"Kalian pulanglah. Aku akan tinggal beberapa menit lagi selagi matahari belum sepenuhnya menghilang."
Pete, setelah menarik lengannya dari bahu Ian pun menjawab, "Apa yang akan kau lakukan lagi, Lou? Kau akan terlambat makan malam. Kita juga harus mengejar bus di persimpangan karena bus selanjutnya mungkin akan datang pada pukul delapan."
Keduanya terjebak dalam keheningan untuk sesaat setelah kata tak mampu ditemukan akibat ujung percakapan. Kedua pasang kaki itu pun berjalan tak tentu arah, membiarkan jalanan yang menuntun mereka dan entah tempat apa yang akan jalanan pilihkan untuk disinggahi keduanya. Namun, keheningan yang diisi suara angin malam itu, cukup mengganggu sehingga Louis kembali membuka mulut. "Hey, kau mau membeli dress baru? Aku akan membelikannya untukmu agar kau tak kedinginan."
Satu demi satu hidangan penutup disajikan oleh pasangan tangan yang berbeda-beda milik pelayan di kediaman Wistletone, meskipun beberapa anggota Wistletone bahkan belum menghabiskan keseluruhan menu utama malam itu, seperti Celestine, contohnya, yang masih sibuk menyuapi putri kecilnya dengan rambut merah yang tampak lebih panjang dari beberapa hari lalu.Ab
Begitu mendapatkan izin dan kata "berhati-hati" dari sang ibu, ia segera melarikan kaki untuk menyusuri lorong menuju kamarnya. Mantel pun ditarik dengan kasar dari gantungan di balik pintu kamarnya sebelum dikibaskan dan membalut tubuhnya. Suara sepatunya menggema di sepanjang lorong itu. Apabila lukisan-lukisan di sana memiliki jiwa, mereka mungkin akan berteriak "Jangan berisik anak muda! Berjalanlah dengan santai! Kami mencoba istirahat di sini." Beruntung mereka tak memiliki anugerah itu ... atau kutukan itu.
Louis, Pete, dan Ian sudah membuat keputusan bahwa Louis akan mengendarai sepedanya sendiri sedangkan Pete dan Ian akan berboncengan karena Ian yang tak sempat menarik sepedanya keluar. Pemandangan itu membuat Louis tertawa di sepanjang jalan karena Ian duduk di depan, berposisi menyamping dengan kaki panjang miliknya yang ikut terayun persis layaknya seorang gadis dengan gaun indah mereka sehingga tampak seolah Pete sedang berboncengan dengan seorang gadis menggunakan sepedanya.
Belum. Tak sampai di sana saja ketiga tamu Nordström disuguhkan sentuhan seni luar biasa hasil kerja keras Duncan Nordström. Mendekati ujung lorong, ada dua buah meja panjang di masing-masing sudut di mana keranjang bunga yang berukuran agak besar terbaring di sana menampung bunga-bunga menawan yang rapi dan tampak segar. Tampaknya para pekerja di rumah Nordström menggantinya secara berkala.
Di lantai dua, wujud seni lainnya menanti mereka tapi karena kehadiran Dan di sana yang tak berhenti berbicara membuat Pete, Ian, dan Louis sedikit mengacuhkan koleksi seni Duncan Nordström hingga mereka masuk ke dalam ruang rekreasi keluarga Nordström.Di tengah ruangan ada meja billiar besar beserta bola-bolanya yang tertata rapi. Sedikit ke kana
"Aku tak percaya keajaiban. Aku tak percaya Tuhan."Kalimat yang Pete lontarkan tanpa tekanan dalam nada bicaranya itu, menuntun keheningan untuk menyelinap di tengah-tengah pertemuan aliansi mereka. Bahkan tak seorang pun dari mereka berpikiran untuk menanggapi hal yang salah ini. Meski demikian, selalu ada seseorang yang mencoba membawa rekan mereka kembal
Sentuhan toots piano yang mendeklarasikan setiap nada dalam lagu Humoresque karya Dvorak terdengar patah-patah mengisi seluruh penjuru ruang keluarga bahkan lorong di depannya. Kursi piano yang ada di paling sudut ruangan—dekat dengan jendela yang memiliki dua gorden berwarna putih gading panjang—pagi ini tampak istimewa karena dua orang harus berbagi satu kursi piano yang cukup panjang.