Malam harinya benar saja. Baik Anthony, Richard, maupun Louis pulang ke rumah untuk makan malam bersama. Sayang sekali Celestine belum tampak keberadaannya di sekitar meja makan membuat Louis semakin jengkel dengan sosok Joseph Stefar si bajingan nyaris miskin. Namun, ia tak bermaksud menghancurkan malam pertamanya di Newcastle dengan berteriak memaki-maki nama Joseph Stefar di meja makannya. Ia memilih untuk diam seolah menikmati makan malamnya. Bahkan ketika adiknya, Virginia Wistletone, menawarinya segelas wine, ia hanya mengangguk tak menjawab ya atau tidak. Rasanya makan malam, malam itu, begitu sepi tak ada topik yang bisa dibicarakan.
Tapi setelah Richard Wistletone meneguk segelas winenya, ia berkata, "Seharusnya kita bersulang untuk kepulangan Louis!" Dan semua yang duduk di sana tersenyum mendengar ucapan Richard. Sebaliknya hanya Louis yang tampak begitu murung malam itu.
"Ada apa, Nak?" tanya ayahnya itu ketika tangannya masih memainkan garpu di atas piring tanpa menimbulkan bunyi yang keras sehingga tak menganggu siapa pun yang duduk di sana. Melihat putranya masih terdiam, Richard memilih untuk meneguk segelas wine lainnya. "Katakan saja," tambahnya tapi Louis tetap terdiam seolah bibirnya terjahit sehingga tak ada celah bagi katanya untuk menyelinap keluar melalui mulutnya.
Pria itu merasa khawatir dengan putranya yang tak tampak bahagia ketika pulang dari sekolah militernya. Kedua tangannya itu bertautan menatap Louis yang masih memandangi hidangan makan malamnya tanpa berpaling objek.
Anthony melanjutkan makan malamnya setelah menggeleng, sedangkan Virginia dan Fantine Wistletone menatap Louis seperti yang dilakukan Richard. Namun, hening, hanya hening yang diberikan Louis untuk menjawab pertanyaan ayahnya. Sedangkan Anthony sesekali melirik sekitarnya dari sudut matanya seraya mengunyah sepotong daging segar yang dilumuri saus yang baru saja diulapnya dari sudut bibirnya, karena terpeleset ketika akan masuk ke dalam mulut dan bertemu dengan lidahnya. Namun, tiba-tiba saja tangan Louis yang mengepal memukul keras wajah meja makan yang tersisa di samping piringnya membuat ibunya terkejut.
"Sialan! Ke mana Joseph membawa Celestine pergi?!" Mungkin pria itu sudah cukup bersabar menunggu kepulangan Celestine yang tak kunjung dijumpainya dan ia merasa sedikit khawatir karena Celestine pergi dengan seseorang seperti Joseph Stefar. "Kenapa tak ada yang menjemputnya pulang?" Seketika Richard dan Fantine menundukkan kepalanya membiarkan Virginia mengelap sudut bibirnya dan Anthony meneguk segelas winenya. "Pap? Ma?" Dengan begitu Richard dan Fantine kembali mengangkat wajahnya menatap putranya.
"Dia—"
Sebelum Fantine meneruskan kalimatnya Anthony sudah dulu memotongnya. "Dia tinggal bersama Joseph sekarang."
Jelas sekali pernyataan itu membuatnya terkejut bukan main. Bagaimana bisa kakaknya sekarang tinggal dengan seorang Joseph Stefar? Nafsu makannya hilang seketika sehingga Louis bangkit dari kursinya dengan kasar membuat ibunya berusaha menenangkannya, tapi terlambat. Louis sudah berlari keluar menarik kunci mobil dari gantungan dan segera mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang agak tinggi menyisir pinggiran Newcastle untuk menemukan kediaman Joseph Stefar.
Mendekati lingkungan rumah keluarga Stefar, rumahnya masih tetap besar seperti dulu. Louis sedikit merasa heran, bagaimana bisa rumahnya tetap selamat meskipun usahanya sudah diambang kehancuran? Bahkan ketika Louis keluar dari mobilnya dan mengetuk pintu rumahnya, masih ada pelayan yang tersisa untuk membukakan pintu untuknya. Setelah memberi tahu maksudnya datang kemari, pelayan itu menghilang sekejap untuk memanggilkan Celestine Wistletone yang mungkin juga sedang makan malam.
