Perjalanan terasa cukup singkat baginya mengingat perasaan rindunya tak tertahankan. Dan selama Louis pergi untuk pendidikan militernya, ia mendengar sangat sedikit kabar, seperti Anthony yang sedang belajar untuk menggantikan ayahnya nanti mengurus sekolah. Louis menanggapi berita itu sebagai lelucon mengingat Anthony adalah sosok yang tak suka hidup dalam lilitan aturan dan formalitas yang seperti kemayaan tiada guna. Kendati menjadi kepala sekolah, ia lebih menginginkan mengurus perkebunan milik keluarga. Namun, karena Louis sudah menjadi tentara Inggris sepenuhnya yang artinya dia tak bisa mengurus sekolah, Anthony terpaksa menggantikannya.
Lalu berita kedua yang didengarnya adalah soal Celestine, kakak perempuannya yang berpacaran dengan Joseph Stefar—putra pemilik perusahaan gandum yang nyaris bangkrut. Louis tak pernah suka pria itu sejak dulu. Dia mengenalnya karena Joseph juga lulusan Wistletone's School dari kelas teater. Tak heran jika dia pandai berakting untuk menciptakan drama yang menarik simpati banyak orang. Namun, mendengar nama Stefar saja rasanya perutnya sudah mual dan ingin memarkirkan mobilnya di pinggir jalan saat ini juga untuk memuntahkan isi perutnya. Matanya terputar sekilas menanggapi pemikirannya saat ini yang sangat tak penting, lalu menginjak pedal gasnya lebih dalam agar laju mobilnya bisa lebih cepat.
Pagar tinggi dengan ujungnya yang runcing menghentikan mobilnya. Seorang penjaga menanyainya dari balik gerbang. Namun, Louis hanya tersenyum seraya memperkenalkan dirinya. Mendengar nama belakangnya saja membuat pria itu segera membukakan pintu gerbang itu, tak mau membuat Louis menunggu lebih lama lagi atau membuat dirinya mempermalukan dirinya sendiri di hadapan putra pemilik sekolah di mana dirinya bekerja.
Setelah melewati jalan setapak yang kanan kirinya terhampar rumput dengan tinggi yang sama, ia memarkirkan mobilnya di sudut lapangan kecil berbatako yang memang didedikasikan sebagai tempat parkir. Ia mendorong pintu mobilnya, lalu sedikit melemparnya sampai tertutup rapat. Pemandangannya masih sama, udaranya masih sama, hanya orang-orangnya yang berbeda. Tak mau pikir panjang lagi, pria itu berlari melewati rerumputan di halaman, lorong yang sepi dengan kelas di kanan kirinya (tampaknya jam pelajaran sedang berlangsung), hingga akhirnya tiba di ruangan ayahnya. Dan bodohnya Louis yang tak sabaran itu sampai lupa mengetuk pintu ruangan ayahnya dan melenggang masuk begitu saja tak tahu apabila ada seseorang sedang di dalam bersama ayahnya mendiskusikan sesuatu. Baik ayahnya maupun tamu ayahnya kini menatap Louis dalam diam dan kecanggungan tiba beberapa saat.
Lalu pria itu memecahnya dengan berkata, "Oh putraku, Louis. Apakah kau keberatan meninggalkanku dengan Nona Harrel sendirian?" Louis terdiam seraya menatap wanita itu sekilas yang justru kini memalingkan wajahnya.
"Maafkan aku, Pap. Aku tak tahu."
Ayahnya tersenyum dengan ramah memaklumi kelakuan putranya itu padahal di dalam hatinya dia sangat ingin bangkit dari kursinya, berlari ke arah putranya, dan memeluknya erat karena sudah sangat merindukannya. Namun, ia memilih untuk tetap tinggal, sedangkan Louis kini sudah membukakan pintu untuk dirinya sendiri dan mengubur keberadaannya setelah keluar dari ruangan ayahnya sehingga pria itu bisa melanjutkan diskusinya dengan wanita dalam ruangannya.
