Begitu mendapatkan izin dan kata "berhati-hati" dari sang ibu, ia segera melarikan kaki untuk menyusuri lorong menuju kamarnya. Mantel pun ditarik dengan kasar dari gantungan di balik pintu kamarnya sebelum dikibaskan dan membalut tubuhnya. Suara sepatunya menggema di sepanjang lorong itu. Apabila lukisan-lukisan di sana memiliki jiwa, mereka mungkin akan berteriak "Jangan berisik anak muda! Berjalanlah dengan santai! Kami mencoba istirahat di sini." Beruntung mereka tak memiliki anugerah itu ... atau kutukan itu.
<
Louis, Pete, dan Ian sudah membuat keputusan bahwa Louis akan mengendarai sepedanya sendiri sedangkan Pete dan Ian akan berboncengan karena Ian yang tak sempat menarik sepedanya keluar. Pemandangan itu membuat Louis tertawa di sepanjang jalan karena Ian duduk di depan, berposisi menyamping dengan kaki panjang miliknya yang ikut terayun persis layaknya seorang gadis dengan gaun indah mereka sehingga tampak seolah Pete sedang berboncengan dengan seorang gadis menggunakan sepedanya.
Belum. Tak sampai di sana saja ketiga tamu Nordström disuguhkan sentuhan seni luar biasa hasil kerja keras Duncan Nordström. Mendekati ujung lorong, ada dua buah meja panjang di masing-masing sudut di mana keranjang bunga yang berukuran agak besar terbaring di sana menampung bunga-bunga menawan yang rapi dan tampak segar. Tampaknya para pekerja di rumah Nordström menggantinya secara berkala.
Di lantai dua, wujud seni lainnya menanti mereka tapi karena kehadiran Dan di sana yang tak berhenti berbicara membuat Pete, Ian, dan Louis sedikit mengacuhkan koleksi seni Duncan Nordström hingga mereka masuk ke dalam ruang rekreasi keluarga Nordström.Di tengah ruangan ada meja billiar besar beserta bola-bolanya yang tertata rapi. Sedikit ke kana
"Aku tak percaya keajaiban. Aku tak percaya Tuhan."Kalimat yang Pete lontarkan tanpa tekanan dalam nada bicaranya itu, menuntun keheningan untuk menyelinap di tengah-tengah pertemuan aliansi mereka. Bahkan tak seorang pun dari mereka berpikiran untuk menanggapi hal yang salah ini. Meski demikian, selalu ada seseorang yang mencoba membawa rekan mereka kembal
Sentuhan toots piano yang mendeklarasikan setiap nada dalam lagu Humoresque karya Dvorak terdengar patah-patah mengisi seluruh penjuru ruang keluarga bahkan lorong di depannya. Kursi piano yang ada di paling sudut ruangan—dekat dengan jendela yang memiliki dua gorden berwarna putih gading panjang—pagi ini tampak istimewa karena dua orang harus berbagi satu kursi piano yang cukup panjang.
"Ingat, aku juga memiliki sedikit pengetahuan tentang sastra dan sejarah. Tapi sedikitnya pengetahuanku tentang kedua bidang itu tetap terhitung lebih banyak darimu." Virginia segera menerka kakak laki-lakinya itu menggunakan senjata pengetahuan."Meremehkan pengetahuan sejarahku?!" tanya Anthony dan Virginia pun mengangguk. "Tes kemampuannya, Vir," saran Lo
Suasana Wistletone's School masih sama, menyenangkan. Namun, perpustakaan Wistletone's School tidak. Perpustakaan Wistletone's School terasa menyenangkan beberapa hari silam tapi tidak hari ini ketika Louis Wistletone menyadari tak ada sosok Martha Parnell di sana, hanya ada Nyonya Gilson. Senyumannya memudar. Ayahnya dan Anthony sudah pergi. Tujuan pengalihannya terlupakan. Namun, ia memiliki pemasukan ide lainnya untuk menjelajahi Wistletone's School guna menemukannya.
Tampaknya seluruh kelas sedang kebanjiran keceriaan berbeda dengan beberapa kelas lainnya yang justru dihujani kebosanan dan kebingungan. Ketika Louis menjulurkan lehernya untuk menelisik pemandangan di balik jendela, suasana taman kanak-kanak ia rasakan sekali lagi setelah sekian tahun lulus dari sana dan memulai pendidikan sekolah dasarnya. Antusiasme yang paling kental dan membuatnya ingin lebih dekat dengan mereka yang sedang bersorak kegirangan tapi untuk suatu tujuan; menjawab pertanyaan.