Tidak enak sekali mendengar kalimat itu. Jika satu orang menilai bahwa Helios punya hubungan khusus dengan Donita, maka sudah pasti yang lain juga bisa mempunyai pikiran yang sama.Helios berusaha tidak terganggu dengan itu, dia tidak menanggapinya. Dia terus melangkah ke depan mendekati Donita."Apa yang bisa saya bantu, Miss?" tanya Helios.Helios merasa tidak nyaman dengan situasi kelas. Meski begitu, dia harus tetap menghargai Donita yang masih menjadi mentor kelas itu.Donita memandang Helios lalu mengutarakan mengenai rencana kelas."Bantu aku untuk menghitung jumlah kelas yang setuju dengan ide-ide ini." Helios mengangguk paham."Lalu, selesai kelas aku tunggu di kantor." Tegas Donita bicara dengan suara lebih kecil."Tapi, aku-""Ini bukan urusan pribadi. Aku perlu bicara segera, kamu paham?" Donita tidak memberi kesempatan Helios mengelak."Baik, Miss," ujar Helios. Tidak bagus kalau dia harus bersitegang dengan Donita di depan kelas.Helios tahu, wanita itu sengaja meminta
Telinga Helios panas seketika mendengar panggilan itu. Hampir saja dia menoleh. Untung kessadaran dan otaknya bekerja sama dengan baik.Helios yakin, Raditya sudah mendapat cerita tentang Ardi dari Siska. Siska pasti merapat pada Melisa dan mencari tahu lebih jauh tentang mantan gadis itu.Helios terus berjalan, tidak menoleh pada Raditya.Raditya mempercepat langkah mendekati Helios lalu menarik lengannya."Hai! Kamu tidak mendengar aku?!" Raditya memandang Helios tajam."Pak Radit bicara sama aku?" Helios pura-pura tidak mengerti."Ya, kamu tidak dengar?!" Raditya mencermati wajah Helios. Dia ingin tahu sebenarnya mimik wajah pemuda itu."Aku tidak merasa namaku dipanggil." Helios bicara dengan tenang."Oke, namamu Helios?" Raditya seperti memastikan bahwa Helios tidak lupa namanya."Ada apa, Pak?" Helios ingin segera berlalu dari hadapan Raditya. Tapi kali ini dia tidak bisa ngacir begitu saja."Aku masih penasaran bagaimana akhirnya Herman mendudukkan kamu untuk semua yang sudah d
Wajah Helios memerah. Tiba-tiba perasaannya sangat tidak enak karena pertanyaan Herman. Kenapa dia tidak bicara lebih dulu pada Tuan Besar jika hendak memindahkan Hari bekerja di perusahaan? "Apa alasan kamu melakukan itu?" Herman kembali melemparkan pertanyaan."Papa, aku minta maaf. Aku terlalu cepat mengambil keputusan tanpa bicara dengan Papa lebih dulu," kata Helios.Ini segera harus dia luruskan. Jangan sampai kejadian ini membuat Herman menilai buruk padanya."Boleh aku jujur? Maksudku ada alasan pribadi memang yang juga mempengaruhi keputusanku untuk menarik Mas Hari ke perusahaan." Helios berdiri dengan dada terasa penuh.Herman melangkah agak tertatih dengan tongkat di tangan menopang tubuhnya, lalu duduk di sofa tak jauh dari tempatnya berdiri.Helios mendekat dan duduk di samping Herman."Oke, katakanlah." Herman lebih tenang menjawab."Mas Hari punya skill untuk bekerja di perusahaan karena pernah kuliah bisnis meskipun tidak sampai tamat. Jadi, kupikir dia layak diberi k
Gambar di layar ponsel Violetta bercerita jelas, Ferry bersama seorang wanita, berpelukan di sebuah kafe. Bukan pelukan seperti sedang mau foto bareng teman, tetapi adegan pelukan mesra pria dan wanita dewasa. Bahkan ada yang lebih dari sekadar berpelukan.Sudah pasti, itu kedekatan lebih dari hubungan biasa. Helios ikut geram melihatnya. Apa yang ada di kepala Ferry? Untuk apa dia bersikap semanis itu pada Violetta kalau dia punya wanita lain? "Aku hancur, Hel. Semua impianku buyar, berantakan." Violence berkata pelan, sambil tetap bersandar pada sofa."Kamu dapat dari mana foto-foto itu?" tanya Helios."Mama," jawab Violetta singkat."Bu Siska?" Helios mengernyit. Kok bisa Siska yang mendapat foto Ferry dan wanita lain? Aneh."Awalnya aku pikir mama cuma mau bikin aku kesal. Tapi setelah melihat foto-foto itu, huuffhh, aku seperti kena badai dan gempa bumi." Suara Violetta sedikit bergetar menahan sedih dan marah."Itu kejadiannya di Kalimantan atau di Jakarta?" Helios tetap merasa