Rasanya Louis sudah cukup menunggu untuk bertemu anggota keluarganya. Namun, kenyataannya dia harus menunggu sebentar lagi untuk memeluk pria itu. Dan setelah menunggu sekitar lima belas menit di depan ruangan ayahnya, wanita itu akhirnya keluar dari sana membuat Louis sedikit menundukkan kepalanya ketika sang wanita berjalan melewatinya dan memberinya sedikit senyuman. Ia menatap punggung wanita itu yang perlahan menghilang hingga ayahnya mengejutkannya yang justru dibalasnya dengan pelukan hangat.
"Aku sangat merindukanmu, Pap."
Ayahnya sudah menarik dirinya, memegangi kedua lengan putranya dan menatapnya dengan bangga. "Tentu, aku juga dan kau tampak berbeda dari hari pertama aku mengirimmu ke sana." Louis hanya membalasnya dengan kekehannya. "Bagaimana sekolahnya?"
"Melelahkan, tapi bagaimana lagi, itu pilihanku. Kupikir aku menikmatinya. Namun, aku akan lebih menikmati liburan lima bulanku di sini."
"Lima bulan?!" Pria itu dikejutkan pernyataan putranya yang justru kini menaikkan alisnya dan memicingkan sudut bibirnya memasang ekspresi bangga. "Wah, kita bisa merayakan natal bersama-sama tahun ini!" pekik Richard Wistletone dengan penuh kebahagiaan. "Oh ya, maafkan aku karena tak bisa menjemputmu di stasiun, Lou."
Louis baru saja mengayunkan tangannya. "Tak masalah, Pap. Ada ma dan Virginia yang menjemputku. Dan, ah ya, di mana Anthony? Aku ingin bertemu dengannya."
Namun, Richard Wistletone justru tertawa begitu mendengar nama Anthony. "Kakakmu itu sedang di perpustakaan. Katanya mencari referensi belajar. Ingat, 'kan? Dia akan menggantikanku nanti. Itu artinya dia harus mulai mengajar di sini," ucapnya diakhiri dengan kedipan sebelah mata sehingga Louis terkekeh dibuatnya.
"Baiklah, Pap. Aku akan pergi menemuinya sekarang. Aku lega sudah bertemu denganmu dan maaf tadi aku tak mengetuk pintu terlebih dulu." Ayahnya hanya memasang ekspresi santai saja sehingga Louis melanjutkan, "Dan ma ingin kita pulang sebelum makan malam, termasuk Anthony."
"Pasti."
Dengan begitu Louis meninggalkan keberadaan ayahnya dan berjalan ke seberang lorong untuk mencapai perpustakaan di mana Anthony berada.
Jam pelajaran memang mungkin sedang berlangsung karena sepanjang lorong tampak sepi sekali dan di dekat aula utama tak tampak murid berkeliaran. Biasanya di jam istirahat, mereka akan berkumpul di sana, mencari tempat duduk kosong untuk mengobrol atau hanya sekadar mengistirahatkan diri setelah berolahraga atau berlarian dan bercanda dengan murid yang lain. Namun, hanya pemandangan lorong yang sepi disuguhkan sedangkan suara seorang pria yang menjelaskan soal perbedaan Agricola dan Agricolis menggema di tempatnya berjalan. Latin, pikir Louis. Pria itu tak pernah menyukai pelajaran Latin karena dia benci bermain dengan kata dan sebaliknya ia lebih menggemari olahraga.
Kakinya kini sudah berbelok untuk masuk ke area perpustakaan. Ia sedikit terkejut melihat pustakawati yang berbeda sekarang. Dulu pustakawatinya seorang wanita paruh baya dengan wajah galak dan kacamata bulan separo-nya yang berdebu. Namu, sekarang berubah menjadi wanita yang mungkin berumur dua puluh tahunan akhir dengan rambut pirang yang bergelombang di bawahnya dan mata biru cerah seperti samudra.
Louis melemparkan senyuman singkat kepadanya membuat wanita itu membalasnya dengan senyuman yang manis pula. Rasanya setelah itu, Louis tak ingin menghilangkan senyumannya. Ia berharap pustakawatinya dulu seperti wanita itu agar tak harus berususan dengan pustakawati tua yang hobi memarahi siapa saja yang membuat suara bising meskipun hanya terbatuk.
