Share

² | Para Pria Wistletone

Perjalanan terasa cukup singkat baginya mengingat perasaan rindunya tak tertahankan. Dan selama Louis pergi untuk pendidikan militernya, ia mendengar sangat sedikit kabar, seperti Anthony yang sedang belajar untuk menggantikan ayahnya nanti mengurus sekolah. Louis menanggapi berita itu sebagai lelucon mengingat Anthony adalah sosok yang tak suka hidup dalam lilitan aturan dan formalitas yang seperti kemayaan tiada guna. Kendati menjadi kepala sekolah, ia lebih menginginkan mengurus perkebunan milik keluarga. Namun, karena Louis sudah menjadi tentara Inggris sepenuhnya yang artinya dia tak bisa mengurus sekolah, Anthony terpaksa menggantikannya.

Lalu berita kedua yang didengarnya adalah soal Celestine, kakak perempuannya yang berpacaran dengan Joseph Stefar—putra pemilik perusahaan gandum yang nyaris bangkrut. Louis tak pernah suka pria itu sejak dulu. Dia mengenalnya karena Joseph juga lulusan Wistletone's School dari kelas teater. Tak heran jika dia pandai berakting untuk menciptakan drama yang menarik simpati banyak orang. Namun, mendengar nama Stefar saja rasanya perutnya sudah mual dan ingin memarkirkan mobilnya di pinggir jalan saat ini juga untuk memuntahkan isi perutnya. Matanya terputar sekilas menanggapi pemikirannya saat ini yang sangat tak penting, lalu menginjak pedal gasnya lebih dalam agar laju mobilnya bisa lebih cepat.

Pagar tinggi dengan ujungnya yang runcing menghentikan mobilnya. Seorang penjaga menanyainya dari balik gerbang. Namun, Louis hanya tersenyum seraya memperkenalkan dirinya. Mendengar nama belakangnya saja membuat pria itu segera membukakan pintu gerbang itu, tak mau membuat Louis menunggu lebih lama lagi atau membuat dirinya mempermalukan dirinya sendiri di hadapan putra pemilik sekolah di mana dirinya bekerja.

Setelah melewati jalan setapak yang kanan kirinya terhampar rumput dengan tinggi yang sama, ia memarkirkan mobilnya di sudut lapangan kecil berbatako yang memang didedikasikan sebagai tempat parkir. Ia mendorong pintu mobilnya, lalu sedikit melemparnya sampai tertutup rapat. Pemandangannya masih sama, udaranya masih sama, hanya orang-orangnya yang berbeda. Tak mau pikir panjang lagi, pria itu berlari melewati rerumputan di halaman, lorong yang sepi dengan kelas di kanan kirinya (tampaknya jam pelajaran sedang berlangsung), hingga akhirnya tiba di ruangan ayahnya. Dan bodohnya Louis yang tak sabaran itu sampai lupa mengetuk pintu ruangan ayahnya dan melenggang masuk begitu saja tak tahu apabila ada seseorang sedang di dalam bersama ayahnya mendiskusikan sesuatu. Baik ayahnya maupun tamu ayahnya kini menatap Louis dalam diam dan kecanggungan tiba beberapa saat.

Lalu pria itu memecahnya dengan berkata, "Oh putraku, Louis. Apakah kau keberatan meninggalkanku dengan Nona Harrel sendirian?" Louis terdiam seraya menatap wanita itu sekilas yang justru kini memalingkan wajahnya.

"Maafkan aku, Pap. Aku tak tahu."

Ayahnya tersenyum dengan ramah memaklumi kelakuan putranya itu padahal di dalam hatinya dia sangat ingin bangkit dari kursinya, berlari ke arah putranya, dan memeluknya erat karena sudah sangat merindukannya. Namun, ia memilih untuk tetap tinggal, sedangkan Louis kini sudah membukakan pintu untuk dirinya sendiri dan mengubur keberadaannya setelah keluar dari ruangan ayahnya sehingga pria itu bisa melanjutkan diskusinya dengan wanita dalam ruangannya. 

Rasanya Louis sudah cukup menunggu untuk bertemu anggota keluarganya. Namun, kenyataannya dia harus menunggu sebentar lagi untuk memeluk pria itu. Dan setelah menunggu sekitar lima belas menit di depan ruangan ayahnya, wanita itu akhirnya keluar dari sana membuat Louis sedikit menundukkan kepalanya ketika sang wanita berjalan melewatinya dan memberinya sedikit senyuman. Ia menatap punggung wanita itu yang perlahan menghilang hingga ayahnya mengejutkannya yang justru dibalasnya dengan pelukan hangat.

"Aku sangat merindukanmu, Pap."

