Mobil Victor sudah terparkir di depan teras rumah Herman. Victor tidak turun dari kendaraan itu. Dia hampir menelpon Helios, saat pemuda itu keluar rumah.Helios masuk ke dalam mobil dan duduk di depan, di samping Victor. Segera kendaraan bergerak meninggalkan area mansion ke lokasi yang Helios mau tuju.Hari memang masih pagi tetapi jalanan mulai ramai juga. Victor fokus menyetir tanpa banyak bicara. Sedang Helios, akan membuat kejutan di tengah perjalanan yang dia tahu akan membuat Victor menjadi kesal."Kamu sudah pastikan lagi dengan pelukis itu kalau pagi ini mau ketemu?" tanya Victor."Oh, ya, iya, Bang." Helios tersentak dan dengan cepat menjawab. Dalam pikirannya skenario berkumandang. Dan segera sandiwara harus dia mainkan. Sepuluh menit berikutnya, perjalanan mereka hampir melintasi gereja yang dimaksud oleh Donita."Bang, di depan itu ada gereja, bukan? Aku mau ke sana sebentar." Tiba-tiba Helios bicara."Apa kamu bilang?" Victor kaget sekali dengan ucapan Helios."Belok,
"Wow, bagus kalau begitu kita bertemu di sini. Karena nanti siang aku ada urusan penting dan mungkin sekali selesai malam hari." Ada senyum terurai di bibir Victor. Senyum lepas yang lama tak Donita lihat lagi."Oke," ujar Donita yang masih bingung dengan semua yang terjadi pagi itu."Sebenarnya aku-"Drrttt ... Kata-kata Victor terhenti dengan bunyi panggilan di ponsel Donita. Segera dia menerima panggilan yang tampak penting itu.Dua menit, Donita fokus dengan pembicaraan di telpon. Victor memandang terus setiap gerakan Donita. Victor merasa ada yang berbeda dari Donita. Ada yang berubah dari wanita yang sekian lama tak berhenti mengisi hatinya itu."Vic, aku harus pergi. Ada yang harus lebih cepat aku urus." Donita memasukkan ponsel dalam tasnya. "Sekali lagi terima kasih buat hadiahnya."Donita melangkah ke arah mobilnya."Doni!" panggil Victor.Tangan Donita sudah memegang pintu, dia tarik lagi, lalu menoleh pada Victor."Aku telpon nanti," kata Victor."Chat saja. Aku belum tentu
Violetta bukan melakuka panggilan suara, tapi video. Saat Helios menjawab panggilan itu, wajah lesu Violetta yang muncul."Hai, masih galau?" Helios mencermati wajah cantik yang kusam itu. Jelas sekali Violetta tidak mempedulikan dirinya sejak patah hati."Kamu masih sibuk, Hel?" tanya Violetta."Ya, begitulah," jawab Helios."Bisa nggak aku sembunyi di kantor kamu?" tanya Violetta lagi. Redup, sedih, dan gamang terlihat di aura wajahnya."Ngapain? Kamu malah tambah galau kalau ke kantor," ujar Helios."Ferry mau datang. Aku ga mau ketemu dia, Hel. Dia katanya mau kasih penjelasan langsung. Aku ga mau ketemu dia lagi." Violetta bicara dengan nada sedih sambil mengusap matanya."Jam berapa dia mau datang?" Helios bertanya sambil berpikir, apa yang bisa dia lakukan untuk Violetta."Ini masih terbang dia. Kurasa nanti malam. Aku kabur aja, ya?" jawab Violetta lesu."Vio, ga akan selesai kalau kamu kabur. Dia akan terus mengejar. Lebih baik hadapi saja. Setelah itu urusan kelar." Helios me
Pelukan hangat Tuan Muda tidak Violetta sia-siakan. Dia membalasnya dengan erat sambil terus menangis. Dia memang butuh pelukan untuk menenangkan pedih hatinya. Tidak ada siapapun lagi yang akan memberikan bahu untuk Violetta menangis.Selama ini Ferry tempat Violetta menumpahkan segala hal. Karena Violetta tidak ada ayah yang siap mendukungnya. Sedangkan Siska, ibunya, yang ada hanya ribut seperti anjing dan kucing saat bersama Violetta.Helios, ternyata dia bisa memahami Violetta. Tidak banyak bicara tetapi mampu membuat Violetta merasa aman dan lebih tenang ketika gundah menyerang."Sakit, Hel. Aku ga bisa ... Aku ga bisa memaafkan Ferry. Aku ... bohong sama dia. Aku cuma, cuna mau dia pergi ... dan ga perlu merasa bersalah sepanjang hidupnya," kata Violetta terbata-bata.Helios paham yang Violetta rasakan. Dia sendiri masih bergumul memaafkan Melisa karena pengkhianatan dan cintanya yang tidak tulus itu."Aku tahu, memaafkan itu ... baik buat aku, tapi ... tapi berat sekali, Hel. A
