Helios dan Donita duduk berhadapan. Di kafe yang tak jauh dari akademi, tempat mereka pernah bertemu sebelumnya.Tidak ada yang bicara, belum tahu siapa yang akan mlemulai. Suasana akrab selama ini di antara mereka lenyap begitu saja. Rasa canggung yang menyelimuti keduanya."Kamu mau pesan makanan apa?" Akhirnya Donita membula suaranya."Aku tidak lapar. Aku mau minum saja," jawab Helios."Oke. Aku jus jeruk, kukira cukup." Donita pun tak ada niat memesan makanan."Aku mau lemon tea ice." Helios menyebutkan minuman yang dia mau.Pelayan datang dan menerima pesanan mereka.Tidak ada lagi percakapan lanjutan. Keduanya sibuk dengan benda pipih ajaib di tangan mereka."Doni""Helios"Keduanya saling menyebut nama."Silakan, Doni." Helios meminta Donita bicara lebih dulu."Well, aku mau minta maaf untuk tadi malam. Tapi, aku tidak menyesal semua yang telah terjadi." Donita membuka keheningan.Helios merasa debar-debar di dadanya bertambah."Mungkin aku terlalu cepat ingin menunjukkan pera
"Apa yang kamu mau lakukan?" Victor menatap Helios dengan wajah tegang."Aku? Aku hanya bicara," kata Helios sambil menunjukkan dirinya dengan telunjuk."Aku memandang kamu karena Tuan Herman. Aku lakukan semua juga karena Tuan Herman. Jangan paksa aku berbuat sebaliknya, Helios." Victor makin mendidih rasanya. Dia bahkan enggan menyebut Tuan Muda lagi.Helios cukup terkejut mendengar itu. Victor benar-benar marah padanya. Ini akan sangat tidak baik."Jangan sekalipun kamu ikut campur urusan hidupku. Aku, mau tidak mau, harus mengurus kamu. Jadi itu tidak bisa dibandingkan," kata Victor menegaskan."Aku tidak akan berbuat apapun. Aku juga tidak keberatan Bang Victor melihat aku sebagai orang biasa, bukan Tuan Muda. Karena itu diriku yang sebenarnya." Helios berusaha menekan rasa sedih dan kecewa yang akhirnya tak bisa dia elakkan meledak di dada.Victor membencinya dan itu gara-gara Donita. Persoalan wanita ternyata memang benar, bisa mengacaukan misi yang dia jalankan."Suka tidak su
"Kamu beneran ga bisa minta balik di Jakarta saja, Sayang?" Manja, Violetta bergelayut di dada Ferry."Ga semudah itu, Vio. Proyek belum selesai. Melihat progresnya malah bisa mundur. Tanggung jawab ga bisa ditinggal." Ferry mengusap lembut rambut lembut Violetta."Mundur? Makin lama kamu ninggalin aku? Ketemu sebulan atau dua bulan. Itu juga cuma dua tiga hari. Berat, Ferry." Violetta memeluk Ferry lebih kuat."Boleh aku jujur?" Ferry melepas pelukan dan memandang Violetta lebih lekat.Violetta mengangguk. Wajahnya sendu karena situasi dia dan Ferry yang belum bisa berjalan normal."Kalau bisa kita nikah besok, lalu aku bawa kamu ke sana. Kita ga akan pisah terus." Ferry mengatakan itu dengan serius."Aku juga mau kalau memang bisa secepat itu. Tapi buat ngurus surat-surat, persiapan wedding, butuh waktu. Kamu kapan mau ketemu mama sama papa mama kamu?" Violetta memandang Ferry.Ferry tidak segera menjawab. Dia menarik napas dalam perlahan, tidak mau terlihat gelisah."Terakhir aku bi
Helios merasa iba pada Violetta. Dia hanya ingin bahagia dengan pria yang dia cintai. Sayangnya, justru Siska, wanita yang melahirkan Violetta yang menjadi penghalang.Satu rasa kagum juga muncul di hati Helios terhadap Violetta. Meskipun dia dikelilingi harta berlimpah sejak bocah, dia tidak mengejar pria berkelas level atas.Ferry pria sederhana, tetapi pekerja keras dan tulus sayang pada Violetta. Mungkin itu memang yang Violetta perlukan. Pria yang penyayang dan sabar padanya. Karena Violetta tumbuh di lingkungan yang keras dan penuh kemunafikan."Bisa tidak kamu membantu aku, Hel?" Violetta memandang dengan tatapan menghiba.Helios menggeleng. "Apa yang aku punya semua bukan miliklu, Vio. Milik papa. Aku ga bisa sembarangan menggunakannya. Dan uang itu besar sekali jumlahnya.""Apa aku kawin lari saja? Diam-diam pergi dengan Ferry. Di sana kami menikah, lalu membangun keluarga bahagia sampai maut memisahkan." Violetta melihat ke langit-langit.Pikiran gadis itu memgembara terbawa