Ayahnya sudah menarik dirinya, memegangi kedua lengan putranya dan menatapnya dengan bangga. "Tentu, aku juga dan kau tampak berbeda dari hari pertama aku mengirimmu ke sana." Louis hanya membalasnya dengan kekehannya. "Bagaimana sekolahnya?" 

"Melelahkan, tapi bagaimana lagi, itu pilihanku. Kupikir aku menikmatinya. Namun, aku akan lebih menikmati liburan lima bulanku di sini."

"Lima bulan?!" Pria itu dikejutkan pernyataan putranya yang justru kini menaikkan alisnya dan memicingkan sudut bibirnya memasang ekspresi bangga. "Wah, kita bisa merayakan natal bersama-sama tahun ini!" pekik Richard Wistletone dengan penuh kebahagiaan. "Oh ya, maafkan aku karena tak bisa menjemputmu di stasiun, Lou."

Louis baru saja mengayunkan tangannya. "Tak masalah, Pap. Ada ma dan Virginia yang menjemputku. Dan, ah ya, di mana Anthony? Aku ingin bertemu dengannya."

Namun, Richard Wistletone justru tertawa begitu mendengar nama Anthony. "Kakakmu itu sedang di perpustakaan. Katanya mencari referensi belajar. Ingat, 'kan? Dia akan menggantikanku nanti. Itu artinya dia harus mulai mengajar di sini," ucapnya diakhiri dengan kedipan sebelah mata sehingga Louis terkekeh dibuatnya.

"Baiklah, Pap. Aku akan pergi menemuinya sekarang. Aku lega sudah bertemu denganmu dan maaf tadi aku tak mengetuk pintu terlebih dulu." Ayahnya hanya memasang ekspresi santai saja sehingga Louis melanjutkan, "Dan ma ingin kita pulang sebelum makan malam, termasuk Anthony."

"Pasti."

Dengan begitu Louis meninggalkan keberadaan ayahnya dan berjalan ke seberang lorong untuk mencapai perpustakaan di mana Anthony berada.

Jam pelajaran memang mungkin sedang berlangsung karena sepanjang lorong tampak sepi sekali dan di dekat aula utama tak tampak murid berkeliaran. Biasanya di jam istirahat, mereka akan berkumpul di sana, mencari tempat duduk kosong untuk mengobrol atau hanya sekadar mengistirahatkan diri setelah berolahraga atau berlarian dan bercanda dengan murid yang lain. Namun, hanya pemandangan lorong yang sepi disuguhkan sedangkan suara seorang pria yang menjelaskan soal perbedaan Agricola dan Agricolis menggema di tempatnya berjalan. Latin, pikir Louis. Pria itu tak pernah menyukai pelajaran Latin karena dia benci bermain dengan kata dan sebaliknya ia lebih menggemari olahraga.

Kakinya kini sudah berbelok untuk masuk ke area perpustakaan. Ia sedikit terkejut melihat pustakawati yang berbeda sekarang. Dulu pustakawatinya seorang wanita paruh baya dengan wajah galak dan kacamata bulan separo-nya yang berdebu. Namu, sekarang berubah menjadi wanita yang mungkin berumur dua puluh tahunan akhir dengan rambut pirang yang bergelombang di bawahnya dan mata biru cerah seperti samudra.

Louis melemparkan senyuman singkat kepadanya membuat wanita itu membalasnya dengan senyuman yang manis pula. Rasanya setelah itu, Louis tak ingin menghilangkan senyumannya. Ia berharap pustakawatinya dulu seperti wanita itu agar tak harus berususan dengan pustakawati tua yang hobi memarahi siapa saja yang membuat suara bising meskipun hanya terbatuk. 

Bekas senyumannya untuk pustakawati itu lenyap begitu menangkap keberadaan Anthony dengan setumpuk buku di sampingnya. Pria itu tampak sangat stress dengan keadaannya saat ini, tetapi Louis hanya menyapanya ramah seolah semuanya baik-baik saja. Anthony tak tampak terkejut atau bahagia melihat Louis. Namun, sebaliknya, ia justru mengusir pria itu dari sana.

"Eh?" pekik Louis bingung yang kini sudah duduk di samping Anthony sedangkan pria itu hanya menaruh telunjuk di depan bibirnya seraya menciptakan bunyi ussst pelan. "Kau tak senang aku di sini?"

"Aku sedang sibuk bahkan terlalu sibuk untuk merindukanmu." Louis baru saja akan membuka mulutnya untuk menanggapi ucapan Anthony. Sayang, pria itu sudah memotongnya terlebih dulu. "Maafkan aku, Lou. Tapi aku serius, jangan ganggu aku."

