Kehadiran Louis mengejutkan wanita itu. Namun, sedetik kemudian ia memberikan senyuman manisnya. "Bolehkah aku duduk di sampingmu?" tanya Louis kepadanya yang dibalas dengan anggukan sehingga pria itu bisa mendudukkan bokongnya di sana. "Kau sendirian, Nona Harrel?"
Emma Harrel menggeleng singkat tanpa jawaban, tapi setelahnya ia berkata, "Saya bersama teman, Tuan Wistletone." Louis mengangguk mengerti lalu meneguk beberapa tetes winenya.
Keduanya saling diam dan Louis sejak tadi memerhatikan Emma Harrel yang memainkan ujung gaunnya sehingga pria itu pun mengulurkan lengannya membuat Emma menatapnya. "Louis Wistletone."
Emma pun menjabat tangannya singkat seraya menjawab, "Emma Harrel."
"Nama yang indah," ucap Louis memujinya dan Emma hanya bergumam Terima kasih dengan pelan setelah menarik beberapa anak rambutnya ke belakang telinga. "Apakah Derry yang mengundangmu, Nona Harrel?" Namun, Emma tampak bingung dan tak mengenal Derry sehingga Louis melanjutkan, "Diederik Nordström, yang mengadakan pesta. Atau mungkin Dan Nordström yang mengundangmu?"
Emma kembali menggeleng. "Saya tak mengenal mereka. Teman saya yang mengajak saya kemari." Louis hampir menjawab tapi Emma kembali berkata, "Dan panggil saya Emma saja."
Louis pun tersenyum. "Kalau begitu, panggil aku Louis saja atau Louie seperti yang lainnya."
"Tapi Anda Wistletone."
"Lalu? Ada apa dengan Wistletone? Itu hanya nama dan karena kau bekerja di sana, bukan berarti harus memanggilku tuan pula. Aku bukan tuannya. Hanya pemuda biasa." Sehingga Emma Harrel tersenyum ditambah sedikit anggukan. "Dan jangan gunakan saya, Anda, ugh, itu menggangguku."
"Maaf."
"Tak masalah."
Keheningan tiba sekilas. Emma kembali memainkan ujung gaunnya seraya menatap kerumunan sedangkan Louis memutar gelas dalam genggamannya sesekali meneguk beberapa tetesnya. Louis berharap Ian menemukannya di sini, atau Pete karena ia merasa sangat canggung duduk di samping Emma Harrel yang hanya berbicara ketika ditanyai.
"Umm, Nona Har—eh, maksudku Emma." Emma pun beralih menatapnya. "Apakah diperbolehkan keluar meninggalkan sekolah untuk berpesta? Aku tak mencoba mengintrogasimu, sungguh, tapi aku tak pernah mengajar di sana dan sebagai mantan murid Wistletone's, aku tak bisa pergi dari sekolah untuk berpesta kecuali jika berhasil melarikan diri dari sana. Apa kau melakukan tindakan serupa?"
Emma terkekeh singkat lalu menjawab, "Tidak. Kami diperbolehkan keluar pada hari-hari tertentu dan meminta izin untuk menghadiri sesuatu asalkan tidak terlambat pulang. Lagi pula, besok hari Minggu." Louis ber-o panjang dan Emma melanjutkan. "Jika kau berkata demikian, berarti kau pernah melarikan diri dari sana?"
"Ya. Berulang kali. Kami suka keluar setelah makan malam untuk pergi minum teh di The Teahouse atau pergi ke hutan di belakang sekolah untuk merokok pada jam tidur meskipun kami dilarang untuk memasuki hutan kecuali pada mata pelajaran tertentu." Louis menggelengkan kepalanya mengingat kenangan itu sudah berlalu lama sekali dan ia merindukannya. "Kami tak hanya merokok di sana, tetapi juga membakar sesuatu. Jadi, kami mencuri sosis atau daging dari dapur lalu membakarnya di hutan malam harinya selagi mengobrolkan beberapa topik."
