijiknya
Kehadiran Louis mengejutkan wanita itu. Namun, sedetik kemudian ia memberikan senyuman manisnya. "Bolehkah aku duduk di sampingmu?" tanya Louis kepadanya yang dibalas dengan anggukan sehingga pria itu bisa mendudukkan bokongnya di sana. "Kau sendirian, Nona Harrel?"Emma Harrel menggeleng singkat tanpa jawaban, tapi setelahnya ia berkata, "Saya bersama teman
Pagi hari di The Teahouse saat itu terasa berbeda karena empat jiwa lama yang tak lagi berkeliaran di sana dikembalikan hari ini juga mengubah suasana sepi dan tentram di The Teahouse menjadi sedikit bising daripada hari-hari normal sebelum mereka tiba. Di sudut teahouse, seorang wanita dengan topi di kepalanya dan buku yang bersandar di atas kedua tangannya, merasa terganggu dengan cekikikan kecil Ian dan Pete yang terdengar lebih keras daripada milik Louis. Sedangkan Dan saat ini sedang menceritakan sebuah kisah tentangnya dan kelelawar dalam balutan lelucon karangannya.
Keheningan tercipta pasca bencana yang Ian bagi kepada aliansi itu. Hati memang berbicara lebih banyak ketimbang bibir, dan itu bukanlah hal yang wajar terjadi di pertemuan aliansi bernama Blighty Boys. Jelas salah satu dari mereka ingin menyuarakan hati. Meski tak sepenuhnya sesuai, setidaknya ada yang bersedia memecah duka terselimuti keheningan ini."Hey,
Sorakan di pangkal tenggorokan itu mendorong sepasang jari Nyonya Bache untuk memelorotkan kacamatanya. Peringatan dari sepasang bola mata pun teracuhkan begitu saja sebab hal lain tengah mengisi hati demi rencana bermalam yang menyenangkan. Sudah empat tahun dan empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Apabila rencana bermalam sungguh terlaksana nantinya, suasana nostalgia tak terhindarkan segera menyerang."Karena kita di rumah Dan, jelas dia harus menyuguhkan makanan yang enak dan kita tak harus membawa dari rumah." Anggota Blighty Boys tertawa bersamaan. Namun, Dan yang mengakhiri tawanya lebih dulu ketika manik matanya beralih menatap pintu masuk The Teahouse.Tarikan sudut bibir Dan ditampakkan. "Kalian tak perlu khawatir. Aku akan menjadi tuan rumah yang baik dan ramah. Akan kusuguhkan sesuatu yang belum pernah kalian lihat dan akan kupastikan kalian men
Dua pasang roda sepeda berputar menyisir pinggiran Newcastle melewati jembatan berbatu bata beserta jalan setapaknya. Beberapa orang yang sibuk berlalu-lalang membawa beban pekerjaan mendengus ketika kedua pengendara sepeda itu cekikikan mengendarai sepeda mereka dengan brutal hampir menabrak beberapa orang di sepanjang jalan itu. Beruntung, tak satu pun pejalan tertabrak salah satu dari keduanya. Namun, mereka mendapat sorakan amarah dari beberapa pejalan yang tak membuat keduanya memperlambat laju sepedanya. Hampir saja sepeda yang dikendarai Louis Wistletone menabrak salah satu pohon di pinggir taman karena Dan Nordström dengan jahilnya menendang pelan area pedalnya. Namun, anehnya, Louis tak merasa kesal dan justru menertawakan kejadian yang hampir membuatnya terluka itu hingga mereka berhenti di depan pintu gerbang besar di sudut paling pojok kota—di mana pemukiman penduduk berjarak sekitar seratus l
Hukuman dari Richard Wistletone mengacaukan segalanya. Bukan kesalahan sang kepala sekolah, memang. Keduanya saja yang begitu lancang melanggar aturan meski perintahnya tak asing lagi. Oleh karena itu, setelah menendang lantai dengan kesal, Dan berkata, "Sial! Semua rencana kita gagal.""Setidaknya sudah kukatakan idemu buruk."
