"Ini seharusnya tak terjadi padamu."
Namun dengan cepat Celestine menarik tubuhnya menjauh dan menggelengkan kepalanya setelah mengusap wajahnya. Senyuman pun tercipta saat itu juga. "Aku tak menyesalinya, Lou. Aku dan Joseph saling mencintai dan kami sudah memiliki seorang putri sekarang. Setidaknya sekarang aku mempunyai alasan untuk tetap bersama Joseph meskipun kau, Anthony, Virgie, ataupun ribuan orang lainnya berkata tidak. Dan Abigail adalah putri kecil kami yang pantas untuk disayangi dan dicintai seperti anak perempuan lainnya. Dia juga sebuah senjata untuk membuat yang lainnya tersadar dan membuka mata bahwa kami baik-baik saja sehingga mereka percaya cinta itu nyata. Cinta itu ada bagi siapa pun yang mencarinya dan memerjuangkannya."
"Apa kau sudah menikah dengannya?"
"Non ancora (belum). Aku ingin segera menikah dengannya jikalau pap dan ma merestui kami. Aku yakin mereka pasti akan melakukannya. Namun, sulit sekali meyakinkan Anthony." Kini Celestine menggenggam kedua tangan Louis dan menatapnya dalam dengan matanya yang berbalut air. "Kau merestuiku dengan Joseph, 'kan? Louie?"
Louis menarik kedua tangannya dari genggaman tangan kakak perempuannya itu. "Aku tak suka kau dengan Joseph. Mengapa kau tak jatuh cinta dengan orang lain saja?"
❝No matter what happens, I will always believe in love. Pap does, Ma does, I do.❞ Louis terdiam seolah ucapan kakaknya itu memberitahunya sedikit kebenaran soal cinta. "Kita tak bisa memperkirakan pada siapa kita akan jatuh cinta nantinya karena perasaan itu datang dengan sendirinya. Dan percayalah, perasaan yang datang begitu saja akan menuntunmu kepada cinta sejatimu."
Louis menggeleng. "Tidak, Celestine. Dia mencuci otakmu! Dia itu brengsek, kau tak bisa jatuh cinta dengan seorang brengsek sepertinya. Kumohon, hentikan semua bualan tak berguna ini karena sepatah kata pun tak akan membuatku menyukainya."
Namun Celestine belum menyerah sehingga tangannya kembali menggenggam milik Louis dan menyejajarkan wajahnya dengan milik Louis yang tak bahagia. "Semua yang terlihat buruk tak selamanya buruk. Jika kau tak berhasil mengubahnya, maka ubahlah sudut pandangmu."
"Itu hanyalah omong kosong, Celestine. Bahkan aku tak bisa menemukan sedikit kebaikan pun di dalam diri Joseph yang sudah dipastikan akan dilempar ke neraka oleh Tuhan! Ya, begitulah Tuhan menciptakannya. Dengan api. Persis seperti iblis."
Celestine tersenyum sekilas. "Tak semua yang diciptakan dari api itu jahat. Buktinya ada Phoenix yang cantik."
Kedua alis Louis hampir bertemu ketika ia berkata, "Kau tak bermaksud membela Joseph, 'kan?"
"Aku tak membelanya, aku mengatakan kebenarannya." Louis memutar bola matanya mendengar ucapan kakaknya itu dan tepat setelahnya pria yang sedang dibicarakan berdiri bersandar pintu rumahnya yang terbuka dengan seringai di wajahnya.
"Ini dia si brengsek yang sedang kubicarakan," ucap Louis memutar tubuhnya untuk menatap pria itu yang masih melemparkan seringainya dengan kesan bangga.
Lalu Louis pun mulai mendekatinya untuk bertukar tatap. "Hey, kau sudah puas dengan semua perbuatanmu? Mulai dari perencanaan untuk mendapatkan Celestine sampai memiliki seorang putri dengannya, hm? Kutebak setelah ini kau akan menyuruh Celestine pulang lalu meminta uang kepada pap untuk keperluan putrinya yang mana sebenarnya untukmu, bajingan!" Namun, Joseph hanya tersenyum.