"Kami, Louie? Aku boleh memanggilmu Louie, 'kan?"
"Tentu saja. Itu nama panggilanku."
Emma pun melanjutkan, "Karena kau berkata kami, berarti kau tak sendiri."
"Aku tak pernah sendiri. Pada kelas tujuh akhir hingga awal kelas sembilan, aku selalu melakukannya dengan kakakku, Anthony, kau tahu dia, 'kan?" Emma pun mengangguk. "Tapi kami tak pernah pergi minum teh. Hanya pergi ke hutan atau mengikuti kanal tempat latihan tim dayung menuju danau. Lalu, pada awal kelas sebelas, aku pergi dengan teman-temanku. Salah satunya adalah yang mengadakan pesta ini, Dan Nordström."
"Apa kau pernah ketahuan meninggalkan sekolah di malam hari?"
"Ya! Lebih tepatnya sebanyak tiga kali dan terpaksa kami harus dihukum Tuan Richard Wistletone. Biasanya kami akan dipukul dengan rotan tepat di bokong—" Emma terkekeh mendengarnya. "—lalu mendapat hukuman seperti membersihkan toilet atau aula utama. Yang terakhir kali, kami harus membuat surat pernyataan apabila melakukannya lagi, kami siap dikeluarkan."
"Jadi kau tak melakukannya lagi setelah itu?"
"Tentu saja tidak! Kami masih melakukannya. Namun, lebih berhati-hati karena kuncinya adalah jangan sampai ketahuan." Emma masih tertawa dan berusaha menyelesaikan tawaannya sehingga Louis bisa berkata, "Kau mau berdansa, Nona Harrel?" Dan wanita itu memberikan anggukan pelan menyetujuinya.
Telapak tangan Louis yang terulur di hadapannya pun, diraih sehingga keduanya saling bergenggaman tangan. Setelah meninggalkan sekitar tangga, mereka menuju ke lantai dansa setelah melewati beberapa pasangan lainnya. Keduanya bertatapan. Perlahan Louis meletakkan tangan kirinya pada pinggul Emma sedangkan Emma mendorong tangan kanannya untuk bertenggar pada bahu Louis dan keduanya pun mulai berdansa seirama dengan musik yang sedang diputar.
Biru milik Louis pun, bertemu dengan cokelat milik Emma beberapa saat saja karena Emma menundukkan kepalanya malu sedangkan Louis mencoba menemukan objek lain untuk ditatap. Kecanggungan kembali singgah dan keduanya hanya bisa terkekeh untuk menanggapinya.
Jarum jam berputar seperti tubuh Emma Harrel berputar dalam dansanya bersama Louis Wistletone. Hingga pada pukul sembilan malam, Emma Harrel berkata, "Maafkan aku, Louie, tapi kurasa aku harus pergi sekarang."
"Secepat itukah?"
"Sebenarnya aku harus tiba di sekolah sebelum pukul sembilan. Aku bahkan sudah terlambat."
"Lupakan keterlambatan itu, Nona Harrel. Jika mereka menghukummu, aku akan datang ke sekolah. Mereka tak bisa menghukum seorang guru yang ingin berpesta."
"Oh, mereka bisa." Lalu Emma menarik tubuhnya menjauh dari Louis membuat pria itu terkejut. "Aku harus menemukan temanku. Aku sungguh harus pergi."
"Kalau begitu, tinggalkan salah satu sepatumu di sini." Emma Harrel mengangkat salah satu alisnya. "Agar kisahnya seperti Cinderella." Barulah wanita itu terkekeh dibuatnya.
Emma Harrel terdiam sekilas lalu kembali berkata, "Aku sebaiknya pergi sekarang, Louie. Aku tak ingin mengambil risiko."
"Ya, tak masalah. Terima kasih sudah menemaniku berdansa. Jika ada pesta lainnya, aku akan memberitahumu." Emma mengangguk dalam senyumannya lalu berkata, "Selamat tinggal." Sebelum menghilang dari pandangan Louis.