Selagi menunggu kemunculan kakaknya itu, ia tak bisa berhenti berjalan mondar-mandir di depan pintu karena menolak untuk masuk tadi. Dan ketika kakaknya itu keluar, bola matanya melebar terkejut melihat sosok Louis di hadapannya.
"Louie?" panggilnya lalu memeluk pria itu erat sekali. "Aku sangat merindukanmu," tambahnya ketika kedua lengannya masih melilit tubuh Louis yang agak lebih besar dari sebelumnya.
"Aku juga, Celestine." Dan Louis pun menarik dirinya menjauh untuk menatap senyuman yang sama seperti empat tahun silam atau sebelumnya milik Celestine Wistletone. "Oleh karena itu, aku di sini untuk menemuimu."
Celestine mengelus pipi adiknya itu sekilas lalu memandanginya takjub. Celestine tampak baik-baik saja di mata Louis. Ia membayangkan wanita itu sudah memakai baju compang-camping sebab Joseph tak mampu membelikannya baju karena usahanya terancam bangkrut dan kakaknya pun harus menjual baju-baju bagusnya untuk membantu kekasihnya yang brengsek itu.
"Celestine," panggil Louis dengan lembut membuat kakaknya kini menatap mata birunya yang tampak bercahaya karena lampu di atasnya. "Aku ke sini untuk menjemputmu." Senyuman Celestine agak tertahankan kala itu sehingga beberapa kerutan singgah di dahi Louis mengungkapkan perasaan bertanya-tanyanya yang terhapus karena kalimat, "Ayo pulang bersamaku. Aku juga sudah pulang sekarang. Aku khawatir sesuatu terjadi padamu jika kau bersama Joseph."
Tapi wanita itu menggeleng pelan dan berusaha menyingkirkan pagar yang membatasi sudut bibirnya agar bisa ditarik lebih tinggi lagi. "Tidak Lou, aku tak bisa. Aku harus tinggal di sini selama yang kubisa sampai kami membeli rumah kami sendiri."
Kedua alis Louis hampir bertautan ketika mendengar ucapan kakaknya itu.
"Apa maksudmu? Kau jangan bercanda, Celestine. Joseph tak akan membelikanmu rumah karena dia tak akan mampu dan dia tak akan mendapatkanmu. Setidaknya selagi aku mampu menahannya untuk tetap enam kaki jauhnya darimu atau enam kaki di bawah tempatmu berdiri." Louis mengakhirinya dengan senyuman singkat yang justru membuat Celestine menatapnya nanar ingin segera menarik diri dari adiknya itu. Namun, ia tak mampu karena Louis memegangi lengannya lebih keras ketika senyuman pria itu memudar seperti cat di pagar rumah keluarga Stefar yang mulai digantikan warna karat. "Kau tak benar-benar mencintainya, 'kan? Celestine? Karena cinta tidak nyata."
Begitulah akhirnya Celestine menemukan alasan untuk menarik tubuhnya menjauh dan menyingkirkan tangan Louis dari lengannya sehingga ia bisa membuat jarak antara keduanya ketika bulan memilih bersembunyi di balik awan malam tak sanggup menyaksikan pertengkaran keduanya yang tampaknya akan terjadi.
Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam seraya memeluk tubuhnya sendiri dengan erat tak membiarkan angin malam itu meniupi kulitnya di balik jaket wol berwarna maroon kegemarannya.
"Celestine?" Sepasang kaki Louis mendekat, tetapi langkahnya terhenti bersamaan dengan Celestine yang mengangkat kepalanya untuk menatap Louis dengan birunya yang menggelap.
Wanita itu menatap Louis dalam seolah kini ia merasa tubuhnya tenggelam dalam birunya yang gelap seperti lautan dalam. "Aku tak akan meninggalkan Joseph, Louie. Kami saling mencintai. Namun, sulit sekali bagi kalian memberikan satu detik untuk menatap kami bersama tanpa cemoohan dalam batin kalian. Aku hanya harus membuktikan bahwa Joseph itu pria yang pantas untukku."
Urat-urat di pelipis Louis seketika bermunculan menembus kulit putihnya. Wajahnya berubah menjadi jengkel dan tangannya sudah menggenggam siap melemparkan tinjunya kepada siapa saja. Jikalau di sini ada Joseph, mungkin Joseph adalah objek yang sesuai sebagai pelampiasan amarahnya.
"Kau ini kenapa, Celestine?! Tidakkah kau tahu Joseph tak baik untukmu?! Dia tak pantas mendapatkanmu! Dia itu brengsek!"