"Baiklah," jawabnya singkat lalu melipat kedua lengannya di depan dada. Anthony masih tak berbicara dan sibuk menyalin sesuatu ke dalam buku tulisnya sehingga Louis merasa bosan dan mengalihkan pandangannya kepada pustakawati di seberang yang justru menyadari Louis menatapnya sehingga ia menanggapinya dengan memberikan senyuman kecil dengan perasaan malu dalam dirinya. "Hmm, Ant, apa kau tahu aku akan pulang hari ini?"

"Ya. Sebenarnya aku merencanakan untuk menjemputmu di stasiun ketika kau pulang persis seperti aku mengantarmu ke stasiun ketika kau akan pergi, tapi itu rencana dua tahun silam." Pria itu menjawab, tapi masih dengan tarian pada jemarinya karena sibuk menyalin sesuatu. "Sebelum pap mengirimku ke Universitas Newcastle karena menginginkanku mengurus sekolah ini nantinya. Sejak saat itu aku sibuk. Akhir dari cerita atau dengan istilah lain, tamat."

Louis hanya menggelengkan kepalanya sekilas dalam tawanya. Anthony tampak berbeda dari hari pertama ia meninggalkannya dan perasaan itu mengganggunya. Ia sangat merindukan orang-orang di sekitarnya dan berharap mereka merasakan hal serupa. Namun, yang dilihatnya sekarang, salah satu sahabatnya tampak tak begitu bersemangat dengan kepulangannya.

"Kau membosankan, Ant." 

Spontan ucapannya membuat Anthony menatapnya tanpa meletakkan pena. Anthony menghembuskan nafasnya sekilas lalu menaikkan kedua bahunya. Senyuman terukir di bibirnya ketika tangannya ia larikan ke rambut adiknya itu dan sedikit memberantakannya. 

"Maafkan aku. Hanya sedikit tertekan dengan keinginan seseorang yang bahkan tak mempertimbangkan keinginanku lebih dulu." Louis membalasnya dengan senyuman selagi Anthony menutup salah satu buku di hadapannya menggantinya dengan buku lain untuk disalin. "Kau tahu, bukan, aku ini tipe orang yang seperti apa? Kurasa aku bisa menolak dan pap akan menerimanya, tapi aku tak bisa membiarkan apa yang sudah dibangunnya hancur begitu saja." 

"Kupikir kau sudah berbeda sekarang. Maksudku ya, kita berbeda sekarang. Kita berdua memang keras kepala tapi kau menuruti keinginan pap, sedangkan aku? Mungkin masih sama keras kepalanya seperti dulu."

"Tidak, Lou, kurasa militer sudah mengubahmu. Tapi kau mengharapkan lebih dari ini bukan?"

Lalu adiknya itu menjawab dengan cepat. "Ya, jelas aku ingin naik pang—"

Anthony secepat Louis memotong ucapannya. "Tidak." Dia menggeleng sekilas. "Maksudku kau mengaharapkan sebuah penyambutan setelah kepergianmu selama empat tahun, 'kan?" 

Pria itu terkekeh sekilas mendengar ucapan kakaknya membuat Anthony menatapnya bingung. "Kau bercanda? Tentu saja tidak! Aku hanya mengharapkan sebuah pelukan." Dan kalimat itu berakhir dengan senyuman yang terukir lalu keduanya saling berpelukan singkat.

"Aku sangat merindukanmu, Louie."

"Aku juga." Dengan begitu keduanya menarik diri menjauh dan saling menatap dalam kekehan masing-masing. "Rasanya seperti kemarin aku pergi."

"Kau sudah terlihat dewasa sekarang. Ingat perkelahianmu di pinggiran Newcastle dengan kelompok remaja mabuk malam itu?" Anthony menggelengkan kepalanya sekilas melihat wajah adiknya. "Kurasa kau melupakan itu karena sudah melewati banyak perkelahian. Mungkin kau memang ditakdirkan untuk menjadi seorang tentara."

"Yang kuingat dari semua perkelahian itu adalah ucapanmu. Kau tak bisa seperti ini terus, Lou, atau kau akan menjadi gelandangan di jalanan. Ya, aku tak menginginkannya. Aku bisa menjaga diriku dengan baik sekarang tanpa bantuanmu."

"Mungkin aku merasa bangga sekarang atau mungkin tidak." Mereka terkekeh sekilas lalu Louis berkata, "Baiklah, baiklah, cukup. Aku akan meninggalkanmu sekarang dengan tumpukan buku yang menyebalkan." Sehingga Anthony memutar bola matanya kesal.

Louis bangkit dari kursinya, memberikan tos kecil kepada kakaknya dan menepuk bahunya lalu berjalan keluar dari sana. Sebelum benar-benar menghilang dari area perpustakaan, Louis melempar sebuah senyuman kepada pustakawati itu yang juga membalasnya dengan senyuman kecil. Dengan begitu, dia bisa membiarkan tubuhnya pergi dari sana membawa sedikit kebahagiaan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status