Telunjuknya terlambung lalu mendarat di ujung bahu Louis sedikit mendorongnya menjauh. "Aku belum miskin Louis Plonker Wistletone. Aku masih punya cukup harta untuk membeli harga dirimu. Jadi, rasanya tak mungkin jika aku tak mampu membiayai hidup Celestine dan Abbie. Oh, tidak, aku lupa jika harga dirimu lebih murah daripada biaya hidup keluarga kecilku."
Louis pun memutar tubuhnya untuk menatap kakaknya yang baru saja menatapnya siap mendengarkan. "Kau lihat, Celestine? Ini yang kau sebut masih mempunyai kebaikan? Aku ini adikmu dan dia sama sekali tak mempunyai rasa hormat kepadaku."
Joseph yang tak terima pun meninggalkan bibir pintu tempatnya bersandar dan beralih untuk mendorong tubuh Louis tak sampai jatuh membuatnya berbalik. "Kau yang lebih dulu tak menghormatiku, Berandalan. Sebelum kau menghinaku tidakkah kau lihat dirimu sendiri? Sosok berandalan yang bersembunyi di balik nama Wistletone sehingga kau bisa menyebut dirimu sendiri keturunan bangsawan." Joseph berdecih menjetikkan lidahnya membuat beberapa ludahnya terlontar lalu terseret angin.
❝Every man is an island in his own special way, so you can't expect me to be like you want me to,❞ sambungnya setelah melipat kedua lengannya di depan dada. Melihat mimik sengit Louis yang dilemparkan kepadanya membuat Joseph tak bisa untuk tak mengatakan, "Aku memang bukan bangsawan dan kau melabeliku bajingan. Tapi kau tak bisa memaksakan seseorang untuk menjadi baik seperti yang kau definisikan perihal kata baik dalam otakmu! Karena bangsawan atau berandalan memiliki arti yang sama apabila itu terkait dirimu ataupun Anthony!"
Celestine yang melihat Louis hampir saja melambungkan tinjunya ke arah Joseph, langsung menyelinap ke dalam jarak yang tersisa di antara keduanya dan mendorong mereka menjauh beberapa centi. "Ayolah jangan seperti ini. Ini sudah malam. Dan, Louie." Kali ini Celestine menatap adiknya dengan dagu yang mengeras menampakkan rahang kuatnya. "Sebaiknya kau pulang."
"Kau mengusirku, Celestine?"
"Tidak, bukan begitu, Louie. Ini sudah malam dan aku tak ingin ada keributan di sini. Kumohon, mengertilah. Ini semua demi kebaikan kita."
"Kebaikan kita atau kebaikan si banci di belakangmu yang mungkin akan pingsan karena tinju ringan dariku?"
Tepat setelah itu, tinju Joseph melambung melewati bahu Celestine dan mendarat di pipi Louis membuatnya mundur beberapa langkah seraya memegangi pipinya. Louis yang sudah tak tahan pun akhirnya membalas perlakuan Joseph dengan tindakan serupa sehingga keduanya berakhir dalam perkelahian yang membuat Celestine tak bisa berhenti berteriak hingga ayah Joseph keluar untuk melempar tubuh Louis ke pekarangan rumahnya—jatuh menindih beberapa helai rumput di bawahnya.
"Kau menjijikan sekali, Louis!" ucap Jasper Stefar yang suaranya menggema di balik kumis tebalnya. Lalu pria itu melanjutkan hinaannya ketika Louis berusaha bangkit seraya memegangi perutnya. "Aku bahkan tak sudi menyebut nama lengkapmu karena Wistletone tak cocok untukmu! Kau berandalan kecil yang seharusnya mati dan tak pernah kembali setelah sekolah militer sialanmu itu—yang mendidikmu menjadi lebih berandalan dengan kemampuan berkelahimu yang berkembang. Bukannya menjadikanmu abdi negara dengan lencana keberanian dan rasa hormat!"