Bekas senyumannya untuk pustakawati itu lenyap begitu menangkap keberadaan Anthony dengan setumpuk buku di sampingnya. Pria itu tampak sangat stress dengan keadaannya saat ini, tetapi Louis hanya menyapanya ramah seolah semuanya baik-baik saja. Anthony tak tampak terkejut atau bahagia melihat Louis. Namun, sebaliknya, ia justru mengusir pria itu dari sana.
"Eh?" pekik Louis bingung yang kini sudah duduk di samping Anthony sedangkan pria itu hanya menaruh telunjuk di depan bibirnya seraya menciptakan bunyi ussst pelan. "Kau tak senang aku di sini?"
"Aku sedang sibuk bahkan terlalu sibuk untuk merindukanmu." Louis baru saja akan membuka mulutnya untuk menanggapi ucapan Anthony. Sayang, pria itu sudah memotongnya terlebih dulu. "Maafkan aku, Lou. Tapi aku serius, jangan ganggu aku."
"Baiklah," jawabnya singkat lalu melipat kedua lengannya di depan dada. Anthony masih tak berbicara dan sibuk menyalin sesuatu ke dalam buku tulisnya sehingga Louis merasa bosan dan mengalihkan pandangannya kepada pustakawati di seberang yang justru menyadari Louis menatapnya sehingga ia menanggapinya dengan memberikan senyuman kecil dengan perasaan malu dalam dirinya. "Hmm, Ant, apa kau tahu aku akan pulang hari ini?"
"Ya. Sebenarnya aku merencanakan untuk menjemputmu di stasiun ketika kau pulang persis seperti aku mengantarmu ke stasiun ketika kau akan pergi, tapi itu rencana dua tahun silam." Pria itu menjawab, tapi masih dengan tarian pada jemarinya karena sibuk menyalin sesuatu. "Sebelum pap mengirimku ke Universitas Newcastle karena menginginkanku mengurus sekolah ini nantinya. Sejak saat itu aku sibuk. Akhir dari cerita atau dengan istilah lain, tamat."
Louis hanya menggelengkan kepalanya sekilas dalam tawanya. Anthony tampak berbeda dari hari pertama ia meninggalkannya dan perasaan itu mengganggunya. Ia sangat merindukan orang-orang di sekitarnya dan berharap mereka merasakan hal serupa. Namun, yang dilihatnya sekarang, salah satu sahabatnya tampak tak begitu bersemangat dengan kepulangannya.
"Kau membosankan, Ant."
Spontan ucapannya membuat Anthony menatapnya tanpa meletakkan pena. Anthony menghembuskan nafasnya sekilas lalu menaikkan kedua bahunya. Senyuman terukir di bibirnya ketika tangannya ia larikan ke rambut adiknya itu dan sedikit memberantakannya.
"Maafkan aku. Hanya sedikit tertekan dengan keinginan seseorang yang bahkan tak mempertimbangkan keinginanku lebih dulu." Louis membalasnya dengan senyuman selagi Anthony menutup salah satu buku di hadapannya menggantinya dengan buku lain untuk disalin. "Kau tahu, bukan, aku ini tipe orang yang seperti apa? Kurasa aku bisa menolak dan pap akan menerimanya, tapi aku tak bisa membiarkan apa yang sudah dibangunnya hancur begitu saja."
"Kupikir kau sudah berbeda sekarang. Maksudku ya, kita berbeda sekarang. Kita berdua memang keras kepala tapi kau menuruti keinginan pap, sedangkan aku? Mungkin masih sama keras kepalanya seperti dulu."
"Tidak, Lou, kurasa militer sudah mengubahmu. Tapi kau mengharapkan lebih dari ini bukan?"
Lalu adiknya itu menjawab dengan cepat. "Ya, jelas aku ingin naik pang—"
Anthony secepat Louis memotong ucapannya. "Tidak." Dia menggeleng sekilas. "Maksudku kau mengaharapkan sebuah penyambutan setelah kepergianmu selama empat tahun, 'kan?"
Pria itu terkekeh sekilas mendengar ucapan kakaknya membuat Anthony menatapnya bingung. "Kau bercanda? Tentu saja tidak! Aku hanya mengharapkan sebuah pelukan." Dan kalimat itu berakhir dengan senyuman yang terukir lalu keduanya saling berpelukan singkat.
