Victor memegang kalung yang Donita kembalikan. Tidak karuan rasa hatinya. Dia menyiapkan kalung itu, dengan liontin khusus yang dia pesan, karena dia ingin Donita tahu cinta Victor makin dalam. Semua tidak ada artinya bagi Donita.Dengan hati terasa pedih, Victor memegang kalung itu untuk dia simpan. Semua sudah berakhir. Dia dan Donita sampai kapanpun, akan tetap pada batas sebagai teman."Maafkan aku, Doni. Aku terus saja memaksa kamu un-""Vic!" panggil Donita dengan tegas.Victor menghentikan gerakannya dan melihat pada Donita."Bisa kamu pasangkan kalung itu untukku?" Donita memandang Victor dalam-dalam."Ya?" Victor seperti tidak yakin dengan yang dia dengar. Dia menatap Donita.Donita memegang rambut di bagian belakang, di leher, lalu menyibakkannya. "Doni?" ucap Victor belum yakin."Bisakah?" ulang Donita meminta Victor memasang kalung di lehernya."Ya, tentu." Victor berdiri, mendekat ke sisi samping sofa. Victor melingkarkan kalung di leher Donita, lalu dia kaitlan kancing
Pagi tiba. Helios dan Herman bersiap memulai perjalanan mereka. Herman terlihat ceria dan segar. Dia sampai beberapa kali mengatakan akan membawa ke mana saja Helios hari itu. Helios terpaksa harus menanyakan lebih detil lokasi yang Herman akan tuju seperti apa. Dia akan memastikan jika ke lokasi tersebut tidak akan menyulitkan Herman. Dari satu lokasi ke lokasi lain berapa jauh jaraknya."Baiklah. Kalau begitu, kita ke sini ..." Helios mulai memilah mana yang paling baik untuk mereka jelajahi hari itu. Tentu saja dengan alasan yang dia harus mampu meyakinkan Herman."Baiklah, kita sepakat. Ayo, aku tidak mau terlambat berangkat," kata Herman.Perjalanan dimulai. Kesempatan yang langka, yang bahkan tak pernah muncul dalam pikiran Helios jika satu kali dia akan ke luar negeri dengan seorang pria kaya raya yang menjadikannya anak. Tidak akan Helios sia-siakan perjalanan itu dan dia jadikan momen paling berkesan di dalam hidupnya.Di setiap tempat yang mereka kunjungi, Helios mengambil f
Melisa berpikir cepat. Dia harus mengambil kesempatan untuk mendekat pada keluarga Hartawan. Kalau dia mengenal Raditya lebih dekat, dia bisa mencari cara juga mendekat pada keluarga Hartawan yang lain. Siska juga selama ini baik padanya, walaupun mungkin tidak suka menampung orang di rumahnya. Sedang Raditya? "Kalau kamu bersedia, ayo. Aku tidak pernah main-main kalau mau menolong orang," kata Raditya. "Baiklah, Om. Aku ikut. Aku sangat berterima kasih Om mau baik sama aku." Melisa menjawab dengan cepat. "Oke, bersiaplah segera kita pergi," ucap Raditya memutuskan. "Ya, Om. Sekali lagi terima kasih," ujar Melisa. Dadang dan Danik sudah naik ke kamar Siska mengantar belanjaan si Nyonya. Tidak lama muncul Siska dengan seorang pria. Wanita itu tampak lelah tapi terlihat senang. Dia hanya menyapa asal pada orang-orang yang ada di ruang tengah rumahnya lalu dia naik bersama pria yang bersamanya. Hati Violetta mendidih. Pria yang bersama Siska, jelas lebih muda. Cukup tampan dan gaga
Posisi Melisa yang setengah berbaring di sofa dengan pakaian minim yang menunjukkan bentuk tubuhnya seketika menaikkan sisi kejantanan Raditya. Apakagi Raditya memang pengagum wanita cantik."Kamu tidak mengantuk?" Raditya mendekat, berdiri beberapa langkah dari sofa tempat Melisa berbaring."Aku terbiasa tidur larut, Om. Apakagi baru makan, ga seru langsung tidur. Bisa gendut nanti aku," jawab Melisa seraya berpindah posisi.Gadis itu duduk sambil menarik kakinya dan bersila di sofa. Raditya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Pria yang masuk usia kepala lima iru makin mendekat, mendaratkan tubuh di samping Melisa."Sepertinya kita punya kebiasaan yang sama. Bolehlah kita ngobrol sampai ngantuk. Bagaimana menurut kamu?" ucap Raditya.Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit merapat pada Melisa."Aku lagi nonton film roman, Om. Aku suka film roman. Om ga keberatan?" Melisa meminta persetujuan Raditya."Silakan. Aku bisa menikmati film apapun." Raditya tersenyum sambil melebarkan