Celestine berusaha membuat Jasper Stefar terdiam karena bagaimanapun, Louis adalah adiknya dan ketika ia disakiti, maka Celestine akan merasakan rasa sakit serupa dalam hatinya. Namun, tampaknya Louis tak memedulikan ucapan Jasper yang sama tak bermoralnya seperti putranya.
"Tentara macam apa yang datang ke rumah seseorang untuk membuat keributan dan memukuli tuan rumahnya?! Fantine melahirkan dan membesarkan sebuah kotoran bukan seorang putra! Kau hanya—"
"Sedangkan dirimu sendiri seorang penjilat yang membohongi para pekerjamu dengan gaji rendah meskipun hasil panennya melimpah! Kau pikir kau hidup di abad 18?! Adam Smith sudah mengubah perekonomian Inggris bodoh!"
"Louie!" ucap Celestine dengan intonasi nada tinggi tapi diucapkan dalam bisikan dan saat itu pula Louis melihat Nyonya Stefar melongok dari balik kaca bersama seorang gadis kecil yang mungkin adalah Abigail—membuat Louis tak jadi melanjutkan ucapannya.
"Pergilah dari sini, Louis! Pergi dan matilah setelah ini karena kecelakaan atau apa pun! Sosokmu tak pernah diinginkan dunia!" Kali ini Joseph Stefar lah yang berbicara setelah selesai memijat rahangnya yang lebam.
Telunjuk Louis melambung ke arah Joseph dan Jasper secara bergantian setelah Celestine meminta Joseph menarik kata-katanya. "Kalian berdua sama-sama biadab! Ucapan kalian tak memiliki sedikit moral pun sama seperti sifat kalian! Jika DNA mu, Jasper, sudah menurun ke putra bajinganmu ini, tak akan kubiarkan DNA kalian yang sudah mengalir dalam diri Abigail terlatih sehingga ketika dia tumbuh, akan menjadi kacau sifatnya seperti kalian berdua!"
"DNA DNA, itu masuk akal jika Joseph demikian, coba lihat dirimu sendiri, Louis. Ayahmu tak sepertimu apalagi ibumu. Aku curiga kau hanya anak angkat, atau kau mungkin putra Adam dengan salah satu jalangnya tetapi dibesarkan oleh Richard. Kau pikir siapa yang tak kenal paman brengsekmu itu?! Dia persis sepertimu!"
"Sudahlah, Ayah. Biarkan Louie pulang sekarang," ucap Celestine seraya memegangi lengan Jasper yang berkacak indah di pinggangnya.
Namun, Louis menggeleng. "Tidak, Celestine. Aku tak akan pulang jika tidak bersama Abigail. Aku tak sudi Abigail diasuh para Stefar!"
Dan Joseph pun yang mendengar ucapan Louis, segera melambungkan telunjuknya sekaligus mendorong tubuhnya mendekat menghardiknya. "Kau tak akan pernah—" Sayang sekali, Jasper justru menarik tubuh putranya menjauhi Louis dan meminta putranya untuk diam.
"Biarkan Louis membawa Abigail untuk malam ini atau seminggu lagi. Aku memang butuh hari libur untuk tak mendengar tangisan putrimu itu."
Sedikit kejutan mengetuk hati Joseph dan Celestine yang tak menyangka pria ini lebih senang gadis kecil dalam gendongan dibawa pergi demi waktu istirahat. Pikiran Louis pun berdialog, "Memang tak seharusnya Abigail ada di sini. Pria ini tak benar-benar menginginkan Abigail melainkan Celestine."
