Victor berada di kafe yang biasa dia dan Donita bertemu sejak jam setengah tujuh malam. Victor menyiapkan kejutan lain untuk ulang tahun Donita. Menu spesial di ruang VIP dengan dekorasi ruangan yang romantis Victor tata begitu rupa. Dia mau malam itu menjadi malam yang berkesan buat Donita.Walaupun sejujurnya dia tidak begitu yakin jika Donita akan datang, Victor tetap menyiapkan semuanya. Bagaimanapun dia harus menunjukkan pada Donita keseriusan hatinya ingin bersama Donita. Berulang kali ditolak, tidak akan membuat Victor mundur."Apakah ada yang lain lagi, Pak?" Pelayan pria yang membantu Victor bertanya."Semua sudah oke. Terima kasih banyak. Jika ada yang aku perlukan aku akan panggil nanti," jawab Victor."Baik, Pak. Saya permisi," kata pelayan itu lalu keluar dari ruangan.Victor melihat ke arloji di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukkan lima menit lagi pukul tujuh. Dada Victor berdebar. Dia gelisah. Gelisah menunggu Donita. Apakah wanita kesayangan Victor itu akan dat
Mata Donita menghujam pada Victor. Dia menelisik lebih dalam, mencari jika hatinya bosa bergetar karena Victor."Aku terima kalung ini, tetapi tidak aku kenakan. Jika nanti aku tahu akan menerimamu atau tidak, baru aku akan memakainya atau akan mengembalikannya padamu," kata Donita.Dia menyimpan kalung itu dibungkus tisu, lalu dia masukkan ke dalam tas hitam miliknya.Victor tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak tahu akan senang atau sedih dengan yang barusan Donita ucapkan. Bukan artinya Donita menggantung status mereka? Pacaran tidak, tapi leboh dari hubungan teman baik semata."Sekali lagi terima kasih banyak." Donita berdiri."Kapan aku bisa mendapat kepastian, Doni?" tanya Victor. Matanya sedikit meredup."Aku tidak bisa menjawab itu. Bisa cepat, bisa lama," jawab Donita."Doni, kamu-""Sembilan tahun kita bersama, jika menunggu sedikit lagi, apakah terlalu berat?" Donita meraih tasnya dan berjalan ke arah Victor."Selamat malam. Malam ini, tidak akan aku lupakan, Vic." Donita
Tony berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang, satu tangan lainnya memegang ponsel yang menempel di telinganya. Wajah Tony merah karena marah.Semua mata melihat padanya,. tidak membuat Tony sadar dia berada di ruang publik dan mengganggu orang lain."Aku tidak bisa mentolerir perbuatan kamu. Kesabaranku sudah habis! Kita putus! Dalam waktu dua hari kamu harus meninggalkan apartemenku!" Dengan kekesalan yang makin menggulung Tony dengan keras bicara lalu mematikan panggilan telponnya.Helios bisa menduga apa yang terjadi dengah Tony dan Melisa. Yang lain juga sama. Tony sudah dikenal sebagai pria mengumpul wanita cantik. Dia suka berganti-ganti pacar atau bahkan memacari tiga atau empat gadis sekaligus."Tony, kalau kamu tidak siap untuk hari ini, silakan mundur. Lima belas menit lagi kita akan memulai acara," kata Donita tegas. Dia sangat tidak suka ada gangguan pada setiap kegiatan, apalagi ini adalah acara puncak dari pendidikan yang ditempuh murid-murid selama ini."Aku minta
Bersama Victor, Donita menuju ke ruang perjamuan. Suasana meriah, tampak semua yang hadir bergembira hari itu. Victor tidak memperhatikan di mana Herman, Helios, Halim, dan Violetta. Dia hanya mau fokus bersama dengan Donita. Jarang sekali Donita mau berdua bersama pria jika di ruang publik.Jadi, jika hari itu Donita mengiyakan bersama Victor, tentu saja tidak akan dia sia-siakan. Donita membalas sapaan beberapa tamu. Mereka berbicara tidak berapa lama."Aku mau ambil es buah saja. Kamu boleh ambil menu utama, kalau mau." Donita menoleh pada Victor."Ah, menikmati buah lebih dulu oke. Ayo," sahut Victor dengan senyum lebar.Keduanya menuju meja tempat es buah dihidangkan. Tidak banyak kesempatan mereka bicara, lebih banyak justru bersosialisasi dengan tamu lainnya. Namun, sebelum acara ramah tamah berakhir, Victor sempat meminta kesempatan lagi agar bisa bertemu dengan Donita."Nanti aku kabari. Besok di kantor ada evaluasi acara kelulusan dan lanjut persiapan kelas berikutnya. Mungk
