Tidak ada satu kata yang Helios tuturkan setelah mendengar ungkapkan hati Herman. Helios mencoba memahami. Pria itu, bagi Herman, pasti lebih dari seorang asisten dan pengacara. Bahkan lebih dari seorang saudara."Aku lama tidak melihat Tuan Herman begitu bersemangat setelah kepergian Nyonya Ranilla. Hari ini, kamu sumber bahagianya. Kamu seperti memberi harapan baru di hidupnya. Please, misi itu, lakukan dengan hati," lanjut Halim."Ya, Pak. Aku janji," ucap Helios.Halim melepaskan pegangan tangannya dan membiarkan Helios masuk ke dalam ruangan. Herman menunggu. Dia mengamati gerak-gerik Helios hingga dia tiba di hadapannya."Sepulang dari rumah sakit, aku akan mengatur penyerahan semua aset dan kekayaanku atas nama kamu." Serius tatapan mata Herman saat mengatakan itu."Apa, Pa?" Helios sangat terkejut mendengar yang Herman katakan. Ini terlalu cepat. Helios belum siap."Kamu sudah menunjukkan kesungguhan kamu dalam belajar dan bekerja. Kamu mulai menguasai semua hal tentang berbag
Helios anak sultan, siapa yang tidak mau dengannya? Pernyataan yang tidak asing didengar di telinga. Tetapi karena yang mengatakan itu adalah Melisa, maka itu sesuatu banget.Di kepala Helios dengan cepat membayang bagaimana Melisa selalu saja menuntut ini dan itu saat masih jadi kekasih Ardi. Jika tidak segera diiyakan dan diusahakan, dia akan mengancam. Macam-macam yang Melisa katakan. Membuat Helios panik dan akan berjuang semaksimal mungkin menuruti apa yang Melisa mau."Aku tertipu sama Tony. Dia ternyata bukan juga tipe pria setia. Aku cuma wanita kesekian yang dia punya. Untung aku segera lepas dari Tony." Melisa bicara lagi.Lamunan Helios buyar. Dia menyimak pembicaraan dua gadis itu."Cowok rata-rata gitu, Mel. Mana tahan cuma sama satu cewek? Ferry yang aku pikir pria paling baik, nyatanya sama saja," tukas Violetta."Kalau Helios? Selain baik, apa dia setia?" Melisa bertanya."Aku ga pernah lihat dia sama cewek, pacaran. Ga pernah. Dia baik saja sama semua. Belajar mulu tia
Berhasil! Violetta berhasil membujuk Helios mau pergi rekreasi bersama dengan Melisa. Kedua gadis itu mengajak Helios ke pantai di daerah Banten. Tepat sekali hari ulang tahun Violetta jatuh di hari Sabtu.Sebelum jam tujuh pagi hari itu, mobil Helios meluncur meninggalkan mansion menuju lokasi yang sudah direncanakan.Sepanjang jalan kedua gadis itu bicara tanpa henti. Kadang mereka bernyanyi saling bersahutan. Helios harus kuat menghadapi mereka sepanjang hari. "Hel, lagu favorit kamu apa?" tanya Violetta.Karena Helios hanya diam saja, seperti jadi sopir saja, Violetta akhirnya mengajak Helios bicara."Lagu? Ga gitu bisa nyanyi aku." Helios menjawab sambil tetap fokus pada jalanan."Aku ga minta kamu nyanyi. Lagu favorit kamu apa?" tanya Violetta lagi."Satu satu aku sayang ibu," jawab Helios asal."Hahaha!" Melisa tertawa lepas mendengar jawaban Helios."Iih, ngaco! Yang benar kalau jawab, Hel!" Violetta pura-pura marah. Dia cemberut."Pokoknya lagu enak di telinga aku suka." Heli
Melisa memperhatikan Helios. Benar, dia memang punya gerak-gerik yang berbeda dengan Ardi. Pembawaannya juga berbeda. Tetapi di saat-saat tertentu, kemiripan dengan Ardi kembali muncul. Keyakinan jika Helios memangh bukan Ardi sedikit pupus. Pertanyaan apakah Ardi adalah Helios kembali lagi mengganggu Melisa. "Tanda lahir itu. Aku harus bisa melihat apakah ada tanda lahir di pundak kiri Helios. Jika benar, berarti Helios adalah Ardi. Memang tidak masuk akal rasanya, tetapi kemiripan mereka ..." Pikiran Melisa berputar. Jika yang dia pikirkan benar, maka dia punya senjata untuk menekan Helios agar mau menerima dia. Sedikit banyak Melisa mendengar keretakan hubungan di antara keluarga Hartawan, permusuhan Herman dan kedua saudaranya, Melisa juga mulai mendengar. Tidak sangat jelas, celetukan-celetukan Siska dan Raditya saat bicara memberi informasi ketegangan mereka dengan Herman. "Aku harus mencari cara untuk bisa mendapatkan bukti terakhir. Ya, itu satu-satunya cara," ujar Melisa d