Tak memiliki pilihan setelah pernyataan ayahnya didengar, Jasper pun mendorong tubuhnya untuk masuk ke dalam rumah dan dari balik jendela, tampak Jasper sedang memaksa istrinya untuk keluar memberikan Abigail kepada Louis. Meskipun wanita itu ragu, pada akhirnya ia keluar dengan Abigail dalam gendongannya membuat Louis sedikit terbelalak mengetahui fakta bahwa Abigail bukan lagi seorang bayi karena dia muncul dalam balutan baju tidur yang cantik dengan rambut pendek mencapai daun telinganya. Tampak sangat cantik dan membuat Louis tersenyum ketika menarik Abigail ke dalam gendongannya karena gadis kecil itu memiliki mata Celestine tapi lebih gelap jadi tampak seperti biru miliknya yang tak t
Malam hari itu bintang-bintang tampak mengadakan pertemuan mereka sendiri di atas langit—menyingkirkan uap air yang berusaha menghalangi mereka sehingga orang-orang bisa mengintip pertemuan para bintang dari bawahnya ketika kepala mereka menengadah dan tercipta pantulan bintang-bintang itu di mata mereka. Namun, lain halnya dengan Louis yang sekarang sedang di dalam kamarnya mencoba mencocokan antara setelan jas dan warna dasinya selagi berdiri di depan cermin, pria itu menyunggingkan senyuman sekilas begitu melihat setelan jasnya sudah sempurna—ditambah dengan beberapa ml gel rambut yang membuat penampilannya kelewat sempurna untuk sebuah pesta musim gugur.
"Audere est Facere" adalah kata pembuka pertemuan mereka."Kita harus mengadakan pertemuan Blighty Boys lagi," ucap Louis yang membuat Ian justru memasang wajah jijiknya
Kehadiran Louis mengejutkan wanita itu. Namun, sedetik kemudian ia memberikan senyuman manisnya. "Bolehkah aku duduk di sampingmu?" tanya Louis kepadanya yang dibalas dengan anggukan sehingga pria itu bisa mendudukkan bokongnya di sana. "Kau sendirian, Nona Harrel?"Emma Harrel menggeleng singkat tanpa jawaban, tapi setelahnya ia berkata, "Saya bersama teman
Pagi hari di The Teahouse saat itu terasa berbeda karena empat jiwa lama yang tak lagi berkeliaran di sana dikembalikan hari ini juga mengubah suasana sepi dan tentram di The Teahouse menjadi sedikit bising daripada hari-hari normal sebelum mereka tiba. Di sudut teahouse, seorang wanita dengan topi di kepalanya dan buku yang bersandar di atas kedua tangannya, merasa terganggu dengan cekikikan kecil Ian dan Pete yang terdengar lebih keras daripada milik Louis. Sedangkan Dan saat ini sedang menceritakan sebuah kisah tentangnya dan kelelawar dalam balutan lelucon karangannya.
Keheningan tercipta pasca bencana yang Ian bagi kepada aliansi itu. Hati memang berbicara lebih banyak ketimbang bibir, dan itu bukanlah hal yang wajar terjadi di pertemuan aliansi bernama Blighty Boys. Jelas salah satu dari mereka ingin menyuarakan hati. Meski tak sepenuhnya sesuai, setidaknya ada yang bersedia memecah duka terselimuti keheningan ini."Hey,
Sorakan di pangkal tenggorokan itu mendorong sepasang jari Nyonya Bache untuk memelorotkan kacamatanya. Peringatan dari sepasang bola mata pun teracuhkan begitu saja sebab hal lain tengah mengisi hati demi rencana bermalam yang menyenangkan. Sudah empat tahun dan empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Apabila rencana bermalam sungguh terlaksana nantinya, suasana nostalgia tak terhindarkan segera menyerang."Karena kita di rumah Dan, jelas dia harus menyuguhkan makanan yang enak dan kita tak harus membawa dari rumah." Anggota Blighty Boys tertawa bersamaan. Namun, Dan yang mengakhiri tawanya lebih dulu ketika manik matanya beralih menatap pintu masuk The Teahouse.Tarikan sudut bibir Dan ditampakkan. "Kalian tak perlu khawatir. Aku akan menjadi tuan rumah yang baik dan ramah. Akan kusuguhkan sesuatu yang belum pernah kalian lihat dan akan kupastikan kalian men