Mobil-mobil polisi dan beberapa ambulan datang. Polisi-polisi dan paramedis segera mengatasi situasi agar jalanan segera terurai karema kemacetan semakin parah. Donita dibawa dengan ambulan menuju rumah sakit terdekat. Victor ikut serta, karena mau memastikan Donita akan segera mendapat perawatan yang terbaik. Saat di dalam ambulan, dengan bantuan tenaga medis, Donita mulai sadar. "Doni, Doni, ini aku, Victor," kata Victor dengan cemas. Dia memegang tangan kiri Donita. Dingin sekali. Donita memandang Victor antara sadar dan tidak. "Kita ke rumah sakit. Kamu akan segera diobati dokter. Kamu pasti baik-baik saja," kata Victor lagi. Donita mengedipkan matanya memberi reaksi. Setiap mata Donita hampir terpejam, Victor akan bicara, memaksa Donita tetap terjaga. Melihat kondisi Donita hati Victor campur aduk.Mata pria itu pun basah. Dia tidak bisa menjelaskan rasa panik yang menderanya. Dia sangat takut Donita tidak akan membuka matanya lagi. Sepanjang jalan Donita terus saja memandang
Kabar kecelakaan beruntun yang mengerikan masih terus terdengar di sana sini. Donita menjadi salah satu korban dari kecelakaan itu juga sampai pada Helios dan Herman yang ada di Singapura."Aku tidak percaya rasanya Miss Doni juga ada dalam kecelakaan itu. Aku sangat lega mengetahui Miss Doni selamat." Helios bicara di ponsel dengan Donita.Sebenarnya Helios menghubungi Victor. Karena Victor ada di rumah sakit, dia memberikan kesempatan Helios langsung bicara pada Donita."Tuhan baik. Aku tidak mengalami luka yang sangat serius. Jika mengingat kejadian itu, juga ada tiga orang yang tidak selamat, sangat mungkin harusnya aku pun tidak tertolong." Donita mengatakan apa yang dia pikirkan.Victor memperhatikan Donita yang masih bicara dengan Helios lewat layar kaca. Wajahnya berangsur lebih cerah. Dia tampak lebih segar setelah dua hari dirawat. Apalagi ibu dan adiknya datang dari Bali menemani dia. Sudah pasti kehadiran orang terdekat dan keluarga menambah semangat Donita segera pulih."
Victor memegang kalung yang Donita kembalikan. Tidak karuan rasa hatinya. Dia menyiapkan kalung itu, dengan liontin khusus yang dia pesan, karena dia ingin Donita tahu cinta Victor makin dalam. Semua tidak ada artinya bagi Donita.Dengan hati terasa pedih, Victor memegang kalung itu untuk dia simpan. Semua sudah berakhir. Dia dan Donita sampai kapanpun, akan tetap pada batas sebagai teman."Maafkan aku, Doni. Aku terus saja memaksa kamu un-""Vic!" panggil Donita dengan tegas.Victor menghentikan gerakannya dan melihat pada Donita."Bisa kamu pasangkan kalung itu untukku?" Donita memandang Victor dalam-dalam."Ya?" Victor seperti tidak yakin dengan yang dia dengar. Dia menatap Donita.Donita memegang rambut di bagian belakang, di leher, lalu menyibakkannya. "Doni?" ucap Victor belum yakin."Bisakah?" ulang Donita meminta Victor memasang kalung di lehernya."Ya, tentu." Victor berdiri, mendekat ke sisi samping sofa. Victor melingkarkan kalung di leher Donita, lalu dia kaitlan kancing
Pagi tiba. Helios dan Herman bersiap memulai perjalanan mereka. Herman terlihat ceria dan segar. Dia sampai beberapa kali mengatakan akan membawa ke mana saja Helios hari itu. Helios terpaksa harus menanyakan lebih detil lokasi yang Herman akan tuju seperti apa. Dia akan memastikan jika ke lokasi tersebut tidak akan menyulitkan Herman. Dari satu lokasi ke lokasi lain berapa jauh jaraknya."Baiklah. Kalau begitu, kita ke sini ..." Helios mulai memilah mana yang paling baik untuk mereka jelajahi hari itu. Tentu saja dengan alasan yang dia harus mampu meyakinkan Herman."Baiklah, kita sepakat. Ayo, aku tidak mau terlambat berangkat," kata Herman.Perjalanan dimulai. Kesempatan yang langka, yang bahkan tak pernah muncul dalam pikiran Helios jika satu kali dia akan ke luar negeri dengan seorang pria kaya raya yang menjadikannya anak. Tidak akan Helios sia-siakan perjalanan itu dan dia jadikan momen paling berkesan di dalam hidupnya.Di setiap tempat yang mereka kunjungi, Helios mengambil f