Sebentar saja kedua bola mata biru Celestine yang lebih cerah dari milik Louis berkilau karena air mata dan dengan penuh harap sedikit pengertian adiknya, ia berkata, "Tidak, Lou. Dia tak seperti yang kau pikir. Kukatakan, aku hanya harus mem—"
"Tutte quelle stronzate (semua itu omong kosong), Celestine!" selaknya memotong ucapan Celestine membuat wanita itu terdiam seketika dan Louis mencoba mendekat setelah menghembuskan nafasnya lalu kembali menggenggam kedua lengan atas Celestine. Dalam intonasi yang lebih rendah, ia berkata, "Tidak bisakah kau melihat sisi buruk seseorang dan berhenti beranggapan semua orang itu baik seperti yang kau harapkan? Joseph hanya memanfaatkanmu. Dia tak benar-benar mencintaimu. Dia menginginkan uangmu, uang kita, uang pap." Tapi Celestine menarik tubuhnya menjauh dari Louis dengan matanya yang berkaca-kaca. Pria itu mendekat dan menarik bahu kakaknya agar berhadapan langsung dengannya. "Kau harus meninggalkannya, Celestine."
"Aku tak bisa, Louie!" Kini Celestine membalasnya dengan nada tinggi amarahnya dan matanya sudah berair parah. Louis sudah mengatakan berkali-kali soal keburukan Joseph. Namun, Celestine bergumam, "Aku memiliki putri sekarang," yang membuat bibir pria itu terkatup tak tahu harus mengatakan apa setelahnya. "Aku memiliki putri dengannya. Seorang putri yang sangat cantik dan lemah. Namanya Abigail." Matanya masih berair dan setetes air mata baru saja menembus pelupuknya dan jatuh melewati pipi hingga turun ke bawah mengikuti gravitasi. "Kau harus melihatnya, Louie. Dia cantik sekali."
Louis justru menarik tubuh kakaknya itu ke dalam pelukannya dan mencium rambutnya sekilas. Seolah berita yang seharusnya tak pernah hadir di dunia mengetuk gendang telinga, hanya simpati dan kekecewaan yang Louis sisipkan sepanjang waktu ia memutuskan pergi untuk pendidikannya di akademi. Sebab ia tahu, Joseph Stefar tak akan menjamin kehidupan kakaknya sedangkan hal ini, begitulah tak terhindarkan sekarang.
"Ini seharusnya tak terjadi padamu."Namun dengan cepat Celestine menarik tubuhnya menjauh dan menggelengkan kepalanya setelah mengusap wajahnya. Senyuman pun tercipta saat itu juga. "Aku tak menyesalinya, Lou. Aku dan Joseph saling mencintai dan kami sudah memiliki seorang putri sekarang. Setidaknya sekarang aku mempunyai alasan untuk tetap bersama Joseph m
Tak memiliki pilihan setelah pernyataan ayahnya didengar, Jasper pun mendorong tubuhnya untuk masuk ke dalam rumah dan dari balik jendela, tampak Jasper sedang memaksa istrinya untuk keluar memberikan Abigail kepada Louis. Meskipun wanita itu ragu, pada akhirnya ia keluar dengan Abigail dalam gendongannya membuat Louis sedikit terbelalak mengetahui fakta bahwa Abigail bukan lagi seorang bayi karena dia muncul dalam balutan baju tidur yang cantik dengan rambut pendek mencapai daun telinganya. Tampak sangat cantik dan membuat Louis tersenyum ketika menarik Abigail ke dalam gendongannya karena gadis kecil itu memiliki mata Celestine tapi lebih gelap jadi tampak seperti biru miliknya yang tak t
Malam hari itu bintang-bintang tampak mengadakan pertemuan mereka sendiri di atas langit—menyingkirkan uap air yang berusaha menghalangi mereka sehingga orang-orang bisa mengintip pertemuan para bintang dari bawahnya ketika kepala mereka menengadah dan tercipta pantulan bintang-bintang itu di mata mereka. Namun, lain halnya dengan Louis yang sekarang sedang di dalam kamarnya mencoba mencocokan antara setelan jas dan warna dasinya selagi berdiri di depan cermin, pria itu menyunggingkan senyuman sekilas begitu melihat setelan jasnya sudah sempurna—ditambah dengan beberapa ml gel rambut yang membuat penampilannya kelewat sempurna untuk sebuah pesta musim gugur.