Minggu siang, sesuai perjanjian, Helios pergi menemui Donita. Tempat yang Donita pilih sangat modern dan cantik. Sebuah kafe di salah satu mal besar yang Helios belum pernah ke sana.Hari itu kali pertama Helios bertemu Donita dengan kostum warna yang berbeda. Donita mengenakan dress selutut berwarna putih dengan garis kecil di bagian bawah berwarna merah gelap.Cantik dan menarik. Dia terlihat berbeda dan makin menawan. Saat Helios datang, Donita menunggu, duduk dengan anggun."Selamat siang, Miss," sapa Helios.Dia berdiri memandang pada Donita."Terima kasih kamu mau datang," balas Donita. "Silakan duduk."Helios maju dua langkah, duduk di seberang Donita."Bertemu denganmu buatku adalah kejutan yang tak pernah aku duga." Donita memukai pembicaraan serius. "Ketika aku merasa sesuatu setelah sekian lama, bukan hal mudah aku mengakui perasaanku. Aku sangat pemilih dalam urusan hubungan asrama."Helios bisa yakin dengan itu. Dengan karakter Donita selama Helios mengenalnya, sudah pasti
Mobil Victor sudah terparkir di depan teras rumah Herman. Victor tidak turun dari kendaraan itu. Dia hampir menelpon Helios, saat pemuda itu keluar rumah.Helios masuk ke dalam mobil dan duduk di depan, di samping Victor. Segera kendaraan bergerak meninggalkan area mansion ke lokasi yang Helios mau tuju.Hari memang masih pagi tetapi jalanan mulai ramai juga. Victor fokus menyetir tanpa banyak bicara. Sedang Helios, akan membuat kejutan di tengah perjalanan yang dia tahu akan membuat Victor menjadi kesal."Kamu sudah pastikan lagi dengan pelukis itu kalau pagi ini mau ketemu?" tanya Victor."Oh, ya, iya, Bang." Helios tersentak dan dengan cepat menjawab. Dalam pikirannya skenario berkumandang. Dan segera sandiwara harus dia mainkan. Sepuluh menit berikutnya, perjalanan mereka hampir melintasi gereja yang dimaksud oleh Donita."Bang, di depan itu ada gereja, bukan? Aku mau ke sana sebentar." Tiba-tiba Helios bicara."Apa kamu bilang?" Victor kaget sekali dengan ucapan Helios."Belok,
"Wow, bagus kalau begitu kita bertemu di sini. Karena nanti siang aku ada urusan penting dan mungkin sekali selesai malam hari." Ada senyum terurai di bibir Victor. Senyum lepas yang lama tak Donita lihat lagi."Oke," ujar Donita yang masih bingung dengan semua yang terjadi pagi itu."Sebenarnya aku-"Drrttt ... Kata-kata Victor terhenti dengan bunyi panggilan di ponsel Donita. Segera dia menerima panggilan yang tampak penting itu.Dua menit, Donita fokus dengan pembicaraan di telpon. Victor memandang terus setiap gerakan Donita. Victor merasa ada yang berbeda dari Donita. Ada yang berubah dari wanita yang sekian lama tak berhenti mengisi hatinya itu."Vic, aku harus pergi. Ada yang harus lebih cepat aku urus." Donita memasukkan ponsel dalam tasnya. "Sekali lagi terima kasih buat hadiahnya."Donita melangkah ke arah mobilnya."Doni!" panggil Victor.Tangan Donita sudah memegang pintu, dia tarik lagi, lalu menoleh pada Victor."Aku telpon nanti," kata Victor."Chat saja. Aku belum tentu
Violetta bukan melakuka panggilan suara, tapi video. Saat Helios menjawab panggilan itu, wajah lesu Violetta yang muncul."Hai, masih galau?" Helios mencermati wajah cantik yang kusam itu. Jelas sekali Violetta tidak mempedulikan dirinya sejak patah hati."Kamu masih sibuk, Hel?" tanya Violetta."Ya, begitulah," jawab Helios."Bisa nggak aku sembunyi di kantor kamu?" tanya Violetta lagi. Redup, sedih, dan gamang terlihat di aura wajahnya."Ngapain? Kamu malah tambah galau kalau ke kantor," ujar Helios."Ferry mau datang. Aku ga mau ketemu dia, Hel. Dia katanya mau kasih penjelasan langsung. Aku ga mau ketemu dia lagi." Violetta bicara dengan nada sedih sambil mengusap matanya."Jam berapa dia mau datang?" Helios bertanya sambil berpikir, apa yang bisa dia lakukan untuk Violetta."Ini masih terbang dia. Kurasa nanti malam. Aku kabur aja, ya?" jawab Violetta lesu."Vio, ga akan selesai kalau kamu kabur. Dia akan terus mengejar. Lebih baik hadapi saja. Setelah itu urusan kelar." Helios me