Dua pasang roda sepeda berputar menyisir pinggiran Newcastle melewati jembatan berbatu bata beserta jalan setapaknya. Beberapa orang yang sibuk berlalu-lalang membawa beban pekerjaan mendengus ketika kedua pengendara sepeda itu cekikikan mengendarai sepeda mereka dengan brutal hampir menabrak beberapa orang di sepanjang jalan itu. Beruntung, tak satu pun pejalan tertabrak salah satu dari keduanya. Namun, mereka mendapat sorakan amarah dari beberapa pejalan yang tak membuat keduanya memperlambat laju sepedanya. Hampir saja sepeda yang dikendarai Louis Wistletone menabrak salah satu pohon di pinggir taman karena Dan Nordström dengan jahilnya menendang pelan area pedalnya. Namun, anehnya, Louis tak merasa kesal dan justru menertawakan kejadian yang hampir membuatnya terluka itu hingga mereka berhenti di depan pintu gerbang besar di sudut paling pojok kota—di mana pemukiman penduduk berjarak sekitar seratus l
Dua bulan semenjak pertemuannya dengan Dan Nordstrom, dia masih belum menemukan jawaban. Sebuah kotak—sama persis dengan milik Louis Wistletone ketika ia masih menjadi kepala sekolah di sana—berdiri di sudut meja yang sama. Kebenaran dan kebohongan ada di dalamnya. Apabila Pete mencoba memilih mana yang harus dikatakan lebih dulu, ia tak tahu. Keduanya harus dikatakan bersamaan. Sehingga sore ini ia memilih untuk pulang, kendati tinggal di asrama Wistletone’s School seperti beberapa hari sebelumnya.Jikalau kotak itu milik Louis yang diwariskan untuknya, maka ia memiliki benda untuk diwariskan pula nantinya; sebuah jurnal. Mungkin terdengar tak menyenangkan, tapi sama seperti kotak Louis dengan rahasia di dalamnya, ia juga memiliki beberapa di dalam jurnal itu. Yang Pete butuhkan hanyalah seseorang untuk dipercaya menjaga rahasia dalam jurnal dia.Ia baru saja menuruni beberapa anak tangga ketika kotak itu nyaris lolos dari dekapannya sebab sepasang anak laki-laki berumur 14 tahunan b
The Teahouse tampak berbeda di abad kedua puluh satu. Tidak, bukan karena pelayannya telah digantikan robot semenjak Nyonya Bache pergi. Tidak juga karena interior antiknya berubah mengusung gaya Inggris modern. Mereka tetap serupa, tapi di bawah naungan atmosfer yang berbeda. Bahkan tempat ini sekarang menyajikan kopi semenjak kebudayaan mengonsumsi kopi tak lagi asing di lidah masyarakat Inggris. Tempat ini pun memiliki tambahan & Cafè setelah kata Teahouse dan mereka menghapus awalan The. Meskipun demikian, pria dengan koper persegi panjang di lantai tak pernah mengubah selera tehnya meski kopi mulai menjajaki daftar terfavorit.Pria itu kini memandang beberapa lembar kertas di dalam sebuah stopmap selagi menanti teh pesanannya tiba untuk dicicipi. Ketika ia selesai menumpuk rapi semua kertas dan memasukkannya kembali ke dalam koper, sebuah jurnal dari dalam sana mengganti posisi si stopmap. Tangan menarikan pena itu untuk menulis 28 April 2010. Tak ada perubahan. Masih aku. Masih
Ketika halaman Wistletone's School tampak senyap sebab semua orang disibukkan dengan pembelajaran, sepasang anak laki-laki justru mengendap-endap menuju sisi lain lapangan utama Wistletone's untuk sebuah aksi. Salah satu dari mereka tampak ketakutan dan hampir mengurungkan aksi yang terencana, tapi satunya lagi justru tampak bersemangat dan berkata, "Jangan khawatir, Alexis. Ini akan menyenangkan! Aku berani jamin!" Ia pun mendorong diri lebih jauh menuju objek incarannya."Tapi kita bisa terlibat masalah, Knox! Aku tak ingin dimarahi ayah lagi."Teman sebayanya pun segera melambaikan tangan di udara. "Jangan pedulikan. Ikuti saja perintahku untuk lari setelah ini, maka kau akan selamat dari kejaran bapa."Meski Alexis tampak ingin melontarkan patah kata lainnya, si anak bernama Knox sudah dulu memegangi sebuah tali yang cukup tebal.Kini, Alexis pun terpaksa menggenggam tali itu dan keduanya menghitung dengan cekikikan—atau justru hanya Knox yang tampak bersemangat. "Satu, dua, tiga!