"Audere est Facere" adalah kata pembuka pertemuan mereka."Kita harus mengadakan pertemuan Blighty Boys lagi," ucap Louis yang membuat Ian justru memasang wajah jijiknya
Kehadiran Louis mengejutkan wanita itu. Namun, sedetik kemudian ia memberikan senyuman manisnya. "Bolehkah aku duduk di sampingmu?" tanya Louis kepadanya yang dibalas dengan anggukan sehingga pria itu bisa mendudukkan bokongnya di sana. "Kau sendirian, Nona Harrel?"Emma Harrel menggeleng singkat tanpa jawaban, tapi setelahnya ia berkata, "Saya bersama teman
Pagi hari di The Teahouse saat itu terasa berbeda karena empat jiwa lama yang tak lagi berkeliaran di sana dikembalikan hari ini juga mengubah suasana sepi dan tentram di The Teahouse menjadi sedikit bising daripada hari-hari normal sebelum mereka tiba. Di sudut teahouse, seorang wanita dengan topi di kepalanya dan buku yang bersandar di atas kedua tangannya, merasa terganggu dengan cekikikan kecil Ian dan Pete yang terdengar lebih keras daripada milik Louis. Sedangkan Dan saat ini sedang menceritakan sebuah kisah tentangnya dan kelelawar dalam balutan lelucon karangannya.
Keheningan tercipta pasca bencana yang Ian bagi kepada aliansi itu. Hati memang berbicara lebih banyak ketimbang bibir, dan itu bukanlah hal yang wajar terjadi di pertemuan aliansi bernama Blighty Boys. Jelas salah satu dari mereka ingin menyuarakan hati. Meski tak sepenuhnya sesuai, setidaknya ada yang bersedia memecah duka terselimuti keheningan ini."Hey,
Sorakan di pangkal tenggorokan itu mendorong sepasang jari Nyonya Bache untuk memelorotkan kacamatanya. Peringatan dari sepasang bola mata pun teracuhkan begitu saja sebab hal lain tengah mengisi hati demi rencana bermalam yang menyenangkan. Sudah empat tahun dan empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Apabila rencana bermalam sungguh terlaksana nantinya, suasana nostalgia tak terhindarkan segera menyerang."Karena kita di rumah Dan, jelas dia harus menyuguhkan makanan yang enak dan kita tak harus membawa dari rumah." Anggota Blighty Boys tertawa bersamaan. Namun, Dan yang mengakhiri tawanya lebih dulu ketika manik matanya beralih menatap pintu masuk The Teahouse.Tarikan sudut bibir Dan ditampakkan. "Kalian tak perlu khawatir. Aku akan menjadi tuan rumah yang baik dan ramah. Akan kusuguhkan sesuatu yang belum pernah kalian lihat dan akan kupastikan kalian men
Dua bulan semenjak pertemuannya dengan Dan Nordstrom, dia masih belum menemukan jawaban. Sebuah kotak—sama persis dengan milik Louis Wistletone ketika ia masih menjadi kepala sekolah di sana—berdiri di sudut meja yang sama. Kebenaran dan kebohongan ada di dalamnya. Apabila Pete mencoba memilih mana yang harus dikatakan lebih dulu, ia tak tahu. Keduanya harus dikatakan bersamaan. Sehingga sore ini ia memilih untuk pulang, kendati tinggal di asrama Wistletone’s School seperti beberapa hari sebelumnya.Jikalau kotak itu milik Louis yang diwariskan untuknya, maka ia memiliki benda untuk diwariskan pula nantinya; sebuah jurnal. Mungkin terdengar tak menyenangkan, tapi sama seperti kotak Louis dengan rahasia di dalamnya, ia juga memiliki beberapa di dalam jurnal itu. Yang Pete butuhkan hanyalah seseorang untuk dipercaya menjaga rahasia dalam jurnal dia.Ia baru saja menuruni beberapa anak tangga ketika kotak itu nyaris lolos dari dekapannya sebab sepasang anak laki-laki berumur 14 tahunan b