"Aku sangat merindukanmu, Louie."
"Aku juga." Dengan begitu keduanya menarik diri menjauh dan saling menatap dalam kekehan masing-masing. "Rasanya seperti kemarin aku pergi."
"Kau sudah terlihat dewasa sekarang. Ingat perkelahianmu di pinggiran Newcastle dengan kelompok remaja mabuk malam itu?" Anthony menggelengkan kepalanya sekilas melihat wajah adiknya. "Kurasa kau melupakan itu karena sudah melewati banyak perkelahian. Mungkin kau memang ditakdirkan untuk menjadi seorang tentara."
"Yang kuingat dari semua perkelahian itu adalah ucapanmu. Kau tak bisa seperti ini terus, Lou, atau kau akan menjadi gelandangan di jalanan. Ya, aku tak menginginkannya. Aku bisa menjaga diriku dengan baik sekarang tanpa bantuanmu."
"Mungkin aku merasa bangga sekarang atau mungkin tidak." Mereka terkekeh sekilas lalu Louis berkata, "Baiklah, baiklah, cukup. Aku akan meninggalkanmu sekarang dengan tumpukan buku yang menyebalkan." Sehingga Anthony memutar bola matanya kesal.
Louis bangkit dari kursinya, memberikan tos kecil kepada kakaknya dan menepuk bahunya lalu berjalan keluar dari sana. Sebelum benar-benar menghilang dari area perpustakaan, Louis melempar sebuah senyuman kepada pustakawati itu yang juga membalasnya dengan senyuman kecil. Dengan begitu, dia bisa membiarkan tubuhnya pergi dari sana membawa sedikit kebahagiaan.
Ia melirik arloji yang baru saja diraihnya dari dalam kantong celananya. Sudah mendekati waktu makan siang dan ia yakin sekali aula utama akan ramai dipenuhi anak-anak yang bersiap untuk makan bersama. Namun, sebelum Louis tiba di ujung
Malam harinya benar saja. Baik Anthony, Richard, maupun Louis pulang ke rumah untuk makan malam bersama. Sayang sekali Celestine belum tampak keberadaannya di sekitar meja makan membuat Louis semakin jengkel dengan sosok Joseph Stefar si bajingan nyaris miskin. Namun, ia tak bermaksud menghancurkan malam pertamanya di Newcastle dengan berteriak memaki-maki nama Joseph Stefar di meja makannya. Ia memilih untuk diam seolah menikmati makan malamnya. Bahkan ketika adiknya, Virginia Wistletone, menawarinya segelas wine, ia hanya mengangguk tak menjawab ya atau tidak. Rasanya makan malam, malam itu, begitu sepi tak ada topik yang bisa dibicarakan.
"Ini seharusnya tak terjadi padamu."Namun dengan cepat Celestine menarik tubuhnya menjauh dan menggelengkan kepalanya setelah mengusap wajahnya. Senyuman pun tercipta saat itu juga. "Aku tak menyesalinya, Lou. Aku dan Joseph saling mencintai dan kami sudah memiliki seorang putri sekarang. Setidaknya sekarang aku mempunyai alasan untuk tetap bersama Joseph m
Tak memiliki pilihan setelah pernyataan ayahnya didengar, Jasper pun mendorong tubuhnya untuk masuk ke dalam rumah dan dari balik jendela, tampak Jasper sedang memaksa istrinya untuk keluar memberikan Abigail kepada Louis. Meskipun wanita itu ragu, pada akhirnya ia keluar dengan Abigail dalam gendongannya membuat Louis sedikit terbelalak mengetahui fakta bahwa Abigail bukan lagi seorang bayi karena dia muncul dalam balutan baju tidur yang cantik dengan rambut pendek mencapai daun telinganya. Tampak sangat cantik dan membuat Louis tersenyum ketika menarik Abigail ke dalam gendongannya karena gadis kecil itu memiliki mata Celestine tapi lebih gelap jadi tampak seperti biru miliknya yang tak t
Malam hari itu bintang-bintang tampak mengadakan pertemuan mereka sendiri di atas langit—menyingkirkan uap air yang berusaha menghalangi mereka sehingga orang-orang bisa mengintip pertemuan para bintang dari bawahnya ketika kepala mereka menengadah dan tercipta pantulan bintang-bintang itu di mata mereka. Namun, lain halnya dengan Louis yang sekarang sedang di dalam kamarnya mencoba mencocokan antara setelan jas dan warna dasinya selagi berdiri di depan cermin, pria itu menyunggingkan senyuman sekilas begitu melihat setelan jasnya sudah sempurna—ditambah dengan beberapa ml gel rambut yang membuat penampilannya kelewat sempurna untuk sebuah pesta musim gugur.