Violetta berhenti. Dia memandang ibunya. Wajahnya terlihat kesal dan kusut."Kamu dari rumah Herman? Kok kesal gitu. Kamu ribut sama Helios?" tanya Siska."Nggak. Sama Melisa," jawab Violetta."Dia ikut ke sana juga? Lalu, mana Melisa?" tanya Siska lagi."Masih di sana, sama Helios." Violetta menjawab gusar."Vio, ada apa?" Siska tidak akan berhenti bertanya sampai Violetta menjawab dengan jelas."Melisa itu naksir Helios. Cari perhatian mulu. Aku dicuekin. Sebel!" ujar Violetta."Kamu cemburu?" Siska mencermati wajah putrinya.Mata Violetta menatap Siska. Cemburu? Dia cemburu?"Vio?" Siska memegang lengan Violetta memintanya menjawab."Nggak, Ma. Kenapa cemburu sama Melisa? Lagian Helios kan kakak sepupu aku?" tandas Violetta.Lalu Violetta meneruskan langkah menuju ke kamarnya. Siska mengikuti sampai masuk ke kamar Violetta."Mama ini mama kamu. Mama kenal kamu, Vio," kata Siska.Mereka duduk berhadapan. Violetta di tepi ranjang, sedangkan Siska di kursi depan meja rias Violetta."N
Siska tidak bertanya apapun. Dia lihat saja Raditya dan Melisa meninggalkan rumah. Sudah pasti, ada sesuatu di antara dua orang itu. Siska sangat hafal kelakuan Raditya. Dan Melisa? Ternyata dia lebih buruk dari yang Siska pikirkan."Aku harus cepat bergerak. Aku tidak mau Violetta akan terpengaruh Melisa. Memang dari kota pinggiran dia berasal, tapi ternyata tidak selugu itu. Gila." Siska berkata sendiri lalu dia balik ke ruang atas ke kamarnya.Di kamar sebelah, Violetta sudah selesai mandi. Dia tidak berniat berbuat apa-apa. Hanya mau rebahan hingga tertidur sendiri. Sayangnya, percakapan dengan sang ibu terus berkumandang dan terngiang di pikirab dan kepalanya."Helios butuh kamu. Dan Helios yang akan memberi kamu kebahagiaan." Violetta mendesah. Dia kembali duduk. Gelisah makin mendera. Tangan Violetta dengan cepat membuka galeri dan melihat foto-foto saat dia bersama Helios. Helios memang sangat tampan. Dia jarang tersenyum apalagi sampai tertawa lebar. Terkesan datar dan tena
Raditya seperti sedang kalap. Dia menarik Violetta agar mendekat dan merapat padanya."Kamu jangan jadi benalu. Jangan kamu permainkan aku, hah?!" Raditya menatap Violetta dengan mata menyala.Bau alkohol yang menyengat tercium membuat Violetta mual. Ada apa dengan Raditya? Dia memang mabuk, tapi ...."Sini kamu, Kucing kecil! Sudah beberapa hari kamu menolak aku. Tapi malam ini aku tidak akan melepaskan kamu!" Tangan Raditya menarik Violetta kuat dan menyeret gadis itu ke ruang tengah."Om, lepasin. Om mau apa?!" Violetta menarik lengannya. Dia mulai ketakutan."Mau apa katamu?! Mau apa?!" Raditya makin emosi mendengar ucapan Violetta.Violetta hampir berhasil lepas, tapi Raditya masih lebih sigap. Dia berhasil kembali mencengkeram lengan Violetta. Kali ini kedua-duanya.Tanpa aba-aba, Raditya menarik kuat Violetta dalam dekapannya lalu memberikan ciuman dengan liar.Violetta meronta. Dia makin ketakutan. Dia berusaha mendorong Raditya agar menjauh. Violetta merasa seluruh tubuhnya ge
"Mana laki-laki gila itu?! Aku mau bunuh dia!!" Teriakan Siska menggelegar di seluruh ruangan rumah besar itu. Dia baru datang dari perjalanan dan mendapat kabar yang sangat mengejutkan. Darah Siska langsung mendidih. Dengan amarah yang meluap, Siska masuk ke dalam rumah dan mencari Raditya."Radit!!!" Semakin keras Siska berteriak sambil berjalan cepat menuju kamar Raditya."Nyonya, tolong tahan emosi, Nyonya. Tolong ..." Dadang terus mengikuti Siska.Dia sangat hafal tabiat majikannya. Jika dibiarkan bisa jadi perang besar di rumah."Kamu mau membela manusia sinting itu?! Hahh??! Sudah bosan hidup juga kamu?!" Siska menyemprot Dadang yang berusaha menghalanginya."Bukan begitu, Nyonya. Semua bisa diselesaikan baik-baik. Kasihan Nona Vio," bujuk Dadang."Kamu minggir atau kamu yang pertama aku hajar?!" Siska berkacak pinggang di depan pintu kamar Raditya berhadapan dengan Dadang.Dadang sengaja berdiri di depan pintu, menahan Siska. Kalaupun bertemu Raditya, Siska harus bisa menekan