Kejutan yang ditemukannya di balik rak buku-buku perpustakaan masih mengacaukan sikap. Berulang kali pula Louis memutar leher untuk menemukan wajah si pustakawati baru. Nyatanya itu selalu menggelitik hati meski langkah menuju rekan aliansi.Louis tak menemukan Dan di kursinya. Rupanya pria itu berdiri di ambang pintu perpustakaan dengan jas yang sudah ia ke
Dua bulan semenjak pertemuannya dengan Dan Nordstrom, dia masih belum menemukan jawaban. Sebuah kotak—sama persis dengan milik Louis Wistletone ketika ia masih menjadi kepala sekolah di sana—berdiri di sudut meja yang sama. Kebenaran dan kebohongan ada di dalamnya. Apabila Pete mencoba memilih mana yang harus dikatakan lebih dulu, ia tak tahu. Keduanya harus dikatakan bersamaan. Sehingga sore ini ia memilih untuk pulang, kendati tinggal di asrama Wistletone’s School seperti beberapa hari sebelumnya.Jikalau kotak itu milik Louis yang diwariskan untuknya, maka ia memiliki benda untuk diwariskan pula nantinya; sebuah jurnal. Mungkin terdengar tak menyenangkan, tapi sama seperti kotak Louis dengan rahasia di dalamnya, ia juga memiliki beberapa di dalam jurnal itu. Yang Pete butuhkan hanyalah seseorang untuk dipercaya menjaga rahasia dalam jurnal dia.Ia baru saja menuruni beberapa anak tangga ketika kotak itu nyaris lolos dari dekapannya sebab sepasang anak laki-laki berumur 14 tahunan b
The Teahouse tampak berbeda di abad kedua puluh satu. Tidak, bukan karena pelayannya telah digantikan robot semenjak Nyonya Bache pergi. Tidak juga karena interior antiknya berubah mengusung gaya Inggris modern. Mereka tetap serupa, tapi di bawah naungan atmosfer yang berbeda. Bahkan tempat ini sekarang menyajikan kopi semenjak kebudayaan mengonsumsi kopi tak lagi asing di lidah masyarakat Inggris. Tempat ini pun memiliki tambahan & Cafè setelah kata Teahouse dan mereka menghapus awalan The. Meskipun demikian, pria dengan koper persegi panjang di lantai tak pernah mengubah selera tehnya meski kopi mulai menjajaki daftar terfavorit.Pria itu kini memandang beberapa lembar kertas di dalam sebuah stopmap selagi menanti teh pesanannya tiba untuk dicicipi. Ketika ia selesai menumpuk rapi semua kertas dan memasukkannya kembali ke dalam koper, sebuah jurnal dari dalam sana mengganti posisi si stopmap. Tangan menarikan pena itu untuk menulis 28 April 2010. Tak ada perubahan. Masih aku. Masih
Ketika halaman Wistletone's School tampak senyap sebab semua orang disibukkan dengan pembelajaran, sepasang anak laki-laki justru mengendap-endap menuju sisi lain lapangan utama Wistletone's untuk sebuah aksi. Salah satu dari mereka tampak ketakutan dan hampir mengurungkan aksi yang terencana, tapi satunya lagi justru tampak bersemangat dan berkata, "Jangan khawatir, Alexis. Ini akan menyenangkan! Aku berani jamin!" Ia pun mendorong diri lebih jauh menuju objek incarannya."Tapi kita bisa terlibat masalah, Knox! Aku tak ingin dimarahi ayah lagi."Teman sebayanya pun segera melambaikan tangan di udara. "Jangan pedulikan. Ikuti saja perintahku untuk lari setelah ini, maka kau akan selamat dari kejaran bapa."Meski Alexis tampak ingin melontarkan patah kata lainnya, si anak bernama Knox sudah dulu memegangi sebuah tali yang cukup tebal.Kini, Alexis pun terpaksa menggenggam tali itu dan keduanya menghitung dengan cekikikan—atau justru hanya Knox yang tampak bersemangat. "Satu, dua, tiga!
Semalam, awan menangis hebat untuk alasan yang tak pasti. Sehingga pagi ini, dedaunan masih berkeringat dingin menanti sang surya membasuh peluh itu. Atmosfer pun mendingin meski sinar surya berhasil menembus kumpulan awan tipis yang menjulurkan leher mereka untuk mengintip kehidupan di Newcastle pada awal musim gugur, tepatnya pada tanggal sembilan september seribu sembilan ratus delapah puluh sembilan.Seorang pria yang telah mengenakan kemeja dengan balutan vest pun masih berdiri di hadapan kaca selagi gigi saling bergulat menghancurkan secuil roti di dalam mulut. Ia menarik sebuah sisir dari tempatnya untuk merapikan tatanan rambut yang sudah sempurna. Bahkan pagi ini, ia baru saja membersihkan kumis dan berewok seolah sungguh bersiap untuk sebuah pertemuan istimewa.Begitu suara ketukan pintu terdengar, ia segera meletakkan sisirnya dan meneguk habis teh dalam cangkir. Ditariklah gagang pintu itu menampakkan seorang pria dengan sebuket bunga besar yang tampak segar. Ia pun puas m