Tidak enak sekali mendengar kalimat itu. Jika satu orang menilai bahwa Helios punya hubungan khusus dengan Donita, maka sudah pasti yang lain juga bisa mempunyai pikiran yang sama.Helios berusaha tidak terganggu dengan itu, dia tidak menanggapinya. Dia terus melangkah ke depan mendekati Donita."Apa yang bisa saya bantu, Miss?" tanya Helios.Helios merasa tidak nyaman dengan situasi kelas. Meski begitu, dia harus tetap menghargai Donita yang masih menjadi mentor kelas itu.Donita memandang Helios lalu mengutarakan mengenai rencana kelas."Bantu aku untuk menghitung jumlah kelas yang setuju dengan ide-ide ini." Helios mengangguk paham."Lalu, selesai kelas aku tunggu di kantor." Tegas Donita bicara dengan suara lebih kecil."Tapi, aku-""Ini bukan urusan pribadi. Aku perlu bicara segera, kamu paham?" Donita tidak memberi kesempatan Helios mengelak."Baik, Miss," ujar Helios. Tidak bagus kalau dia harus bersitegang dengan Donita di depan kelas.Helios tahu, wanita itu sengaja meminta
Telinga Helios panas seketika mendengar panggilan itu. Hampir saja dia menoleh. Untung kessadaran dan otaknya bekerja sama dengan baik.Helios yakin, Raditya sudah mendapat cerita tentang Ardi dari Siska. Siska pasti merapat pada Melisa dan mencari tahu lebih jauh tentang mantan gadis itu.Helios terus berjalan, tidak menoleh pada Raditya.Raditya mempercepat langkah mendekati Helios lalu menarik lengannya."Hai! Kamu tidak mendengar aku?!" Raditya memandang Helios tajam."Pak Radit bicara sama aku?" Helios pura-pura tidak mengerti."Ya, kamu tidak dengar?!" Raditya mencermati wajah Helios. Dia ingin tahu sebenarnya mimik wajah pemuda itu."Aku tidak merasa namaku dipanggil." Helios bicara dengan tenang."Oke, namamu Helios?" Raditya seperti memastikan bahwa Helios tidak lupa namanya."Ada apa, Pak?" Helios ingin segera berlalu dari hadapan Raditya. Tapi kali ini dia tidak bisa ngacir begitu saja."Aku masih penasaran bagaimana akhirnya Herman mendudukkan kamu untuk semua yang sudah d
Wajah Helios memerah. Tiba-tiba perasaannya sangat tidak enak karena pertanyaan Herman. Kenapa dia tidak bicara lebih dulu pada Tuan Besar jika hendak memindahkan Hari bekerja di perusahaan? "Apa alasan kamu melakukan itu?" Herman kembali melemparkan pertanyaan."Papa, aku minta maaf. Aku terlalu cepat mengambil keputusan tanpa bicara dengan Papa lebih dulu," kata Helios.Ini segera harus dia luruskan. Jangan sampai kejadian ini membuat Herman menilai buruk padanya."Boleh aku jujur? Maksudku ada alasan pribadi memang yang juga mempengaruhi keputusanku untuk menarik Mas Hari ke perusahaan." Helios berdiri dengan dada terasa penuh.Herman melangkah agak tertatih dengan tongkat di tangan menopang tubuhnya, lalu duduk di sofa tak jauh dari tempatnya berdiri.Helios mendekat dan duduk di samping Herman."Oke, katakanlah." Herman lebih tenang menjawab."Mas Hari punya skill untuk bekerja di perusahaan karena pernah kuliah bisnis meskipun tidak sampai tamat. Jadi, kupikir dia layak diberi k
Gambar di layar ponsel Violetta bercerita jelas, Ferry bersama seorang wanita, berpelukan di sebuah kafe. Bukan pelukan seperti sedang mau foto bareng teman, tetapi adegan pelukan mesra pria dan wanita dewasa. Bahkan ada yang lebih dari sekadar berpelukan.Sudah pasti, itu kedekatan lebih dari hubungan biasa. Helios ikut geram melihatnya. Apa yang ada di kepala Ferry? Untuk apa dia bersikap semanis itu pada Violetta kalau dia punya wanita lain? "Aku hancur, Hel. Semua impianku buyar, berantakan." Violence berkata pelan, sambil tetap bersandar pada sofa."Kamu dapat dari mana foto-foto itu?" tanya Helios."Mama," jawab Violetta singkat."Bu Siska?" Helios mengernyit. Kok bisa Siska yang mendapat foto Ferry dan wanita lain? Aneh."Awalnya aku pikir mama cuma mau bikin aku kesal. Tapi setelah melihat foto-foto itu, huuffhh, aku seperti kena badai dan gempa bumi." Suara Violetta sedikit bergetar menahan sedih dan marah."Itu kejadiannya di Kalimantan atau di Jakarta?" Helios tetap merasa