"Audere est Facere" adalah kata pembuka pertemuan mereka."Kita harus mengadakan pertemuan Blighty Boys lagi," ucap Louis yang membuat Ian justru memasang wajah jijiknya
Kehadiran Louis mengejutkan wanita itu. Namun, sedetik kemudian ia memberikan senyuman manisnya. "Bolehkah aku duduk di sampingmu?" tanya Louis kepadanya yang dibalas dengan anggukan sehingga pria itu bisa mendudukkan bokongnya di sana. "Kau sendirian, Nona Harrel?"Emma Harrel menggeleng singkat tanpa jawaban, tapi setelahnya ia berkata, "Saya bersama teman
Pagi hari di The Teahouse saat itu terasa berbeda karena empat jiwa lama yang tak lagi berkeliaran di sana dikembalikan hari ini juga mengubah suasana sepi dan tentram di The Teahouse menjadi sedikit bising daripada hari-hari normal sebelum mereka tiba. Di sudut teahouse, seorang wanita dengan topi di kepalanya dan buku yang bersandar di atas kedua tangannya, merasa terganggu dengan cekikikan kecil Ian dan Pete yang terdengar lebih keras daripada milik Louis. Sedangkan Dan saat ini sedang menceritakan sebuah kisah tentangnya dan kelelawar dalam balutan lelucon karangannya.
Dua bulan semenjak pertemuannya dengan Dan Nordstrom, dia masih belum menemukan jawaban. Sebuah kotak—sama persis dengan milik Louis Wistletone ketika ia masih menjadi kepala sekolah di sana—berdiri di sudut meja yang sama. Kebenaran dan kebohongan ada di dalamnya. Apabila Pete mencoba memilih mana yang harus dikatakan lebih dulu, ia tak tahu. Keduanya harus dikatakan bersamaan. Sehingga sore ini ia memilih untuk pulang, kendati tinggal di asrama Wistletone’s School seperti beberapa hari sebelumnya.Jikalau kotak itu milik Louis yang diwariskan untuknya, maka ia memiliki benda untuk diwariskan pula nantinya; sebuah jurnal. Mungkin terdengar tak menyenangkan, tapi sama seperti kotak Louis dengan rahasia di dalamnya, ia juga memiliki beberapa di dalam jurnal itu. Yang Pete butuhkan hanyalah seseorang untuk dipercaya menjaga rahasia dalam jurnal dia.Ia baru saja menuruni beberapa anak tangga ketika kotak itu nyaris lolos dari dekapannya sebab sepasang anak laki-laki berumur 14 tahunan b
The Teahouse tampak berbeda di abad kedua puluh satu. Tidak, bukan karena pelayannya telah digantikan robot semenjak Nyonya Bache pergi. Tidak juga karena interior antiknya berubah mengusung gaya Inggris modern. Mereka tetap serupa, tapi di bawah naungan atmosfer yang berbeda. Bahkan tempat ini sekarang menyajikan kopi semenjak kebudayaan mengonsumsi kopi tak lagi asing di lidah masyarakat Inggris. Tempat ini pun memiliki tambahan & Cafè setelah kata Teahouse dan mereka menghapus awalan The. Meskipun demikian, pria dengan koper persegi panjang di lantai tak pernah mengubah selera tehnya meski kopi mulai menjajaki daftar terfavorit.Pria itu kini memandang beberapa lembar kertas di dalam sebuah stopmap selagi menanti teh pesanannya tiba untuk dicicipi. Ketika ia selesai menumpuk rapi semua kertas dan memasukkannya kembali ke dalam koper, sebuah jurnal dari dalam sana mengganti posisi si stopmap. Tangan menarikan pena itu untuk menulis 28 April 2010. Tak ada perubahan. Masih aku. Masih