Tidak ada satu kata yang Helios tuturkan setelah mendengar ungkapkan hati Herman. Helios mencoba memahami. Pria itu, bagi Herman, pasti lebih dari seorang asisten dan pengacara. Bahkan lebih dari seorang saudara."Aku lama tidak melihat Tuan Herman begitu bersemangat setelah kepergian Nyonya Ranilla. Hari ini, kamu sumber bahagianya. Kamu seperti memberi harapan baru di hidupnya. Please, misi itu, lakukan dengan hati," lanjut Halim."Ya, Pak. Aku janji," ucap Helios.Halim melepaskan pegangan tangannya dan membiarkan Helios masuk ke dalam ruangan. Herman menunggu. Dia mengamati gerak-gerik Helios hingga dia tiba di hadapannya."Sepulang dari rumah sakit, aku akan mengatur penyerahan semua aset dan kekayaanku atas nama kamu." Serius tatapan mata Herman saat mengatakan itu."Apa, Pa?" Helios sangat terkejut mendengar yang Herman katakan. Ini terlalu cepat. Helios belum siap."Kamu sudah menunjukkan kesungguhan kamu dalam belajar dan bekerja. Kamu mulai menguasai semua hal tentang berbag
Helios anak sultan, siapa yang tidak mau dengannya? Pernyataan yang tidak asing didengar di telinga. Tetapi karena yang mengatakan itu adalah Melisa, maka itu sesuatu banget.Di kepala Helios dengan cepat membayang bagaimana Melisa selalu saja menuntut ini dan itu saat masih jadi kekasih Ardi. Jika tidak segera diiyakan dan diusahakan, dia akan mengancam. Macam-macam yang Melisa katakan. Membuat Helios panik dan akan berjuang semaksimal mungkin menuruti apa yang Melisa mau."Aku tertipu sama Tony. Dia ternyata bukan juga tipe pria setia. Aku cuma wanita kesekian yang dia punya. Untung aku segera lepas dari Tony." Melisa bicara lagi.Lamunan Helios buyar. Dia menyimak pembicaraan dua gadis itu."Cowok rata-rata gitu, Mel. Mana tahan cuma sama satu cewek? Ferry yang aku pikir pria paling baik, nyatanya sama saja," tukas Violetta."Kalau Helios? Selain baik, apa dia setia?" Melisa bertanya."Aku ga pernah lihat dia sama cewek, pacaran. Ga pernah. Dia baik saja sama semua. Belajar mulu tia
Berhasil! Violetta berhasil membujuk Helios mau pergi rekreasi bersama dengan Melisa. Kedua gadis itu mengajak Helios ke pantai di daerah Banten. Tepat sekali hari ulang tahun Violetta jatuh di hari Sabtu.Sebelum jam tujuh pagi hari itu, mobil Helios meluncur meninggalkan mansion menuju lokasi yang sudah direncanakan.Sepanjang jalan kedua gadis itu bicara tanpa henti. Kadang mereka bernyanyi saling bersahutan. Helios harus kuat menghadapi mereka sepanjang hari. "Hel, lagu favorit kamu apa?" tanya Violetta.Karena Helios hanya diam saja, seperti jadi sopir saja, Violetta akhirnya mengajak Helios bicara."Lagu? Ga gitu bisa nyanyi aku." Helios menjawab sambil tetap fokus pada jalanan."Aku ga minta kamu nyanyi. Lagu favorit kamu apa?" tanya Violetta lagi."Satu satu aku sayang ibu," jawab Helios asal."Hahaha!" Melisa tertawa lepas mendengar jawaban Helios."Iih, ngaco! Yang benar kalau jawab, Hel!" Violetta pura-pura marah. Dia cemberut."Pokoknya lagu enak di telinga aku suka." Heli
Melisa memperhatikan Helios. Benar, dia memang punya gerak-gerik yang berbeda dengan Ardi. Pembawaannya juga berbeda. Tetapi di saat-saat tertentu, kemiripan dengan Ardi kembali muncul. Keyakinan jika Helios memangh bukan Ardi sedikit pupus. Pertanyaan apakah Ardi adalah Helios kembali lagi mengganggu Melisa. "Tanda lahir itu. Aku harus bisa melihat apakah ada tanda lahir di pundak kiri Helios. Jika benar, berarti Helios adalah Ardi. Memang tidak masuk akal rasanya, tetapi kemiripan mereka ..." Pikiran Melisa berputar. Jika yang dia pikirkan benar, maka dia punya senjata untuk menekan Helios agar mau menerima dia. Sedikit banyak Melisa mendengar keretakan hubungan di antara keluarga Hartawan, permusuhan Herman dan kedua saudaranya, Melisa juga mulai mendengar. Tidak sangat jelas, celetukan-celetukan Siska dan Raditya saat bicara memberi informasi ketegangan mereka dengan Herman. "Aku harus mencari cara untuk bisa mendapatkan bukti terakhir. Ya, itu satu-satunya cara," ujar Melisa d