Sang surya terus didorong rotasi bumi menuju cakrawala yang masih jauh di seberang sana. Sementara itu, Ruenna sendiri baru saja melambaikan tangan setelah mengucapkan terima kasih sehingga Anthony bisa melanjutkan perjalanannya menuju Grainger Town yang diramaikan beberapa pelayat pula untuk jamuan.Puluhan topik melilit percakapan antara dua orang bahkan lebih ketika Louis mendorong diri mengisi salah satu ruang di ruang tamunya. Beberapa hidangan pun tampak mulai dicicipi lidah-lidah para pelayat yang sempat menunjukkan simpati mereka kepada Louis. Pria itu hanya mengangguk, tapi tak tertarik untuk melibatkan diri pada topik yang mereka tawarkan. Sebagai gantinya, ia mencoba menemukan Sylvia yang masih bersama Virginia di perpustakaan sejak ia menuju Jesmond.Ia menyadari bahwa Judith Hope baru saja mendorong diri meninggalkan perpustakaan dengan nampan di tangan. Ketika ia mencoba mengacuhkan wanita itu, ia justru mengelus bahu Louis sekilas selagi netra mencoba memberikan kekuata
Ketika para pelayat mulai berdatangan dan ibadah penghiburan terlalui sudah, peti Emma kembali mengisi ruang di perut ambulan menuju tempat di mana jutaan kisah tinggal. Kali ini Louis ada di sisinya tanpa Sylvia yang kemungkinan berada di bawah asuhan Virginia. Sementara seberhenti ambulan itu tepat di hadapan gerbang berkarat setinggi perut milik pemakaman Jesmond, beberapa orang sudah mendahului Louis mengisi ruang di beberapa sisi lubang galian untuk peti Emma.Pintu ambulan yang terbuka membuat Richard bertatapan dengan emosi Louis yang baru saja menetes tanpa disadari. Pria itu pun menarik napas perlahan sebelum melarikan tangan untuk menggenggam tangan putranya. ❝Whose heart plowing an ungainly perpetually, will never find an undaunted space.❞Namun, ucapan itu membuat Louis menggelengkan kepala sehingga tetesan emosi lainnya luruh sudah. "Jangan memberiku nasihat yang tak bisa dipraktikan, Pap. Aku sudah menyinggung soal kehidupan kita yang berbeda. Semua ini tak akan mudah un
Ketika rembulan belum bersedia ditelan cakrawala, tak ada satu hal pun yang mampu menyelamatkannya dari duka. Bahkan memori kebohongan semalam pun sempat terganti begitu beberapa orang melenggang masuk ke dalam kamarnya hanya untuk membawa Emma pergi dari belenggu kehidupan yang ingin ditinggalkan.Orang-orang dari rumah sakit segera mengevakuasi tubuh tak tersentuh kehidupan itu beberapa jam setelah semua sandiwara Louis terlaksana. Hal itu pula yang menyebabkan beberapa orang dari rumah sakit tak menyimpan banyak tanda tanya di kepala begitu melihat wajah Colin Marlowe.Tampaknya skenario kebohongan Louis yang terencana disetujui oleh Tuhan seolah Tuhan pun ingin menyelamatkan nasib Louis kali ini yang terikat nama keluarga dan latar belakang Sylvia—Joan Creveld. Namun, semua skenario yang telah ditulis tak sama sekali membantu Louis menerima takdir ketika kakinya menginjak lantai rumah sakit untuk menyaksikan betapa kering tubuh Emma seperti harapan si wanita. Ia merasa bersalah se
Sepasang iris Louis berdetak menyaksikan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun mendorong kaki itu cepat menuju seorang wanita yang terbaring lemah di atas ubin yang sangat terawat. Begitu si wanita sudah dalam jangkauan, diangkatlah kepala itu mencoba membawanya kembali ke kehidupan. Tubuh pun sempat diguncang berkali-kali sementara jantung Louis sudah diramaikan ketakutan."Emma!" pekiknya cukup keras selagi tangan menampar pelan pipinya. Namun, wanita itu tak membuka netra. Tubuhnya pun tampak tak bergerak sama sekali. Meski itu gerakan alamiah untuk menunjukkan bekerjanya pernapasan pun, hal itu tak mampu Louis lihat. Sementara sepanjang pipi hingga dagu menampakkan jejak tangisan yang kentara sekali belum sempat dihapus.Ketika Louis mendorong telunjuk mencoba menemukan deru napas meluncur dari lubang hidungnya, hal itu tak dapat dirasakan. Digeletakkan lagi wanita itu di atas ubin, denyut nadi maupun jantung tak lagi bergejolak seolah tubuh itu sudah kehilangan segala
Beberapa momen tercipta sangatlah serupa dengan ekspetasi. Beberapa lagi tercipta lebih baik dari garis rata-rata ekspetasi. Namun, kali ini, momen tak begitu menyenangkan kembali menghampiri akibat waktu yang selalu merespons layaknya gazelle di balik semak-semak. Mereka berlarian begitu cepat untuk mengubah jam menjadi hari. Akibat ulah si waktu yang kelewat cepat untuk sebuah hal fana, sepasang kekasih yang telah mencicipi berbagai rasa kehidupan kembali disaksikan stasiun serupa.Mungkin beberapa hal tampak sama di netra Louis. Namun, selalu ada hal berbeda yang disuguhkan untuknya setiap kali kata perpisahan mengantarkan ke area stasiun bersama setelan jasnya. Bibir masih terkatup ketika tangan itu bertengger di sisi wajah Emma sementara Sylvia ada di gendongan Alma. Gigi gerahamnya bertemu menciptakan bunyi ting yang sangatlah pelan guna menghapus keraguan."Aku tak akan pergi untuk selamanya. Jangan berikan aku kejutan, Emma. Ketika aku pulang, tak ada lagi kesengsaraan yang ka