Victor berada di kafe yang biasa dia dan Donita bertemu sejak jam setengah tujuh malam. Victor menyiapkan kejutan lain untuk ulang tahun Donita. Menu spesial di ruang VIP dengan dekorasi ruangan yang romantis Victor tata begitu rupa. Dia mau malam itu menjadi malam yang berkesan buat Donita.Walaupun sejujurnya dia tidak begitu yakin jika Donita akan datang, Victor tetap menyiapkan semuanya. Bagaimanapun dia harus menunjukkan pada Donita keseriusan hatinya ingin bersama Donita. Berulang kali ditolak, tidak akan membuat Victor mundur."Apakah ada yang lain lagi, Pak?" Pelayan pria yang membantu Victor bertanya."Semua sudah oke. Terima kasih banyak. Jika ada yang aku perlukan aku akan panggil nanti," jawab Victor."Baik, Pak. Saya permisi," kata pelayan itu lalu keluar dari ruangan.Victor melihat ke arloji di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukkan lima menit lagi pukul tujuh. Dada Victor berdebar. Dia gelisah. Gelisah menunggu Donita. Apakah wanita kesayangan Victor itu akan dat
Mata Donita menghujam pada Victor. Dia menelisik lebih dalam, mencari jika hatinya bosa bergetar karena Victor."Aku terima kalung ini, tetapi tidak aku kenakan. Jika nanti aku tahu akan menerimamu atau tidak, baru aku akan memakainya atau akan mengembalikannya padamu," kata Donita.Dia menyimpan kalung itu dibungkus tisu, lalu dia masukkan ke dalam tas hitam miliknya.Victor tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak tahu akan senang atau sedih dengan yang barusan Donita ucapkan. Bukan artinya Donita menggantung status mereka? Pacaran tidak, tapi leboh dari hubungan teman baik semata."Sekali lagi terima kasih banyak." Donita berdiri."Kapan aku bisa mendapat kepastian, Doni?" tanya Victor. Matanya sedikit meredup."Aku tidak bisa menjawab itu. Bisa cepat, bisa lama," jawab Donita."Doni, kamu-""Sembilan tahun kita bersama, jika menunggu sedikit lagi, apakah terlalu berat?" Donita meraih tasnya dan berjalan ke arah Victor."Selamat malam. Malam ini, tidak akan aku lupakan, Vic." Donita
Tony berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang, satu tangan lainnya memegang ponsel yang menempel di telinganya. Wajah Tony merah karena marah.Semua mata melihat padanya,. tidak membuat Tony sadar dia berada di ruang publik dan mengganggu orang lain."Aku tidak bisa mentolerir perbuatan kamu. Kesabaranku sudah habis! Kita putus! Dalam waktu dua hari kamu harus meninggalkan apartemenku!" Dengan kekesalan yang makin menggulung Tony dengan keras bicara lalu mematikan panggilan telponnya.Helios bisa menduga apa yang terjadi dengah Tony dan Melisa. Yang lain juga sama. Tony sudah dikenal sebagai pria mengumpul wanita cantik. Dia suka berganti-ganti pacar atau bahkan memacari tiga atau empat gadis sekaligus."Tony, kalau kamu tidak siap untuk hari ini, silakan mundur. Lima belas menit lagi kita akan memulai acara," kata Donita tegas. Dia sangat tidak suka ada gangguan pada setiap kegiatan, apalagi ini adalah acara puncak dari pendidikan yang ditempuh murid-murid selama ini."Aku minta
Bersama Victor, Donita menuju ke ruang perjamuan. Suasana meriah, tampak semua yang hadir bergembira hari itu. Victor tidak memperhatikan di mana Herman, Helios, Halim, dan Violetta. Dia hanya mau fokus bersama dengan Donita. Jarang sekali Donita mau berdua bersama pria jika di ruang publik.Jadi, jika hari itu Donita mengiyakan bersama Victor, tentu saja tidak akan dia sia-siakan. Donita membalas sapaan beberapa tamu. Mereka berbicara tidak berapa lama."Aku mau ambil es buah saja. Kamu boleh ambil menu utama, kalau mau." Donita menoleh pada Victor."Ah, menikmati buah lebih dulu oke. Ayo," sahut Victor dengan senyum lebar.Keduanya menuju meja tempat es buah dihidangkan. Tidak banyak kesempatan mereka bicara, lebih banyak justru bersosialisasi dengan tamu lainnya. Namun, sebelum acara ramah tamah berakhir, Victor sempat meminta kesempatan lagi agar bisa bertemu dengan Donita."Nanti aku kabari. Besok di kantor ada evaluasi acara kelulusan dan lanjut persiapan kelas berikutnya. Mungk