Setelah kepergian Emma Harrel yang tak meninggalkan salah satu sepatunya, Louis bertemu dengan Matilda yang baru saja menghabiskan segelas wine di samping meja hidangan dan mengajaknya berdansa di sisa waktu sebelum malam semakin larut dan Louis memutuskan untuk pulang daripada tinggal.
Pagi hari di The Teahouse saat itu terasa berbeda karena empat jiwa lama yang tak lagi berkeliaran di sana dikembalikan hari ini juga mengubah suasana sepi dan tentram di The Teahouse menjadi sedikit bising daripada hari-hari normal sebelum mereka tiba. Di sudut teahouse, seorang wanita dengan topi di kepalanya dan buku yang bersandar di atas kedua tangannya, merasa terganggu dengan cekikikan kecil Ian dan Pete yang terdengar lebih keras daripada milik Louis. Sedangkan Dan saat ini sedang menceritakan sebuah kisah tentangnya dan kelelawar dalam balutan lelucon karangannya.
Keheningan tercipta pasca bencana yang Ian bagi kepada aliansi itu. Hati memang berbicara lebih banyak ketimbang bibir, dan itu bukanlah hal yang wajar terjadi di pertemuan aliansi bernama Blighty Boys. Jelas salah satu dari mereka ingin menyuarakan hati. Meski tak sepenuhnya sesuai, setidaknya ada yang bersedia memecah duka terselimuti keheningan ini."Hey,
Sorakan di pangkal tenggorokan itu mendorong sepasang jari Nyonya Bache untuk memelorotkan kacamatanya. Peringatan dari sepasang bola mata pun teracuhkan begitu saja sebab hal lain tengah mengisi hati demi rencana bermalam yang menyenangkan. Sudah empat tahun dan empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Apabila rencana bermalam sungguh terlaksana nantinya, suasana nostalgia tak terhindarkan segera menyerang."Karena kita di rumah Dan, jelas dia harus menyuguhkan makanan yang enak dan kita tak harus membawa dari rumah." Anggota Blighty Boys tertawa bersamaan. Namun, Dan yang mengakhiri tawanya lebih dulu ketika manik matanya beralih menatap pintu masuk The Teahouse.Tarikan sudut bibir Dan ditampakkan. "Kalian tak perlu khawatir. Aku akan menjadi tuan rumah yang baik dan ramah. Akan kusuguhkan sesuatu yang belum pernah kalian lihat dan akan kupastikan kalian men
Dua pasang roda sepeda berputar menyisir pinggiran Newcastle melewati jembatan berbatu bata beserta jalan setapaknya. Beberapa orang yang sibuk berlalu-lalang membawa beban pekerjaan mendengus ketika kedua pengendara sepeda itu cekikikan mengendarai sepeda mereka dengan brutal hampir menabrak beberapa orang di sepanjang jalan itu. Beruntung, tak satu pun pejalan tertabrak salah satu dari keduanya. Namun, mereka mendapat sorakan amarah dari beberapa pejalan yang tak membuat keduanya memperlambat laju sepedanya. Hampir saja sepeda yang dikendarai Louis Wistletone menabrak salah satu pohon di pinggir taman karena Dan Nordström dengan jahilnya menendang pelan area pedalnya. Namun, anehnya, Louis tak merasa kesal dan justru menertawakan kejadian yang hampir membuatnya terluka itu hingga mereka berhenti di depan pintu gerbang besar di sudut paling pojok kota—di mana pemukiman penduduk berjarak sekitar seratus l
Hukuman dari Richard Wistletone mengacaukan segalanya. Bukan kesalahan sang kepala sekolah, memang. Keduanya saja yang begitu lancang melanggar aturan meski perintahnya tak asing lagi. Oleh karena itu, setelah menendang lantai dengan kesal, Dan berkata, "Sial! Semua rencana kita gagal.""Setidaknya sudah kukatakan idemu buruk."