Ketika halaman Wistletone's School tampak senyap sebab semua orang disibukkan dengan pembelajaran, sepasang anak laki-laki justru mengendap-endap menuju sisi lain lapangan utama Wistletone's untuk sebuah aksi. Salah satu dari mereka tampak ketakutan dan hampir mengurungkan aksi yang terencana, tapi satunya lagi justru tampak bersemangat dan berkata, "Jangan khawatir, Alexis. Ini akan menyenangkan! Aku berani jamin!" Ia pun mendorong diri lebih jauh menuju objek incarannya."Tapi kita bisa terlibat masalah, Knox! Aku tak ingin dimarahi ayah lagi."Teman sebayanya pun segera melambaikan tangan di udara. "Jangan pedulikan. Ikuti saja perintahku untuk lari setelah ini, maka kau akan selamat dari kejaran bapa."Meski Alexis tampak ingin melontarkan patah kata lainnya, si anak bernama Knox sudah dulu memegangi sebuah tali yang cukup tebal.Kini, Alexis pun terpaksa menggenggam tali itu dan keduanya menghitung dengan cekikikan—atau justru hanya Knox yang tampak bersemangat. "Satu, dua, tiga!
Semalam, awan menangis hebat untuk alasan yang tak pasti. Sehingga pagi ini, dedaunan masih berkeringat dingin menanti sang surya membasuh peluh itu. Atmosfer pun mendingin meski sinar surya berhasil menembus kumpulan awan tipis yang menjulurkan leher mereka untuk mengintip kehidupan di Newcastle pada awal musim gugur, tepatnya pada tanggal sembilan september seribu sembilan ratus delapah puluh sembilan.Seorang pria yang telah mengenakan kemeja dengan balutan vest pun masih berdiri di hadapan kaca selagi gigi saling bergulat menghancurkan secuil roti di dalam mulut. Ia menarik sebuah sisir dari tempatnya untuk merapikan tatanan rambut yang sudah sempurna. Bahkan pagi ini, ia baru saja membersihkan kumis dan berewok seolah sungguh bersiap untuk sebuah pertemuan istimewa.Begitu suara ketukan pintu terdengar, ia segera meletakkan sisirnya dan meneguk habis teh dalam cangkir. Ditariklah gagang pintu itu menampakkan seorang pria dengan sebuket bunga besar yang tampak segar. Ia pun puas m
Sang surya terus didorong rotasi bumi menuju cakrawala yang masih jauh di seberang sana. Sementara itu, Ruenna sendiri baru saja melambaikan tangan setelah mengucapkan terima kasih sehingga Anthony bisa melanjutkan perjalanannya menuju Grainger Town yang diramaikan beberapa pelayat pula untuk jamuan.Puluhan topik melilit percakapan antara dua orang bahkan lebih ketika Louis mendorong diri mengisi salah satu ruang di ruang tamunya. Beberapa hidangan pun tampak mulai dicicipi lidah-lidah para pelayat yang sempat menunjukkan simpati mereka kepada Louis. Pria itu hanya mengangguk, tapi tak tertarik untuk melibatkan diri pada topik yang mereka tawarkan. Sebagai gantinya, ia mencoba menemukan Sylvia yang masih bersama Virginia di perpustakaan sejak ia menuju Jesmond.Ia menyadari bahwa Judith Hope baru saja mendorong diri meninggalkan perpustakaan dengan nampan di tangan. Ketika ia mencoba mengacuhkan wanita itu, ia justru mengelus bahu Louis sekilas selagi netra mencoba memberikan kekuata
Ketika para pelayat mulai berdatangan dan ibadah penghiburan terlalui sudah, peti Emma kembali mengisi ruang di perut ambulan menuju tempat di mana jutaan kisah tinggal. Kali ini Louis ada di sisinya tanpa Sylvia yang kemungkinan berada di bawah asuhan Virginia. Sementara seberhenti ambulan itu tepat di hadapan gerbang berkarat setinggi perut milik pemakaman Jesmond, beberapa orang sudah mendahului Louis mengisi ruang di beberapa sisi lubang galian untuk peti Emma.Pintu ambulan yang terbuka membuat Richard bertatapan dengan emosi Louis yang baru saja menetes tanpa disadari. Pria itu pun menarik napas perlahan sebelum melarikan tangan untuk menggenggam tangan putranya. ❝Whose heart plowing an ungainly perpetually, will never find an undaunted space.❞Namun, ucapan itu membuat Louis menggelengkan kepala sehingga tetesan emosi lainnya luruh sudah. "Jangan memberiku nasihat yang tak bisa dipraktikan, Pap. Aku sudah menyinggung soal kehidupan kita yang berbeda. Semua ini tak akan mudah un