The Teahouse tampak berbeda di abad kedua puluh satu. Tidak, bukan karena pelayannya telah digantikan robot semenjak Nyonya Bache pergi. Tidak juga karena interior antiknya berubah mengusung gaya Inggris modern. Mereka tetap serupa, tapi di bawah naungan atmosfer yang berbeda. Bahkan tempat ini sekarang menyajikan kopi semenjak kebudayaan mengonsumsi kopi tak lagi asing di lidah masyarakat Inggris. Tempat ini pun memiliki tambahan & Cafè setelah kata Teahouse dan mereka menghapus awalan The. Meskipun demikian, pria dengan koper persegi panjang di lantai tak pernah mengubah selera tehnya meski kopi mulai menjajaki daftar terfavorit.Pria itu kini memandang beberapa lembar kertas di dalam sebuah stopmap selagi menanti teh pesanannya tiba untuk dicicipi. Ketika ia selesai menumpuk rapi semua kertas dan memasukkannya kembali ke dalam koper, sebuah jurnal dari dalam sana mengganti posisi si stopmap. Tangan menarikan pena itu untuk menulis 28 April 2010. Tak ada perubahan. Masih aku. Masih
Ketika halaman Wistletone's School tampak senyap sebab semua orang disibukkan dengan pembelajaran, sepasang anak laki-laki justru mengendap-endap menuju sisi lain lapangan utama Wistletone's untuk sebuah aksi. Salah satu dari mereka tampak ketakutan dan hampir mengurungkan aksi yang terencana, tapi satunya lagi justru tampak bersemangat dan berkata, "Jangan khawatir, Alexis. Ini akan menyenangkan! Aku berani jamin!" Ia pun mendorong diri lebih jauh menuju objek incarannya."Tapi kita bisa terlibat masalah, Knox! Aku tak ingin dimarahi ayah lagi."Teman sebayanya pun segera melambaikan tangan di udara. "Jangan pedulikan. Ikuti saja perintahku untuk lari setelah ini, maka kau akan selamat dari kejaran bapa."Meski Alexis tampak ingin melontarkan patah kata lainnya, si anak bernama Knox sudah dulu memegangi sebuah tali yang cukup tebal.Kini, Alexis pun terpaksa menggenggam tali itu dan keduanya menghitung dengan cekikikan—atau justru hanya Knox yang tampak bersemangat. "Satu, dua, tiga!
Semalam, awan menangis hebat untuk alasan yang tak pasti. Sehingga pagi ini, dedaunan masih berkeringat dingin menanti sang surya membasuh peluh itu. Atmosfer pun mendingin meski sinar surya berhasil menembus kumpulan awan tipis yang menjulurkan leher mereka untuk mengintip kehidupan di Newcastle pada awal musim gugur, tepatnya pada tanggal sembilan september seribu sembilan ratus delapah puluh sembilan.Seorang pria yang telah mengenakan kemeja dengan balutan vest pun masih berdiri di hadapan kaca selagi gigi saling bergulat menghancurkan secuil roti di dalam mulut. Ia menarik sebuah sisir dari tempatnya untuk merapikan tatanan rambut yang sudah sempurna. Bahkan pagi ini, ia baru saja membersihkan kumis dan berewok seolah sungguh bersiap untuk sebuah pertemuan istimewa.Begitu suara ketukan pintu terdengar, ia segera meletakkan sisirnya dan meneguk habis teh dalam cangkir. Ditariklah gagang pintu itu menampakkan seorang pria dengan sebuket bunga besar yang tampak segar. Ia pun puas m
Sang surya terus didorong rotasi bumi menuju cakrawala yang masih jauh di seberang sana. Sementara itu, Ruenna sendiri baru saja melambaikan tangan setelah mengucapkan terima kasih sehingga Anthony bisa melanjutkan perjalanannya menuju Grainger Town yang diramaikan beberapa pelayat pula untuk jamuan.Puluhan topik melilit percakapan antara dua orang bahkan lebih ketika Louis mendorong diri mengisi salah satu ruang di ruang tamunya. Beberapa hidangan pun tampak mulai dicicipi lidah-lidah para pelayat yang sempat menunjukkan simpati mereka kepada Louis. Pria itu hanya mengangguk, tapi tak tertarik untuk melibatkan diri pada topik yang mereka tawarkan. Sebagai gantinya, ia mencoba menemukan Sylvia yang masih bersama Virginia di perpustakaan sejak ia menuju Jesmond.Ia menyadari bahwa Judith Hope baru saja mendorong diri meninggalkan perpustakaan dengan nampan di tangan. Ketika ia mencoba mengacuhkan wanita itu, ia justru mengelus bahu Louis sekilas selagi netra mencoba memberikan kekuata