Kejutan yang ditemukannya di balik rak buku-buku perpustakaan masih mengacaukan sikap. Berulang kali pula Louis memutar leher untuk menemukan wajah si pustakawati baru. Nyatanya itu selalu menggelitik hati meski langkah menuju rekan aliansi.Louis tak menemukan Dan di kursinya. Rupanya pria itu berdiri di ambang pintu perpustakaan dengan jas yang sudah ia ke
Tiga orang pria bersemangat menarikan sepasang kaki mereka di sepanjang trotoar area perindustrian kuno di Newcastle. Salah satu dari mereka baru saja memainkan suspender celananya ketika dua lainnya bernyanyi, "Some talk of Alexander, and some of Hercules," dengan kompak, menarik perhatian beberapa pekerja industri yang pada sore itu me
"Kalian pulanglah. Aku akan tinggal beberapa menit lagi selagi matahari belum sepenuhnya menghilang."Pete, setelah menarik lengannya dari bahu Ian pun menjawab, "Apa yang akan kau lakukan lagi, Lou? Kau akan terlambat makan malam. Kita juga harus mengejar bus di persimpangan karena bus selanjutnya mungkin akan datang pada pukul delapan."
Dua bulan semenjak pertemuannya dengan Dan Nordstrom, dia masih belum menemukan jawaban. Sebuah kotak—sama persis dengan milik Louis Wistletone ketika ia masih menjadi kepala sekolah di sana—berdiri di sudut meja yang sama. Kebenaran dan kebohongan ada di dalamnya. Apabila Pete mencoba memilih mana yang harus dikatakan lebih dulu, ia tak tahu. Keduanya harus dikatakan bersamaan. Sehingga sore ini ia memilih untuk pulang, kendati tinggal di asrama Wistletone’s School seperti beberapa hari sebelumnya.Jikalau kotak itu milik Louis yang diwariskan untuknya, maka ia memiliki benda untuk diwariskan pula nantinya; sebuah jurnal. Mungkin terdengar tak menyenangkan, tapi sama seperti kotak Louis dengan rahasia di dalamnya, ia juga memiliki beberapa di dalam jurnal itu. Yang Pete butuhkan hanyalah seseorang untuk dipercaya menjaga rahasia dalam jurnal dia.Ia baru saja menuruni beberapa anak tangga ketika kotak itu nyaris lolos dari dekapannya sebab sepasang anak laki-laki berumur 14 tahunan b
The Teahouse tampak berbeda di abad kedua puluh satu. Tidak, bukan karena pelayannya telah digantikan robot semenjak Nyonya Bache pergi. Tidak juga karena interior antiknya berubah mengusung gaya Inggris modern. Mereka tetap serupa, tapi di bawah naungan atmosfer yang berbeda. Bahkan tempat ini sekarang menyajikan kopi semenjak kebudayaan mengonsumsi kopi tak lagi asing di lidah masyarakat Inggris. Tempat ini pun memiliki tambahan & Cafè setelah kata Teahouse dan mereka menghapus awalan The. Meskipun demikian, pria dengan koper persegi panjang di lantai tak pernah mengubah selera tehnya meski kopi mulai menjajaki daftar terfavorit.Pria itu kini memandang beberapa lembar kertas di dalam sebuah stopmap selagi menanti teh pesanannya tiba untuk dicicipi. Ketika ia selesai menumpuk rapi semua kertas dan memasukkannya kembali ke dalam koper, sebuah jurnal dari dalam sana mengganti posisi si stopmap. Tangan menarikan pena itu untuk menulis 28 April 2010. Tak ada perubahan. Masih aku. Masih
Ketika halaman Wistletone's School tampak senyap sebab semua orang disibukkan dengan pembelajaran, sepasang anak laki-laki justru mengendap-endap menuju sisi lain lapangan utama Wistletone's untuk sebuah aksi. Salah satu dari mereka tampak ketakutan dan hampir mengurungkan aksi yang terencana, tapi satunya lagi justru tampak bersemangat dan berkata, "Jangan khawatir, Alexis. Ini akan menyenangkan! Aku berani jamin!" Ia pun mendorong diri lebih jauh menuju objek incarannya."Tapi kita bisa terlibat masalah, Knox! Aku tak ingin dimarahi ayah lagi."Teman sebayanya pun segera melambaikan tangan di udara. "Jangan pedulikan. Ikuti saja perintahku untuk lari setelah ini, maka kau akan selamat dari kejaran bapa."Meski Alexis tampak ingin melontarkan patah kata lainnya, si anak bernama Knox sudah dulu memegangi sebuah tali yang cukup tebal.Kini, Alexis pun terpaksa menggenggam tali itu dan keduanya menghitung dengan cekikikan—atau justru hanya Knox yang tampak bersemangat. "Satu, dua, tiga!