Semalam, awan menangis hebat untuk alasan yang tak pasti. Sehingga pagi ini, dedaunan masih berkeringat dingin menanti sang surya membasuh peluh itu. Atmosfer pun mendingin meski sinar surya berhasil menembus kumpulan awan tipis yang menjulurkan leher mereka untuk mengintip kehidupan di Newcastle pada awal musim gugur, tepatnya pada tanggal sembilan september seribu sembilan ratus delapah puluh sembilan.Seorang pria yang telah mengenakan kemeja dengan balutan vest pun masih berdiri di hadapan kaca selagi gigi saling bergulat menghancurkan secuil roti di dalam mulut. Ia menarik sebuah sisir dari tempatnya untuk merapikan tatanan rambut yang sudah sempurna. Bahkan pagi ini, ia baru saja membersihkan kumis dan berewok seolah sungguh bersiap untuk sebuah pertemuan istimewa.Begitu suara ketukan pintu terdengar, ia segera meletakkan sisirnya dan meneguk habis teh dalam cangkir. Ditariklah gagang pintu itu menampakkan seorang pria dengan sebuket bunga besar yang tampak segar. Ia pun puas m
Sang surya terus didorong rotasi bumi menuju cakrawala yang masih jauh di seberang sana. Sementara itu, Ruenna sendiri baru saja melambaikan tangan setelah mengucapkan terima kasih sehingga Anthony bisa melanjutkan perjalanannya menuju Grainger Town yang diramaikan beberapa pelayat pula untuk jamuan.Puluhan topik melilit percakapan antara dua orang bahkan lebih ketika Louis mendorong diri mengisi salah satu ruang di ruang tamunya. Beberapa hidangan pun tampak mulai dicicipi lidah-lidah para pelayat yang sempat menunjukkan simpati mereka kepada Louis. Pria itu hanya mengangguk, tapi tak tertarik untuk melibatkan diri pada topik yang mereka tawarkan. Sebagai gantinya, ia mencoba menemukan Sylvia yang masih bersama Virginia di perpustakaan sejak ia menuju Jesmond.Ia menyadari bahwa Judith Hope baru saja mendorong diri meninggalkan perpustakaan dengan nampan di tangan. Ketika ia mencoba mengacuhkan wanita itu, ia justru mengelus bahu Louis sekilas selagi netra mencoba memberikan kekuata
Ketika para pelayat mulai berdatangan dan ibadah penghiburan terlalui sudah, peti Emma kembali mengisi ruang di perut ambulan menuju tempat di mana jutaan kisah tinggal. Kali ini Louis ada di sisinya tanpa Sylvia yang kemungkinan berada di bawah asuhan Virginia. Sementara seberhenti ambulan itu tepat di hadapan gerbang berkarat setinggi perut milik pemakaman Jesmond, beberapa orang sudah mendahului Louis mengisi ruang di beberapa sisi lubang galian untuk peti Emma.Pintu ambulan yang terbuka membuat Richard bertatapan dengan emosi Louis yang baru saja menetes tanpa disadari. Pria itu pun menarik napas perlahan sebelum melarikan tangan untuk menggenggam tangan putranya. ❝Whose heart plowing an ungainly perpetually, will never find an undaunted space.❞Namun, ucapan itu membuat Louis menggelengkan kepala sehingga tetesan emosi lainnya luruh sudah. "Jangan memberiku nasihat yang tak bisa dipraktikan, Pap. Aku sudah menyinggung soal kehidupan kita yang berbeda. Semua ini tak akan mudah un