Ketika para pelayat mulai berdatangan dan ibadah penghiburan terlalui sudah, peti Emma kembali mengisi ruang di perut ambulan menuju tempat di mana jutaan kisah tinggal. Kali ini Louis ada di sisinya tanpa Sylvia yang kemungkinan berada di bawah asuhan Virginia. Sementara seberhenti ambulan itu tepat di hadapan gerbang berkarat setinggi perut milik pemakaman Jesmond, beberapa orang sudah mendahului Louis mengisi ruang di beberapa sisi lubang galian untuk peti Emma.Pintu ambulan yang terbuka membuat Richard bertatapan dengan emosi Louis yang baru saja menetes tanpa disadari. Pria itu pun menarik napas perlahan sebelum melarikan tangan untuk menggenggam tangan putranya. ❝Whose heart plowing an ungainly perpetually, will never find an undaunted space.❞Namun, ucapan itu membuat Louis menggelengkan kepala sehingga tetesan emosi lainnya luruh sudah. "Jangan memberiku nasihat yang tak bisa dipraktikan, Pap. Aku sudah menyinggung soal kehidupan kita yang berbeda. Semua ini tak akan mudah un
Ketika rembulan belum bersedia ditelan cakrawala, tak ada satu hal pun yang mampu menyelamatkannya dari duka. Bahkan memori kebohongan semalam pun sempat terganti begitu beberapa orang melenggang masuk ke dalam kamarnya hanya untuk membawa Emma pergi dari belenggu kehidupan yang ingin ditinggalkan.Orang-orang dari rumah sakit segera mengevakuasi tubuh tak tersentuh kehidupan itu beberapa jam setelah semua sandiwara Louis terlaksana. Hal itu pula yang menyebabkan beberapa orang dari rumah sakit tak menyimpan banyak tanda tanya di kepala begitu melihat wajah Colin Marlowe.Tampaknya skenario kebohongan Louis yang terencana disetujui oleh Tuhan seolah Tuhan pun ingin menyelamatkan nasib Louis kali ini yang terikat nama keluarga dan latar belakang Sylvia—Joan Creveld. Namun, semua skenario yang telah ditulis tak sama sekali membantu Louis menerima takdir ketika kakinya menginjak lantai rumah sakit untuk menyaksikan betapa kering tubuh Emma seperti harapan si wanita. Ia merasa bersalah se
Sepasang iris Louis berdetak menyaksikan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun mendorong kaki itu cepat menuju seorang wanita yang terbaring lemah di atas ubin yang sangat terawat. Begitu si wanita sudah dalam jangkauan, diangkatlah kepala itu mencoba membawanya kembali ke kehidupan. Tubuh pun sempat diguncang berkali-kali sementara jantung Louis sudah diramaikan ketakutan."Emma!" pekiknya cukup keras selagi tangan menampar pelan pipinya. Namun, wanita itu tak membuka netra. Tubuhnya pun tampak tak bergerak sama sekali. Meski itu gerakan alamiah untuk menunjukkan bekerjanya pernapasan pun, hal itu tak mampu Louis lihat. Sementara sepanjang pipi hingga dagu menampakkan jejak tangisan yang kentara sekali belum sempat dihapus.Ketika Louis mendorong telunjuk mencoba menemukan deru napas meluncur dari lubang hidungnya, hal itu tak dapat dirasakan. Digeletakkan lagi wanita itu di atas ubin, denyut nadi maupun jantung tak lagi bergejolak seolah tubuh itu sudah kehilangan segala
Beberapa momen tercipta sangatlah serupa dengan ekspetasi. Beberapa lagi tercipta lebih baik dari garis rata-rata ekspetasi. Namun, kali ini, momen tak begitu menyenangkan kembali menghampiri akibat waktu yang selalu merespons layaknya gazelle di balik semak-semak. Mereka berlarian begitu cepat untuk mengubah jam menjadi hari. Akibat ulah si waktu yang kelewat cepat untuk sebuah hal fana, sepasang kekasih yang telah mencicipi berbagai rasa kehidupan kembali disaksikan stasiun serupa.Mungkin beberapa hal tampak sama di netra Louis. Namun, selalu ada hal berbeda yang disuguhkan untuknya setiap kali kata perpisahan mengantarkan ke area stasiun bersama setelan jasnya. Bibir masih terkatup ketika tangan itu bertengger di sisi wajah Emma sementara Sylvia ada di gendongan Alma. Gigi gerahamnya bertemu menciptakan bunyi ting yang sangatlah pelan guna menghapus keraguan."Aku tak akan pergi untuk selamanya. Jangan berikan aku kejutan, Emma. Ketika aku pulang, tak ada lagi kesengsaraan yang ka