Semalam, awan menangis hebat untuk alasan yang tak pasti. Sehingga pagi ini, dedaunan masih berkeringat dingin menanti sang surya membasuh peluh itu. Atmosfer pun mendingin meski sinar surya berhasil menembus kumpulan awan tipis yang menjulurkan leher mereka untuk mengintip kehidupan di Newcastle pada awal musim gugur, tepatnya pada tanggal sembilan september seribu sembilan ratus delapah puluh sembilan.Seorang pria yang telah mengenakan kemeja dengan balutan vest pun masih berdiri di hadapan kaca selagi gigi saling bergulat menghancurkan secuil roti di dalam mulut. Ia menarik sebuah sisir dari tempatnya untuk merapikan tatanan rambut yang sudah sempurna. Bahkan pagi ini, ia baru saja membersihkan kumis dan berewok seolah sungguh bersiap untuk sebuah pertemuan istimewa.Begitu suara ketukan pintu terdengar, ia segera meletakkan sisirnya dan meneguk habis teh dalam cangkir. Ditariklah gagang pintu itu menampakkan seorang pria dengan sebuket bunga besar yang tampak segar. Ia pun puas m
Sang surya terus didorong rotasi bumi menuju cakrawala yang masih jauh di seberang sana. Sementara itu, Ruenna sendiri baru saja melambaikan tangan setelah mengucapkan terima kasih sehingga Anthony bisa melanjutkan perjalanannya menuju Grainger Town yang diramaikan beberapa pelayat pula untuk jamuan.Puluhan topik melilit percakapan antara dua orang bahkan lebih ketika Louis mendorong diri mengisi salah satu ruang di ruang tamunya. Beberapa hidangan pun tampak mulai dicicipi lidah-lidah para pelayat yang sempat menunjukkan simpati mereka kepada Louis. Pria itu hanya mengangguk, tapi tak tertarik untuk melibatkan diri pada topik yang mereka tawarkan. Sebagai gantinya, ia mencoba menemukan Sylvia yang masih bersama Virginia di perpustakaan sejak ia menuju Jesmond.Ia menyadari bahwa Judith Hope baru saja mendorong diri meninggalkan perpustakaan dengan nampan di tangan. Ketika ia mencoba mengacuhkan wanita itu, ia justru mengelus bahu Louis sekilas selagi netra mencoba memberikan kekuata
Ketika para pelayat mulai berdatangan dan ibadah penghiburan terlalui sudah, peti Emma kembali mengisi ruang di perut ambulan menuju tempat di mana jutaan kisah tinggal. Kali ini Louis ada di sisinya tanpa Sylvia yang kemungkinan berada di bawah asuhan Virginia. Sementara seberhenti ambulan itu tepat di hadapan gerbang berkarat setinggi perut milik pemakaman Jesmond, beberapa orang sudah mendahului Louis mengisi ruang di beberapa sisi lubang galian untuk peti Emma.Pintu ambulan yang terbuka membuat Richard bertatapan dengan emosi Louis yang baru saja menetes tanpa disadari. Pria itu pun menarik napas perlahan sebelum melarikan tangan untuk menggenggam tangan putranya. ❝Whose heart plowing an ungainly perpetually, will never find an undaunted space.❞Namun, ucapan itu membuat Louis menggelengkan kepala sehingga tetesan emosi lainnya luruh sudah. "Jangan memberiku nasihat yang tak bisa dipraktikan, Pap. Aku sudah menyinggung soal kehidupan kita yang berbeda. Semua ini tak akan mudah un