Ketika rembulan belum bersedia ditelan cakrawala, tak ada satu hal pun yang mampu menyelamatkannya dari duka. Bahkan memori kebohongan semalam pun sempat terganti begitu beberapa orang melenggang masuk ke dalam kamarnya hanya untuk membawa Emma pergi dari belenggu kehidupan yang ingin ditinggalkan.Orang-orang dari rumah sakit segera mengevakuasi tubuh tak tersentuh kehidupan itu beberapa jam setelah semua sandiwara Louis terlaksana. Hal itu pula yang menyebabkan beberapa orang dari rumah sakit tak menyimpan banyak tanda tanya di kepala begitu melihat wajah Colin Marlowe.Tampaknya skenario kebohongan Louis yang terencana disetujui oleh Tuhan seolah Tuhan pun ingin menyelamatkan nasib Louis kali ini yang terikat nama keluarga dan latar belakang Sylvia—Joan Creveld. Namun, semua skenario yang telah ditulis tak sama sekali membantu Louis menerima takdir ketika kakinya menginjak lantai rumah sakit untuk menyaksikan betapa kering tubuh Emma seperti harapan si wanita. Ia merasa bersalah se
Sepasang iris Louis berdetak menyaksikan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun mendorong kaki itu cepat menuju seorang wanita yang terbaring lemah di atas ubin yang sangat terawat. Begitu si wanita sudah dalam jangkauan, diangkatlah kepala itu mencoba membawanya kembali ke kehidupan. Tubuh pun sempat diguncang berkali-kali sementara jantung Louis sudah diramaikan ketakutan."Emma!" pekiknya cukup keras selagi tangan menampar pelan pipinya. Namun, wanita itu tak membuka netra. Tubuhnya pun tampak tak bergerak sama sekali. Meski itu gerakan alamiah untuk menunjukkan bekerjanya pernapasan pun, hal itu tak mampu Louis lihat. Sementara sepanjang pipi hingga dagu menampakkan jejak tangisan yang kentara sekali belum sempat dihapus.Ketika Louis mendorong telunjuk mencoba menemukan deru napas meluncur dari lubang hidungnya, hal itu tak dapat dirasakan. Digeletakkan lagi wanita itu di atas ubin, denyut nadi maupun jantung tak lagi bergejolak seolah tubuh itu sudah kehilangan segala
Beberapa momen tercipta sangatlah serupa dengan ekspetasi. Beberapa lagi tercipta lebih baik dari garis rata-rata ekspetasi. Namun, kali ini, momen tak begitu menyenangkan kembali menghampiri akibat waktu yang selalu merespons layaknya gazelle di balik semak-semak. Mereka berlarian begitu cepat untuk mengubah jam menjadi hari. Akibat ulah si waktu yang kelewat cepat untuk sebuah hal fana, sepasang kekasih yang telah mencicipi berbagai rasa kehidupan kembali disaksikan stasiun serupa.Mungkin beberapa hal tampak sama di netra Louis. Namun, selalu ada hal berbeda yang disuguhkan untuknya setiap kali kata perpisahan mengantarkan ke area stasiun bersama setelan jasnya. Bibir masih terkatup ketika tangan itu bertengger di sisi wajah Emma sementara Sylvia ada di gendongan Alma. Gigi gerahamnya bertemu menciptakan bunyi ting yang sangatlah pelan guna menghapus keraguan."Aku tak akan pergi untuk selamanya. Jangan berikan aku kejutan, Emma. Ketika aku pulang, tak ada lagi kesengsaraan yang ka