Ketika rembulan belum bersedia ditelan cakrawala, tak ada satu hal pun yang mampu menyelamatkannya dari duka. Bahkan memori kebohongan semalam pun sempat terganti begitu beberapa orang melenggang masuk ke dalam kamarnya hanya untuk membawa Emma pergi dari belenggu kehidupan yang ingin ditinggalkan.Orang-orang dari rumah sakit segera mengevakuasi tubuh tak tersentuh kehidupan itu beberapa jam setelah semua sandiwara Louis terlaksana. Hal itu pula yang menyebabkan beberapa orang dari rumah sakit tak menyimpan banyak tanda tanya di kepala begitu melihat wajah Colin Marlowe.Tampaknya skenario kebohongan Louis yang terencana disetujui oleh Tuhan seolah Tuhan pun ingin menyelamatkan nasib Louis kali ini yang terikat nama keluarga dan latar belakang Sylvia—Joan Creveld. Namun, semua skenario yang telah ditulis tak sama sekali membantu Louis menerima takdir ketika kakinya menginjak lantai rumah sakit untuk menyaksikan betapa kering tubuh Emma seperti harapan si wanita. Ia merasa bersalah se
Sepasang iris Louis berdetak menyaksikan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun mendorong kaki itu cepat menuju seorang wanita yang terbaring lemah di atas ubin yang sangat terawat. Begitu si wanita sudah dalam jangkauan, diangkatlah kepala itu mencoba membawanya kembali ke kehidupan. Tubuh pun sempat diguncang berkali-kali sementara jantung Louis sudah diramaikan ketakutan."Emma!" pekiknya cukup keras selagi tangan menampar pelan pipinya. Namun, wanita itu tak membuka netra. Tubuhnya pun tampak tak bergerak sama sekali. Meski itu gerakan alamiah untuk menunjukkan bekerjanya pernapasan pun, hal itu tak mampu Louis lihat. Sementara sepanjang pipi hingga dagu menampakkan jejak tangisan yang kentara sekali belum sempat dihapus.Ketika Louis mendorong telunjuk mencoba menemukan deru napas meluncur dari lubang hidungnya, hal itu tak dapat dirasakan. Digeletakkan lagi wanita itu di atas ubin, denyut nadi maupun jantung tak lagi bergejolak seolah tubuh itu sudah kehilangan segala
Beberapa momen tercipta sangatlah serupa dengan ekspetasi. Beberapa lagi tercipta lebih baik dari garis rata-rata ekspetasi. Namun, kali ini, momen tak begitu menyenangkan kembali menghampiri akibat waktu yang selalu merespons layaknya gazelle di balik semak-semak. Mereka berlarian begitu cepat untuk mengubah jam menjadi hari. Akibat ulah si waktu yang kelewat cepat untuk sebuah hal fana, sepasang kekasih yang telah mencicipi berbagai rasa kehidupan kembali disaksikan stasiun serupa.Mungkin beberapa hal tampak sama di netra Louis. Namun, selalu ada hal berbeda yang disuguhkan untuknya setiap kali kata perpisahan mengantarkan ke area stasiun bersama setelan jasnya. Bibir masih terkatup ketika tangan itu bertengger di sisi wajah Emma sementara Sylvia ada di gendongan Alma. Gigi gerahamnya bertemu menciptakan bunyi ting yang sangatlah pelan guna menghapus keraguan."Aku tak akan pergi untuk selamanya. Jangan berikan aku kejutan, Emma. Ketika aku pulang, tak ada lagi kesengsaraan yang ka