Ketika rembulan belum bersedia ditelan cakrawala, tak ada satu hal pun yang mampu menyelamatkannya dari duka. Bahkan memori kebohongan semalam pun sempat terganti begitu beberapa orang melenggang masuk ke dalam kamarnya hanya untuk membawa Emma pergi dari belenggu kehidupan yang ingin ditinggalkan.Orang-orang dari rumah sakit segera mengevakuasi tubuh tak tersentuh kehidupan itu beberapa jam setelah semua sandiwara Louis terlaksana. Hal itu pula yang menyebabkan beberapa orang dari rumah sakit tak menyimpan banyak tanda tanya di kepala begitu melihat wajah Colin Marlowe.Tampaknya skenario kebohongan Louis yang terencana disetujui oleh Tuhan seolah Tuhan pun ingin menyelamatkan nasib Louis kali ini yang terikat nama keluarga dan latar belakang Sylvia—Joan Creveld. Namun, semua skenario yang telah ditulis tak sama sekali membantu Louis menerima takdir ketika kakinya menginjak lantai rumah sakit untuk menyaksikan betapa kering tubuh Emma seperti harapan si wanita. Ia merasa bersalah se
Sepasang iris Louis berdetak menyaksikan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun mendorong kaki itu cepat menuju seorang wanita yang terbaring lemah di atas ubin yang sangat terawat. Begitu si wanita sudah dalam jangkauan, diangkatlah kepala itu mencoba membawanya kembali ke kehidupan. Tubuh pun sempat diguncang berkali-kali sementara jantung Louis sudah diramaikan ketakutan."Emma!" pekiknya cukup keras selagi tangan menampar pelan pipinya. Namun, wanita itu tak membuka netra. Tubuhnya pun tampak tak bergerak sama sekali. Meski itu gerakan alamiah untuk menunjukkan bekerjanya pernapasan pun, hal itu tak mampu Louis lihat. Sementara sepanjang pipi hingga dagu menampakkan jejak tangisan yang kentara sekali belum sempat dihapus.Ketika Louis mendorong telunjuk mencoba menemukan deru napas meluncur dari lubang hidungnya, hal itu tak dapat dirasakan. Digeletakkan lagi wanita itu di atas ubin, denyut nadi maupun jantung tak lagi bergejolak seolah tubuh itu sudah kehilangan segala
Beberapa momen tercipta sangatlah serupa dengan ekspetasi. Beberapa lagi tercipta lebih baik dari garis rata-rata ekspetasi. Namun, kali ini, momen tak begitu menyenangkan kembali menghampiri akibat waktu yang selalu merespons layaknya gazelle di balik semak-semak. Mereka berlarian begitu cepat untuk mengubah jam menjadi hari. Akibat ulah si waktu yang kelewat cepat untuk sebuah hal fana, sepasang kekasih yang telah mencicipi berbagai rasa kehidupan kembali disaksikan stasiun serupa.Mungkin beberapa hal tampak sama di netra Louis. Namun, selalu ada hal berbeda yang disuguhkan untuknya setiap kali kata perpisahan mengantarkan ke area stasiun bersama setelan jasnya. Bibir masih terkatup ketika tangan itu bertengger di sisi wajah Emma sementara Sylvia ada di gendongan Alma. Gigi gerahamnya bertemu menciptakan bunyi ting yang sangatlah pelan guna menghapus keraguan."Aku tak akan pergi untuk selamanya. Jangan berikan aku kejutan, Emma. Ketika aku pulang, tak ada lagi kesengsaraan yang ka